Sabtu, 31 Mei 2014

(Puisi) - Gang Sempit







suatu malam yang suntuk
sepulangku dari tempat jauh
setelah berbincang lama
dengan angin
kakiku melangkah
pada gang sempit
gerimis malam
semakin mencekam
dengan kiri-kanan tembok kokoh
seperti asing jalan ini
terhimpit pada sunyi
aku teringat hening
pada malam yang kudus
semua bagai tanda tanya
mengikuti langkah mata
hanya sebuah ingatan
yang terus ditelusiri
dari hari ke hari
sepanjang napas




Jaga Blengko, 31-5-14
Jack Phenomenon








Jumat, 30 Mei 2014

(Seluk Beluk Sastra) - "Yang Luput dari Penghargaan: Politik Penganugerahan Hadiah Nobel Sastra," oleh Benedict Anderson.




Rabu, 26 Juni 2013


"Yang Luput dari Penghargaan: Politik Penganugerahan Hadiah Nobel Sastra," oleh Benedict Anderson.


Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dengan persetujuan dan penyeliaan penulis dari “The Unrewarded: Notes on the Nobel Prize for Literature”, New Left Review 80, Maret-April 2013, hlm. 99-108. Tulisan ini merupakan perluasan dari Kata Pengantar buku Nor Faridah Abdul Manaf dan Mohammad Quayum (eds.), Imagined Communities Revisited: Critical Essays on Asia-Pacific Literatures and Cultures, Kuala Lumpur 2011.
Keputusan untuk menganugerahkan Hadiah Nobel Sastra 2012 kepada novelis Mo Yan dari Tiongkok sekali lagi menimbulkan pertanyaan menggelitik tentang pola-pola pendistribusian hadiah ini pada tataran global. Hampir di setiap negara, penganugerahan hadiah-hadiah sastra tentunya tak lepas dari politik nasional, formasi klik-klik sastrawan, keyakinan religius, prasangka rasial, standar ganda, dan ideologi-ideologi zaman ini dan itu. Apakah ini alasannya, mengapa selama lebih dari 110 tahun pengumuman pemenang Hadiah Nobel Sastra, penerimanya tak pernah ada yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara—padahal setiap kawasan besar lainnya sudah mendapat giliran?
Sejarah pembagian Hadiah ini bisa dibagi tiga: era dominasi dunia oleh negara-negara kuat di Eropa Barat, era Perang Dingin, dan era globalisasi kontemporer. Selama periode pertama, antara 1901-1939, hampir semua hadiahnya dimenangkan oleh penulis dari Eropa Barat, dengan urutan sebagai berikut: enam dari Perancis; lima dari Jerman; dan masing-masing tiga untuk Swedia, Italia, Norwegia, dan AS. Inggris, Spanyol, Polandia, Irlandia, dan Denmark masing-masing dapat dua, lalu para perwakilan tunggal dari Belgia, Finlandia, Rusia, Swiss, dan India (lihat Tabel 1). Pilih kasih kedaerahan kentara jelas waktu itu—para penulis Skandinavia menerima sepertiga dari total hadiah yang diberikan, padahal di antara mereka hanya Knut Hamsun dari Norwegia yang bisa dibilang penulis kelas dunia. Rabindranath Tagore dari India (kolonial) adalah keganjilan menarik. Ia satu-satunya pemenang (pada 1913) yang pernah mewakili negara jajahan, dan tetap “bintang” tunggal Asia hingga 1968, saat Yasunari Kawabata dari Jepang berhasil meraihnya. Para penulis Amerika baru mulai menang pada masa 1930an yang penuh gejolak, dua di antaranya sesudah Hitler berkuasa, dan mutu mereka sesungguhnya rada kacangan. Pada saat yang sama, ada satu negara penting di Eropa yang secara blak-blakan didiskriminasi, yakni Rusia/Uni Soviet. Sebelum revolusi Lenin, diskriminasi ini dikarenakan persaingan turun temurun dan ketidaksukaan Swedia terhadap Rusia imperial; pasca 1919, komunisme yang jadi faktor penentunya. Tak syak lagi, satu-satunya pemenang dari era itu yang orang Rusia, Ivan Bunin, hidup dalam pengasingan di Paris. Pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Tsar, si begawan gaek Leo Tolstoy diabaikan, mungkin gara-gara pendirian politik “anarkis”-nya yang radikal, begitu pula Anton Chekhov dan penyair Aleksandr Blok. Nantinya, dramawan besar Mikhail Bulgakov, para penyair Vladimir Mayakovsky dan Osip Mandelstam, serta para novelis Maxim Gorky, Leonid Andreev, dan Yevgeny Zamyatin semuanya dilewati.


Komite Nobel berisikan 5 anggota dari 18 orang yang duduk di Akademi Swedia, sebuah lembaga bentukan kerajaan Swedia yang anggotanya menjabat seumur hidup. Akademi ini bersifat self-perpetuating atau berkelanjutan dalam memilih anggota pengganti, dengan tugas utama memperkaya “kemurnian, kebugaran, dan keelokan” bahasa Swedia. Komite menyiapkan daftar pendek yang didapat dari pencalonan oleh ahli-ahli terkait dan badan-badan sastra pro­fesional seluruh dunia, serta dari Akademi sendiri dan para penerimanya yang masih hidup, yang akhirnya diputuskan melalui suara terbanyak oleh ke-18 anggota tadi dalam rapat pleno. Maka tidak mengejutkan apabila selera sastra Akademi umumnya konservatif. Para anggotanya tidak doyan para penyair Surealis atau kaum modernis eksperimental seperti Marcel Proust, James Joyce, Robert Musil, Bertolt Brecht, Rainer Maria Rilke, Constantine Cavafy, Walter Benjamin, Joseph Roth, Virginia Woolf, Federico García Lorca, atau dramawan “mengejutkan” August Strindberg dari Swedia sendiri.[1] Dedikasi Nobel sebagaimana tertuang dalam wasiatnya yang diperuntukkan bagi karya yang “ideal” atau berkecenderungan “idealistik” menggugurkan sebagian dari para penulis ini, juga para penulis lainnya seperti Henrik Ibsen atau Emile Zola, Thomas Hardy, D.H. Lawrence atau Theodore Dreiser—dan pada saat yang sama turut membentuk salah satu genre paling medioker dalam kesusastraan abad ke-20, yakni Nobel citation atau pemerian alasan pemberian hadiah itu sendiri, dengan humanisme hambar yang diciptakan dari gunungan klise yang bakal menodai lembaran sastra koran kampung sekalipun yang tahu menjaga harga diri. Selain itu, perlu disadari juga bahwa pada tahun-tahun itu kemampuan berbahasa Komite cukup terbatas, dan terjemahan karya-karya sastra dari bahasa-bahasa non-Eropa sangatlah sedikit. Kendala struktural ini bisa menjelaskan dengan gamblang mengapa Tiongkok (Lu Hsün misalnya, atau Lu Ling) dan Jepang (Natsume Soseki, Ryonosuke Akutagawa, Junichiro Tanizaki) tidak menjadi kandidat penerima hadiah ini.
Era Perang Dingin menunjukkan pola-pola yang cukup berbeda. Tak ada hadiah yang diberikan selama 1940-1943, tahun-tahun genting Perang Dunia II. Namun sejak 1944 dst, Komite tak syak lagi dipengaruhi oleh runtuhnya imperialisme Eropa dan persaingan perebutan pengaruh antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di dunia, yang membelah Eropa ke dalam dua blok yang saling berseteru. Negara-negara koloni bisa diabaikan, namun negara-negara bangsa merdeka yang baru, yang duduk di Majelis Umum PBB, tidak bisa diperlakukan begitu. Harga diri Eropa dalam hal superioritas budaya yang mengungguli si “ndeso” Amerika Serikat, dalam era baru kemunduran ekonomi-politiknya sendiri ini, mendorong lonjakan hasrat —terutama di London dan Paris—akan penerjemahan dan penerbitan karya-karya sastra penting dari luar Eropa. Sementara itu sikap dan pandangan Swedia sendiri cukup berbeda dari masa sebelum Perang Dunia II. Negeri ini tetap netral di antara kekuatan sekutu dan fasis, padahal Denmark dan Norwegia diduduki oleh tentara Nazi, dan netralitas ini menuai cemooh dari negara-negara Sekutu pemenang perang tahun 1945. Kengerian yang diperbuat rezim Hitler atas nama rasisme dan superioritas Arya dengan telak merontokkan prestise nasionalisme sayap kanan (termasuk sastra sayap kanan) di seluruh Eropa. Sepanjang masa Perang Dingin, Swedia menata ulang netralitasnya dengan cara-cara baru yang penting. Negara itu mengembangkan masyarakat sosial-demokrasi paling maju di dunia dan mencoba menyajikan diri sebagai alternatif ketiga di antara kapitalisme Amerika yang ganas dan sosialisme-negara Soviet yang menindas. Mendekati negara-negara “Dunia Ketiga” adalah cara bagus buat Swedia untuk membangun reputasi barunya sebagai negara kiri moderat yang cinta damai, yang produktif dalam meraih jabatan-jabatan tinggi di PBB.
Antara 1944 hingga 1991, lima puluh Hadiah Nobel Sastra diberikan dengan persebaran yang cukup berbeda dari era sebelumnya. Bila lima belas negara yang memenangkan hadiah ini antara 1901 hingga 1939, dua puluh delapan yang berhasil meraihnya semasa Perang Dingin. Perancis, dengan enam pemenang (meski Sartre menolaknya) masih tetap nomor satu, tapi tipis. Berikutnya AS dengan lima pemenang, Inggris dan Uni Soviet masing-masing empat; Swedia, Jerman, dan Spanyol tiga; Italia, Cile, dan Yunani masing-masing dua. Yang cuma menang sekali berasal dari Polandia, Denmark, Irlandia, Eslandia, Yugoslavia, Israel, Guatemala, Jepang, Australia, Bulgaria, Kolombia, Cekoslowakia, Nigeria, Mesir, Meksiko, dan Afrika Selatan. Dalam daftar ini bisa kita lihat bahwa blok Skandinavia sebelum Perang Dunia II anjlok drastis.
Di sisi lain, pandangan Stockholm kini meluas ke Asia Timur, Timur Tengah, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, dan Australia—hanya Asia Tenggara yang masih tak dilirik. Arah politik Komite telah berubah dalam beberapa hal penting. Hal pertama yang bisa kita cermati adalah diskriminasi terhadap penulis-penulis sayap kanan, misalnya: Louis-Ferdinand Céline dan André Malraux di Perancis, Jorge Luis Borges di Argentina, Mario Vargas Llosa (diampuni baru pada 2010), Evelyn Waugh dan Anthony Powell. Perkecualian yang konyol adalah Winston Churchill. Di sisi lain, kiri-kiri independen macam Jean-Paul Sartre, atau bahkan komunis seperti Pablo Neruda oke-oke saja, asalkan mereka tidak berasal dari Soviet atau RRT. Mikhail Sholokhov kasus tersendiri, dihadiahi persis sesudah masa-masa Khrushchev yang relatif melunak, sementara ketiga pemenang lainnya yang dari Rusia adalah pembangkang dan/atau pelarian.
Perubahan besar lainnya adalah status komparatif antar bahasa. Sebelum Perang Dunia II, Jerman, Perancis, dan Inggris adalah bahasa-bahasa prestisius dalam kehidupan nyata maupun dalam “sastra dunia”. Namun sesudah 1945, Jerman terbelah dua dan Jermanfobi merebak di mana-mana. Wibawa linguistik Perancis merosot perlahan-lahan. “Inggris” dalam berbagai bentuknya merajalela sebagai hegemon dunia. Sungguh berandang bahwa meski Perancis tetap menjadi peraih hadiah terbanyak, tak satu pun pemenangnya berasal dari bekas imperium Perancis di seberang lautan seperti Indocina, Afrika Barat, Maghreb, atau Karibia. Di sisi lain, negara-negara dominion Inggris dan bekas koloninya melaju mulus: Patrick White untuk Australia, Samuel Beckett dan kemudian Seamus Heaney untuk Irlandia, Wole Soyinka untuk Nigeria, Nadine Gordimer (dan kemudian J.M. Coetzee) untuk Afrika Selatan dan terakhir Derek Walcott untuk Hindia Barat (Saint Lucia). Para penulis yang melarikan diri atau bermigrasi ke AS dan Inggris juga menulis dalam bahasa Inggris—Czeław Miłosz, yang sudah menyeberang ke Barat 30 tahun sebelum menerima Nobel; Joseph Brodsky; Elias Canetti, yang meninggalkan Bulgaria menuju Inggris pada umur 6 tahun; dst. Namun demikian, yang masih berlanjut dari era sebelumnya adalah dilupakannya atau diabaikannya para penulis dari banyak negara yang sangat dikagumi oleh para kritikus zaman sekarang, misalnya: Kobo Abe dari Jepang, Vladimir Nabokov dan Anna Akhmatova dari Rusia, W.H. Auden yang Inggris-Amerika dan Graham Greene dari Inggris.
Dalam hampir seperempat abad sesudah era Perang Dingin, kita bisa melihat beberapa kebaruan menarik. Pertama, tumbangnya otoritas Perancis (cuma satu hadiah), hegemoni Amerika (satu hadiah), prestise Rusia (tanpa hadiah). Para juara adalah orang Hindia Barat yang berbahasa Inggris, Amerika, Jepang, Polandia, Italia, Portugis, Hungaria, Afrika Selatan, Austria, Turki, Irlandia, Perancis, Peru dan ... Swedia. Perkecualiannya adalah Jerman bangkit lagi (dua hadiah: Günter Grass dan Herta Müller, meski bukan Hans Magnus Enzensberger) serta Tiongkok (dua hadiah juga: Mo Yan dan Gao Xingjian—meski Gao yang menang pada 2000 sudah menetap di Perancis sejak akhir 1980an). Inggris unggul dengan tiga hadiah—tapi dari para pemenang Inggris ini, hanya Harold Pinter yang asli Inggris, sementara V. S. Naipaul berasal dari Hindia Barat dan Doris Lessing besar di Rhodesia.
Satu yang Lain Sendiri
Lalu Asia Tenggara? Secara struktur, kawasan ini luar biasa beraneka—tak ada bahasa dominan, tak ada kepaduan religius, tak ada hegemon politik. Pada era kolonial, bagian-bagian Asia Tenggara dikuasai oleh imperialis Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, Portugis, dan Amerika. Gabriel García Márquez bisa dianggap mewakili Amerika Tengah dan Selatan yang Katolik dan berbahasa Spanyol, Walcott untuk Karibia (bekas-Inggris), Tagore untuk Asia Selatan (bekas-Inggris), Naguib Mahfouz untuk Timur Tengah Muslim, Soyinka untuk Afrika (di mana imperialisme Inggris yang paling digdaya) dan barangkali Orhan Pamuk untuk Turki-yang-ngebet-masuk-Eropa. Tapi tak ada penulis Asia Tenggara yang bisa menjadi simbol dari kawasan ini secara keseluruhan. Selama Perang Dingin, Asia Tenggara tercabik-cabik dalam pengertian ideologis dan militer. Hampir semua negara di sana mengalami periode panjang konflik bersenjata antara kubu komunis dan anti-komunis—membuahkan kediktatoran militer atau kediktatoran sayap kanan di Filipina, Thailand, Indonesia, Singapura, dan Birma, serta tiga negara komunis yang berhasil di Indocina.
Terjadi juga proses hilangnya “bahasa besar” secara mencolok di kawasan ini sepanjang abad ke-20. AS memastikan agar bahasa Spanyol lenyap di sebagian besar Filipina, Indonesia dengan lekas membuang bahasa Belanda, Birma di bawah rezim militer menyingkirkan bahasa Inggris, dan Indocina meminggirkan bahasa Perancis selama dua generasi. Kontras dengan Afrika sangat mencolok: sebagian besar bekas negara jajahan di benua itu melanjutkan pemakaian bahasa kolonial sebagai bahasa negara, sekalipun bila mereka menggencarkan bahasa-bahasa daerah sebagai lambang nasionalisme tertentu. Atas alasan ini, para penulis Asia Tenggara jadi tidak bisa memiliki sekutu yang energik di Eropa, di belahan bumi Barat, atau bahkan di dunia Islam. Satu kejanggalan pamungkas yang perlu dicatat: Indonesia, negara-bangsa terbesar di Asia Tenggara, dijajah oleh Belanda, kekuatan imperialis paling kecil dan paling tak penting di Eropa, yang bahasanya hanya digunakan oleh warganya sendiri. Lebih parah lagi, atau malah bagus, Belanda tak pernah sekalipun menang Nobel, yang mendudukkan negeri itu sejajar dengan para pecundang akut Eropa lainnya, Albania dan Rumania (kalau kita anggap Canetti mewakili Bulgaria). Maka Den Haag juga tak berada dalam posisi untuk melobi kuat-kuat buat Indonesia, bahkan sekalipun jika mereka mau begitu.
Kita bisa menduga bahwa kuasa-kuasa kolonial besar akan mendukung para penulis dari bekas wilayah kekuasaan mereka. Tapi Paris lebih tertarik pada negara-negara bekas federasi Afrika Barat Perancis, Maghreb, serta Karibia yang masih berbahasa Perancis ketimbang Vietnam nun jauh di sana yang telah mengalahkan Perancis dalam perang pembebasan yang panjang dan mematikan. AS, selalu dengan perasaan inferioritas budaya terhadap Eropa, lebih memilih mengklaim para pelarian pemenang Nobel yang telah mengambil kewarganegaraan AS sebagai “penulis Amrik” (Miłosz dari Polandia, Brodsky dari Rusia), meski kewibawaan sastra mereka sudah sangat menjulang sebelum pindah ke sana. Dengan demikian Filipina sama sekali diabaikan atau disepelekan, sekalipun bahasa dominannya adalah “Inggris versi Amerika”. London punya banyak opsi lain akibat besaran dan jangkauan imperiumnya dulu—banyak negara eks-dominion (Australia, Afrika Selatan, Kanada, Selandia Baru) begitu pula tempat-tempat seperti Nigeria, Ghana, India, Karibia, Pakistan, dll.—sehingga Malaysia dan Singapura, yang mempertahankan Inggris sebagai bahasa negara, tidak dipandang penting.
Bagaimana dengan dampak nasionalisasi bahasa di Asia Tenggara? Sebagian besar nasionalisasi ini dilaksanakan untuk mencapai solidaritas nasional, namun keputusan bahasa manakah yang harus menjadi “bahasa nasional” hampir selalu berdampak menguntungkan kelompok-kelompok linguistik-demografik-politik tertentu. Orang Birma dan Vietnam punya banyak klaim —jumlah mereka, kepadatan geografis, pendidikan yang lebih tinggi, kuasa politik—sehingga keputusan untuk menasionalkan bahasa Birma dan bahasa Vietnam adalah “keniscayaan alamiah”, bahkan sekalipun itu berarti memarjinalisasi banyak “kelompok minoritas”. Sementara Bangkok tak punya dominasi “alamiah” macam itu, sehingga pemaksaan bahasa “Thai Bangkok” hanya bisa dicapai lewat sarana yang otoriter. Pada akhir kolonisasi Amerika, kelompok linguistik terbesar di Filipina mengucapkan pelbagai dialek Cebuano, tapi bahasa Tagalog, yang dituturkan oleh orang-orang di ibukota atau wilayah sekitarnya, harus dipaksakan lewat koersi, dengan hasil campur-campur. Penentangan datang dari banyak pihak, baik yang mendukung Cebuano atau Inggris versi Amerika sebagai lingua franca. Di Malaysia, bahasa Melayu juga harus diterapkan paksa oleh orang-orang Melayu yang dominan secara politik, namun ditentang oleh orang Tionghoa, India, dan orang-orang “Kalimantan Utara” yang bercakap entah dalam bahasa aslinya sendiri yang asing (Tionghoa, India) atau lingua franca (Inggris).
Satu-satunya negara yang mencapai sebuah bahasa nasional tanpa tentangan dan yang sekaligus juga merupakan lingua franca adalah Indonesia. Dalam sastra, sulit untuk menemukan penulis penting Indonesia yang tidak secara otomatis memakai bahasa Indonesia ini, sekalipun dengan infleksi-infleksi lokal. Bahasa ini tidak menguntungkan kelompok tertentu. Karena itulah dalam jajaran sastra nasional terdapat aneka ragam etnis: Kwee Thiam Tjing (Tionghoa Hokkian), Iwan Simatupang (Batak Toba), Chairil Anwar (Minang Medan), Amir Hamzah (Melayu), Pramoedya Ananta Toer (Jawa), Eka Kurniawan (Sunda), Putu Wijaya (Bali) dst. Dari pengalaman saya yang terbatas, saya yakin dalam hal sastra Indonesia adalah negeri paling kreatif di Asia Tenggara persis karena ia telah membaurkan lingua franca dengan bahasa nasional dalam sebuah cara yang tidak memaksa. Sebaliknya, pemaksaan koersif (oleh para politisi dan birokrat yang picik) justru mendorong semacam neo-tradisionalisme yang bodoh serta penolakan mentah-mentah. Karenanya kelompok-kelompok minoritas yang penting justru memilih menulis dalam bahasa Inggris, dengan maksud menolak neo-tradisionalisme, namun juga untuk mencapai pemirsa internasional yang barangkali mau menerimanya.
Tapi nasionalisasi macam apapun berarti juga sejenis keterpencilan. Tak satu pun bahasa nasional di Asia Tenggara punya aura transnasional. Sistem global membentuk sebuah kepastian bahwa bahasa Birma, Vietnam, Lao, Thai, Khmer, Tagalog, bahkan Melayu hanya diperuntukkan buat “penutur” lokal saja. Bahkan dalam kasus bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, yang masih sepupu dekat, orang Indonesia jarang membaca sastra Melayu —yang mereka anggap udik dan kuno, serta berbau “etnik”—sementara orang Melayu Malaysia cenderung menganggap bahasa Indonesianya orang Indonesia sebagai gado-gado semrawut dari banyak bahasa. Jadi sepertinya tak mungkin ada bahu-membahu dalam menghadapi Stockholm. Keterpencilan juga berarti bahwa peluang memperoleh Hadiah Nobel membutuhkan penerjemahan ke “bahasa besar” yang bisa dicerna orang-orang Swedia itu. Namun elite-elite nasionalis picik yang berkuasa umumnya tidak membaca karya sastra yang bagus, dan jarang berpikir untuk melatih penerjemah-penerjemah yang benar-benar bagus. Penerjemahan bukan dipahami sebagai seni, namun semata-mata teknik. Satu alasan mengapa penulis-penulis besar Amerika Latin bisa mendapat Hadiah Nobel adalah adanya sekelompok penerjemah dwibahasa (Spanyol-Inggris) profesional kelas wahid yang dihormati secara luas. Asia Tenggara, sebagai sebuah kawasan, dan sebagai sekelompok negara yang berdiri sendiri-sendiri, tak memiliki yang seperti ini.
Para Penantang
Pernahkah ada kandidat yang mungkin meraih Nobel Sastra dari Asia Tenggara? Saya tak kompeten untuk mengurai sampai tuntas persoalan ini. Pahlawan nasional Filipina, José Rizal—jelas tokoh sastra terbesar yang dihasilkan negerinya—dihukum mati oleh orang Spanyol pada 1896, lima tahun sebelum Hadiah Nobel mulai dianugerahkan. Andai ia hidup sampai umur 60-an, akankah ia punya kesempatan? Saya kira tidak, sekalipun ia menulis dalam salah satu bahasa “penting”, sebab tak ada penulis anti-imperialis serius dari koloni manapun yang bisa diterima sampai sesudah Perang Dunia II (Hadiah Nobel hanya diberikan kepada penulis yang masih hidup). Puisi-puisi tasawuf Islam yang menakjubkan gubahan aristokrat Melayu Medan Amir Hamzah pada 1930an tak bakal dianggap serius di Stockholm, dan ia kelewat cepat “pergi”, dibunuh oleh begundal-begundal “revolusioner” setahun sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karyanya amat sulit diterjemahkan, tak kurang karena kecondongan religiusnya, dan sejauh yang saya tahu, belum pernah diterjemahkan secara profesional. Baik negara kolonial Belanda maupun Republik Indonesia juga tidak begitu mengindahkannya. Namun masuk akal untuk mengangankan bahwa andai diterjemahkan dengan jitu ke dalam bahasa Perancis atau Inggris, secara prinsipil puisi-puisinya mungkin untuk jadi pemenang pada era pasca-Perang Dingin—andai saja ia masih hidup.
“Kemungkinan” terakhir jelas Pramoedya Ananta Toer, yang namanya mulai diajukan oleh para pendukungnya di Eropa sejak 1980an. Tak ada yang bakal membantah fakta bahwa Pramoedya jelas prosais terbesar dalam bahasa Indonesia, dengan curahan karya yang menakjubkan (nov­el, cerpen, drama, dan esai-esai kritik sastra) selama lebih dari 40 tahun, kasarnya 1948–1988. Bila kita mencoba mencari penjelasan mengapa ia berulang kali dilewati oleh Komite Stockholm, ada sejumlah argumen yang bisa diajukan. Pertama dan terutama adalah sikap politiknya sebagai aktivis revolusi kemerdekaan Indonesia, dan kemudian sebagai aktivis kiri independen yang menulis terutama dalam alur realisme sosialis. Pada awal 1960an, ia menyerang secara konstan sesama penulis dan cendekiawan Indonesia yang berhaluan konservatif dan liberal atas arah politik mereka yang reaksioner serta keterikatan mereka pada Barat. Sejumlah tulisannya dengan lekas diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Rusia, serta beberapa bahasa yang lebih sedikit penuturnya di Eropa Timur dan unsur-unsur non-Rusia dalam Uni Soviet. Bahkan sekalipun bila saat itu ia telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, ia takkan pernah diterima oleh Stockholm, tak kurang karena Partai Komunis Indonesia (yang Pramoedya sendiri sebenarnya bukan anggotanya) adalah partai komunis terbesar di luar blok Komunis.
Kita bisa mengira peluang Pramoedya meningkat pada 1980, karena ia menghabiskan tahun-tahun 1966 hingga 1979 di penjara-pulau bikinan kediktatoran Soeharto sesudah pembantaian besar-besaran atas orang komunis dan yang dituduh komunis pada 1965–1966. Terlebih lagi, bahwa ia berhasil menulis novel-novel “tetralogi Buru” yang terkenal itu semasa berada di kamp konsentrasi Pulau Buru yang terpencil. Malahan, semua karyanya dicekal selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, dan sampai sekarang pun pelarangan ini belum secara resmi dicabut, sekalipun juga sudah jarang ditegakkan. Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada pemenang Nobel yang menghabiskan waktu begitu lama di penjara (tanpa pernah diadili). Kemungkinan juga Pramoedya tak direpresentasikan dengan baik oleh kawan-kawan lamanya, yang memutuskan menerbitkan terjemahan Inggris yang tergesa-gesa atas tetralogi Buru, terutama demi maksud-maksud politik dan HAM, hasil kerja seorang aktivis Australia yang tak begitu mumpuni untuk menggarap tugas itu. Gaya prosa Pramoedya tak seperti penulis Indonesia manapun, dan humor gelapnya sangatlah sulit dialihkan ke bahasa Inggris. Terlebih lagi, tulisan-tulisan terbaiknya —kumpulan cerpen-cerpen dahsyatnya dari tahun 1950an—masih banyak yang belum diterjemahkan. Sesudah berakhirnya Perang Dingin, ia memenangkan Hadiah Magsaysay (1995) dan Hadiah Fukuoka (2000), namun kedua penghargaan ini disambut dengan permusuhan sengit oleh kelas berkuasa Indonesia serta banyak dari littérateurs dan kaum intelektualnya yang anti-komunis. Baru sesudah wafat ia diterima sebagai penulis modern terbesar di negerinya. Telat sudah bagi Stockholm...



[1] Perasaan orang umum di Swedia sendiri bertabrakan telak dengan Akademi, dan pada 1912 Strindberg dianugerahi hadiah yang nantinya dikenal sebagai Anti-Nobel Prize. Sejumlah 50.000 kronor berhasil digalang melalui sumbangan publik ala kadarnya untuk menghormati sang dramawan, seorang anarkis bersemangat yang pada 1884 merancang rencana untuk membunuh raja. Hadiah dipersembahkan oleh pemimpin Sosial Demokrasi Swedia, Hjalmar Branting, dengan suatu arak-arakan buruh besar-besaran sambil diterangi nyala obor untuk memperingati ulang tahun ke-60 Strindberg. (Baca Strindberg’s Letters, vol. 2, diedit dan diterjemahkan oleh Michael Robinson, London 1992, hlm. 790.)




____________________

Sumber : http://sastraalibi.blogspot.com/2013/06/yang-luput-dari-penghargaan-politik.html?m=1

Kamis, 29 Mei 2014

(Seluk Beluk Sastra) - New Criticism






BAB III
NEW CRITICISM




New criticism merupakan aliran kritik sastra di Amerika Serikat yang berkembang antara tahun 1920-1960. Istilah new criticism pertama kali dikemukakan oleh John Crowe Ransom dalam bukunya The New Criticism (1940) dan ditopang oleh I.A. Richard dan T.S. Eliot. Sejak Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren menerbitkan buku Understanding Poetry (1938), model kritik sastra ini mendapat perhatian yang luas di kalangan akademisi dan pelajar Amerika selama dua dekade. Penulis new criticism lainnya yang penting adalah: Allen Tate, R.P. Blackmur, dan William K. Wimsatt, Jr. (Abrams, 1981: 109-110). Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra sebelumnya yang terlalu fokus pada aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang serta sejarah sastra. Para new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Manurut mereka, ilmu tidak memadai dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra dan terutama puisi merupakan suatu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat pengalaman. Tugas kritik sastra adalah memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang ditawarkan kepada kita oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988: 52-54).

Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat karya itu diselesaikan. Hanya dengan menganalisis susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. Menurut T.S. Eliot, sebuah puisi pertama-tama adalah puisi, bukan sesuatu yang lain, suatu objek yang otonom dan lengkap.

Para new criticism menganggap berbagai model kritik yang berorientasi kepada aspek-aspek di luar karya sastra sebagai suatu kesalahan besar. Orientasi kepada maksud pengarang disebut sebagai suatu penalaran yang sesat. Makna sebuah puisi juga jangan dikacaukan dengan kesan yang diperoleh pembaca karena kita dapat terjerumus dalam struktur sintaksis dan semantiknya. Untuk mengetahui arti itu kita harus mempergunakan pengetahuan kita mengenai bahasa dan sastra. Sejauh hidup pengarangnya dapat dipergunakan sejauh dapat menerangkan makna kata kata khusus yang dipergunakan dalam karyanya. Selain itu, pemahaman terhadap konteks penggunaan bahasa sangat ditekankan.

Menurut mereka, komponen dasar karya sastra, baik lirik, naratif, maupun dramatik adalah kata-kata, citraan/imagi, dan simbol-simbol, bukan watak, pemikiran ataupun plot. Elemen-elemen linguistik ini sudah diorganisasikan di seputar sebuah tema sentral dan mengandung tensi atau maksud, ironi dan paradoks dalam strukturnya yang merupakan muara pertemuan berbagai impuls dan kekuatan yang berlawanan. Pandangan-pandangan kaun new critics, bagaimanapun tetap berguna karena mermpertajam pengertian kita terhadap puisi yang terkadang sukar dipahami. Meskipun demikian, pendangan mereka terlalu mengutamakan puisi daripada jenis sastra lainnya menyebabkan teori sastra mereka dipandang kurang utuh. Mereka juga menyadari bahwa tidak hanya the words on the page yang mengemudikan tafsiran mereka melainkan juga cita-cita dan praduga-praduga mereka telah ikut berperan di dalamnya (Van Luxemburg dkk. 1986: 54).

Cara Kerja New Criticism


Kendati pemikir dan praktisi new criticism banyak, dan diantara mereka pasti ada silang pendapat, pada hakikatnya cara kerja mereka sama, yaitu:
 

1. Close reading
 

Yakni mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetailkalau perlu baris demi baris, kata demi kata, dan kalau perlu sampai ke akarakar katanya. Tanpa close reading, bagian-bagian kecil puisi munkin akan terlepas dari pengamatan, padahal, semua bagian, sekecil apa pun, akan merupakan bagian yang tidak munkin dipisahkan dari puisi yang wellwrought. Begitu sebuah detail puisi ditemukan tidak mempunyai makna dan tidak mempunyai fungsi, maka mutu estetika puisi ini tidak mungkin dijamin.

2. Empiris


Yakni penekanan analisis, ada observasi, bukan pada teori. Tokohtokoh new criticism memang pernah menyatakan bahwa new criticism adalah sebuah teori satra, namun karena new criticism mempunyai cara kerja sistematis sebagiamana halnya para teori-teori satra lain, maka new criticism mau tidak mau diakui sebagai sebuah teori sastra. Dalam sejarah teori dan kritik sastra, new criticism selalu menempati urutan pertama.

3. Otonomi
 

a. Karya satra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada unsur-unsur lain, termasuk kepada penyair/penulisnya sendiri
 

b. Kajian satra adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada kajian-kajian lain, seperti sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan sebagainya.

Otonomi merupakan ciri khas mutlak kajian inrinsik. Kendati teori-teori berikut tidak tertutup kemungkinan untuk mempertimbangkan unsur ekstrinsik karya sastra, setiap kajian tidak mungkin lepas dari nilai-nilai intrinsik karya sastra itu sendiri. Karena itulah, new criticism tetap hidup, masuk ke berbagai teori lain, kendati secara resmisudah tutup buku pada tahun 1960-an.


Salah satu pengaruh new criticism pada teori sastra dapat dilihat misalnya pada formalisme rusia dan strukturalisme. Kedua teori ini mengambil gagasan otonomi new criticism kendati salah satu ciri penting strukturalisme adalah kajian-kajian ekstrinsiknya. Meskipun demikian, dapat diperkirakan dengan tepat bahwa tanpa rintisan new criticism maka formalisme rusia dan strukturalisme akan lahir terlambat, dan mungkin pula akan berbeda dengan formalisme rusia dan struktualisme sekarang.

4. Concreteness


Apabila karya sastra dibaca, maka karya satra menjadi concrete atau hidup. Dalam sajak penyair romantik jhon keats, “ode to melancholy”, misalnya, baris then glut thy sorrow on a morning terasa benar-benar hidup. Kata glut menimbulkan kesan kerakusan yang benar-benar concrete. Sebagaimana halnya konsep otonomi, maka concreteness new criticism juga diambil oleh formalisme Rusia dan strukturalisme.

5. Bentuk (form)


Titik berat kajian new criticism adalah bentuk (form) karya sastra, yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata), imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Bagi new criticism, bentuk karya sastra menentukan isi karya sastra. Karena bentuk memegang peran penting, maka titik berat perhaitan new criticism adalah konotasi, bukan denotasi. Makna denotatif kursi, misalnya, adalah kursi, sedangkan makna konotatifnya mungkin kedudukan atau kekuasaan. Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin mempunyai makna rebutan atau kekuasaan, dan sama sekali bukan rebutan tempat duduk. Konotasi,dengan demikian, memberi uang kepada metafora, simbol, dan lainlain di luar makna harfiah sebuah kata, rangkaian kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna denotatif rakus, dapat mempunyai makna lain sesuai dengan konteksnya dalam rangkaian kata atau kalimat tertentu. Puisi, memang, tidak lain adalah sebuah dunia metafora. Titik berat kajian new criticism pada bentuk (form) akhirnya juga dipergunakan oleh formalisme rusia dan strukturalisme. Istilah form mengacu pada bentuk, dan bentukkarya sastra itu pulalah yang menjadi salah satu titik penting formalisme yang pertama tidak lain adalah new criticism kendati new criticism tidak menamakan diri dengan istilah form. Struktur dalam strukturalisme juga tidak dapat memisahkan diri dari makna form, salah satu titik berat strukturalisme.

6. Diksi (pilihan kata)


Wafat, mangkat, meninggal, mati pada hakikatnya mempunyai makna sama, namun mana kata yang akan dipilih oleh penyair/penulis tergantung dari penyair/penulisnya sendiri.

7. Tone (nada),


Yakni sikap penyair, penulis, narator, atau aku lirik terhadap (a) diri sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri sendiri terhadap lawan bicaranya. Kalimat apakah benarayah saudara kemarin meninggal? Menunjukkan bahwa pambicaranya tidak menanggap dirinya lebih tinggi daripada yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Kalau kalimat ini diganti menjadi apa betul ayahmu kemarin mampus? Akan tampak bahwa pembicara merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Makna harfiah dua kalimat ini sebetulnya sama, namun karena diksi atau pilihan katanya berbeda, maka tone atau nadanya juga berbeda. Dari diksi tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi. Dengan adanya pilihan kata yang berbeda, cara berbicaranya pun tentu berbeda.

8. Metafor

 
Yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya. 


“Hamidah adalah bunga mawar.”
(Hamidah bukan bunga mawar, namun cantik dan anggun bagaikan bunga mawar).

9. Simile, 

 
Yakni perbandingan objek satu dengan objek lain dengan penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya.
“Hamidah cantik bagaikan bunga mawar.”

10. Onomatopea / peniruan bunyi


“Terdengar ketepak-ketepok langkah kaki kuda”

11. Paradoks

 
Paradoks adalah lawan atau kebalikan sesuatu, antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir. Kalau seseorang naik taksi dan taksinya berjalan terlalu cepat, si penumpang dapat berkata kepada sopir: 


“Alangkah baiknya apabila lebih cepat lagi,”
Maksud penumpang adalah “kurangilah laju taksi”.
 

Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi. Namun, paradoks tidak selamanya untuk menyindir, sebagaimana yang tampak pada kata-kata juliet dalam drama tragedi William Shakesspeare, Romeo and Juliet, ketika dia berjumpa dengan romeo untuk pertama kali:
“Karena para santo punya tangan yang para peziarah menyentuhnya. Dan telapak tangan terhadap telapak tangan adalah ciuman sakral telapak-telapak tangan”


Paradoks yang baik dalam sebuah karya sastra yang baik biasanya menimbulkan gema pada pikiran para penyair atau pengarang lain. Misalnya paradoks William Shakepeare yang dua abad kemudian masuk dengan versi berbeda ke dalam puisi Coleridge, penyair Romantik pada abad ke sembilan belas. Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti moto kendati maknanya mungkin bukan sekadar moto, seperti yang tampak dalam puisi John Donne “Kanonisasi”: 


“Dia yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu dan yanf terakhir akan menjadi yang pertama.”

12. Ironi
 

Segala sesuatu dalam ironi mempunyai makna berlawanan dengan makna sesungguhnya atau makna denotasi.
 

a. Ironi verbal: lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan sesungguhnya. Kalimat “Wah, kamu cantik sekali” sebetulnya merupakan alat untuk menyampaikan maksud sebenarnya, yaitu “Kamu buruk rupa”. Ironi ini dinamakan verbal karena pembicara hanya mempergunakan kata-kata tertenu untuk menyampaikan maksud yang
sesungguhnya. Dengan sendirinya, ironi verbal ada hubungannya dengan diksi, yaitu pilihan kata dari buruk rupa diganti dengan cantik. Diksi tertentu menunjukkan pula tone atau nada, yaitu sikap pembicara terhadap yang diajak berbicara. Dengan adanya tone atau nada tertentu, nada berbicara pembicara juga terpengaruh.
 

b. Ironi dramatik: lawan atau kebalikan dari apa yang tidak diketahui tokoh dalam sebuah karya sastra, drama, atau film dan apa yang diketahui oleh pembaca atau penonton. Dengan kata lain, pembaca atau penonton tahu, namun tokoh dalam karya sastra, drama, atau film itu tidak tahu. Sebagai misal, penjahat dalam film menuju utara dengan membawa senapan karena dia yakin polisis ada di utara sana, tetapi penonton tahu bahwa sebetulnya polisi berada di selatan, di belakang dia, tidak jauh dari dia.
 

c. Ironi situasi: lawan atau kebalikan antara harapan atau persangkaan dan hasil dari harapan atau prasangka itu. Seorang mahasiswa, misalnya, merasa sangat senang karena dalam ujian dia sanggup menjawab semua pertanyaan dengan sangat mudah. Dia memiliki keyakinan besar bahwa dia akan lulus. Keyakinan bahwa dia akan lulus tidak lain merupakan harapan. Namun, ketika pengumuman hasil ujian keluar, ternyata dia tidak lulus—kenyataan yang benar-benar berlawanan dengan harapannya.






DAFTAR PUSTAKA



Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.

Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.

Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.

Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.

Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.

Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.

Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.

Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.

Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.

Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.

Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.

Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.

Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.

Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.

Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.


Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya




____________________

Sumber : http://sastra33.blogspot.com/2011/05/new-criticism.html

(Puisi Tamu) - Kelabu







Murung,
ketika engkau tertidur tanpa pamit,
lelap, tak ada yang mampu memindahkan
dan mimpi-mimpimu bingung di jalan tak dikenal

Kesedihan tumpah ruah, semena-mena,
bagai sel kanker mendesak ruang benak
tak tergambarkan sakitnya
Pagi pun terbenam gelisah
langit tak bermatahari
Sesosok bayang bermain-main di bola mataku




Kutub Utara, 23 Mei 2014




_____________________

Sumber Info For Us
Penyair : Dira Diptya (Dit)

(Cerpen Menarik) - Robohnya Surau Kami [AA Navis]






Robohnya Surau Kami
Karya : AA Navis
______________________




Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu.

Orang-orang memanggilnya Kakek. Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.

Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku,ka rena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi.""Ajo Sidi?"

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yangdiceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"

"Siapa?"
 
"Ajo Sidi."
 
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
 
"Kenapa?"

"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?""Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-pujiDia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemunanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’
 
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
 
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
 
‘Ya, Tuhanku.’
 
‘Apa kerjamu di dunia?’‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain.’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya.Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
 
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
 
‘Masuk kamu.’
 
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap. Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkaujanjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
 
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
 
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
 
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.

"Kakek."
 
"Kakek?""Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. 

Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
 
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?""Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"
 
"Kerja."
 
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa."Ya, dia pergi kerja."





____________________

Sumber : http://sastra33.blogspot.com/2010/06/download-kumpulan-cerpen-rubuhnya-surau.html

Senin, 26 Mei 2014

(Puisi Tamu) - Sepohon Hening








malam membiarkanku memetik rindu
di sepohon semilir yang hening
saat pucuk-pucuk mudanya diam
dedaun tua mengunyah bisu
terbang perlahan satu-satu
menyusuri lorong waktu
mencium altar seribu debu

malam makin tergugu
mengeja ayat-ayat rindu
hening di sepohon memori biru
berakar bayang lalu
serimbun kenang merindang
dahan-dahan penopang
meneduh kasih sayang
: hikayat tualang

Pekanbaru, 24mei 201





____________________

Sumber : Catatan puisi Nova Linda (Penyair tinggal di Pekanbaru)

(Seluk Beluk Sastra) - Cerita Pendek






Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.

Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.


Asal usul


Cerita pendek bermula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.

Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang sebagai pemeran(tokoh) utama. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.

Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite atau mitos lebih mengarah pada cerita yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.

Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.

Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.

Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.






Cerita-cerita pendek modern

 

Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.

Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-unsur inti tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh utamanya); komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat, krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik dipecahkan); dan moralnya.

Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak. Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang lebih umum adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam cerita-cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks, atau titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak dan terbuka dan dapat mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis. Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuah cerita pendek berbeda-beda menurut pengarangnya. Cerpen mempunyai 2 unsur yaitu:


Unsur Intrinsik


Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya itu sendiri. Unsur–unsur intrinsik cerpen mencakup:
  • Tema adalah ide pokok sebuah cerita, yang diyakini dan dijadikan sumber cerita.
  • Latar(setting) adalah tempat, waktu , suasana yang terdapat dalam cerita. Sebuah cerita harus jelas dimana berlangsungnya, kapan terjadi dan suasana serta keadaan ketika cerita berlangsung.
  • Alur (plot) adalah susunan peristiwa atau kejadian yang membentuk sebuah cerita.
Alur dibagi menjadi 3 yaitu:
  1. Alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian atau cerita yang bergerak ke depan terus.
  2. Alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian atau cerita yang bergerak mundur (flashback).
  3. Alur campuran adalah campuran antara alur maju dan alur mundur.
Alur meliputi beberapa tahap:
  1. Pengantar: bagian cerita berupa lukisan , waktu, tempat atau kejadian yang merupakan awal cerita.
  2. Penampilan masalah: bagian yang menceritakan masalah yang dihadapi pelaku cerita.
  3. Puncak ketegangan / klimaks : masalah dalam cerita sudah sangat gawat, konflik telah memuncak.
  4. Ketegangan menurun / antiklimaks : masalah telah berangsur–angsur dapat diatasi dan kekhawatiran mulai hilang.
  5. Penyelesaian / resolusi : masalah telah dapat diatasi atau diselesaikan.
  • Perwatakan
Menggambarkan watak atau karakter seseorang tokoh yang dapat dilihat dari tiga segi yaitu melalui:
  1. Dialog tokoh
  2. Penjelasan tokoh
  3. Penggambaran fisik tokoh
  • Tokoh
tokoh adalah orang orang yang diceritakan dalam cerita dan banyak mengambil peran dalam cerita. tokoh dibag menjadi 3, yaitu:
  1. Tokoh Protagonis : tokoh utama pada cerita
  2. Tokoh Antagonis : tokoh penentang atau lawan dari tokoh utama
  3. Tokoh Tritagonis : penengah dari tokoh utama dan tokoh lawan
  • Nilai (amanat) adalah pesan atau nasihat yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita.


Unsur Ekstrinsik


Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik meliputi:
  • Nilai-nilai dalam cerita (agama, budaya, politik, ekonomi)
  • Latar belakang kehidupan pengarang
  • Situasi sosial ketika cerita itu diciptakan

Ukuran

 

Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih panjang adalah sesuatu yang problematik. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan dalam esai Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846). Definisi-definisi lainnya menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata. Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.

Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction). Fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke dalam novelette, novella, atau novel.



Genre

 

Cerita pendek pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi, dan yang paling banyak diterbitkan adalah fiksi seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dan lain-lain. Cerita pendek kini juga mencakup bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa lirik dan varian-varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau jurnalisme baru.

 

 

Cerita pendek terkenal