Daniel Dhakidae
Orang kaya, bangsawan, selalu menjadi pengetua masyarakat mana pun, dan
kapan pun, di Nusantara. Orang kaya berarti pemilik tanah, para tuan
tanah. Dengan memiliki tanah mereka dengan sendirinya memiliki apa saja
yang bisa diusahakan di atas tanah itu. Dengan begitu orang kaya adalah
mereka yang memiliki hasil ladang dan sawah berlimpah dengan
memanfaatkan tenaga kerja tak berbayar, yaitu para budak hasil keturunan
atau budak belian.
Khusus mengenai budak belian semuanya tidak bisa berlangsung sebelum
negara dan konsep negara dipakai semestinya. Salah satu bentuk kegiatan
negara adalah mengumpulkan pajak. Yang tidak bisa membayar pajak
menggadaikan diri, dan dari sanalah berasal budak belian yang biasanya
dibedakan dari budak turunan. Para budak tidak berhak atas tanah. Dengan
sendirinya, dia dikucilkan dari turut mengambil bagian dalam pertemuan
adat, perundingan, dan juga memerintah dalam pengertian yang sangat
asli, yaitu memberikan perintah tentang apa saja yang harus dilaksanakan
dalam suatu persekutuan adat—menjaga ladang dan sawah, memelihara
ternak, menjalankan pernikahan, dan sebagainya.
Orang kaya, bangsawan, selalu menjadi pengetua masyarakat mana pun, dan
kapan pun, di Nusantara. Orang kaya berarti pemilik tanah, para tuan
tanah. Dengan memiliki tanah mereka dengan sendirinya memiliki apa saja
yang bisa diusahakan di atas tanah itu. Dengan begitu orang kaya adalah
mereka yang memiliki hasil ladang dan sawah berlimpah dengan
memanfaatkan tenaga kerja tak berbayar, yaitu para budak hasil keturunan
atau budak belian.
Khusus mengenai budak belian semuanya tidak bisa berlangsung sebelum
negara dan konsep negara dipakai semestinya. Salah satu bentuk kegiatan
negara adalah mengumpulkan pajak. Yang tidak bisa membayar pajak
menggadaikan diri, dan dari sanalah berasal budak belian yang biasanya
dibedakan dari budak turunan. Para budak tidak berhak atas tanah. Dengan
sendirinya, dia dikucilkan dari turut mengambil bagian dalam pertemuan
adat, perundingan, dan juga memerintah dalam pengertian yang sangat
asli, yaitu memberikan perintah tentang apa saja yang harus dilaksanakan
dalam suatu persekutuan adat—menjaga ladang dan sawah, memelihara
ternak, menjalankan pernikahan, dan sebagainya.
Kolonialisme Belanda dalam waktu yang sangat lama tidak mengubah apa
pun dan hanya melanjutkan apa yang sudah/sedang berjalan, dan malah
bersikeras untuk itu. Sistem sekolah yang merupakan wahana mobilitas
sosial dikendalikan agar struktur masyarakat asli tidak terganggu, yang
artinya juga menguntungkan kepentingan kolonial. Seorang penulis Belanda
abad ke-19 di bawah ini memperingatkan pemerintah agar merumuskan
kebijakan pendidikan dengan sangat hati-hati pada 1875—hanya delapan
tahun setelah Karl Marx menyelesaikan das Kapital.
Pergesekan dalam masyarakat, katanya, harus dihindari bahkan terutama
oleh sistem persekolahan yang memungkinkan mobilitas. Bila disentuh
prinsip untuk mendidik masyarakat bawah dan mengajarkannya hak manusia,
de regten van den mensch, demikian van Delden—dalam buku Blik op het
Indisch Staatsbestuur, Selayang Pandang Sistem Pemerintahan di
Hindia-Belanda—sambil mengajari kebebasan, persamaan dan persaudaraan
maka harus diperhatikan bahwa unsur demokratis diturunkan kelapis bawah,
yang dalam jangka panjang akanmenimbulkan perbenturan dengan
raja-rajanya,dan kekacauan—eene botsing met hare hoofdenen tot een
beroering—yang hanya bisa diatasi kalau pertama-tama anak-anak kelas
atas dididik dulu dengan baik.
Kebijakan harus jelas, yang berarti kalanganatas harus dididik
terdahulu untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Ini berarti
kaumbangsawan, kaum berharta harus dilindungi, mobilisasi kelas bawah
ditahan dan harus menunggu kematangan kelas atas; pemerintah kolonial
hanya bisa aman kalau struktur masyarakat itu tetap terjaga dan
terkendali.
Dengan latar semacam ini proklamasi kemerdekaan adalah revolusi besar.
Struktur yang berumur ratusan, malah ribuan tahun, diruntuh-kan dan
psikologi yang tidak pernah dikenal pada masa sebelumnya, kapan pun,
dibangkitkan dan hidup.
Namun, kemerdekaan harus diisi, dan lagi-lagi yang harus mengisinya
adalah para hartawan, orang kaya. Dalam satu kalimat seluruhyang disebut
sebagai Program Benteng tidak lain dari terlibatnya negara yang baru
merdeka itu dalam membuka harta, sumber daya, bagi para
hartawan—meskipun dengan embel-embel para hartawan boemipoetra dan bukan
kaum keturunan. Sejak itu hubungan atau malah ikatan pengelola negara
dan para hartawan hampir-hampir secara resmi dibuka.
Semuanya secara masif berpuncak pada masa Orde Baru yang tidak saja
membuka kemungkinan bagi orang kaya akan tetapi negara itusendiri
menjadi hartawan, dan hanya hartawan yang bisa/boleh menjadi pejabatnya.
Keduanya menjadi Yin dan Yang ketika siklusnya berputar-putar antara
hartawan dan negarawan, negarawan yang menjadi hartawan .
Nama tua, setua para filsuf Yunani kuno, menyebutnya sebagai plutokrasi
yang kini lebih populer sebagai oligarki. Alih-alih membawaperubahan,
demokrasi elektoral hasil reformasi justru memperkuat siklus hartawan
menjadipenguasa: politik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi
kekuasaan politik
___________________
Sumber : http://prismajurnal.com/issues.php?id={03F611ED-A504-2FCD-EAB0-DE3B047A8A4A}&bid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar