Sketsa
pertempuran pengikut Diponegoro dengan serdadu Belanda di Selarong pada
September atau Oktober 1825. Foto: Repro buku Takdir: Riwayat Pangeran
Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey.
Stelsel Benteng melemahkan pasukan Diponegoro. Namun, dia baru dapat ditaklukkan dengan strategi budaya.
Kajian Ilmuwan Jinakan
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
Dibaca: 3517 | Dimuat: 29 Agustus 2014
GERAH melihat
ulah Belanda dan gaya hidup ala Barat di Kesultanan Yogyakarta,
Diponegoro menyingkir. Selain menggalang kekuatan, dia mempersiapkan
kebutuhan logistik. Salah satunya dengan memborong persediaan beras di
pasar-pasar di daerah Kedu dan Yogyakarta.
Karena menolak bertanggungjawab, Residen
Yogyakarta Smissaert memerintahkan pasukannya menyerang dan membakar
markas Diponegoro di Tegalrejo pada 21 Juli 1825. Tiga minggu kemudian,
Diponegoro membalas dan menyerang Yogyakarta. Perang Jawa pun pecah.
Menurut Saleh A. Djamhari, dosen Sejarah
Universitas Indonesia, dalam kurun 1825-1826, unggul jumlah pasukan,
Diponegoro mengandalkan taktik ofensif. Namun, setelah pertempuran di
Gawok, strategi ini tak lagi dipertahankan.
Sebaliknya, karena jumlah pasukannya
terbatas, Jenderal de Kock mengunggulkan strategi mobilitas melalui
operasi pengejaran. Strategi ini berakibat fatal. Banyak prajuritnya
tewas; bukan karena bertempur tapi kelelahan, sakit karena epidemi,
cuaca buruk, dan medan yang berat.
“Berdasarkan pengalaman tersebut pada
1827 Jenderal de Kock memperkenalkan strategi baru yang dikenal dengan
Stelsel Benteng,” kata Saleh dalam diskusi bukunya Strategi Menjinakan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830, di Freedom Institute, Jakarta, pada 27 Agustus lalu.
Dengan strategi ini, di setiap wilayah
yang berhasil dikuasai, Belanda membangun benteng pertahanan; kemudian
infrastruktur yang menghubungkan setiap benteng.
Peter Carey, sejarawan dari Trinity
College Oxford, mengatakan Stelsel Benteng merupakan kunci sukses de
Kock melawan Diponegoro. Dari Mei 1827 sampai Maret 1830, de Kock
membangun sekira 258 benteng –Saleh menyebut 265 benteng– di seluruh
Jawa tengah dan timur, terbanyak (90 benteng) dibangun pada 1828.
“Benteng Stelsel dirintis perwira kepala
zeni, Kolonel Cochius, yang jauh sebelum Perang Jawa memiliki keahlian
membangun sistem perbentengan semacam itu,” kata Carey.
Stelsel Benteng mempersempit ruang gerak
pasukan Diponegoro. Perlahan moril pasukan turun. “Karena itu banyak di
antara pasukan Diponegoro yang terpaksa menyerah,” ujar Saleh. Bahkan
Sentot Alibasah, panglima pasukan Diponegoro, menyerah kepada Kolonel
Cochius pada Oktober 1829.
Menurut Saleh, selama perang, peranan
para ilmuwan jarang disebut. Misalnya, De Kock mengerahkan beberapa ahli
yang dipimpin Rooda van Eisinga untuk melakukan kajian budaya, terutama
watak dan karakter bangsawan Jawa serta nilai-nilai yang dianutnya.
Hasil kajian itu memberikan kontribusi penting bagi proses pengambilan
keputusan dan perlakuan terhadap Diponegoro.
Tatkala menerima laporan keberadaan
Diponegoro dan sisa pasukannya di hutan Remojatinegara, de Kock
mengambil keputusan yang tak pernah diperkirakan bawahannya. Dia
memerintahkan Kolonel Cleerens untuk membujuk Diponegoro agar mau
berunding. Jawaban ya dari Diponegoro sudah cukup bagi de Kock. Dengan satu kata ya, de Kock telah memenangi peperangan dan menaklukkan orang Jawa tanpa merendahkan martabatnya.
“Kesuksesan misi Cleerens membawa
Diponegoro ke Magelang,” kata Saleh, “merupakan salah satu sukses kajian
budaya dalam rangka Stelsel Bentang sebagai sistem senjata.”
Perundingan berakhir dengan penangkapan
Diponegoro pada 28 Maret 1830. Dia diasingkan ke Manado selama tiga
tahun, lalu ke Makassar sampai kematiannya pada 8 Januari 1855.
___________________
Sumber : http://historia.co.id/artikel/modern/1456/Majalah-Historia/Kajian_Ilmuwan_Jinakkan_Diponegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar