Dulu pakai batu, sekarang pakai sabun.
OLEH: JAY AKBAR
8 Oktober 2010
APA jadinya jika sabun tak pernah ditemukan? Tubuh kita mungkin akan bau, kotor, dan gampang kena sakit kulit.
Berdasarkan ukiran yang terdapat di
bejana gerabah peninggalan Babilonia, bahan-bahan yang terkandung dalam
sabun diduga telah dimanfaatkan sejak 2.800 SM. Dalam Papirus Eber,
dokumen kesehatan Mesir Kuno tahun 1.500 SM, masyarakat Mesir Kuno
menggunakan kombinasi minyak hewani atau nabati dengan garam alkali
–dikenal dengan istilah saponifikasi– untuk menyembuhkan penyakit kulit
dan membersihkan badan.
Istilah saponifikasi diambil dari bahasa latin “sapo” yang artinya soap
atau sabun. Sapo merupakan nama sebuah gunung –ada juga yang
menyebutnya bukit– dalam legenda Romawi Kuno, yang biasa menjadi tempat
pemotongan hewan kurban dalam upacara. Ketika hujan, sisa-sisa lemak
hewan itu tercampur abu kayu pembakaran dan mengalir ke Sungai Tiber di
bawah gunung. Tak diduga, saat masyarakat sekitar sungai mencuci, mereka
mendapati air mengeluarkan busa dan pakaian mereka menjadi lebih
bersih.
Pada abad ke-1 masyarakat Romawi Kuno
melakukan saponifikasi dengan cara mereaksikan ammonium karbonat yang
terdapat dalam air seni (urine) dengan minyak tumbuhan dan lemak hewan. Ada pekerja khusus yang mengumpulkan air seni (fullones)
untuk dijual ke para pembuat sabun. Tapi baru pada abad ke-2 dokter
Galen (130-200 SM) menyebutkan penggunaan sabun untuk membersihkan
tubuh.
Ahamad Y. al-Hassan dan Donald Hill dalam bukunya Islamic Technology: An Illustrated History,
menyebut Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, kimiawan Persia,
sebagai peracik pertama ramuan sabun modern. Orang Arab membuat sabun
dari minyak nabati atau minyak atsiri, misalnya minyak thymus. Sentra
industri sabun berada di Kufah, Basrah, dan Nablus di Palestina.
Sabunnya sudah berbentuk padat dan cair.
Masyarakat di Eropa Utara, pada abad
pertengahan, baru mengenal sabun cair tapi baunya kurang enak. Pada abad
ke-13 jenis sabun keras mulai diekspor ke Eropa. Teknologi pembuatan
sabun juga ditransfer ke Italia dan Prancis selatan selama Renaissance.
Di Inggris, seperti ditulis John A. Hunt dalam “A Short History Soap”,
dimuat di Pharmaceutical Journal, 1999, catatan Bristol Company
of Soapmakers untuk tahun 1562-1642 menunjukkan lebih dari 180 orang
terlibat dalam bisnis sabun. Bisnis sabun mendapat tempat yang istimewa
di Inggris. Pada 1622 Raja James memberikan hak monopoli kepada seorang
pembuat sabun dengan membayar imbalan $100.000 setahun.
Sekalipun sabun mulai dikenal, ia masih
menjadi barang asing bagi sebagian masyarakat di Eropa Tengah. Menurut
Alicia Alvrez dalam bukunya The Ladies′ Room Reader: The Ultimate Women′s Trivia Book, Di Jerman, Duchess of Juelich
merasakan sensasi luar biasa ketika mendapat hadiah sekotak sabun dari
sahabatnya pada 1549. Pada 1672, seorang Jerman bernama A. Leo harus
menuliskan keterangan rinci cara penggunaannya ketika mengirimkan
bingkisan hadiah berisi sabun kepada seorang puteri Prusia, Lady von
Schleinitz.
Berbeda dengan Inggris, penguasa
Perancis Raja Louis XIV justru bersikap keras kepada pembuat sabun. Sang
raja pernah menghukum mati dengan pisau guillotin terhadap tiga orang
pembuat sabun karena membuat kulit sang raja iritasi. Takut ditimpa
hukuman yang sama, beberapa pembuat sabun berusaha lebih serius untuk
menciptakan sabun berkualitas baik.
Revolusi industri yang berkembang di
negeri-negeri Eropa pada abad ke-19 memperpesat industri sabun. Namun di
beberapa negara, sabun masih dikenai pajak tinggi karena tergolong
barang mewah. “Kombinasi monopoli dan pajak khusus telah menghalangi
pembangungan industri sabun” tulis Patricia E. Malcolmson dalam English Laundresses: a Social History, 1850-1930.
Pada 1852 Inggris dan Prancis menghilangkan pajak sabun untuk
meningkatkan standar hidup bersih dan sehat masyarakat. Sabun pun
menjadi komoditas sehari-hari yang bisa digunakan masyarakat biasa.
Sebelum mengenal sabun, masyarakat di
Nusantara biasanya mandi dengan menggosokan lempeng-lempeng batu halus
untuk menyingkirkan kotoran di tubuh. Agar kulit harum dan halus, mereka
menaburkan kuntum mawar, melati, kenanga, sirih, dan minyak zaitun
dalam wadah penampungan air. Kebiasaan ini masih berlangsung hingga
1980-an, terutama di desa-desa. Bahkan saat ini, sekalipun menggunakan
sabun, ada yang merasa belum bersih tanpa menggosokkan batu ketika
mandi.
Salah satu perusahaan yang
memperkenalkan sabun produksi industri adalah Unilever, merger antara
perusahaan asal Inggris, Lever Brothers, dan perusahaan asal Belanda,
Margarine Urine. Produk sabun Unilever adalah Lifebuoy, Lux, Sweetmay,
dan Capitol. Unilever membuka anak perusahaan di Jakarta pada 1931.
Pesaingnya, P&G, produksi perusahaan Jerman, Dralle –yang pada
1940-an berubah nama menjadi Colibri dan diambil-alih Unilever.
Saat Perang Pasifik, Unilever
diambil-alih militer Jepang untuk kepentingan perang. Ini membuat sabun
jadi barang langka. Kalau pun ada, harganya melonjak. Untuk
mengatasinya, pada 1943 otoritas Jepang mengeluarkan izin operasi kepada
94 perusahaan sabun: 11 untuk orang Indonesia, dan selebihnya Tionghoa.
Tak satu pun izin untuk orang Eropa. Selain itu, militer Jepang
memberikan latihan cara membuat sabun agar rakyat bisa hidup mandiri.
Latihan itu diadakan di gudang Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di Jalan
Sunda 28 Jakarta. Selain untuk keperluan sehari-hari, rakyat yang telah
mahir membuat sabun biasanya menjual sabun hasil buatan mereka.
“Sabun yang bahan dasarnya terbuat dari
minyak kelapa, abu, kapur, dan garam itu memiliki kualitas yang baik dan
membuka lapangan usaha baru bagi rakyat,” tulis harian Borneo Shimboen, 22 Oktober 1943.
Setelah perang berakhir, Unilever
mencoba bangkit. Tapi Unilever kembali berada dalam posisi sulit ketika
terjadi gejolak politik pada 1950-an menyangkut Papua Barat. Semua
perusahaan Belanda dinasionalisasi. Staf Unilever diusir dan diganti
oleh tenaga-tenaga Inggris dan Jerman. Operasinya di bawah pengawasan
pemerintah tahun 1964. Produksi Unilever merosot.
Sejarawan Alwi Shahab, dalam blog pribadinya alwishahab.wordpress.com menulis,
saat Bung Karno melancarkan politik berdikari (berdiri di atas kaki
sendiri), umumnya masyarakat mandi dengan memakai sabun batangan yang
disebut sabun cuci. “Maklum, sabun Lux, Camay, Lifebuoy masih ngumpet di
Singapura,” tulis Alwi Shahab.
Pada 1967 kendali Unilever dikembalikan.
Sejak itu produk-produk Unilever kembali merajai pasar penjualan sabun
di Indonesia. Pesaing bermunculan.
Kini, sabun sudah menjadi barang
kebutuhan sehari-hari. Mandi takkan terpisahkan dari sabun. Tinggal
bagaimana membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun. Indonesia,
berdasarkan survey Departemen Kesehatan tahun lalu, termasuk negara yang
malas cuci tangan pakai sabun. Padahal, sejak 2008, Perserikatan
Bangsa-Bangsa sudah menetapkan 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan Pakai
Sabun Sedunia.
___________________
Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/budaya/816/23/Majalah-Historia/Membilas_Sejarah_Sabun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar