/1/
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah
ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. Ia ingin sekali bisa
merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan
terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani
begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang.
Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak
di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang
membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu
yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu,
ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam
kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang
dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak
akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka
menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika
angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu
bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air
yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam
itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba
untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas
hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan
olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan
mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum
sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain
yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun
lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi
pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.
/2/
Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun
jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh
tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia
merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam
itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena
melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang
bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut
yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa
menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin
karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan
arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah
merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada
daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia
yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu
tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak
pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam
itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya
bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun
bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air
yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun.
Air tidak punya pintu.
Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.
Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.
/3/
Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu
kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan
cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air,
matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan
daun dan menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari
berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa
dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh
sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan
kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya.
Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan
pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari
dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat
daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu
sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk,
terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus
habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan
menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa
meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih
karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya
siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli
lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai
burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam
kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah
yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis
lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.
Tanpa ibarat.
_______________
Sumber : https://www.facebook.com/groups/409730912448672/doc/409732099115220/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar