Aksara kesatuan ciptaan Achmad Narod. Foto: repro majalah Penelitian Sedjarah, Juni 1962.
Terpicu pidato Sukarno soal kepribadian nasional, seorang penulis menggagas aksara kesatuan.
OLEH: HENDARU TRI HANGGORO
Dibaca: 239 | Dimuat: 2 Oktober 2014
PERINGATAN hari
kemerdekaan tiba. Puluhan ribu orang berkumpul di sekitar Istana Negara
pada 17 Agustus 1959. Mereka mendengar pidato Sukarno berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita.” Salahsatu pokok pidatonya ajakan menggali
kembali kepribadian nasional di pelbagai bidang. Misalnya kebudayaan.
“Pemerintah akan melindungi Kebudayaan
Nasional, dan akan membantu berkembangnya Kebudayaan Nasional, tetapi
engkau pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme
kebudayaan, dan melindungi serta memperkembangkan Kebudayaan Nasional,”
kata Sukarno.
Menjawab pidato Sukarno, Achmad Narod
mengajukan gagasan menarik untuk bidang kebudayaan. Tak banyak
keterangan tentang latarbelakang Achmad Narod.Yang terang, dia
mencanangkan pembentukan aksara dan angka kesatuan nasional Indonesia
pada 1962. Dia menilai Indonesia bangsa besar; punya warisan adiluhung
berupa ragam aksara dari nenek moyang. Tapi tak ada usaha dari
pemerintah dan individumengarah ke pembentukan aksara kesatuan.
Kekayaan aksara Indonesia tak kalah oleh
Thailand, Burma (Myanmar), Laos, Kamboja, Korea, Jepang, atau Srilanka.
Mereka semua punya aksara nasional, sedangkan Indonesia tidak.Indonesia
sudah punya negara kesatuan dan satu bahasa kesatuan, tapi belum
kesampaian memiliki aksara kesatuan. Menurut Achmad Narod, ini
kekurangan besar bangsa Indonesia. Jika tak ada usaha pembentukan aksara
nasional, bahasa nasional bakal melemah.
“Bahasa dan aksara adalah seperti ruh
dan jasad. Bahasa akan menjadi sangat miskin dengan tiada ada aksara.
Bahasa yang tidak beraksara, pada hakikatnya adalah seperti dialek,”
tulis Achmad Naroddalam majalah Penelitian Sedjarah, Juni 1962.
Achmad Narod lantas menjalin beberapa
aksara Nusantara untuk menjadi aksara kesatuan. Antara lain aksara
Batak, Lampung, Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.Tambahan lain
berasal dari aksara Caka (Sunda, Jawa, dan Madura) dan Latin.Dari
penjalinan itu, dia mendapat 19 aksara. Dia mengklaim aksara-aksara itu
mudah dibaca. Bahkan untuk orang paling buta huruf latin sekalipun.Tapi
dia tetap mempertahankan nilai seni aksara itu.
Susunan dan bunyi aksara kesatuan
meliputi “DJA-GA-PA-DA-WA-NG-SA-A-TJA-RA-NJA-TA-MA-NA-KA-LA-BA-HA-JA”.
Aksara Makassar, “Dja” mengawali abjad kesatuan ini. Pengakhirnya
berasal dari aksara Batak, “Ja”. Ini penting sebagai simbol pengikat
seluruh wilayah Indonesia. “Inilah satu lambang dari Bhinneka Tunggal
Ika, terjalin dalam huruf kesatuan Indonesia,” tulis Achmad Narod.
Soal penerapannya, Achmad Narod menjamin
aksara kesatuan mampu menulis kata-kata bahasa asing. Ia juga sangat
aplikatif untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan. Demi kemudahan
dan kelancaran menulis, dia sengaja menghilangkan tanda-tanda
diakritik, yakni tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah
nilai fonetis huruf itu, misalnya tanda pada é. “Dalam huruf Indonesia
baru hanya mengenal tanda-tanda yang berada di akhir huruf (suffix).”
Achmad Narod berharap gagasannya beroleh
tempat di kalangan generasi muda. Tujuannya, “agar generasi yang akan
datang mempunyai satu potensi nasional yang kukuh.” Dia mengambil bangsa
Tiongkok sebagai contoh bangsa besar yang mempunyai satu aksara
nasional.
Tapi gagasan Achmad Narod menghilang tanpa jejak. Dalam nomor-nomor penerbitan berikutnya, majalah Penelitian Sedjarah
tak memuat tanggapan tentang gagasannya. Hingga sekarang, orang lebih
mengedepankan pelestarian dan penggunaan aksara daerah ketimbang
menggagas aksara nasional
_____________________
Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/budaya/1476/Majalah-Historia/Menggagas_Aksara_Kesatuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar