Senin, 30 September 2013

(Seluk Beluk Sastra) - Seni Untuk Kehidupan

Seluk Beluk Sastra






Seni untuk Kehidupan

PERTANYAAN tentang fungsi seni dan peran seniman dalam masyarakatnya adalah pertanyaan mendasar yang akan selalu mencuat seiring perkembangan zaman, peradaban dan kebudayaan. Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berbeda dari masa kemasa sesuai dengan spirit zaman yang mewakilinya.

Pada dasarnya seni dan kehidupan saling berhubungan satu dan lainya, entah berupa hubungan simbiosis maupun kritis. Demikian pula antara seni, filsafat, science, politik dan sistem ekonomi berkelindan sedemikian rupa saling mempengaruhi. Terutama seni sendiri sepertinya merupakan wilayah yang paling fleksibel dan terbuka atas pengaruh disiplin ilmu lainya. Memang ada istilah “seni untuk seni” yang seakan tak ada hubungan dengan bidang lainnya. Tetapi makna sesungguhnya sebetulnya tak pernah bisa terlepas dari konteks yang membingkainya. Bahkan seni yang hanya mementingkan estetika saja pun jika dilihat dalam konteks tertentu bisa memiliki “makna” juga.

Tampaknya pertanyaan yang lebih mendasar harus diajukan disini yaitu pertanyaan tentang kreatifitas yang melandasi penciptaan seni. Apakah kreatifitas itu hanya milik para seniman saja? Mungkin akan ada beragam jawaban – tergantung dari siapa yang menjawab dan dari sudut pandang mana. Mungkin lebih baik beralih kepertanyaan mendasar lainya saja: apakah fungsi kreatifitas itu? Jawaban sederhana adalah kemampuan manusia untuk mendorong lahirnya penciptaan, dari tak ada menjadi ada, dari satu hal menjadi sesuatu lainya baik dari segi bentuk maupun makna. Sehingga lewat kreatifitas manusia bisa melakukan perubahan, baik di dunia seniman pun lainya.

Dalam kenyataanya seniman sebagai penciptaan adalah juga mahluk yang harus hidup berdampingan dengan mahluk lainya. Ia berkeluarga, bertetangga, dan menjadi anggota masyarakat yang memiliki tanggung-jawab terhadap diri dan lingkunganya. Artinya seperti yang lain ia juga menghadapi berbagai masalah, baik yang bersifat personal maupun public dan ia diharapkan mampu untuk menemukan solusi. Terlebih jika seniman ini hidup di negeri seperti Indonesia dimana masalah-masalah menumpuk di berbagai bidang dan ranah masih menunggu pemecahan dan jalan keluar. Apakah seorang seniman akan duduk berpangku tangan saja? Dan hanya asik menciptakan karya yang akan laku dipasar dan mencari keuntungan pribadi belaka?

Memang seniman perlu hidup dan membutuhkan penunjang. Dalam kondisi dimana Negara tak berfungsi dan lemahnya infrastruktur seni maka pasar amatlah diperlukan. Pasar bisa bersifat konstruktif jika dijalankan dengan aturan dan menghargai nilai-nilai penciptaan. Ketika pasar mulai mendikte seniman maka berahirlah kreatifitasnya. Apakah produknya layak disebut karya seni – ini bisa dipertanyakan. Di era kapitalisme neo-liberal ini memang persoalan pasar bukan hal sederhana dan tak hanya digunakan untuk mencari keuntungan saja. Tapi pasar juga bisa menjadi alat untuk menjarah dan mendominasi. Apalagi dalam pasar seni yang bersifat lebih longgar aturan – sehingga bisa dimanfaatkan oleh para pemodal untuk mengeruk untung yang sangat besar. Jadi sudah sepantasnya jika situasi seperti ini akan membawa kita pada pertanyaan etik.

Rasanya memang seniman tak bisa berlaku naïf dan berpaling dari kenyataan. Seniman harus paham permainan pasar yang manipulatif, permisif dan bisa bersifat destruktif. Begitulah pasar yang tanpa aturan dan eksklusif – bisa membawa manfaat bagi segelintir orang namun kehancuran bagi seniman lain maupun dunia seni itu sendiri. Situasi ini sebetulnya mencerminkan apa yang terjadi dalam kehidupan umumnya dimana pasar dijadikan indicator dan ukuran penilaian. Akibatnya kehidupan dikelola secara sedemikian rupa bagai sebuah perusahaan saja. Yang mendatangkan keuntungan sangat besar bagi segelintir orang. Namun sekaligus mendatangkan berbagai persoalan serius di berbagai ranah. Mengakibatkan kehancuran budaya tradisional, disintegrasi sosial dan kerusakan lingkungan hidup. Menganggu keseimbangan ekologi dan bersifat tidak adil serta menyengsarakan orang banyak.

Memang selain kemampuan teknis yang memadai sebaiknya seniman juga memiliki wawasan luas dan memahami bagaimana kehidupan digerakkan. Hal ini sudah pasti akan menambah kemampuan kreatif serta stamina berkarya yang stabil. Ia juga akan mampu untuk terus mengembangkan gagasan dan tidak menjadi stagnan lalu hanya mengulang-ulang. Untuk itu seniman sebaiknya membuka diri bagi kehidupan disekelilingnya dan bukan sebaliknya malah memagari diri dalam gaya hidup eksklusif. Biarlah seni merambah kehidupan dan tak hanya berkutat diruang sempit ego ataupun studio. Apalagi cuma menghiasi dinding-dinding rumah mewah dan galeri-galeri megah. Biarlah seni menjadi milik semua dan tidak dipenjarakan serta diisolasi dalam koleksi mereka yang tak memberi kesempatan pada orang kebanyakan untuk menyaksikan dan menikmati. Berilah seni dan seniman kesempatan untuk menyumbang pada kehidupan budaya yang kreatif dan bebas.

Nyatanya seni yang tak memisahkan diri dari kehidupan dan kebudayaan yang sehat sebetulnya bisa menawarkan kemungkinan pendekatan masalah dari sudut kreatif dan bersifat alternatif, yang biasanya minim prasangka. Membebaskan dari belenggu perspektif konservatif dan wacana dominan. Juga berpotensi untuk merekatkan elemen-elemen di dalam masyarakat yang terfragmentasi serta mempertemukan dan merekonsiliasi unsur yang berlawanan. Ya, mulai dari titik inilah seniman dihadapkan pada tantangan kreatif yang sesungguhnya. Sebab jika perkara seni dibatasi hanya sebagai ekspressi pribadi dan hanya merujuk pada keyakinan “seni untuk seni” maka hasil usaha kreatif berbentuk karya hanya akan menjadi komoditas belaka. Seni menjadi kehilangan vitalitas dan kemampuan untuk mentransformasi nilai-nilai. Seni akan terceraikan dari kehidupan, terasing dari masyarakatnya dan juga dari penciptanya.



Nitiprayan, 19 Februari 2012


(Makalah ini disampaikan pada diskusi pameran seni rupa bertanjuk ”Kenduri Seni” oleh Ruang Kelas SD, 20 Febuari 2013. Tema Diskusi: ”Mahasiswa, Pekerja Seni dan Masyarakat” dengan pembicara: Prof. Faruk HT (guru besar FIB UGM), Prof. M. Dwi Marianto (dosen ISI Yogyakarta dan penulis seni), Arahmaini (seniman, aktivis seni), dan Arif Budiman (mahasiswa ISI Yogyakarta), dan moderator Nano Warsono (osen FSR ISI YK), bertempat di bekas gedung SD Sewon 2, Pedukuhan Geneng, Sewon, Bantul).


*) Perupa.

 




________________


Minggu, 29 September 2013

(Puisi) - Burung Punguk

Puisi







Sekian lama engkau menatap bulan
begitu setianya dirimu
malam ini aku menjelma
menjadi kekasih nyatamu






 



Jack Phenomenon
Sumber gambar : Lapak Buku Buitenzorgh







_______________

 Burung punguk atau pungguk, burung hantu, atau celepuk, atau owl bahasa inggrisnya atau (Ninox scutulata) adalah burung yang sangat senyap dan setia. Dalam peribahasa sering dikatakan sesuatu yang mustahil (seperti pungguk merindukan bulan), namun istilah ini telah bergeser sebagai lambang kesetiaan dalam suka dan duka.







(Puisi) - B i b i r

Puisi






Bibir engkau manis bagai madu
sentuhanmu lembut
engkau membangkitkan yang mati menjadi hidup kembali
segala rasa ada padamu
sebuah cium membalut luka di hati
engkau sangat perkasa
melebihi sepuluh banteng perkasa
dari engkau lahir sebuah kebijaksanaan
bahkan engkau mewarisi sebuah kehidupan abadi
engkau yang pertama berkata
mudah memahamimu
yang bodoh engkau ajar pintar
darimu lahir orang para cendikiawan
darimu ada keselamatan
dunia dibuat semarak karenamu
indahnya warna-warni karena ucapanmu
sebuah kecup penyair menghias puisimu
salammu membuat tenang jiwa-jiwa rapuh
bibir sebelah atas
bibir sebelah bawah
bila terkatup rapat
maka engkau akan disebut
diam

Sebaliknya bisa engkau lakukan
menjadi yang paling laknat dan khianat
sekali ucap bumi bergoyang
musnah tanpa kehidupan

Bibir engkaulah sebuah kehidupan dan kematian






Jakarta, 29 September 2013
Sonny H. Sayangbati






_______________

Karena merupakan bagian mulut dan sangat berperan dalam pembentukan kata-kata, ”bibir”, digunakan secara kiasan untuk tutur kata atau bahasa dan kadang-kadang digunakan dalam paralelisme dengan ”lidah” dan dengan ”mulut”. Sebelum dikacaukannya bahasa di Babel, ”seluruh bumi satu bahasanya [harfiah, ”bibir”] dan satu perbendaharaan katanya”.

Bibir bukan tolok ukur yang andal mengenai isi hati karena bibir dapat digunakan untuk mengucapkan kata-kata yang munafik. Akan tetapi, bibir tidak dapat menyembunyikan kondisi hati yang sebenarnya di hadapan Allah, dan pada akhirnya bibir akan menyingkapkan isi hati.

Secara kiasan, ”bibir yang licin” memaksudkan tutur kata yang menyesatkan. Bibir semacam itu, demikian pula bibir yang kasar dan penuh dusta, dapat merugikan—membuat luka yang sangat dalam bagaikan sebilah pedang atau meracuni seperti seekor ular berbisa. Seseorang yang ”membuka lebar bibirnya” adalah orang yang berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu atau secara tidak bijaksana. Hal itu dapat mendatangkan kebinasaan atas dirinya sebab Allah menuntut pertanggungjawaban setiap orang atas tutur katanya.




— Sumber : Insight On The Scripture, Jilid 1 (Edisi Bahasa Indonesia)

(Puisi Tamu) - Wacana Menerima Karya Puisi

Puisi Tamu







Wacana Menerima Karya Puisi





Semakin semaraknya dunia sastra internet (cybersastra) yang semakin berkembang pesat dan antusias, maka saya pribadi sebagai pencinta dan penikmat sastra menyambut dengan senang hati dunia sastra yang sudah menjadi semakin dicintai oleh masyarakat dunia, ditengah-tengah kesulitan dunia yang semakin mencintai dirinya sendiri dengan segala keegoisannya.

Tentu kita semua tahu kegunaan serta manfaat sastra dalam masyarakat modern saat ini, yaitu membangun suatu sikap mental dalam masyarakat international untuk semakin mencintai kehidupan secara bermartabat, serta menjadi pelaku yang positif dalam kehidupan sehari-harinya.

Kegiatan sastra merupakan salah satu pendidikan informal yang masyarakat pencinta sastra bisa lakukan dan menyebarluaskannya demi manfaat sebesar-besarnya. Untuk itu melalui blog sastra ini, saya membuka kegiatan literasi ini melalui salah satu sisi sastra yang paling populer, adalah puisi.

Mengapa puisi ? Menurut hemat saya puisi adalah yang paling sederhana dan populer, karena sebagian besar manusia menyukai dan menikmati puisi. Puisi adalah bahasa yang paling santun yang diciptakan oleh Allah melalui Kitab-Kitabnya. Dia mengajarkan bahasa yang indah, puitis, dan religius kepada manusia.

Seperti itulah kita mengenal puisi awalnya, untuk itu masyarakat sastra dunia patut untuk melestarikan hal ini melalui berbagai cara yang positif dan bermartabat, serta menjaga nilai kualitasnya agar lebih bermanfaat serta memiliki kekuatan dalam hidup ini.

Saya merasa terpanggil, untuk itu, tentu saja memalui upaya sederhana ini, saya mengundang pencinta sastra, pegiat sastra, penyuka sastra, penikmat sastra di mana saja untuk berbagi idea-idea puisi yang bermutu untuk kehidupan kita sebagai manusia yang cerdas dan santun.

Untuk sementara waktu saya menyediakan halaman khusus atau rubrik/kolom yang saya beri nama : Puisi Tamu sebagai tempat berkarya, tentu saja sebagai admin saya bertanggung jawab untuk menyeleksi dan meminta penjelasan puisi-puisi yang sulit dimengerti yang menurut hemat saya bermanfaat serta memenuhi persyaratan puisi pada umumnya.

Karya-karya yang lolos seleksi akan saya posting setiap minggunya dan bisa saja Puisi Tamu tersebut terdiri dari beberapa puisi atau tunggal tergantung dari keadaan dan seberapa banyak puisi yang terkirim nantinya.

Puisi yang terposting dan terseleksi akan saya beri catatan pribadi saya, dan akan saya sebar luaskan melalui blog ini dan Facebook serta halaman puisi Info For Us dan Pages Info For Us, di mana saya bisa menjangkaunya dan juga ke group puisi Puisi Bait Kata Suara (PBKS) di jaringan Facebook di mana saya menjadi salah satu admin group serta profil sastra yang dilimiki oleh jaringan PBKS.

Untuk sementara waktu saya sebagai admin belum mampu untuk memberikan jasa berupa uang, dan saya sedang memikirkan tentang hal ini dan meningkatkan penghargaan yang layak bagi pegiat sastra yang puisinya diterbitkan.

Tentu saja saya berpikir bahwa nilai suatu karya sastra tidak terukur dengan nilai nominal uang kertas, akan saya pikirkan dengan serius tentang hal ini nantinya.

Demikianlah perihal wacana ini saya gelontorkan dalam blog pribadi ini, semoga kiranya sastra kita akan semakin maju serta berwawasan, semoga saja!



"Blog Sastra ini menerima karya-karya puisi (Puisi Tamu), silahkan mengirimkan ke redaksi sastra di : sonny14sayangbati@gmail.com atau sonny_sayangbati@yahoo.com"








Jakarta, 29 September 2013



Sonny H. Sayangbati


(Puisi Menarik) - Puisi Cinta (Che Guevara)

Puisi Menarik







Ernesto "Che" Guevara de la Serna el Fuser

duhai kasih
aku sebenarnya berharap ada kau disisiku
bercumbu dalam orasi-orasi tentang pembebasan
berkasih-kasih dalam debat panjang revolusi
berpeluk mesra dalam kejaran tirani

duhai kasih
aku sebenarnya berharap kau ada disisiku
berjalan bergandengan dengan kaum tertindas
bernyanyi mesra dalam tarian penantian
atau hanya sekedar diam dan saling memandang
sambil berpikir berdua adakah ruang untuk kita
berucap mesra dalam tangisan kehilangan

duhai kasih
sekali lagi aku berharap
bukankah kamu tau
revolusi butuh pejuang
siapkan dirimu...
agar kutanamkan benih revolusi dirahimmu







________________

 http://kalicode.blogspot.com/2009/10/puisi-cinta-sang-revolusioner.html

Sabtu, 28 September 2013

(Puisi Menarik) - untuk Jenny Von Westphalen (Karl Marx)

Puisi Menarik







Puisi Marx untuk Jenny Von Westphalen




Jenny, dapatkah tentang kata-kataku kau bertanya,
Berikut semua makna di baliknya?
Ah! Tiada guna mengatakanya,
Bahkan sia-sia memulainya.
Lihatlah sorot matamu tajam berbinar,
Lebih dalam dari pelataran Surga,
Lebih hangat dari mentari membakar,
Di sana jawaban kan tersedia.

Berani menikmati hidup dan bersikap sewajarnya,
Tekanlah tanganmu yang putih;
Disitu kan kau temukan jawabanya,
Di situ kan kau saksikan tanah surgaku nan jauh.

Ah! Ketika bibirmu berbisik padaku teduh,
Hanya satu kata hangat terucap,
Akupun terbang menuju Surga Ketujuh,
Tanpa daya, akupun terlelap.

Ah! Jiwa dan raga ini jadi lunglai,
Lumpuh hingga ke dasar sukma,
Bagai Setan yang terkapar dilantai,
Tersambar kilat kutukan dewa.

Namun kenapa kata-kata ini terus mendesak ‘tuk terucap
Dibalik selubung dalam dan pekat,
Ada yang tak bertepian,
Seperti pedihnya kerinduan,
Seperti dirimu adanya,
Seperti sang segalanya.





 





________________

Karl Marx, 1838
Sumber : http://kalicode.blogspot.com/2008/11/puisi-marx-untuk-jenny-von-westphalen.html

(Puisi) - Vonis Mati

Puisi







Wahai para hakim-hakim bertoga hitam atau berambut palsu di manapun kalian sidang, duduk berjajar di meja menyeramkan, di sebelah tangan kananmu terdapat kitab kematian yang tersusun rapi dengan pasal-pasal dan ayat-ayat merujuk atas nama keadilan dan atas nama hukum Allah dan negara berdaulat dan bahkan atas nama kemanusiaan.

Raut muka dingin, engkau perhatikan tuduhan jaksa penuntut, engkau simak kesaksian terdakwa, engkau dengar para saksi-saksi, baik saksi memberatkan maupun saksi meringankan, berjam-jam, berhari-hari bahkan berminggu-minggu, seringkali dengan kesimpulan cepat engkau memutuskan suatu perkara.

Saat itu engkau bagaikan dua sosok malaikat, malaikat pencabut nyawa dan malaikat pembebas, duduk seperti raja walaupun engkau dibayar rakyat, engkau makan gaji, engkau dibayar oleh sejumlah uang, seringkali bayaranmu tak sebanding dengan tanggung jawabmu, segala perkara engkau putuskan, bagimu memutus perkara seperti makan nasi dan lauk saat lapar perutmu

Wahai para hakim, perhatikan telingamu, matamu dan seluruh panca indramu, bahkan pengetahuanmu, sadarkah engkau bahwa seringkali nyawa sia-sia oleh ucapanmu, sadarkah engkau mengampuni lebih berharga dari vonis mati, sadarkah engkau bahwa kamupun manusia yang berdosa dan sadarkah kau kadang seperti terdakwa.

Di mana kah hakim adil berada ? Dia sudah mati kah ? Apakah dia sedang berkeliling bumi mencabut nyawa, oh hakim, bagimu lebih mudah menghukum dari membuat pelajaran, bagimu lebih mudah menggali kubur daripada menanam pohon.

Pelajarilah hukum dunia ini, sesungguhnya belas kasihan lebih utama dari kau vonis mati seseorang, seringkali engkau buta mengapa ia melakukan sebuah dosa, sama denganmu seringkali juga khilaf dan dosa, kecuali engkau tanpa dosa.

Wahai para hakim, lebih baik engkau mendidik keluargamu agar hidup daripada engkau membiarkan keluargamu mati oleh keputusan bumerangmu, aku menolak vonis mati atas dasar kemanusiaan.









Jakarta, 28 September 2013
Sonny H. Sayangbati

(puisi Menarik) - Puisi Untuk Bunda (Adolf Hitler)

Puisi Menarik







Puisi Untuk Bunda




Bunda telah beranjak sepuh dan kau telah tumbuh dewasa
Kala yang biasanya mudah dan tanpa upaya, kini jadi beban,
Kala mata terkasihnya nan setia
tak menerawang kehidupan seperti dahulu,
kala kakinya mulai lelah dan enggan menyokong tubuhnya lagi,
kala itu berikanlah lenganmu untuk menyokongnya
temanilah ia dengan kegembiraan dan sukacita,
Waktu akan tiba, ketika kau terisak menemaninya
dalam perjalanan terakhirnya.

Dan jika ia bertanya kepadamu, selalulah menjawabnya,
Dan jika ia bertanya lagi, jawablah pula.
Dan jika ia bertanya lain kali, bicaralah padanya
tidak dengan gelegar, namun dengan damai dan lembut,
Dan jika ia tak mampu mengertimu dengan baik,
jelaskan semuanya dengan sukacita,
Waktu akan tiba, waktu nan getir
tatkala mulutnya tak akan bertanya lagi.






 






______________

Adolf Hitler
Puisi ini diterjemahkan dari bahasa Jerman pada tahun 1923, ditulis oleh orang yang sangat mencintai ibunya. Dia adalah … Adolf Hitler.
( Dikutip dari buku Si Cacing dan Kotorannya 2!, hal 208 )
http://linguafranca28.wordpress.com/category/puisi/

Jumat, 27 September 2013

[Berita (Info) Sastra] - UNDANGAN BERGABUNG DALAM ANTOLOGI PUISI DARI NEGERI POCI 5

[Berita (Info) Sastra]






UNDANGAN BERGABUNG DALAM ANTOLOGI PUISI DARI NEGERI POCI 5

 
Komunitas Negeri Poci/ Radja Ketjil mengajak dan mengundang para penyair --termasuk para alumnus penyair Dari Negeri Poci-- di seluruh Indonesia, untuk ikut bergabung dalam sebuah antologi puisi DARI NEGERI POCI 5 yang direncanakan terbit pada 1 April 2014.

Persyaratan umum:

1. Siapa saja, segala usia, pria-wanita, domisili di mana saja

2. Para penyair dipersilakan mengirim sebanyak 10 (sepuluh) puisi dan foto & biodata terbaru

3. Panjang setiap puisi maksimal 40 baris (atau cukup dicetak 1 halaman dalam buku)

4. Tema bebas

5. Puisi harus karya terbaru, dan harus tidak/ belum pernah dimuat dalam media apa pun.

6. Silakan kirim karya terbaik Anda, ke email: antologidnp5@gmail.com, paling lambat sudah harus diterima pada 28 Feb. 2014. Jangan lupa, sertakan juga biodata dan foto terbaru/ terbaik Anda.

Lain2:

1. Puisi2 yang masuk akan diseleksi oleh tim kurator/ editor yang ditunjuk.

2. Tidak ada pungutan apa pun bagi keikutsertaan dalam antologi ini, termasuk bagi mereka yang puisinya terpilih.

3. Mengingat penerbitan buku ini tidak untuk keperluan komersial, para penyair yang karyanya dimuat tidak memperoleh honorarium/ royalti, dan sebagai gantinya setiap penyair yang karyanya terpilih dan dimuat akan mendapat sebanyak 1 (satu) buku sebagai nomor bukti.

Salam sastra!

Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto/ Komunitas Negeri Poci/ Komunitas Radja Ketjil

PS: Antologi DARI NEGERI POCI 5, adalah kelanjutan dari antologi puisi NEGERI ABAL-ABAL - DARI NEGERI POCI 4 (2013, 99 Penyair), DARI NEGERI POCI (1993, 12 Penyair), DARI NEGERI POCI 2 (Ed. F. Rahardi, 1994, 45 Penyair) dan DARi NEGERI POCI 3 (Ed. Adri Darmadji Woko, Handrawan Nadesul dan Kurniawan Junaedhie, 1996, 49 Penyair).

Undangan ini terbuka untuk umum dan tidak terbatas yang di-tag!

 
 
 
 _________________

Sumber : Kosakata Penerbit Facebook
https://www.facebook.com/notes/kosakatakita-penerbit/undangan-bergabung-dalam-antologi-puisi-dari-negeri-poci-5/680372438653758

(Artikel Sastra) - Mengenal Puisi-Puisi Sufi yang Menenangkan Jiwa dan Universal

(Artikel Sastra)






Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai. Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari di dalam hatiku, meski tak seorang pun melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari bersama-Mu. Dan “ Penglihatan Agung” inilah yang menjadi inti dari seniku. - (Rumi - Blog Sastra Indonesia) 


Puisi-puisi sufi banyak diperkenalkan oleh para penyair Arab dan Persia sebagai salah satu cara melestarikan nilai-nilai keagamaan atau ajaran-ajaran dalam kitab suci mereka. Para penyair sufi berupaya menulis dengan nilai-nilai luhur atau menggunakan pendekatan yang dinamakan : " Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi)." - Wikipedia Indonesia.

Pendekatan yang lain mengatakan bahwa : "Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan." - (Wikipedia Indonesia).

Di Indonesia yang saya tahu dan baca buku-buku puisinya tokoh penyair sufi atau pun puisi-puisinya banyak mengulas masalah-masalah sufi dan maknanya adalah : Abdul Hadi WM, Sutardji Colzoum Bachri, Martha Sinaga (Martha Poem), Dhenok Kristianti, juga ada yang mengatakan bahwa Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo dan Remy Sylado (tokoh mbling), dan mungkin banyak yang lain yang belum dipublikasikan dan tidak diketahui, ini pendapat pribadi saya membaca karya-karya puisi mereka yang seringkali memiliki nilai-nilai religi, walaupun saya tahu ada perbedaan antara puisi sufi dan puisi religi menurut beberapa pakar puisi, namun bagi saya perbedaannya sangat tipis sekali.

Tokoh penulis puisi-puisi sufi dunia seperti yang sering disebutkan dalam media dan buku : Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Abunawas, Rabiah Al-Adawiyah, Hasan al-Bashr, Malik bin Dinar, Ma’ruf al-Kharkhi, Fudhayl ibn ‘ Iyadh dan banyak lagi yang lainnya yang dicatat.

Sebenarnya masyarakat puisi belum terinformasikan dengan baik mengenai berbagai macam karya puisi-puisi ini, sepenuhnya kita tergantung dengan buku-buku terjemahan baik terjemahan dalam bahasa Inggris atau pun terjemahan dengan menggunakan bahasa yang lain, umumnya para sarjana Barat sangat menaruh minat yang besar sekali terhadap tulisan-tulisan puisi sufi ini dan merekalah yang paling pertama menggali tulisan-tulisan puisi ini untuk menambah kekayaan ilmu puisi sufi mereka, dan kita masyarakat puisi di Indonesia hanya menunggu terbitan penerjemahannya saja dan buku-buku ini boleh di kata sangat langka baik diperpustakaan maupun di toko-toko buku komersial lainnya, ironis sekali.

Buku-buku puisi sufi sungguh sangat bernilai sekali untuk masyarakat yang pluralisme, beragam kebudayaan dan agama, seharusnya tokoh-tokoh pemerintah dalam sastra menuruh minat besar terhadap karya-karya seperti ini dan ini sesungguhnya mengajarkan nilai-nilai moral yang luhur bagi generasi ke generasi lainnya dan juga sebagai jejak rekaman peristiwa, sungguh sayang sekali buku-buku semacam ini dikalahkan oleh buku-buku yang lainnya.

Saya mengamati, bahwa salah satu kelemahan khususnya juga bagi para ahli sastra dan puisi, mereka kesulitan dalam memperoleh sumber, kesulitan dalam mencari penerjemah sastra yang baik serta mungkin masalah dana dan kesulitan-kesulitan teknis lainnya. Saya berharap bahwa kepada para sastrawan dan tokoh-tokoh yang berwenang bisa mendatangkan karya-karya sastra terjemahan ke dalam khasanah kesuasteraan kita di tanah air, suatu hari kelak !

Mungkin karena di Indonesia memiliki banyak penulis puisi sufi, makanya mereka ingin menjadi tuan di negeri sendiri, iya itu sesuatu yang sangat positif, hanya saja puisi sufi belum populer di Indonesia, seandainya pun banyak dibahas hanya sebatas komunitas, dan mari kita menikmati hidangan rohani dari salah satu penyair religius ini, Abdul Hadi WM dalam blog pribadinya Kampung Puisi :


RAMA-RAMA

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
meraba cahaya
terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut
menjelmalah kembang di karang

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
di rambutmu jari-jari matahari yang dingin
kadang mengembuni mata, kadang pikiran
melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat

1974


Sebuah puisi yang indah dan bermakna religius, sejuk di hati, saya menganggap ini puisi bermakna sufi atau religi, mendambakan kehangatan cahaya dan kesejukan embun, bukankah kata-kata ini banyak digunakan untuk sesuatu yang religi ?

Menurut hemat saya siapa pun penyairnya bisa menulis puisi sufi atau bermakna religi ini, tidak terkecuali penyair dari Kalimantan Barat ini, Saifun Arif Kojeh (nama penanya) sedangkan nama aslinya Raden Sarifudin, puisinya menurut saya memiliki makna yang religius, dan dia menulis dengan indahnya dalam buku antologi puisinya : Sembahyang Puisi Menerjemahkan Rindu, h. 13


Sembahyang Puisi

Beduk menabuh di subuh kala
Menalu-nalu jantung kerinduan
Menyegerakan sembayang puisi-puisi terbuai
Menemui dan mencumbui kekasihnya
Dikerelungan yang syahdu ini

Dia mengharu biru dalam munazatnya
"Akulah pecinta dan yang dicinta"


Puisi ini menyejukkan hati, seperti kita ketahui seorang Muslim merupakan kewajiban baginya untuk sembahyang subuh, dan bagi pemeluk agama lain bangun pagi subuh juga merupakan pendekatan yang menyegarkan apabila kita khusuk berdoa dalam keadaan yang segar baik tubuh dan hati yang terdalam, pada saat-saat seperti ini jiwa manusia akan berkomunikasi dengan syahdunya antara pecinta dan yang dicinta.

Kata 'kekasih' dan 'rindu', seringkali digunakan dalam memaknai sebuah arti dalam puisi sufi dan religi ini, umum diketahui kata-kata ini memiliki arti tersendiri yaitu memaknai : Tuhan atau Allah, saya memaknai puisi Saifun Arif Kojeh ini sebagai puisi sufi dan puisi ini sungguh indah dan puitis :


Bila kutahu
Bahasa air yang mengalir ke muara
Sudah ribuan rindu mampu kuterjemahkan

Rindu ingin terbang seperti burung merpati
Dengan kesetiaannya
Mengantarkan amanat pengirimnya
Kepada orang yang ditujunya

Rindunya Leuser mengarungi laut lepas
menemui bidadari di ujung pulau impian itu
Menantang ombak dan badai yang mengganas
Untuk sampai di sana
Berbagai perasaan yang telah melepas sauh di hati

Bila kutahu
Bahasa bintang menerangi malam
Sudah ribuan rindu mampu kuterjemahkan

(Sembahyang Puisi Menerjemahkan Rindu, Saifun Arif Kojeh, Cover belakang buku)


Sesungguhnya syair-syair dalam puisi sufi itu memiliki nilai keabadiaan, ia sangat dekat dengan 'Kekasih', karena Allah adalah Kasih, ia mengasihi manusia tanpa batas dan kasihNya sangat 'bermartabat' dan 'murni' serta 'universal', mengapa demikian ?

Penyair Martha Sinaga (Martha Poem) menulis puisi singkatnya yang religius dalam bukunya : "Kumpulan Seribu Puisi", h. 30. Ia menulis :


Ayat-Ayat Kekal

Semua ada
Lengkap
Runtun
Ajaib
Mujizat
Pengisi Iman
Kekal


Banyak penyair sufi dan religi beranggapan bahwa nilai-nilai rohani ini membawa manusia kepada sebuah kehidupan yang lebih baik, sebuah kehidupan yang sangat didambakan seluruh umat manusia yaitu kehidupan abadi, sesuatu yang kekal dan tidak binasa, begitupun dengan nilai-nilainya, mungkin juga sebuah puisi akan dibacakan di taman firdaus sebagai pembuka bagi para manusia yang mendapatkan kehormatan untuk hidup abadi di sana.

Banyak sahabat-sahabat penyair yang suka menulis puisi-puisi jenis sufi ini dan beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :


MUNAJAT

wahai pemutus tali pusatku, hingga pisah dengan ketuban pahit. ajari aku faham jeriji hidup
di tajamnya kerikil singgahan dan simpang terlewati. tak keliru tafsir perhentian itu
biar dada teguh mengemudi beban dengan roda ganjil. di simpang-siur pertemukan bukan benang kusut


duhai penghulur rahmat. kolong ranah liar meriak. lubang-lubang pecah berserak bertubi-tumbang; aku terambing di bebatuan serpih antara duri-duri

duhai yang Maha. kentali dadaku dengan kasih.


Januari, 2013


(Kameelia, Bintang Kartika, penyair wanita Malaysia)





Jakarta, 18 Juli 2013
Sonny H. Sayangbati






_______________

Artikel ini diterbitkan di RetakanKata.Com 26 September 2013 (http://retakankata.com/2013/09/26/mengenal-puisi-puisi-sufi-yang-menenangkan-jiwa-dan-universal/)

Kamis, 26 September 2013

(Puisi) - There Is Always A Way

Puisi







Setiap jalan menuju pintu rumah
setapak langkah kakimu bertujuan
ke mana pun engkau pergi
pintu selalu menjadi tujumu

Entah itu pintu langit
pintu rumah kekasihmu
atau sebuah pintu hati
yang diperlukan hanyalah
ketukan dan salam

Selalu ada jalan
bagi pencinta
lebarlah jalan-jalan itu
menerima langkah damaimu
menuju tuju







Jakarta, 26 September 2013
Sonny H. Sayangbati

(puisi) - Lavender

Puisi







Lavender, oh lavender
hamparan permadani ungu
membuat mataku kunang-kunang
mabuk kepayang
terjatuh dan tertidur
di pelukanmu
seribu tahun lagi

 





Jkt, 24 Sept 2013 
Sonny H. Sayangbati

Rabu, 25 September 2013

(Puisi-Puisi Terkenal dan Legendaris) - Puisi-Puisi Rabindranath Tagore

Puisi-Puisi Terkenal dan Legendaris








Panggilan Hidup


 
Jika gong berdegung sepuluh kali di pagi hari dan aku berjalan menuju sekolah, bertemulah aku setiap hari dengan penjual kelontong yang berteriak, “Manik! Manik batu!”


Tak ada yang memburu dia, tak ada jalan yang harus ditempuh, tak ada tempat ke mana ia harus pergi.

Aku ingin jadi penjual kelontong yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak, “Manik, Manik batu!”

Jika sore hari pukul empat aku pulang dari sekolah, kulihat dari gerbang masuk tukang kebun sedang menyabit rumput di halaman.

Ia bekerja sesuka hatinya, mengotori bajunya dengan debu, berjemur di bawah panas matahari, kehujanan tanpa seorang pun melarangnya.

Aku ingin jadi tukang kebun yang bekerja sesuka hati, dan tak seorang pun melarangku.
Jika malam tiba dan ibu menyuruhku tidur, kulihat lewat jendela, peronda malam bolak-balik di gang.

Jalanan gelap, dan sepi, dan lampu pasar tegak bagai raksasa bermata merah di tengah kepalanya.

Peronda itu berjalan membawa lampunya bersama banyang-banyangnya, dan ia tak pernah tidur selama hidupnya.

Aku ingin jadi peronda dan berjalan di jalanan sepanjang malam sambil menghalau bayang-bayang dengan lampuku.



Tamu

Lama tiada tamu berkunjung ke rumah, pintu-pintuku tertutup, jendela terpalang: kupikir malam-malamku akan sepi.
Ketika mataku kubuka kusaksikan gelap telah lenyap.
Aku bangkit dan lari kemudian kulihat batu gapura rumah-ku hancur, dan lewat pintu terbuka angin dan cahayamu mengibarkan bendera-benderanya.
Dulu ketika aku jadi tawanan di rumahku sendiri, dan pintu-pintu tertutup, hatiku senantiasa ingin melarikan diri dan pergi mengembara.
Kini aku masih saja duduk di muka gapuraku yang hancur, menunggu kehadiramu.
Kini kau telah mengikatku dengan kebebasanku.



Sajak-Sajak Masa Tua

Ketika aku masih muda
Siang hari pukul dua
Kuhadapkan kepalaku ke pintu
Kamarku di atap
Tikarku lebar terhampar
Dan kuhabiskan jam-jam riang.
Jauh di udara burung elang
Memanggil-manggil
Di angin basah
Daun-daun shirish berkilauan
Dengan paruh pecah karena haus, burung gagak
Terbelalak matanya memandang tembok batu.
Burung-burung gereja menggelepar
Di kasau-kasau kamarku.
Menyebrangi gang kudengar suara penjaja makanan:
Di sebuah atap nun jauh seseorang bermain layang-layang.
Jauh di balik pelupuk mata,
Yang Tak Dikenal
Meniup seruling membujuk hatiku
Meninggalkan rumah.
Cinta dan duka bercampur entah kenapa,
Menenun mimpi tanpa awal
Tanpa akhir.
Seakan aku memandang –
Teman seseorang yang tak punya teman.
Aku melangkah ke umur tujuh puluh,
Menuju akhir pantai.
Kusingkap jendela kalbuku
Seakan di masa kanak
Merenung. Waktu-waktuku lewat.
Dalam panas membakar ini
Dahan-dahan Shirish bergetar
Dekat perigi di tepi pohon tamarin.
Anjing tetangga tidur;
Bebas dari gerobak, sapi jantan
Membaringkan dirinya di padang.
Bunga gandharaya berlayuan di atas kerikil,
Mataku menyentuh semua,
Pikiranku berada di tiap benda.
Seakan bocah bebas bertelanjang, pikiranku
Menyertai kenaungan hutan
Dan langit,
Kulit kerang-kerangan tak dikenal
Bergema dalam semua yang kukenal.


***

Dunia kini buas dengan mata gelap kebencian,
Pertikaian kian ganas dan ketakutan tak kunjung henti,
Miring jalannya, kacau oleh timbunan kelobaan.
Segenap makhluk meneriakkan kelahiran baru darimu.
O Kamu kehidupan yang tak terbatas,
Selamatkanlah mereka, bangkitkanlah suara kekal harapanmu.
Biarkan teratai cinta dengan kekayaan madunya tak habis-habis
Mebukakan kelopak-kelopaknya di dahan cahayamu.
O Terang, O Kebebasan,
Dalam kasih saying dan kebaikanmu yang tak terhingga
Spulah semua najis kegelapan dari hati bumi ini.
Kaulah pemberi karunia abadi
Beri kami kekuatan menyangkal
Dan tuntutlah dari kami kebanggaan kami.
Dalam pesona fajar baru kearifan
Biar si buta memperoleh penglihatan terang
Dan biar hidup mendatangi jiwa-jiwa mati.
O Terang, O Kebebasan,
Dalam kasih saying dan kebaikanmu yang tak terhingga
Sapulah semua najis kegelapan dari hati bumi ini.
Hati manusia cemas oleh bara kegelisahan,
Oleh racun kepentingan diri,
Oleh dahaga tak kenal akhir.
Negeri-negeri jauh dan luas menunjukkan kening mereka
Yang memercikkan darah merah kebencian.
Rabalah mereka dengan tangan kananmu,
Jadikan mereka satu dalam semangat,
Bawakan keselamatan dalam hidup mereka,
Bawakan nada keindahan.
O Terang, O Kebebasan
Dalam kasih saying dan kebaikanmu yang tak terhingga
Sapulah semua najis kegelapan dari hati bumi ini.


***

Dari jauh aku memikirkanmu
Kaum zalim, tak tergugat.
Dunia gemetar dalam ketakutan
Mengerikan.
Kobaran api kelobaanmu
Melalap hati yang patah
Di tanganmu trisula
Naik menuju awan bertopan
Menurunkan guntur.
Hatiku gemetaran
Aku berdiri di depanmu.
Dalam pandang matamu yang mencakar
Terhambur ancaman bagaikan gelombang
Angin kencang turun.
Seraya menekankan tanganku ke hati
Aku bertanya,
“masih ada lagikah
Halilintarmu yang terakhir?”
Angin kencang bertiup.
Hanya inikah?
Rasa takutku lenyap.
Jika halilintarmu kau enyahkan,
Kau jadi lebih agung dariku.
Tiupan anginmu membuatmu tegelincir
Jatuh ke duniaku.
Kau jadi kecil
Dan rasa takutku lenyap.
Betapapun besar
Kau tak lebih agung dari kemarin.
Bahwa aku lebih agung
Itulah kata-kataku yang terakhir
Jika aku pergi.


***

Pintu senantiasa terbuka
Hanya mripat si buta yang tertutup
Ia yang tak berani masuk
Tak kenal jalan ruh.
Pintu, serumu bergema dalam terang dan gelap
Musik selamat datangmu begitu khidmat
Palang pintumu dalam matahari fajar
Dan dalam kegelapan bintang-bintang.
Pintu, dari benih sampai pucuk sulur.
Kau berjalan dari kembang ke buah
Walau waktu-waktu tak terurai
Dari mati menuju hidup.
O Pintu, kehidupan dunia
Perjalanan demi perjalanan dari mati ke mati
Kau lambaikan isyarat pada peziarah kebebasan
Suara “Tak Takut” terdengar dari malam keputusasaan.


***

Bertebaran di ruang ini
Benda-benda bisu tuli berbaur
Ada yang mencucuk mata, ada yang sukar dipandang:
Jambang bunga di sudut,
Poci the menyembunyikan wajahnya;
Isi almari, aneka ragam
Berkerumun menuju kekosongan.
Sepasang bingkai jendela pecah tergeletak di sisi tirai
Sekonyong kulihat tirai memerah sendiri
Kulihat tapi tak kusaksikan.
Cahaya pagi mengusut liku-liku desain permadani,
Di situ – taplak meja hijau; lama telah kukhayalkan
Agar menyala warnanya di mataku.
Kini kehijauan terkubur, seakan asap rokok
Dan ia tetap berada di situ sekaligus lenyap.
Pengambilan barang ada di sini, penaruh penuh kertas
Aku lupa membuangnya jauh-jauh.
Almanac condong ke arah meja,
Mengingatkan aku bahwa kini tanggal delapan,
Botol minyak rambut merebut cahaya;
Jam berdetak: sulit kulihat.
Dekat dinding
Sebuah rak, penuh buku –
Banyak yang tetap tak dikenal.
Gambar-gambar yang kugantung
tampak bagai hantu, terlupakan,
garis-garis babut yang dulu mengucap jelas
kini hamper membisu.
Hari-hari lenyap, kemarin dan kini
Terbaring tanpa pertalian.
Di ruang sempit ini
Ada benda yang karib, begitu banyak yang asing,
Dan meja lintas sejenak
Lewat mata yang biasa terpejam.
Betapa banyak yang hilang dari apa yang kupandang.
Tapi tanpa acuh kusebrangi dan kusebrangi lagi
Jembatan antara yang dikenal dan tak dikenal.
Seseorang menaruh sebuah foto bocah
Di bawah bingkai kaca; cetakan memudar
Ramang mendekati bayangan
Dalam pikiran aku adalah Rabindranath,
Seperti ruang ini
Dalam bahasa kabur, mengharukan
Ada benda yang tampak terang, ada
Yang jauh tersembunyi di sudut.
Banyak yang hampir lupa kupindahkan
Seperti makna yang hilang ini,
Hari-hari silang menyusut
Menghapus haknya mengada.
Bayang-bayang lenyap di tengah yang baru
Dan abjad yang menggeram makna
Tak seorang telah membacanya.





________________


Rabindranath Tagore dilahirkan pada tahun 1861 di Calcuta, India. Berasal dari keluarga yang berkecukupan dan mencintai seni, membuat Tagore kecil akrab dengan sajak-sajak penyair India dan Persia. Pengalaman apresiasinya itu bukannya tidak membawa pengaruh pada karya-karyanya kemudian. Konon, Tagore banyak terpengaruh Hafiz, penyair sufi (Persia) abad ke-14.

Tagore pernah sekolah di Inggris, pada tahun 1877, mengambil jurusan hukum, tetapi tidak selesai. Ia kembali ke India untuk mengurus tanah orang-tuanya. Dalam perjalanan hidupnya sewaktu muda, Tagore pernah mengalami kesulitan keuangan. Tetapi karena kecintaannya terhadap hidup dan kehidupan, dalam keadaan seperti itu, ia malah mendirikan sekolah khusus laki-laki, Shanti-Niketan. Maka ia harus banyak membagi waktunya, antara mengajar, menulis, dan menerjemahkan.

Kontribusi nyata Rabindranath Tagore dalam dunia kesusastraan meliputi 50 drama, 100 kumpulan puisi, 40 kumpulan cerpen dan roman, serta sejumlah buku esai dan filsafat. Gitanyali adalah salah satu kumpulan puisinya yang dianggap sebagai karya puncak kepenyairannya. Tahun 1913, Tagore menerima hadiah Nobel untuk kesusastraan (Nobel Award of Literature). Dan tahun 1915 menerima gelar kebangsawanan sir dari kerajaan Inggris. Tagore meninggal tahun 1941. Puisi-puisi terjemahan di atas dikutip dari buku Antologi Puisi Nobel, yang diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya, Jogjakarta.

@Redaktur SARBI: Dody Kristianto






________________

Sumber : http://sarbikita.blogspot.com/2013/07/puisi-puisi-rabindranath-tagore.html