Jumat, 31 Oktober 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Karya Sastra sebagai Media Pelestari Budaya







Sastra Indonesia | Esai - Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur sistem mulai dari sistem agama, politik, adatistiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Salah satu hasil dari kebudayaan adalah karya sastra, tetapi secara garis besar sastra merupakan hasil karya dari individu hanya saja objek yang disampaikan tidak akan terlepas dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat.

Kejelasan lain tentang karya sastra ialah sastra itu tidak pernah tercipta dari kekosongan. Sastra selalu memiliki latar belakang untuk menjadi ada. Hasil dari pengolahan kejadian yang melatarbelakangi terciptanya sebuah karya sastra adalah cerita ataupun kejadian-kejadian dalam masyarakat. Inilah alasan karya sastra tidak pernah hadir dari kehampaan.

Hubungan yang erat antara sastra dan budaya akhirnya dapat menghasilkan karya sastra yang memiliki fungsi sebagai pelestari kebudayaan. Sebuah kebudayaan yang kompleks dapat tercermin dalam sebuah karya sastra. Jika ditelusuki dengan seksama, maka akan kita ketahui beberapa pengarang yang telah memasukkan sebuah tradisi dan budaya suatu daerah dalam karya sastra mereka. Pada khususnya para sastrawan yang memasukkan adat budaya Jawa didalamnya. Mereka merangkum beberapa kesenian atau pun tradisi-tradisi kejawen dalam karya-karya sastra yang mereka tulis.
“Saya lahir di atas amben bertikar
dengan ari-ari menyertai pula
Oleh mbah dukun dipotong dengan welat
tajamnya tujuh kali pisau cukur
Bersama tlor ayam mentah, beras, uang logam
bawang merah dan bawang putih, gula, garam,
jahe dan kencur, adik ari-ari jadi satu
Sehabis dibersihkan dibungkus periuk tanah
kemudian ditanam di depan rumah”
Kutipan di atas adalah kutipan dari novel Pengakuan Pariyemkarya Linus Suryadi AG. Kutipan ini memberikan sebuah gambaran tentang sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat jawa ketika seorang anak baru dilahirkan.
“—Sepasaran, bahasa populernya
Maka tersedialah di tikar di lantai, di tanah:
Jenang abang: lambang kesucian si jabang bayi
Jenang putih: lambang cahaya yang menerangi alam
Ingkung ayam: lambang keutuhan badan
wadhag telanjang
Nasi tumpeng dan gudhangan: lambang
pergaulan hidup…”
Kutipan ini juga dari novel Pengakuan Pariyem,tetapi pembahasannya pada acara selamatan pemberian nama pada anak umur 5 hari atau sepasaran oleh masyarakat Jawa. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam tradisi masyarakat Jawa ada juga selamatan untuk bayi yang baru lahir.

Dua buah kutipan di atas sudah sedikit menggambarkan tradisi masyarakat Jawa yang masih sering dilakukan. Ini membuktikan suatu tradisi dapat masuk ke dalam sebuah karya sastra. Hal inilah yang mampu menjadi sebuah media dalam mengenalkan dan melestarikan suatu tradisi kebudayaan kepada seluruh kalangan masyarakat.

Ada juga sebuah judul dari kumpulan cerpen “Perempuan Terakhir” karya Shoim Anwar yang telah menjadi dokumentasi dari kesenian ludruk. Judul dari cerpen yang mendokumentasikan kesenian ludruk itu adalah “Awak Ludruk”. Dalam cerpen ini, penulis memberikan gambaran tentang pementasan ludruk dengan sejarah-sejarahnya. Siapa saja yang membacanya pasti akan mendapatkan sebuah gambaran mengenai ludruk.
“Kidung jula-juli usai dilantunkan. Irama dan tempo gamelan menaik dan semakin cepat. Suara gendang pun menghentak-hentak sebagai pertanda tari ngremo akan berakhir. Sang penari mulai menutup tariannya dengan gerakan yang amat gesit dan tangkas. Lidah sampur pun mulai dipermainkan ke kiri dan ke kanan, diikuti oleh tatapan mata yang kelewat tajam. Penari itu tak lain adalah Cak Codet. Sementara kaki kanannya digedhruk-gedhrukkan sehingga klintingan yang dikalungkan di pergelangan kaki itu terdengar ramai gemerincing. Dengan cepat, lelaki itu berjalan mengitari panggung, lalu berdiri kembali menghadang penonton. Matanya berkilat-kilat desetubuhi cahaya blencong.”
Beberapa kutipan di atas merupakan sebuah gambaran umum tentang suatu budaya dalam masyarakat Jawa. Secara khusus, untuk Jawa telah masuk beberapa kesenian tradisional, misalnya kuda lumping, ludruk, tayub, wayang kulit, dan sebagainya. Ini akan menjadi sebuah dokumentasi budaya Jawa yang beragam. Apabila telah terdokumentasikan dalam sebuah karya sastra, pasti tidak akan pernah hilang suatu kebudayaan itu oleh waktu.

Pengenalan dan pelestarian budaya Jawa dengan menggunakan karya sastra merupakan suatu inovasi yang sangat berharga. Tidak hanya untuk memberikan sebuah pengetahuan kepada pembaca, tetapi hal ini juga akan memberikan dampak positif untuk budaya Jawa itu sendiri. Ketika seorang pengarang telah memasukkan sebuah budaya Jawa di dalam karya sastranya, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa budaya Jawa itu akan selamanya ada. Inilah yang membuat sebuah karya sastra juga dapat mengenalkan dan meleastarikan budaya Jawa pada zaman ini.Banyak sekali manfaat yang akan diperoleh dari memasukkan suatu budaya Jawa ke dalam sebuah karya sastra. Budaya Jawa tersebut tidak akan pernah hilang oleh waktu karena budaya itu telah terdokumentasikan dalam sebuah karya sastra. Ketika kepedulian masyarakat kepada budaya Jawa semakin pudar, karya sastra inilah yang akan menjadi sebuah pelestari budaya Jawa.Media inilah yang saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern saat ini agar budaya-budaya yang dimiliki Jawa tidak menghilang beriringan dengan zaman yang terus berkembang.




Daftar Rujukan

Agustinus, L. S. 2002. Pengakuan Pariyem: Dunia batin seorang Wanita Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anwar, S. 2004. Perempuan Terakhir. Jakarta: Grasindo

Sadili, Hasan. 2010. Pengertian Sastra Secara Umum dan Menurut Para Ahli. Online (http://asemmanis.wordpress.com/2009/10/03/pengertian-sastra-secara-umum-dan-menurut-para-ahli/), diakses pada 2 Mei 2012

Hadi, M. 2011. Definisi Budaya dan Pengertian Kebudayaan. Online (http://duniabaca.com/definisi-budaya-pengertian-kebudayaan.html), diakses pada 2 Mei 2012

Ipung, S. 2009. Penertian Karya Sastra. Online (http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2168299-pengertian-karya-sastra/#ixzz1u8qKx74G), diakses pada 2 Mei 2012

Reza, M. A. 2011. 108 Cerita Rakyat Terbaik Asli Nusantara. Jakarta Selatan: Visimedia

Wawan, H. 2009. Pengertian Kebudayaan. Online (http://kojingtechnolog.wordpress.com/2011/09/04/pengertian-kebudayaan/), diakses pada 2 Mei 2012

Oleh: Renda Yuriananta
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya




___________________

Sumber : http://indonesiasastra.org/2013/08/sastra-indonesia-karya-sastra-sebagai-media-pelestari-budaya/

(Seluk Beluk Sastra) - Manusia Purba dan Modern: Antara Jejak Tulisan, Mengapa?


BG Buku




Manusia lahir dan hidup, tentu dengan tujuan. Baik atau buruknya tujuan itu, hanyalah soal pilihan. Pilihan-pilihan itu pun sudah barang pasti memiliki konsekuensi tertentu dari masing-masingnya. Hematnya, tak ada hidup tanpa tujuan, tak ada tujuan tanpa pilihan , dan tak ada pilihan tanpa konsekuensi atasnya.

Berbicara tentang tujuan, seorang manusia sudah dari sono-nya tercipta untuk menjadi khalifah fil ardh (pengurus dunia). Bedanya dengan mahluk dunia yang lain, hanya manusia yang memiliki “akal sehat”. Dan dengan karunia akal itulah, manusia bisa berlaku, bertindak, sebagai wujud tanggungjawabnya sebagai “pengurus” beragam urusan kehidupan di mana ia berpijak. Bahwa segala hal yang terjadi di dunia, aktornya hanya ada pada satu: manusia.

Berucap bahwa satu-satunya tugas manusia hidup tak lain untuk membangun peradaban “seindah” mungkin bagi kehidupannya adalah ungkapan yang absah. Malahan, peradaban adalah sebuah hal yang wajib dicapai dalam kehidupan manusia. Kehidupan tanpa peradaban, ibarat “binatang tak berbaju”. Istilah peradaban dapatlah kiranya diklaim sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana peradaban itu dapat diwujudkan? Dengan cara apa manusia dapat mewujudkan peradabannya?

Pernah ada ungkapan yang berkata bahwa peradaban manusia hanya akan dicapai melalui kerja-kerja intelektual. Pelakunya? Jelas manusia itu sendiri. Manusia memiliki akal, dan dengan akal itulah si manusia dapat mengatur hidup dan kehidupannya.

Apa saja yang termasuk kerja-kerja intelektual itu? Bahwa semua hal yang secara langsung atau tidak langsung mengembangkan potensi dan kemampuan si manusia, dengan tujuan utama memakmur-sejahterahkan hidup dan kehidupannya, demikian itulah kerja-kerja intelektual. Di antaranya itu, yakni melalui pembangunan wilayah teoritis dalam diri, seperti membaca dan menulis. Hal ini bukan berarti meniadakan kerja-kerja praktisnya. Praktek itu penting sebagai akhir dari upaya pencapaian tujuan si manusia. Namun perlu diperhatikan bahwa kuat-lemahnya suatu teori dalam diri si manusia, tak lain adalah penentu ke mana arah penentu perealisasian tujuan nantinya, dalam hal ini pembangunan peradaban manusia. Paling tidak, berpikir dulu sebelum bertindak, bukan bertindak dulu baru berpikir; bahwa penyesalan selalu berada di akhir cerita si manusia.

Mengapa manusia harus membaca dan menulis? Bagaimana manusia memulainya? Untuk apa ia melakukannya? Pertanyaan pertama, kurang lebih sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Untuk membaca dan menulis, paling tidak dimulai dengan keyakinan bahwa membaca ataupun menulis adalah perihal utama bagaimana manusia menjalani pola dan tujuan kehidupannya di dunia ini. Dengan keyakinan itu, maka manusia akan senantiasa menyerukan hidupnya untuk kedua kerja-kerja di atas.

Setelah keyakinan itu mulai tertanam kokoh dalam diri masing-masing manusia, barulah kemudian menerapkannya dalam pola kebiasaan sehari-hari. Dengan kata lain, membaca dan menulis mesti menjadi tradisi hidup. Mengapa? Karena tradisi itu sendiri tak lain adalah cikal-bakal suatu peradaban manusia. Jelas, bahwa membaca dan menulis adalah dua di antaranya yang terpenting bagi hidup. Malahan (bagi saya), keduanya adalah suatu hal utama yang harus diupayakan setiap manusia, di mana dan kapanpun ia berada selagi akal masih mampu menjadi alat dalam pekerjaan tersebut. Tak ada alasan untuk mengabaikan kerja-kerja yang demikian ini.

Sebab manusia yang mati tanpa karya tulis hanya memiliki nama di nisan kapan lahir dan mati. Sedangkan anak cucu dan keturunannya tidak mengenal sama sekali bahwa ia pernah ada. Berbeda mereka yang dengan kesungguhan meninggalkan jejak karya lewat membaca kemudian menuliskannya. Matinya pun menjadi sebuah karya bagi orang lain. Jejak-jejaknya masih hidup seperti Ibrahim Tan Malaka, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, Prof. Dr. HAMKA, Bung Hatta, Bung Karno dan Bung Pram yang menulis roman Rumah Kaca.

Apakah kita tidak bisa menyusul mereka dan malampauinya, atau mungkin kita akan lebih jelek dari manusia purba yang hanya menulis simbol-simbol sederhana?



Oleh: Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta




___________________

Sumber : http://indonesiasastra.org/2013/09/manusia-purba-dan-modern-antara-jejak-tulisan-mengapa/

(Seluk Beluk Sastra) - Kuasa di Balik Bahasa


bahasa
ilustrasi/indonesiasastra.org




Dalam studi antropologi, disebutkan bahwa untuk menampung kebutuhannya yang beragam, kehendak-kehendak manusia harus diwadahi dalam bentuk institusi. Salah satu kehendak manusia adalah ingin menguasai orang lain; demi mewadahi hasrat itu maka dibentuklah politik. Manusia juga cenderung untuk melampiaskan kehendak seksualnya, oleh karenanya dibuat lembaga pernikahan. Sama halnya dengan kehendak manusia untuk mengetahui segala hal, manusia butuh suatu sekolah untuk memenuhinya. Dengan logika yang sama, karena adanya kebutuhan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya sebagai mahluk sosial, manusia menciptakan simbol-simbol yang bersifat konvensional yang kemudian kita sebut bahasa.

Bahasa adalah kesepakatan (convention). Kita bisa berkomunikasi dengan orang lain di sekitar karena kita bersepakat dengan mereka akan suatu konsep yang sama. Seekor binatang merah kecil penyuka gula yang bila merasa terusik maka akan menggigit kita bersepakat dengan orang lain untuk menyebutnya semut. Konsep hujan di kepala kita sama konsep hujan di kepala orang lain. Mau tak mau, hasrat manusia untuk mengungkapkan apa saja yang mereka indrai mereka salurkan dalam bentuk bahasa.

Konon, dahulu bahasa hanya berupa bunyi-bunyi yang mereka dengar dari alam. Dalam perkembangannya, simbol-simbol itu mengalami evolusi sesuai dengan peradaban yang manusia ciptakan. simbol-simbol tersebut tidak bisa terus-menerus menjadi dirinya sendiri karena penggunanya ( language users) cenderung untuk mengeksploitasi bahasa menurut kepentingan masing-masing. Itulah mengapa dalam ilmu bahasa (linguistics) dikenal kajian pragmatik (pragmatic). Pragmatik merupakan salah satu unsur trikotomi semiotika.

Trikotomi Semiotika

Trikotomi semiotika memuat tiga isltilah yang tentu saja masih merupakan studi tanda (science of sign). Yang pertama adalah sintaktik semiotik (syntactic semiotic). Kalau Anda mempelajari bahasa sebagai ilmu murni, istilah syntax memahamkan Anda bahwa setiap kelas kata punya aturan-aturan tersendiri perihal bagaimana mereka berhubungan membentuk pola-pola frasa-klausa-kalimat yang bermakna. Misalnya, Kata sifat berpasangan dengan kata benda, kata kerja berpasangan dengan kata keterangan, dan seterusnya.

Ketika sebuah konsep yang kita serap dari dunia sekitar melalui panca indera disimbolkan dengan bentuk kata, disanalah apa yang kita lihat, dengar, raba, cium, kecap itu memeroleh makna. Tempat duduk yang entah itu terbuat dari kayu atau selain kayu kalau melihatnya pasti selalu kita sebut kursi; disinilah peran semantik semiotik (semantic semiotic). Jadi secara sederhana semantik adalah kajian tentang makna kata.

Yang menarik adalah tidak melulu kursi berarti properti yang digunakan untuk duduk. Dalam konteks politik, kursi bisa berarti kekuasaan. Ilmu bahasa yang mengaji makna kontekstual dari suatu simbol ini disebut pragmatik. Kalau semantik mengaji makna tekstual, pragmatik mengaji makna kontekstual. Simbol atau bahasa tak hanya bunyi, tapi bisa juga dalam wujud gerak, warna, dan apasaja yang bisa menjadi media bagi manusia untuk berfikir.

Selain berdasarkan akalnya, manusia berbeda dari hewan berdasarkan tingkat kebutuhan. Sejak lahir, seekor ayam sampai meregang nyawa memiliki kebutuhan yang konstan. Tidak berubah dari waktu ke waktu. Tak jauh-jauh dari persoalan pemenuhan kebutuhan biologis. Sedangkan manusia kebutuhannya kian tua kian abstrak. Pada waktu bayi, kita akan mengangis bila keharusan seputar mulut seperti susu terlambat disanggupi ibu. Menginjak usia sekolah, manusia butuh bukan sekedar makanan dan minuman semata, namun juga teman untuk bersosialisasi, sepeda, mainan robot, dan banyak lagi.

Setelah beranjak remaja, kebutuhan semakin banyak hingga mencapai suatu level tertentu dimana kita selalu merasa butuh untuk dihormati, dimengerti, suaranya selalu didengarkan, dan berbagai keabstrakan lainnya. Jadi kebutuhan manusia semakin abstrak seiring usia hidupnya.

Setidaknya dilingkaran kita orang indonesia, penghormatan adalah sesuatu yang sangat penting. Sedapat mungkin orang lain mengatakan sesuatu yang dapat memuaskan hati kita pendengarnya. Sejarah kelam indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah bangsa lain dan penguasa feodal ini terasa sangat kental. Relasi tuan dan hamba terasa menyatu dalam kehidupan sosial di manapun.

Taruhlah di tataran masyarakat Bugis. Kita mengenal istilah puang dan ata. Namun mari ambil istilah umum saja; bos dan bawahan. Bawahan selalu terposisikan sebagai pihak yang setiap waktu harus menaruh hormat bila bertemu bosnya.

“Bos” adalah sebuah kata biasa yang kemudian dilekatkan nilai-nilai kekuasaan padanya sedemikian rupa sehingga kata itu bisa mengatur sekian banyak bawahan yang kalau tidak menghormatinya atau menyenangkannya maka bisa semena-mena menindak mereka yang melanggar aturan.Faktor kekuasaan itu ditentukan oleh kepemilikan uang, darah biru, dan tingginya jabatan. Suka tak suka, faktor tersebut menentukan seberapa berkuasanya simbol bos. Kekuatan simbolik (symbolic power) nyatanya adalah sesuatu, boleh jadi sengaja dimapankan, yang banyak menciptakan jarak di antara kita umat manusia. Jarak yang semestinya samar dengan adanya status sosial justru kian lebar.

Di lingkungan perguruan tinggi, pola-pola atasan-bawahan juga sering ditemukan. Senior merupakan simbol yang mesti berkuasa atas dan bisa melakukan kekerasan pada junior dalam, beberapa kasus. Dalam beberapa pemberitaan banyak kasus perpeloncoan mengorbankan mereka yang berada pada status pendatang baru di institusi pendidikan itu. Atau dalam skala yang lebih luas banyak sekali tenaga kerja yang teraniaya “tangan besi” tuannya di negeri orang.

Kata-kata yang menempati posisi atasan, umpama bos, secara semantik berarti majikan, kepala, atau ketua. Namun dalam situasi tertentu, bos begitupula simbol-simbol atasan lainnya memainkan peran yang ekstrim sebagai penindas dan penganiaya mereka yang berposisi sebagai bawahan tergantung siapa terlibat, di mana terjadi, dan pola-pola hubungan seperti apa yang bermain di konteksnya.

Syukurlah dalam banyak kesempatan, kita melihat banyak rakyat di negeri ini yang semakin memiliki kepekaan semiotik. Rakyat tak lagi mau jadi boneka penguasa yang semena-mena. Banyak mahasiswa telah mencoba melakukan itu meski dalam beberapa kasus berujung anarki. Hampir semua protes yang terjadi kalangan akar rumput mencerminkan ketidak-puasan atas ketidak-pekaan penguasa di negeri ini dalam turut membaca penderitaan mereka. Pemegang kendali negeri ini besar kemungkinan belum memiliki kepekaan semiotik itu.

Berabad-abad silam, ada sosok pemimpin yang telah mengajari kita bagaimana menyikapi perbedaan status dengan amat memukau. Seorang jenderal perang yang pengaruhnya lintas negara di suatu kesempatan menjadi orang yang paling mengerti keadaan orang yang secara status jauh berada di bawahnya.

Suatu hari, seorang laki-laki menghampiri suatu majelis ilmu hendak bergabung. Barisan telah dipenuhi umat yang tengah mendengarkan sang jenderal berdakwah. Ketika mencoba merapatkan diri di barisan, dia tidak menemukan sedikitpun celah untuk duduk. Majelis hanya saling tatap satu sama lain menyadari kedatangannya dan enggan merenggangkan tempat duduk. Rasululah, sang pemimpin dunia itu, tiba-tiba membuka sorban dan menghamparkannya di sebelahnya lalu menawari si laki-laki itu untuk duduk bersebelahan. Si laki-laki ini pun tak kuasa menahan keharuan menyadari betapa rendah hati sosok di sampingnya itu. Rasulullah menyikapi kesenjangan itu dengan kepekaan konteks yang tinggi. Seperti itulah kira-kira penguasa negeri ini harus menyikapi kekuasaannya dan bersikap terhadap rakyat yang dikuasainya.



sumber: kompasiana
Oleh: Andi Syurganda
Penggiat kajian Humaniora. Tinggal di Makassar




___________________

Sumber : http://indonesiasastra.org/2013/06/sastra-indonesia-kuasa-di-balik-bahasa/

Kamis, 30 Oktober 2014

(Puisi) - Dia Yang Tinggal di Kubu Raya



Koleksi Album Lovelyvina Rima Ervina





Cobalah engkau lihat di garis Khatulistiwa
ada seberkas sinar yang menyala
senantiasa hangat 

Lihat matanya
ada seribu cinta menyerap
membelai
menundukkan yang jahat
sampai bertekuk lutut

Dan parasnya
menundukkan segala keangkuhan
sehingga bibir mulut terkelu
diam tak mampu bicara

Sepasang tangan indahnya
penuh kasih
membelai dan meremas jari
dengan kehangatan cinta

Oh dia yang duduk diam dalam rumah
dengan sejuta impian
yang siap membuat perapian tetap hangat
dan rumah penuh canda tawa
riang gembira





Jaga Blengko, 30 Okt' 14
Jack Phenomenon







Selasa, 28 Oktober 2014

(Serba-Serbi) - Misteri Tiga Orang Kiri (Buku)



















Bertahun-tahun penguasa Orba menempatkan mereka sebagai mitos sejarah yang haram untuk diwacanakan.

OLEH: JAY AKBAR

 
 
 
 
SEORANG pria berparas dingin, dengan mulut berlumur asap, serius berkata, “Jawa adalah kunci…”, “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”, “Kita tak boleh terlambat…!”

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa dalam film berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI. Melalui film itu, Syu’bah berhasil menciptakan bayang-bayang di pikiran masyarakat tentang sosok Aidit: lelaki jahat penuh muslihat, haus kekuasaan, dan dengan dingin memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Tapi itu dulu saat Orde Baru masih berkuasa. Ketika tafsir sejarah tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokohnya hanya milik penguasa. Pascagerakan reformasi 1998, yang diikuti dengan  jatuhnya kekuasaan Soeharto, masyarakat mempertanyakan kebenaran tafsir itu. Berbagai studi tentang gerakan kiri di Indonesia bermunculan. Tak terkecuali tentang Aidit, Njoto, dan Sjam Kamaruzzaman, yang coba ditelusuri majalah Tempo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Liputan Khusus majalah itu.

Masa kecil dan muda Aidit tidaklah semengerikan yang digambarkan Orde Baru. Dia lahir di Belitung, Sumatra Selatan, pada 30 Juli 1923 dengan nama Achmad Aidit, dari keluarga terpandang dan berada. Achmad dikenang sebagai sosok abang yang pelindung. Di kampung, Achmad muda dikenal pandai bergaul dan jago berenang. Pun, seperti kebanyakan pemuda Belitung seusianya, dia rajin mengaji. Achmad bahkan terkenal sebagai tukang azan.

Garis politik Achmad terbentuk sejak dia rajin bergaul dengan buruh-buruh Gemeenschappelijke Mijnbouw Mattschappij Billiton, perusahaan timah milik Belanda, yang letaknya sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya. Tapi karier politiknya baru dimulai saat dia bergabung dengan Persatuan Timur Muda, sebuah perkumpulan pemuda yang dimotori oleh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Kecerdasan dan keluwesan Achmad segera membawanya menjadi ketua umum Pertimu. Di saat aktivitas politiknya menanjak cepat itulah Achmad Aidit mengganti nama depannya menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Menjelang proklamasi, Aidit yang tergabung dalam kelompok pemuda Asrama Mahasiswa Menteng 31, terlibat dalam aksi heroik penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Semangat revolusi Aidit membuncah ketika Musso datang dari Rusia. Baginya, kehadiran Musso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi. Selang waktu sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, pecah Peristiwa Madiun 1948. Aidit buron. Kabar tersiar dia kabur ke Vietnam Utara. Ada pula yang mengatakan dia hanya modar-mandir Jakarta-Medan.

Dua tahun kemudian Aidit muncul lagi. Bersama Njoto dan Lukman, dia mengkonsolidasikan kekuatan partai yang sempat limbung dan terpecah-belah. Dalam waktu cepat, “trisula” ini berhasil mengembalikan kebesaran partai. Tahun 1954 Aidit mengambil-alih kepemimpinan dari kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie, serta membawa PKI menjadi partai terbesar keempat dalam pemilu 1955.
Aidit bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Dia punya teori sendiri tentang Revolusi. Baginya, revolusi bisa berhasil jika disokong setidaknya 30 persen kekuatan tentara. Tapi teorinya meleset. Gerakan 30 September 1965 yang dia rencanakan gagal. Aidit tutup buku dengan cara tragis: di Solo tentara menangkapnya dan menghujaninya dengan satu magazin peluru kalashnikov.

Njoto berbeda dengan kebanyakan orang komunis. Penampilannya necis. Jiwa seninya cenderung melankolis. Meski akrab dengan pemikiran Marxis dan Leninis, Njoto tak menganggap “kapitalis” harus selalu dimusuhi. Dia belajar politik secara sembunyi-sembunyi. Keluarganya nyaris tak mengetahuinya.
Petualangan politik Njoto dimulai ketika terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember. Sampai suatu hari muncul berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, sebagai wakil ketua PKI Banyuwangi.

Njoto berkenalan dengan Aidit dan Lukman di Yoyakarta. Kesamaan ideologi membuat ketiganya cepat akrab. Njoto menjabat wakil Sekjen II lalu wakil ketua II CC PKI. Dalam prahara 30 September 1965, banyak orang tak percaya keterlibatan Njoto. John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal menulis, “Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis.” Aidit menganggap Njoto lebih Sukarnois ketimbang komunis. Sementara wartawan senior Joesoef Isak menganggap ketidaksenangan Aidit terhadap Njoto karena Njoto, yang telah beristri, memiliki kekasih, seorang perempuan asal Rusia. Bagi Aidit, perbuatan Njoto tak etis dan mengganggu citra partai. Joesoef Isak menambahkan, sejak 1964 Njoto sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partai.

Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar logika gerakan itu: “Apakah premis Letkol Untung tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup d’etat?”

Di mata anak-anaknya, Njoto dikenal sebagai sosok ayah penyayang. Di waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem atau berpakansi ke pantai. Kebahagiaan keluarga ini sirna pascaperistiwa 1965. Njoto jadi pelarian. Kabar tersiar dia ditangkap tentara dan kemudian dieksekusi mati. Sayang, keluarga Njoto tak pernah tahu jasad atau makamnya.

Tokoh PKI lain yang kerap disangkutpautkan dalam peristiwa 1965 adalah Sjam Kamaruzzaman. Sjam lelaki misterius asal Tuban, Jawa Timur. Polisi militer mencatat setidaknya terdapat lima nama alias yang dimiliki Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Moechtar, Ali Sastra, dan Karman. Sjam merupakan mozaik penting dalam prahara itu. Tapi kisah hidup Sjam lebih mirip mitos ketimbang sejarah. Bahkan banyak petinggi PKI tak tahu siapa dirinya.

Aidit mengenal Sjam ketika keduanya aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok tahun 1949. Ketika pada 1964 istri Sjam meninggal akibat tifus, Aidit makin dekat dengan Sjam. Dia meminta Sjam mengetuai sebuah organisasi rahasia PKI, yang disebut Biro Khusus. Tugas Biro Khusus mempengaruhi dan mengurus kelompok tentara yang berhaluan kiri.

Dalam operasi G30S, Aidit kurang korektif dengan laporan Sjam yang kerap tak akurat. Satu batalyon Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara yang direncanakan datang, tak pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun tak pernah ada. Dan Bung Karno, yang digadang-gadang sebagai dalil aksi, juga menolak untuk menyetujuinya. Operasi itu dapat dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam.

Kurang lebih dua tahun Sjam menjadi pelarian dengan melakukan penyamaran dari satu kota ke kota lainnya. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 9 Maret 1967, di tempat persembunyian di Cimahi, Jawa Barat. Di penjara, Sjam dikabarkan menjadi informan tentara untuk membocorkan siapa saja anggota militer yang memiliki kaitan dengan PKI.

Sama seperti Njoto, akhir riwayat Sjam tak pernah jelas. Menurut sebuah versi, Sjam dieksekusi mati pada September 1986 di Kepulauan Seribu. Tapi toh keluarga Sjam tetap tak mengetahui kebenaran versi ini.

Kisah Aidit, Njoto, dan Sjam dalam buku ini menunjukan kepada kita bahwa perjalanan hidup seorang anak manusia dalam bingkai sejarah tidaklah bisa ditempatkan secara hitam dan putih. Dan terlepas dari segala misteri serta kontroversi yang menyelimuti ketiganya, agaknya tokoh-tokoh kiri ini memiliki jalan takdir yang sama dengan sebuah ungkapan “revolusi memakan anaknya sendiri.”




____________________

Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/resensi/776/Majalah-Historia/Misteri_Tiga_Orang_Kiri

(Serba-Serbi) - Denting Alunan Gamelan Raffles
















Raffles membawa dua perangkat gamelan Jawa hasil jarahan dari keraton Yogyakarta, ke Inggris. Dia jadi orang pertama yang mengenalkan gamelan kepada kultur Eropa.
 
 
 
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO





DENTING gamelan mengalun dari kediaman Letnan Gubernur Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles di kawasan Buitenzorg (Bogor). Gamelan itu dimainkan sepuluh pribumi, dari siang hingga pukul sepuluh malam.

William Buller Fagg dalam The Raffles Gamelan: A Historical Note, menduga gamelan itu milik penguasa salah satu kerajaan di Jawa. Anggapan Fagg dipertegas John Bastin dalam “The Java Journal of Dr Joseph Arnold,” JMBRAS Vol. 46 No.1, 1973, bahwa kedua gamelan itu milik keraton Yogyakarta yang dijarah sebagai rampasan perang oleh pasukan Inggris di bawah Mayjen Robert Rollo Gillespie pada 20 Juni 1812. Penjarahan itu dimuat suratkabar pemerintah Inggris di Hindia Belanda, Java Government Gazette, 4 Juli 1812.

Raffles kemudian membeli gamelan itu lewat sebuah agen. Joseph Arnold, pendamping risetnya saat menemukan bunga Rafflesia arnoldii, menaksir harga seperangkat gamelan kala itu berkisar 1.000-1.600 dollar Spanyol.
  
Saat meninggalkan Jawa pada 1816, Raffles mengangkut kedua koleksi gamelannya menggunkan kapal Ganges. Gamelan itu mulanya disimpan di Berner Street, London, tempat tinggal Raffles selama merampungkan penulisan The History of Java.

Raffles menjadi orang pertama yang membawa dan memperkenalkan gamelan Jawa ke kalangan Eropa. Saat Ranadipura, pendamping riset Raffles ihwal Jawa yang ikut bersamanya ke Inggris, memainkan gambang kayu; Raffles berkomentar bahwa alat itu “menyerupai alat musik kuno Skotlandia. Perbedaan karakter di antara keduanya, seperti juga yang dimiliki musik India secara umum, ditentukan oleh adanya kunci keempat dan ketujuh dan semua semitone.”

Menurut etnomusikolog Sumarsam dalam Javanese Gamelan and The West, dari perspektif kekinian, ukuran instrumen gamelan itu lebih besar dari ukuran gamelan pada umumnya. Setiap instrumen dihiasi ukiran dan bingkai berwujud hewan mitologi (zoomorphic), seperti naga dan burung merak, yang tak lumrah atau atipikal di Jawa tapi digemari orang Eropa.

Sekira setahun di Inggris, Raffles mendapat tugas menjadi letnan gubernur di Bengkulu. Sebelum berangkat ke Bengkulu, Raffles menitipkan seperangkat kecil gamelan kepada Duke of Somerset di Park Lane. Gamelan satunya lagi tetap di Berner Street.

Selama periode Raffles di Bengkulu (1818-1824), riwayat kedua gamelannya tak berjejak. Ketika Raffles membeli rumah di High Wood, tak jauh dari Hendon, Middlesex, pertengahan 1825, kedua gamelannya disimpan di sebuah ruangan yang dijuluki “The Museum.”

Setelah istri keduanya, Sophia Raffles, meninggal pada Desember 1858, seluruh peninggalan Raffles termasuk dua gamelan itu diwariskan kepada kemenakannya, Jenny Rosdew Mudge, istri William Charles Raffles Flint yang sejak umur 14 tahun dibesarkan oleh Sophia.

Pada 1859, beberapa koleksi termasuk satu set gamelan dihibahkan kepada British Museum. Gamelan ini cukup lengkap, paling mashyur, dan sering jadi objek penelitian serta pameran, bahkan jadi bahan deskripsi Raffles dalam The History of Java.

Sedangkan perangkat kecil gamelan dijual William Flint kepada Sir Harry Verney, anggota majelis rendah parlemen Kerajaan Inggris, pada September 1861. Melalui surat konfirmasi penjualan kepada Verney tanggal 12 September 1861, Flint menginformasikan bahwa gamelan itu tidak lengkap. Selain tak ada bonang, alat gender terutama beberapa potongan metalofonnya harus diperbaiki. Gamelan itu kini menjadi koleksi Claydon House di Buckinghamshire.



____________________

Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/budaya/1481/Majalah-Historia/Denting_Alunan_Gamelan_Raffles

(Puisi) - Bisikan Burung di Pohon Sahang


Koleksi Album Utin Hilda Thawila






Sepulang aku dari rumah ibu
aku sempat singgah beli sabun dan odol
untuk bekal kumandi di sungai sore hari

Aku suka dengan sungai yang sepi
menjelang pukul enam sore
aku raih gayungku yang penuh perlengkapan mandi

Tidaklah jauh dari rumahku menuju sungai
sepelemparan batu saja,
dan udara dingin mulai hinggap di kulitku

Aku mencari tempat di batu yang besar
di antara dua batu ada aliran air yang deras
tempat kesukaanku membersihkan badan

Ya, gunung Pasi yang menjulang dapat kulihat di depan rumahku
dengan tergesa-gesa aku pulang ke rumah
dan sempat kulihat seorang gadis

Duh sedang bergaya di depan mobil hitam
pesonanya indah sekali
tiba-tiba suasana menjelang gelap itu menjadi terang

Senyumnya membuat burung-burung
menunda pulang ke rumahnya di pohon sahang
yang banyak di kampungku

Ikan-ikan mas di tambak rumahku berkecipak
dengan mata yang lebar melihat gadis itu
padahal waktu makan ikan sudah berakhir jam empat sore tadi

Entahlah tiba-tiba angin berdesis dengan lembut
membelai rambut si gadis itu,
terlihat dengan mataku leher putih bagaikan menara Khatulistiwa

Pikiranku semakin kacau jadinya
aku bergegas ke kamarku dan melihat
dari balik jendela kayu rumah panggung

Si gadis jelita itu masih berdiri
dengan berbagai gaya dan pesona
menebar senyum manisnya

Ah aku duduk termenung di sisi tempat tidur
mengucek mataku dan berjalan ke jendela
melihat lagi gadis itu, tetap saja sedang tersenyum

Jam bekerpun berbunyi keras di samping
tepat tidur, aku mengulit tubuhku penuh penat
dan tersadar di pembaringan dan berupaya mengingat gadis itu

Oh, dan kulihat jendela yang tertutup rapat
aku segera bangkit dan membuka jendela
matahari, burung dan pohon sahang tetap berdiri teguh

Ke mana sang gadis itu pergi
mobil hitam tua itu masih ada di sebuah garasi rumah
namun pagi sepi saja

Aku sadar dan baru ingat tentang oldol dan sabun itu
rupanya bunga-bunga tidur membawa aku
berjumpa dengan gadis itu

Suatu saat aku berjumpa dengan dia !








Dari album Utin Hilda Thawila




Jaga Blengko, 28 Okt' 14
Jack Phenomenon

Senin, 27 Oktober 2014

(Sudut Pandang) - Perumpamaan







Kata Yunani pa·ra·bo·le′ (harfiah, menempatkan sesuatu di sisi atau bersama-sama) memiliki arti yang lebih luas daripada kata ”peribahasa” atau ”parabel” dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, kata ”perumpamaan” mencakup makna yang luas, termasuk ”parabel” dan, dalam banyak kasus, ”peribahasa”. ”Peribahasa” menyatakan kebenaran dengan ungkapan atau kalimat yang ringkas dan padat, sering kali dengan menggunakan metafora, dan ”parabel” adalah cerita pendek, biasanya rekaan, yang menggambarkan kebenaran moral atau rohani dengan menggunakan ibarat atau perbandingan.

Alkitab menggunakan kata pa·ra·bo·le′ dengan makna yang lebih luas daripada kata ”parabel” dalam bahasa Indonesia; hal ini ditunjukkan oleh Matius dalam Matius 13:34, 35 bahwa sebagaimana telah dinubuatkan, Yesus Kristus akan berbicara dengan ”perumpamaan” (NW), ”parabel” (KJ, RS). Mazmur 78:2, yang dikutip oleh Matius sehubungan dengan hal ini, menyebutkan ”kata-kata peribahasa” (Ibr., ma·syal′), dan untuk istilah ini penulis Injil tersebut menggunakan kata Yunani pa·ra·bo·le′. Sebagaimana disiratkan arti harfiah istilah Yunani ini, pa·ra·bo·le′ digunakan sebagai sarana untuk mengajar atau mengkomunikasikan gagasan, suatu metode untuk menjelaskan sesuatu dengan ’menempatkannya di sisi’ hal lain yang serupa. (Bdk. Mrk 4:30.) Untuk menerjemahkan istilah Yunani itu, kebanyakan terjemahan bahasa Inggris menggunakan bentuk kata yang diinggriskan, ”parable” (Ind., ”parabel”). Namun, terjemahan ini tidak selalu dapat menyampaikan makna kata itu dengan sepenuhnya.

Sebagai contoh, untuk Ibrani 9:9 dan 11:19 kebanyakan penerjemah merasa perlu untuk menggunakan istilah yang lain, bukan ”parabel”. Di ayat yang pertama, tabernakel, atau kemah, yang digunakan oleh bangsa Israel di padang belantara, disebut oleh rasul Paulus sebagai ”suatu gambaran [pa·ra·bo·le′; ”kiasan”, TB; ”melambangkan”, BIS] untuk waktu yang ditetapkan”. Di ayat yang kedua, sang rasul menggambarkan Abraham yang telah menerima kembali Ishak dari antara orang mati ”sebagai suatu gambaran simbolis” (NW) (en pa·ra·bo·lei′; ”secara kiasan”, JB, RS; ”seakan-akan”, TB; ”boleh dikatakan”, BIS). Ungkapan, ”Tabib, sembuhkanlah dirimu sendiri”, juga disebut sebuah pa·ra·bo·le′. (Luk 4:23) Mengingat hal ini, istilah yang lebih umum seperti ”perumpamaan” (NW) bisa digunakan secara konsisten untuk menerjemahkan pa·ra·bo·le′ dalam berbagai pemunculannya.

Istilah lain yang terkait adalah ”alegori” (Yn., al·le·go·ri′a), yang adalah metafora panjang yang mencakup serangkaian peristiwa yang melambangkan peristiwa-peristiwa lain, sedangkan karakter-karakternya sering kali merupakan lambang atau personifikasi. Paulus menggunakan kata kerja Yunani al·le·go·re′o (berfungsi sebagai alegori) di Galatia 4:24, sehubungan dengan Abraham, Sara, dan Hagar. Istilah itu diterjemahkan ’menjadi alegori’ (KJ), ’menjadi perkataan alegoris’ (AT), dan ”merupakan suatu drama simbolis” (NW).

Rasul Yohanes juga menggunakan sebuah istilah yang berbeda (pa·roi·mi′a) yang memaksudkan ”ibarat” (Yoh 10:6; 16:25, 29); kata ini secara bervariasi diterjemahkan menjadi ”lambang”, ”bahasa kiasan”, ”parabel”, ”peribahasa”, dan ”ibarat” (AT, KJ, NW). Petrus menggunakan istilah yang sama sehubungan dengan ”peribahasa” tentang anjing yang kembali ke muntahannya dan babi yang kembali lagi berguling-guling dalam kubangan.—2Ptr 2:22.

Keefektifan. Perumpamaan atau parabel sebagai sarana pengajaran yang ampuh dapat dikatakan efektif sedikit-dikitnya karena lima hal berikut: (1) Membuat orang tertarik dan terus memperhatikan; pengalaman atau cerita biasanya sangat menarik perhatian. Siapa yang tidak tahu tentang perumpamaan anak yang hilang dan seekor domba yang hilang? (2) Menggerakkan kemampuan berpikir; salah satu latihan mental yang terbaik adalah mencari makna dalam suatu perbandingan, mendapatkan kebenaran-kebenaran abstrak yang disampaikan dengan cara itu. (3) Menggugah emosi, dan dapat mencapai hati nurani dan hati karena penerapan praktis dari kebenaran-kebenaran di dalamnya biasanya menjadi jelas bagi para pendengarnya. (4) Membantu mengingat; kita selalu dapat menyusun kembali ceritanya dan menerapkannya. (5) Melestarikan kebenaran, karena selalu dapat diterapkan dan dimengerti pada setiap waktu dan masa. Hal ini adalah karena perumpamaan berkaitan dengan kehidupan dan hal-hal yang wajar, sedangkan kata-kata bisa berubah arti. Itulah salah satu alasannya mengapa kebenaran-kebenaran Alkitab tetap sangat jelas dewasa ini, sama seperti pada waktu kebenaran itu disampaikan secara lisan atau tertulis.

Tujuan. Tujuan utama semua perumpamaan adalah, seperti yang diperlihatkan sebelumnya, untuk mengajar. Namun, perumpamaan Alkitab juga mempunyai tujuan-tujuan lain:

(1) Perumpamaan kadang-kadang mengharuskan seseorang menggali agar dapat memahami maknanya yang lengkap, dalam, dan mencapai hati; hal ini cenderung membuat enggan orang yang hanya kelihatannya berminat, padahal tidak mengasihi Allah dan tidak menginginkan kebenaran dalam hati mereka. (Mat 13:13-15) Allah tidak mengumpulkan orang demikian. Perumpamaan menggerakkan orang yang rendah hati untuk meminta penjelasan lebih lanjut; orang sombong tidak mau berbuat demikian. Yesus mengatakan, ”Hendaklah dia yang mempunyai telinga mendengarkan,” dan walaupun kebanyakan dari orang-orang yang mendengarkan Yesus telah pergi, para muridnya datang dan meminta penjelasan.—Mat 13:9, 36.

(2) Perumpamaan menyembunyikan kebenaran dari orang-orang yang akan menyalahgunakannya dan yang ingin menjebak hamba-hamba Allah. Yesus menjawab pertanyaan jebakan orang Farisi dengan perumpamaan tentang uang logam pajak, dengan menyimpulkan, ”Karena itu, bayarlah kembali perkara-perkara Kaisar kepada Kaisar, tetapi perkara-perkara Allah kepada Allah.” Musuh-musuhnya dibiarkan untuk membuat penerapan sendiri; tetapi murid-murid Yesus sepenuhnya memahami prinsip kenetralan yang dinyatakan dalam perumpamaan itu.—Mat 22:15-21.

(3) Karena si pendengar sendiri yang menerapkan prinsip-prinsip dalam perumpamaan itu, ia bisa mendapatkan berita peringatan dan hardikan yang jelas melalui perumpamaan tersebut, tetapi pada waktu yang sama ia tidak mempunyai alasan untuk membantah si pembicara. Dengan kata lain, jika si pendengar merasa perumpamaan itu cocok baginya, ia bisa menerapkannya sendiri. Pada waktu orang-orang Farisi mengkritik Yesus karena ia makan bersama para pemungut pajak dan pedosa, Yesus menjawab, ”Orang sehat tidak membutuhkan tabib, tetapi orang sakit membutuhkannya. Maka, pergilah, dan belajarlah apa artinya ini, ’Aku menginginkan belas kasihan, dan bukan korban.’ 

Karena aku datang untuk memanggil, bukan orang adil-benar, tetapi orang berdosa.”—Mat 9:11-13.

(4) Sekalipun digunakan untuk mengoreksi seseorang, perumpamaan dapat digunakan untuk melenyapkan prasangka di pihak si pendengar, menjernihkan pikirannya dari prasangka demikian, dan oleh sebab itu, perumpamaan dapat berbuat lebih banyak daripada sebuah pernyataan fakta semata. Demikianlah halnya ketika Natan menggunakan perumpamaan sehingga Raja Daud mau mendengarkan ketika ia ditegur mengenai dosanya yang menyangkut Bat-syeba dan Uria. (2Sam 12:1-14) Penggunaan perumpamaan juga membuat Raja Ahab yang fasik tanpa sadar mempertimbangkan prinsip-prinsip yang menyangkut ketidaktaatannya dalam membiarkan hidup Raja Ben-hadad dari Siria, seorang musuh Allah, dan mengucapkan penghukuman atas dirinya sendiri.—1Raj 20:34, 38-43.

(5) Perumpamaan dapat memotivasi seseorang untuk mengambil tindakan dengan satu atau lain cara, dan membuka kedoknya, apakah ia adalah hamba Allah yang sejati atau bukan. Ketika Yesus mengatakan, ”Dia yang makan dagingku dan minum darahku memiliki kehidupan abadi,” ”banyak muridnya pergi kepada perkara-perkara di belakang dan tidak lagi berjalan bersama dia.” Dengan cara ini Yesus ’menyaring’ orang-orang yang tidak benar-benar percaya dari hati mereka.—Yoh 6:54, 60-66.

Pandangan dan Pendekatan yang Patut. Perumpamaan-perumpamaan dalam Alkitab memiliki lebih dari satu aspek. Perumpamaan menyatakan dan menerangkan prinsip, dan sering memiliki makna dan penerapan nubuat. Selain itu, ada yang memiliki makna nubuat untuk masa manakala perumpamaan itu disampaikan atau segera setelahnya, dan ada juga yang memiliki penggenapan jauh di kemudian hari.

Ada dua kesalahpahaman umum yang dapat menghalangi pemahaman perumpamaan Alkitab. Salah satunya adalah pandangan yang menganggap bahwa perumpamaan hanyalah cerita, contoh, atau pelajaran yang bagus. Misalnya, beberapa orang menganggap perumpamaan tentang anak yang hilang sebagai sebuah karya sastra yang indah; perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus, sebuah contoh tentang pahala dan hukuman setelah kematian.

Sehubungan dengan hal ini, bisa juga dikatakan bahwa walaupun diambil dari kehidupan dan hal-hal yang wajar, perumpamaan tidak selalu merupakan kisah nyata. Sekalipun ada yang dimulai dengan ungkapan-ungkapan seperti: ”Sekali peristiwa”, ”Seorang pria mempunyai”, ”Ada seorang pria”, atau frasa-frasa serupa, semuanya dirancang oleh si pembicara di bawah pengaruh roh Allah dan semuanya tetap adalah perumpamaan, atau parabel. (Hak 9:8; Mat 21:28, 33; Luk 16:1, 19) Mengenai Yesus Kristus dikatakan, ”Semua perkara ini Yesus katakan kepada kumpulan orang itu melalui perumpamaan. Sesungguhnya, tanpa perumpamaan ia tidak akan berbicara kepada mereka.”—Mat 13:34; Mrk 4:33, 34.

Hal kedua yang menghalangi pengertian adalah penerapan yang terlalu berlebihan, dengan berupaya agar setiap perincian cerita dari peristiwa yang sebenarnya mempunyai makna simbolis dengan menerapkan atau menafsirkannya menurut selera pribadi.

Pendekatan yang patut adalah, pertama-tama, dengan membaca konteksnya, memastikan latar belakang perumpamaan yang bersangkutan, dan bertanya: Bagaimana kondisi dan situasinya? Misalnya, ketika para penguasa dan bangsa Israel disebut sebagai ”diktator-diktator Sodom” dan ”orang-orang Gomora”, kita pun akan berpikir tentang suatu bangsa yang terdiri dari para pedosa bejat yang melawan Yehuwa. (Yes 1:10; Kej 13:13; 19:13, 24) Sewaktu sang pemazmur berdoa kepada Yehuwa agar musuh-musuh Allah dan umat-Nya diperlakukan ”seperti Midian”, kita pun teringat akan kekacauan total di antara para penindas umat Allah, yang di antaranya lebih dari 120.000 orang dibantai.—Mz 83:2, 3, 9-11; Hak 8:10-12.

Berikutnya, pengetahuan tentang Hukum, kebiasaan dan penggunaannya, serta ungkapan pada waktu itu, sering kali membantu. Misalnya, pengetahuan tentang Hukum membantu kita untuk memahami perumpamaan tentang pukat tarik. (Mat 13:47-50) Fakta bahwa pohon buah-buahan dikenai pajak di Palestina pada masa itu dan bahwa pohon-pohon yang tidak berbuah ditebang membantu kita mengerti mengapa Yesus membuat pohon ara yang tidak berbuah itu layu agar hal itu dapat digunakan sebagai perumpamaan.—Mat 21:18-22.

Akhirnya, faktor-faktor dalam suatu perumpamaan hendaknya tidak ditafsirkan sesukanya, menurut pandangan pribadi atau filsafat. Peraturannya telah ditetapkan bagi orang Kristen, ”Tidak seorang pun mengetahui perkara-perkara Allah, kecuali roh Allah. Kita tidak menerima roh dunia, melainkan roh yang berasal dari Allah, agar kita mengetahui perkara-perkara yang dengan baik hati telah Allah berikan kepada kita. Perkara-perkara ini juga kami sampaikan, bukan dengan kata-kata yang diajarkan melalui hikmat manusia, melainkan dengan kata-kata yang diajarkan oleh roh, karena kami menggabungkan perkara-perkara rohani dengan kata-kata rohani.”1Kor 2:11-13.

Gambaran nubuat di Penyingkapan pasal 6 adalah contoh bagaimana peraturan ini diterapkan. Seekor kuda putih adalah kuda pertama dari empat kuda yang disebutkan dalam konteks ini. (Pny 6:2) Apa yang dilambangkan olehnya? Untuk mengetahui maknanya, kita dapat melihat bagian-bagian lain dari Alkitab, dan juga melihat konteksnya. Amsal 21:31 mengatakan, ”Kuda dipersiapkan untuk hari pertempuran.” Warna putih sering digunakan untuk melambangkan keadilbenaran. Takhta penghakiman Allah berwarna putih; bala tentara di surga menunggangi kuda putih dan berpakaian linen halus yang putih dan bersih. (Pny 20:11; 19:14; bdk. Pny 6:11; 19:8.) Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa kuda putih tersebut melambangkan peperangan yang adil-benar.

Penunggang kuda hitam memegang sebuah timbangan, dan bahan makanan sedang ditimbang. (Pny 6:5, 6) Jelas bahwa kelaparan digambarkan di sini, karena dalam nubuat Yehezkiel tentang kelaparan, ia diberi tahu, ”Makanan yang akan kaumakan harus ditimbang . . . dan mereka akan makan roti yang ditimbang disertai perasaan khawatir, dan mereka akan minum air yang ditakar disertai perasaan seram.” (Yeh 4:10, 16) Sering kali, dengan memahami lambang-lambang yang digunakan dalam Alkitab, misalnya binatang-binatang yang disebutkan dalam perumpamaan, kita dapat memperoleh bantuan dan pemahaman rohani.—Lihat BINATANG SIMBOLIS.

Banyak juga perumpamaan yang dimengerti karena penjelasan yang diberikan oleh Alkitab sendiri, sering kali diikuti oleh penuturan peristiwa-peristiwa sebagai penggenapannya. Dua di antaranya adalah: Yehezkiel membuat lubang yang menembus tembok dan keluar dengan menutupi mukanya (Yeh 12:1-16; 2Raj 25:1-7, 11; Yer 52:1-15), dan Abraham berupaya mempersembahkan Ishak tetapi menerimanya kembali setelah intervensi Allah (kedua gambaran simbolis ini juga benar-benar terjadi, dilakonkan seperti drama). (Kej 22:9-13; Ibr 11:19) Yang lain-lainnya, terutama yang diceritakan oleh Yesus Kristus, dijelaskan kemudian oleh Yesus sendiri. Dalam banyak kasus, penggenapannya pada zaman modernlah yang membantu kita memahami perumpamaan-perumpamaan Alkitab.

Dalam Kitab-Kitab Ibrani. Para nabi Ibrani dan penulis Alkitab, atas dorongan roh Yehuwa, menulis banyak sekali perumpamaan yang sangat jitu. Gaya bahasa perumpamaan muncul di buku Kejadian, sewaktu Yehuwa berjanji bahwa Ia akan melipatgandakan benih Abraham ”seperti bintang-bintang di langit dan seperti butir-butir pasir yang ada di tepi laut”. (Kej 22:15-18) Untuk menandaskan keadaan buruk dan menyedihkan yang telah menimpa umat-Nya di Yehuda sebagai akibat dosa, Yehuwa menggerakkan Yesaya untuk membandingkannya dengan keadaan tubuh yang sangat menjijikkan akibat penyakit, dengan mengatakan, ”Seluruh kepala berada dalam keadaan sakit, dan seluruh hati lemah. . . . Luka-luka, memar, dan bilur-bilur baru—tidak dipijit atau dibalut, ataupun dibuat lembut dengan minyak.” (Yes 1:4-6) Kepada Raja Nebukhadnezar, Yehuwa menyampaikan berita-berita nubuat melalui penglihatan tentang patung raksasa dan pohon yang sangat tinggi, dan Daniel melihat pemerintahan-pemerintahan tertentu di bumi yang digambarkan sebagai binatang.—Dan psl. 2, 4, 7.

Sering kali, para nabi menggunakan sebuah kata atau ungkapan sewaktu berbicara tentang seseorang atau suatu kelompok dengan maksud menggambarkan karakteristik orang atau kelompok itu, yaitu secara metaforis. Sebagai contoh, Yehuwa digambarkan sebagai ”Gunung Batu Israel”, sebagai ’tebing batu’, dan sebagai ’benteng’, untuk menyampaikan gagasan bahwa Allah adalah sumber keamanan yang kukuh. (2Sam 23:3; Mz 18:2) Yehuda disebut sebagai ”anak singa”. (Kej 49:9) Orang Asiria disebut sebagai ”tongkat” kemarahan Allah.—Yes 10:5.

Adakalanya para nabi memperagakan berita yang harus mereka sampaikan, dengan demikian menandaskan kesan dari berita yang mereka ucapkan. Yeremia menubuatkan malapetaka untuk Yerusalem dan menandaskannya dengan memecahkan sebuah buli-buli di depan mata para tua-tua bangsa itu dan para imam yang sedang berkumpul. Ia menubuatkan perhambaan kepada Babilon dan membuat beritanya jelas dengan mengirimkan pengikat dan kayu kuk kepada raja-raja dari berbagai bangsa. (Yer psl. 19, 27) Yesaya berjalan ke sana kemari dengan telanjang dan kaki telanjang untuk menandaskan kepada orang Israel bahwa seperti itulah kelak orang Mesir dan Etiopia, yang kepada keduanya itu mereka meminta tolong, akan digiring ke pembuangan. (Yes 20) Yehezkiel mengukir gambar Yerusalem pada sebuah batu bata, mendirikan tembok pengepungan di sekelilingnya, menaruh wajan ceper dari besi di antara dirinya dan model itu, lalu berbaring pada sisi tubuhnya sambil menghadap ke arah model itu, untuk menggambarkan pengepungan yang akan menimpa Yerusalem.—Yeh 4.

Adakalanya cerita-cerita dituturkan untuk menandaskan gagasan tertentu yang ingin disampaikan. Yotam melakukan hal ini untuk memperlihatkan kebodohan para pemilik tanah Syikhem karena memilih orang yang begitu keji seperti Abimelekh untuk menjadi raja mereka. (Hak 9:7-20) Dalam buku Yehezkiel, sebuah cerita disusun seputar dua ekor burung elang dan tanaman anggur, untuk menggambarkan haluan Yehuda sehubungan dengan Babilon dan Mesir. (Yeh 17) Demikian pula, Yehezkiel menggunakan dua wanita kakak-beradik, Ohola dan Oholiba, yang menjadi pelacur, untuk menggambarkan haluan Samaria (kerajaan Israel sepuluh suku) dan Yerusalem (Yehuda).—Yeh 23.

Perumpamaan-perumpamaan yang disebutkan di sini hanya beberapa di antara banyak perumpamaan dalam Kitab-Kitab Ibrani. Hampir setiap penulis Alkitab dan nabi menggunakan perumpamaan, ada yang langsung diberikan oleh Allah sendiri dalam bentuk penglihatan, kata-kata, dan ada juga melalui wujud yang konkret, seperti tabernakel, yang disebut ”suatu gambaran”.—Ibr 9:9.

Dalam Kitab-Kitab Yunani. Kitab-Kitab Yunani Kristen juga penuh dengan perumpamaan yang sangat hidup. Mengenai Yesus Kristus dikatakan, ”Tidak pernah ada orang lain berbicara seperti itu.” Dari semua manusia yang pernah hidup di bumi, ia memiliki khazanah pengetahuan yang paling kaya. (Yoh 7:46) Melalui dialah Allah membuat segala perkara. (Yoh 1:1-3; Kol 1:15-17) Ia mengenal baik semua ciptaan. Jadi, tidak mengherankan jika perbandingan-perbandingan yang dibuatnya paling jitu dan penggambarannya tentang emosi-emosi manusia mencerminkan pengertian yang dalam. Ia seperti Salomo, pria berhikmat zaman dahulu, yang mengatakan, ”Dan selain sang penghimpun telah menjadi berhikmat, ia juga terus-menerus mengajarkan pengetahuan kepada orang-orang itu, dan ia memikirkan secara mendalam dan melakukan penyelidikan yang saksama, agar ia dapat menyusun banyak peribahasa. Sang penghimpun berupaya menemukan kata-kata yang menyenangkan dan cara menuliskan kata-kata kebenaran yang tepat.”—Pkh 12:9, 10.

Dengan tepat Yesus mengidentifikasi murid-muridnya sebagai ”garam bumi” dan ”terang dunia”. (Mat 5:13, 14) Ia mendesak mereka untuk ’mengamati dengan saksama burung-burung di langit’, dan untuk ’mengambil pelajaran dari bunga lili di padang’. (Mat 6:26-30) Ia menyamakan dirinya dengan seorang gembala yang rela mati demi kepentingan domba-dombanya. (Yoh 10:11-15) Kepada 

Yerusalem ia mengatakan, ”Betapa sering aku ingin mengumpulkan anak-anakmu, seperti cara induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya! Tetapi kamu sekalian tidak mau.” (Mat 23:37) Para pemimpin agama yang munafik ia sebut ”penuntun-penuntun buta, yang menapis agas tetapi menelan unta!” (Mat 23:24) Dan mengenai orang yang membuat orang lain tersandung, ia menyatakan, ”Adalah lebih berfaedah baginya jika sebuah batu kilangan digantungkan pada lehernya dan dia dilemparkan ke dalam laut.”—Luk 17:1, 2.

Perumpamaan yang Yesus gunakan bisa berupa ungkapan-ungkapan yang ringkas dan padat seperti kata-kata peribahasa yang terdapat dalam Kitab-Kitab Ibrani, tetapi ia biasanya menggunakan yang lebih panjang dan sering kali berupa cerita dan ada tokoh-tokohnya. Pada umumnya, Yesus mengambil perumpamaan dari ciptaan di sekitarnya, dari kebiasaan sehari-hari, dari peristiwa atau situasi yang bisa terjadi, dan dari kejadian terbaru yang tidak asing bagi para pendengarnya.

Sejumlah perumpamaan Yesus yang terkenal. Berikut ini adalah keterangan yang berguna tentang latar belakang dan konteks yang berkaitan dengan 30 perumpamaan yang digunakan Yesus Kristus dalam pelayanannya di bumi dan yang dicatat oleh para penulis Injil:

(1) Dua pria yang berutang (Luk 7:41-43). Dalam parabel ini ada dua pria yang berutang, yang satu berutang sepuluh kali lebih banyak daripada yang lainnya; tujuan dan penerapannya terdapat dalam konteks, Lukas 7:36-40, 44-50.

Perumpamaan itu disampaikan karena sikap Simon, yaitu orang yang menjamu Yesus, terhadap wanita yang datang dan mengolesi kaki Yesus dengan minyak wangi. Kehadiran orang yang tidak diundang dianggap sesuatu yang wajar karena pada beberapa kesempatan orang-orang yang tidak diundang tampaknya boleh memasuki ruangan selama acara makan dan duduk di sepanjang tepi ruangan, dan dari sana bercakap-cakap dengan orang-orang yang duduk berbaring pada meja di tengah-tengah ruangan. Yesus membuat penerapan yang cocok dengan situasi kedua pria yang berutang itu, dengan menunjukkan bahwa Simon tidak menyediakan air untuk membasuh kakinya, tidak memberinya ciuman sambutan, dan tidak mengolesi kepalanya dengan minyak; hal-hal ini adalah perlakuan ramah yang biasanya diberikan kepada tamu. Sebaliknya, wanita yang mempunyai banyak dosa itu memperlihatkan kasih yang lebih besar dan keramahan terhadap Yesus, sekalipun ia bukan nyonya rumah di situ. Ia kemudian mengatakan kepada wanita itu, ”Dosa-dosamu diampuni.”

(2) Penabur (Mat 13:3-8; Mrk 4:3-8; Luk 8:5-8). Dalam perumpamaan itu sendiri, tidak ada petunjuk tentang penafsirannya, tetapi penjelasannya secara jelas diberikan di Matius 13:18-23; Markus 4:14-20; dan Lukas 8:11-15. Perhatian dipusatkan pada keadaan yang mempengaruhi tanah, atau hati, dan pengaruh-pengaruh yang dapat membantutkan pertumbuhan benih, atau firman Kerajaan itu.

Pada zaman itu, berbagai cara digunakan untuk menabur benih. Cara umum yang digunakan penabur adalah mengikatkan kantong benih melintang pada bahu dan pinggangnya; ada juga yang membuat kantong untuk menaruh benih pada baju bagian luar. Seraya berjalan, mereka menyebarkan benih. Benih itu ditutupi sesegera mungkin, sebelum burung gagak bisa mematuknya. Akan tetapi, apabila jejak-jejak si pembajak membentuk jalan setapak di antara ladang-ladang yang belum dibajak, atau jika ada benih jatuh pada tanah keras di sepanjang jalan, burung-burung akan mematuk benih yang jatuh di sana. ”Tempat berbatu-batu” bukanlah tanah dengan bebatuan di sana-sini; tetapi, sebagaimana dikatakan di Lukas 8:6, benih jatuh di atas ”batu”, atau di celah-celah batu yang tersembunyi, yang hanya terdapat sedikit sekali tanah. Tanaman yang tumbuh dari benih ini akan segera layu karena panasnya matahari. Tanah yang ditumbuhi tanaman berduri pastilah sudah dibajak, tetapi belum dibersihkan dari lalang-lalangnya yang kemudian tumbuh dan mencekik benih-benih yang baru ditanam. Hasil yang disebutkan dari benih-benih yang produktif—seratus kali, enam puluh kali, dan tiga puluh kali lipat—adalah hasil yang masuk akal. Penaburan benih dan berbagai jenis tanah adalah hal-hal yang tidak asing lagi di telinga orang-orang yang mendengarkan Yesus.

(3) Lalang di antara gandum (Mat 13:24-30). Yesus memberikan penjelasannya, sebagaimana dicatat di Matius 13:36-43; ia mengontraskan ”gandum” atau ”putra-putra kerajaan” dengan ”lalang”, yaitu ”putra-putra si fasik”.

Menaburkan benih lalang di ladang gandum adalah perbuatan jahat yang pasti dikenal di Timur Tengah. ”Lalang” yang dimaksudkan adalah sejenis rumput semusim yang beracun (Lolium temulentum), zat-zat racunnya pada umumnya dianggap berasal dari jamur parasit yang tumbuh dalam benih-benih itu. Lalang ini awalnya kelihatan mirip sekali dengan gandum; setelah dewasa barulah identitasnya dapat dikenali. Jika dimakan, lalang ini dapat mengakibatkan kepala pening, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Sekalipun lalang dapat dikenali, mencabutnya sebelum musim panen dapat membuat gandum ikut tercabut karena akar kedua jenis tumbuhan ini saling bertautan.

(4) Biji moster (Mat 13:31, 32; Mrk 4:30-32; Luk 13:18, 19). Dikatakan bahwa pokok yang sedang dibahas adalah ”kerajaan surga”. Sebagaimana diperlihatkan di ayat-ayat lain, hal ini dapat memaksudkan aspek tertentu yang berkaitan dengan Kerajaan. Dalam hal ini, perumpamaan itu menandaskan dua hal: pertama, pertumbuhan yang menakjubkan dari berita Kerajaan; kedua, perlindungan bagi orang-orang yang menerima berita tersebut.

Biji moster adalah biji yang sangat kecil sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang sangat kecil. (Luk 17:6) Tanaman moster yang telah berkembang penuh tingginya bisa mencapai 3 sampai 4,5 m dan memiliki cabang-cabang yang kukuh, sehingga dapat dikatakan tumbuh menjadi ”pohon”, seperti yang Yesus katakan. Demikian pula, sidang Kristen dimulai dari awal yang sangat kecil pada Pentakosta 33 M. Tetapi, pada abad pertama, sidang ini berkembang dengan pesat, dan pada zaman modern, cabang-cabang ”pohon” moster itu telah berkembang melebihi dugaan.

(5) Ragi (Mat 13:33). Lagi-lagi, pokok pembicaraannya adalah ”kerajaan surga”. ”Tiga takaran besar” adalah tiga sa′ta, yaitu tiga sea, yang sama dengan 22 l tepung. Jumlah raginya relatif sedikit, tetapi yang sedikit itu dapat mempengaruhi segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Aspek apa yang digambarkan oleh Kerajaan dalam perumpamaan ini? Seperti ragi, pertumbuhan rohani yang berkaitan dengan Kerajaan sering tidak terlihat oleh mata manusia, tetapi itu bersifat konstan dan menyebar. Seperti ragi dalam takaran besar tepung, pekerjaan pemberitaan Kerajaan yang menghasilkan pertumbuhan rohani ini telah meluas hingga Kerajaan kini telah diberitakan ”sampai ke bagian yang paling jauh di bumi”.—Kis. 1:8.

(6) Harta yang tersembunyi (Mat 13:44). Disampaikan oleh Yesus, bukan kepada orang banyak, melainkan kepada murid-muridnya sendiri. (Mat 13:36) Sebagaimana dinyatakan dalam ayat itu, yang menjadi pokok pembicaraan adalah ”kerajaan surga”, yang membawa sukacita bagi orang-orang yang menemukannya; hal ini mengharuskan mereka membuat perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan mereka dan mencari Kerajaan terlebih dahulu, dengan mengorbankan segala sesuatu demi Kerajaan itu.

(7) Saudagar yang mencari mutiara (Mat 13:45, 46). Disampaikan oleh Yesus kepada murid-muridnya. Ia membandingkan Kerajaan surga dengan sebutir mutiara yang indah dan amat mahal sehingga untuk mendapatkannya seorang pria harus menjual semua harta miliknya.

Mutiara adalah permata yang terdapat dalam cangkang tiram dan jenis-jenis moluska tertentu lainnya. Namun, tidak semua mutiara ”baik” mutunya; ada yang tidak putih bening, tetapi kuning, atau agak kusam, atau mungkin juga tidak licin. Di masyarakat zaman dahulu di Timur Tengah, mutiara sangat dihargai dan menyenangkan hati pemiliknya. Dalam perumpamaan ini, si saudagar sedang mencari mutiara; ia mempunyai daya pengamatan untuk melihat nilai yang sangat tinggi dari mutiara yang satu itu dan ia bersedia bersusah payah membuat semua pengaturan yang dibutuhkan dan mengorbankan segala sesuatu untuk mendapatkannya.—Bdk. Luk 14:33; Flp 3:8.

(8) Pukat tarik (Mat 13:47-50). Melalui perumpamaan ini, Yesus menggambarkan pemisahan, atau penyaringan, orang-orang yang tidak layak untuk Kerajaan surga. Ayat 49 menunjuk ke periode ”pada penutup sistem ini” sebagai waktu manakala penggenapan perumpamaan ini sampai pada puncaknya.

Pukat tarik adalah jala-jala yang dirancang untuk ditarik di dasar perairan. Dengan menggunakannya, berbagai jenis ikan akan terkumpulkan. Perumpamaan ini sangat cocok untuk murid-murid Yesus, yang beberapa di antaranya adalah nelayan. Mereka tahu betul bahwa ada ikan yang tidak layak dan harus dibuang mengingat segala yang tidak bersirip dan bersisik itu haram menurut Hukum Musa dan tidak boleh dimakan.—Im 11:9-12; Ul 14:9, 10.

(9) Budak yang tidak berbelaskasihan (Mat 18:23-35). Situasi yang mendorong Yesus menggunakan perumpamaan ini diuraikan di Matius 18:21, 22, dan penerapannya dinyatakan di ayat 35. Perumpamaan ini menandaskan betapa kecil utang sesama kita apabila dibandingkan dengan utang kita kepada Allah. Perumpamaan ini mengingatkan kita sebagai manusia yang berdosa, yang sudah mendapat pengampunan besar dari Allah atas dasar korban Kristus, perlunya langsung mengampuni dosa-dosa yang relatif kecil yang dilakukan sesama terhadap kita.

Satu dinar sama dengan upah kerja satu hari; jadi, 100 dinar, utang yang lebih kecil, kira-kira sama dengan upah kerja sepertiga tahun. Sepuluh ribu talenta perak, utang yang lebih besar, sama dengan 60 juta dinar, atau upah yang harus dikumpulkan dalam waktu ribuan masa hidup. Teramat besarnya jumlah utang kepada sang raja dapat diperlihatkan melalui perbandingan berikut ini. Menurut Yosefus, provinsi Yudea, Idumea, serta Samaria dan kota-kota tertentu bersama-sama membayar pajak pada zamannya sebesar 600 talenta perak setahun; Galilea dan Perea membayar 200 talenta perak. Yesus sendiri (di ayat 35) memberi tahu prinsip yang terkandung dalam perumpamaan tersebut, ”Dengan cara yang sama Bapak surgawiku akan memperlakukan kamu, jika kamu masing-masing tidak mengampuni saudaranya dari hatimu.”

(10) Orang Samaria yang baik hati (Luk 10:30-37). Latar, yang dicatat di Lukas 10:25-29, memperlihatkan bahwa perumpamaan tersebut diberikan sebagai jawaban atas pertanyaan, ”Siapa sesungguhnya sesamaku?” Kesimpulan yang cocok untuk perumpamaan ini diperlihatkan di ayat 36 dan 37.

Jalan dari Yerusalem ke Yerikho melintasi daerah yang rawan dan sepi tempat perampokan sering terjadi. Begitu rawannya tempat itu sehingga sebuah garnisun kemudian ditempatkan di sana untuk melindungi orang-orang yang bepergian. Yerikho terletak kira-kira 23 km di sebelah timur timur-laut Yerusalem. Untuk menunjukkan siapa ”sesama” yang harus dikasihi sesuai dengan perintah Hukum, Yesus menyebutkan reaksi seorang imam dan seorang Lewi terhadap pria yang telah dirampok dan ditinggalkan sekarat. Para imam bertugas mempersembahkan korban-korban di bait di Yerusalem, dan orang-orang Lewi membantu mereka. Orang Samaria mengenal Hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pentateukh, tetapi orang Yahudi tidak berlaku ramah terhadap orang Samaria, dan bahkan tidak mau berurusan dengan mereka. (Yoh 4:9) Orang Yahudi memandang mereka hina (Yoh 8:48), dan ada juga yang mengutuk mereka di depan umum di sinagoga-sinagoga dan setiap hari berdoa kepada Allah agar mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan kekal. Minyak dan anggur, yang dicurahkan pada luka-luka orang yang cedera itu, sering kali digunakan untuk menyembuhkan. Dua dinar yang diberikan oleh orang Samaria itu kepada pengurus penginapan untuk merawat pria tersebut sama dengan upah kerja dua hari.—Mat 20:2.

(11) Sahabat yang pantang menyerah (Luk 11:5-8). Perumpamaan ini adalah bagian dari jawaban Yesus sewaktu murid-muridnya meminta petunjuk tentang caranya berdoa. (Luk 11:1-4) Sebagaimana diperlihatkan di ayat 9 dan 10, gagasannya bukanlah bahwa Allah merasa terganggu oleh permintaan kita melainkan Ia mengharapkan agar kita terus meminta.

Menerima tamu adalah suatu tugas yang dengan senang hati dijunjung oleh orang-orang Timur Tengah. Sekalipun sang tamu datang mendadak pada tengah malam, mungkin karena hal-hal yang tidak menentu dalam perjalanan pada masa itu, tuan rumah akan merasa berkewajiban untuk menyediakan makanan. Karena sulit untuk memperkirakan jumlah roti yang dibutuhkan keluarga, pinjam-meminjam roti antartetangga adalah hal yang lumrah. Dalam kasus ini, si tetangga sudah tidur. Beberapa rumah, terutama rumah orang miskin, mungkin hanya terdiri dari satu ruangan besar sehingga apabila seseorang bangun dari tempat tidurnya seluruh keluarga terganggu. Itulah sebabnya pria tersebut agak enggan memenuhi permintaan tetangganya.

(12) Orang kaya yang bersikap tidak masuk akal (Luk 12:16-21). Perumpamaan ini adalah bagian dari jawaban Yesus kepada seorang pria yang meminta agar ia menentukan pembagian warisan. Seperti diperlihatkan di ayat 15, gagasan yang ditandaskan adalah bahwa ”bahkan jika seseorang berkelimpahan, kehidupannya bukanlah hasil dari perkara-perkara yang ia miliki”. Bandingkan hal itu dengan apa yang Yesus katakan selanjutnya kepada murid-muridnya, mulai ayat 22.

Hukum mewajibkan dua bagian dari semua yang dimiliki sang ayah untuk diwariskan kepada putranya yang tertua. (Ul 21:17) Perselisihan itu pastilah timbul karena ia tidak mau merespek hukum ini; oleh karena itu, ia diberi peringatan tentang ketamakan.

(13) Pohon ara yang tidak produktif (Luk 13:6-9). Perumpamaan ini diceritakan menjelang akhir tahun 32 M, tiga tahun penuh setelah Yesus dibaptis. Baru saja ada laporan tentang pembunuhan beberapa orang Galilea oleh Pilatus. Yesus juga menyoroti kasus kematian 18 orang yang ditimpa menara di Siloam dan memberi tahu orang-orang bahwa, kecuali mereka bertobat, mereka semua akan dibinasakan. (Luk 13:1-5) Setelah itu, ia menyampaikan perumpamaan ini.

Memang ada kebiasaan untuk menanam sejumlah pohon ara dan zaitun di kebun anggur, sehingga jika panen anggur kurang baik, masih akan ada penghasilan untuk tahun itu. Pohon-pohon baru yang tumbuh dari setek biasanya menghasilkan setidaknya beberapa buah ara setelah dua atau tiga tahun. Persamaan antara tiga tahun yang disebutkan dalam perumpamaan itu dan tiga tahun pelayanan Yesus yang baru dilaluinya tampaknya mengandung makna. Sebagai objek yang dikenai pajak, pohon itu menjadi beban, oleh karena itu layak dibinasakan.

(14) Perjamuan malam yang besar (Luk 14:16-24). Ayat 1-15 menceritakan latarnya; pada sebuah perjamuan, perumpamaan ini diceritakan kepada tamu lain yang mengatakan, ”Berbahagialah ia yang makan roti dalam kerajaan Allah.”

Orang-orang yang sudah diundang ke pesta biasanya diberi tahu kapan perjamuan telah siap. Orang yang tidak jadi datang ke perjamuan tersebut memilih untuk melakukan kegiatan lain yang biasanya tampak cukup masuk akal. Akan tetapi, jawaban mereka memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya tidak ingin hadir, dan juga tidak memiliki respek yang sepatutnya terhadap tuan rumah. Kebanyakan orang yang belakangan diundang, yaitu orang miskin, orang cacat, orang timpang, orang buta, dan orang-orang lain yang akhirnya dibawa masuk, adalah orang-orang yang oleh dunia pada umumnya dipandang tidak layak.—Bdk. ay. 13.

(15) Seekor domba yang hilang (Luk 15:3-7). Lukas 15:1, 2 memperlihatkan bahwa perumpamaan ini disampaikan karena orang Farisi dan para penulis bersungut-sungut tentang fakta bahwa Yesus menyambut para pedosa dan pemungut pajak. Matius 18:12-14 mencatat perumpamaan serupa yang digunakan pada kesempatan yang berbeda.

Pemungut pajak, terutama yang berkebangsaan Yahudi, dibenci karena mereka bekerja untuk memungut pajak bagi orang-orang Romawi yang dibenci. Mereka dipandang hina. Perumpamaan Yesus tentang seekor domba yang hilang didasarkan atas keadaan sehari-hari yang tidak asing lagi bagi para pendengarnya. Domba yang hilang biasanya tidak berdaya; sang gembalalah yang harus mencarinya agar bisa mendapatkannya kembali. Sukacita di surga atas pedosa yang bertobat sangat bertolak belakang dengan sungut-sungut para penulis dan orang Farisi atas keprihatinan yang diperlihatkan Yesus kepada orang-orang demikian.

(16) Uang logam drakhma yang hilang (Luk 15:8-10). Latarnya ditulis di Lukas 15:1, 2, dan perumpamaan ini disampaikan tepat setelah perumpamaan tentang seekor domba yang hilang. Di ayat 10 tercatat penerapannya.

Satu drakhma bernilai $0,65, hampir sama dengan upah kerja satu hari. Namun, uang logam yang hilang ini bisa jadi mempunyai nilai khusus karena merupakan bagian dari untaian 10 keping uang logam, mungkin suatu benda pusaka atau bagian dari seuntai perhiasan yang mahal. Dibutuhkan cahaya pelita untuk mencarinya, karena jendela di dalam rumah, kalaupun ada, biasanya sangat kecil; dan supaya lebih mudah mencarinya, rumah perlu disapu, karena pada umumnya hanya berlantai tanah liat.

(17) Anak yang hilang (Luk 15:11-32). Orang Farisi dan para penulis bersungut-sungut karena Yesus menyambut para pemungut pajak serta para pedosa dan makan bersama mereka. Yesus menanggapi mereka dengan memberikan perumpamaan tentang seekor domba yang hilang dan uang logam yang hilang, lalu diikuti oleh perumpamaan ini.

Menurut hukum Yahudi, warisan adik adalah setengah dari warisan kakaknya. (Ul 21:17) Sebagaimana putra kedua itu pergi ke negeri yang jauh, demikianlah menurut anggapan orang Yahudi, para pemungut pajak telah meninggalkan mereka untuk memberikan pelayanan kepada Roma. Menggembalakan babi secara terpaksa merupakan pekerjaan yang hina bagi orang Yahudi, karena binatang ini najis menurut Hukum. (Im 11:7) Ketika kembali ke rumahnya, putra kedua itu memohon agar ia diterima, bukan sebagai putra, melainkan sebagai pekerja upahan. Pekerja demikian bahkan tidak dianggap sebagai bagian sebuah rumah tangga, seperti halnya para budak, tetapi sebagai orang luar yang sering kali dipekerjakan sebagai buruh harian. (Mat 20:1, 2, 8) Sang bapak minta diambilkan sebuah jubah, yang terbaik, untuk putra keduanya itu. Pakaian ini bukan cuma sepotong pakaian biasa, melainkan jubah mewah bersulam yang biasanya diberikan kepada seorang tamu kehormatan. Kemungkinan, cincin dan kasut merupakan tanda kehormatan dan tanda orang merdeka.

(18) Pengurus yang tidak adil-benar (Luk 16:1-8). Perumpamaan ini mengandung pelajaran yang dinyatakan di ayat 9-13. Pengurus itu dipuji, bukan karena ketidakadilbenarannya, melainkan karena hikmatnya yang praktis.

Pengurus itu ditugasi untuk mengurus segala keperluan majikannya; posisi ini merupakan kedudukan yang disertai kepercayaan yang besar. (Kej 24:2; 39:4) Dalam perumpamaan Yesus ini, pengurus itu dipecat, artinya ia disuruh keluar dari rumah, tanpa sarana penunjang apa pun. Dengan mengurangi jumlah utang orang-orang yang meminjam uang dari majikannya, ia tidak mendapat keuntungan materi tetapi ia melakukannya untuk mendapatkan banyak teman yang bisa membantunya di kemudian hari. Seratus takaran bat minyak sama dengan 2.200 l, dan 100 takaran kor gandum sama dengan 22.000 l.

(19) Orang kaya dan Lazarus (Luk 16:19-31). Latarnya, di Lukas 16:14, 15, memperlihatkan bahwa orang-orang Farisi yang cinta uang sedang mendengarkan dan mencemoohkan Yesus. Tetapi Yesus mengatakan kepada mereka, ”Kamu adalah orang-orang yang menyatakan dirimu sendiri adil-benar di hadapan manusia, tetapi Allah mengetahui hatimu; karena apa yang tinggi di antara manusia adalah perkara yang menjijikkan di hadapan Allah.”

”Pakaian ungu dan linen” yang dikenakan orang kaya itu sebanding dengan jubah yang hanya dikenakan oleh para pangeran, bangsawan, dan imam. (Est 8:15; Kej 41:42; Kel 28:4, 5) Pakaian seperti itu teramat mahal. Hades, tempat orang kaya itu pergi, adalah kuburan umum umat manusia. Dari perumpamaan itu tidak dapat disimpulkan bahwa Hades adalah lautan api yang bernyala-nyala karena adanya penjelasan di Penyingkapan 20:14, yang menggambarkan bahwa kematian dan Hades dicampakkan ke dalam ”danau api”. Oleh karena itu, kematian orang kaya maupun keberadaannya di Hades pastilah suatu kiasan, yaitu kematian kiasan yang disebutkan di ayat-ayat lain dalam Alkitab. (Luk 9:60; Kol 2:13; 1Tim 5:6) Jadi, penyiksaan dalam api dialami sewaktu ia mati secara kiasan tetapi sebenarnya ia adalah manusia yang hidup. Dalam Firman Allah, api digunakan untuk menggambarkan berita penghakiman yang berapi-api (Yer 5:14; 23:29), dan pekerjaan yang dilakukan para nabi Allah dalam memberitakan penghukumannya dikatakan ”menyiksa” orang-orang yang menentang Allah dan para hamba-Nya.—Pny 11:7, 10.

Lazarus adalah bentuk Yunani dari nama Ibrani Eleazar, yang artinya ”Allah Telah Menolong”. Anjing-anjing yang menjilat luka-lukanya adalah pemakan bangkai yang berkeliaran di jalan-jalan dan dianggap najis. Lazarus di dada Abraham menunjukkan bahwa ia berada pada posisi yang diperkenan (bdk. Yoh 1:18); gaya bahasa ini berasal dari kebiasaan duduk berbaring pada waktu makan sehingga orang dapat bersandar pada dada temannya.—Yoh 13:23-25.

(20) Budak yang tidak berguna (Luk 17:7-10). Perumpamaan ini mengandung pelajaran yang dinyatakan di ayat 10.

Para budak yang bekerja di ladang majikan mereka juga sering melayaninya pada waktu makan malam. Mereka biasa menunggu sampai majikan mereka selesai makan sebelum mereka sendiri makan; selain itu, mereka juga sering kali memperbantahkan siapa di antara mereka yang akan mendapat kehormatan untuk melayaninya. Hal itu tidak dipandang sebagai beban tambahan tetapi sebagai sesuatu yang patut diterima majikan mereka.

(21) Janda dan hakim (Luk 18:1-8). Sebagaimana dinyatakan di ayat 1, perumpamaan ini disampaikan ”sehubungan dengan perlunya mereka selalu berdoa dan tidak menyerah”. Penerapannya diperlihatkan di ayat 8 dan 9. Perumpamaan untuk menandaskan perlunya doa memang cocok, mengingat apa yang dikatakan di pasal sebelumnya di ayat 20 sampai 37.

Tampaknya, tidak ada hubungan antara hakim itu dan sistem pengadilan Yahudi. Pada abad pertama, ada empat tingkat pengadilan Yahudi: (1) pengadilan desa, yang terdiri dari tiga pria; (2) pengadilan yang terdiri dari tujuh tua-tua desa; (3) di Yerusalem ada beberapa pengadilan negeri yang masing-masing terdiri dari 23 orang, dan pengadilan seperti itu ada di kota-kota yang agak besar di seluruh Palestina; dan (4) pengadilan utama, Sanhedrin Agung, yang beranggotakan 71 orang dan berkedudukan di Yerusalem dengan kewenangan atas seluruh bangsa. (Lihat PENGADILAN) Akan tetapi, hakim dalam perumpamaan ini tidak termasuk dalam pengadilan Yahudi yang sedikit-dikitnya terdiri dari tiga orang; jadi, pastilah ia seorang hakim atau pejabat kepolisian yang dilantik orang Romawi. Dengan jelas dinyatakan bahwa ia tidak takut akan Allah dan tidak mau mendengarkan pendapat masyarakat. Perumpamaan itu tidak menyamakan Allah dengan hakim yang tidak adil-benar itu, tetapi sebaliknya, mengontraskan Allah dengan sang hakim. Kalau hakim ini saja pada akhirnya melakukan apa yang benar, terlebih lagi Allah! Kegigihan si janda menggerakkan hakim yang tidak adil-benar itu untuk bertindak; demikian juga hendaknya hamba-hamba Allah harus berkanjang dalam doa. Allah, yang adil-benar, akan menjawab doa mereka sehingga keadilan pun terlaksana.

(22) Orang Farisi yang menganggap diri adil-benar dan pemungut pajak yang bertobat (Luk 18:9-14). Latar dan tujuan perumpamaan ini masing-masing terdapat di ayat 9 dan 14.

Orang-orang yang pergi ke bait untuk berdoa tidak masuk ke Ruang Kudus atau Ruang Mahakudus, tetapi mereka diperbolehkan masuk ke halaman bait. Pria-pria Yahudi ini mungkin berdiri di halaman luar, yang disebut Halaman Kaum Wanita. Orang-orang Farisi bersikap sombong dan menganggap diri adil-benar, dan memandang hina orang lain. (Yoh 7:47, 49) Mereka berpuasa dua kali seminggu, sekalipun hal ini tidak dituntut Hukum Musa. Menurut laporan, mereka memilih untuk melakukannya pada hari pasar manakala banyak orang berada di kota, dan pada waktu ada acara-acara istimewa di sinagoga, dan sewaktu ada pertemuan Sanhedrin setempat; dengan demikian, kesalehan mereka akan dilihat orang. (Mat 6:16; bdk. 10:17, Rbi8, ctk.) Para pemungut pajak berkebangsaan Yahudi diperbolehkan datang ke bait, tetapi mereka dibenci karena pelayanan mereka kepada Roma.

(23) Para pekerja yang dibayar satu dinar (Mat 20:1-16). Perumpamaan ini merupakan bagian dari jawaban Yesus atas pertanyaan Petrus di Matius 19:27, ”Lihat! Kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti engkau; apa sesungguhnya yang tersedia bagi kami?” Perhatikan juga Matius 19:30 dan 20:16.

Pada musim pengumpulan anggur, banyak hal yang perlu diperhatikan para pemilik kebun anggur. Ada pekerja yang dipekerjakan selama musim panen; yang lain diupah hanya jika ada kebutuhan. Selaras dengan Hukum Musa, upah dibayar pada akhir hari kerja; hal itu dibutuhkan para pekerja yang miskin. (Im 19:13; Ul 24:14, 15) Satu dinar, yang menjadi bayaran untuk satu hari kerja, adalah sekeping uang logam perak Romawi. Pada zaman modern ini, nilainya sama dengan $0,74. Pada abad pertama M, satu hari, mulai dari matahari terbit sampai matahari terbenam, oleh orang Yahudi dibagi menjadi 12 bagian waktu yang sama; jadi, jam ketiga adalah sekitar pukul 8.00 sampai pukul 9.00; jam keenam, sekitar pukul 11.00 sampai tengah hari; jam kesembilan, sekitar pukul 14.00 sampai pukul 15.00, dan jam kesebelas, sekitar pukul 16.00 sampai pukul 17.00.

(24) Mina (Luk 19:11-27). Disampaikan oleh Yesus dalam perjalanan ke Yerusalem untuk terakhir kalinya, tahun 33 M. (Luk 19:1, 28) Perumpamaan itu diberikan karena, sebagaimana dinyatakan di ayat 11, ”mereka menyangka bahwa kerajaan Allah akan segera tampil”.

Di Imperium Romawi, lazim bagi seorang bangsawan untuk pergi ke Roma guna meminta kekuasaan sebagai raja. Arkhelaus, putra Herodes Agung, pernah melakukan hal ini, tetapi orang Yahudi mengutus 50 duta untuk menghadap Agustus guna melancarkan tuduhan terhadap Arkhelaus dan, jika mungkin, menggagalkan upayanya meminta kekuasaan. Dewasa ini, mina perak yang pada mulanya diberikan kepada setiap budak bernilai $65,40, tetapi pada waktu itu, nilainya sama dengan upah 88 hari kerja.

(25) Dua anak (Mat 21:28-31). Perumpamaan ini disampaikan di bait di Yerusalem, dan merupakan bagian dari jawaban atas pertanyaan di ayat 23, ”Dengan wewenang apa engkau melakukan perkara-perkara ini? Dan siapa yang memberi engkau wewenang ini?” Setelah menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka, Yesus menggunakan beberapa perumpamaan untuk menyingkapkan kepada para pemimpin agama orang macam apakah mereka sebenarnya.

Penjelasan Yesus tentang penerapan perumpamaannya dicatat di ayat 31 dan 32. Ia menunjukkan bahwa para imam kepala dan para tua-tua berpengaruh yang sedang menjadi lawan bicaranya dapat disamakan dengan anak pertama, yang mengaku melayani Allah tetapi sebenarnya tidak melakukan hal itu. Sebaliknya, para pemungut pajak dan pelacur yang percaya kepada Yohanes Pembaptis adalah seperti anak kedua; pada mulanya, dengan kasar mereka menolak untuk melayani Allah tetapi belakangan menyesal dan mengubah haluan mereka.

(26) Penggarap yang kejam (Mat 21:33-44; Mrk 12:1-11; Luk 20:9-18). Disampaikan di bait di Yerusalem, tepat tiga hari sebelum Yesus, Putra Allah, dibunuh. Perumpamaan ini juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang sumber wewenang Yesus. (Mrk 11:27-33) Catatan Injil menyatakan bahwa segera setelah perumpamaan itu disampaikan, para pemimpin agama menyadari ia sedang berbicara tentang mereka.—Mat 21:45; Mrk 12:12; Luk 20:19.

Pagar di sekeliling kebun anggur itu mungkin adalah pagar batu (Ams 24:30, 31) atau bisa jadi pagar tanaman. (Yes 5:5) Tempat pemerasan anggur sering kali berupa bak pahatan di dalam batu dan terdiri dari dua tingkat, sehingga air anggur dapat mengalir dari sebelah atas ke sebelah bawah. Menara adalah tempat penjaga mengamati keadaan sekeliling, sehingga ia bisa mencegah masuknya pencuri dan binatang. Adakalanya, para penggarap menerima sebagian hasil kebun. Namun, kadang-kadang para penggarap membayar sewa berupa uang atau sepakat untuk memberi si pemilik jumlah tertentu dari hasil kebun; tampaknya, cara kedua inilah yang berlaku dalam perumpamaan ini. Dengan membunuh sang putra, yakni sang ahli waris, bisa jadi mereka telah berencana untuk mengambil alih kepemilikan kebun anggur tersebut, karena orang yang menanaminya sedang berada di luar negeri. Di Yesaya 5:1-7, ”kebun anggur Yehuwa” adalah ”keturunan Israel”. Sebagaimana diperlihatkan oleh para penulis Injil, Yesus mengutip Mazmur 118:22, 23 sebagai kunci untuk memahami perumpamaan ini.

(27) Pesta pernikahan untuk putra raja (Mat 22:1-14). Sebagaimana dapat diketahui dari ayat 1, perumpamaan ini adalah kelanjutan dari pembahasan yang mendahuluinya dan merupakan bagian dari jawaban Yesus atas pertanyaan tentang wewenang yang ia gunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. (Mat 21:23-27) Untuk penerapannya, perhatikan ayat 2 dan 14.

Beberapa bulan sebelumnya, Yesus telah menggunakan perumpamaan yang serupa mengenai suatu perjamuan malam yang besar, dan banyak orang diundang untuk menghadirinya; orang-orang yang diundang tampaknya sibuk dengan kegiatan lain dan tidak menghiraukan calon tuan rumah mereka. (Luk 14:16-24) Kali ini, hanya tiga hari sebelum kematiannya, Yesus berbicara bukan hanya tentang keengganan orang-orang yang diundang untuk datang melainkan juga tentang hasrat membunuh yang mereka perlihatkan. Membunuh para wakil raja berarti memberontak; oleh karena itu, pasukan raja membinasakan para pembunuh itu dan membakar kota mereka. Ini adalah pesta pernikahan kerajaan, dan untuk kesempatan seperti itu bisa jadi pakaian khusus telah disediakan tuan rumah bagi para tamunya. Kalau begitu, tamu yang tidak mengenakan pakaian pesta menunjukkan bahwa ia telah memandang rendah pakaian yang disediakan oleh sang raja ketika pakaian itu ditawarkan kepadanya.
(28) Sepuluh perawan (Mat 25:1-13). Perumpamaan tentang ”kerajaan surga” ini merupakan bagian dari jawaban Yesus atas pertanyaan murid-muridnya yang dicatat di Matius 24:3. Tujuannya dengan jelas diperlihatkan di Matius 25:13.

Pada zaman itu, bagian penting dari suatu upacara perkawinan adalah acara yang khidmat untuk memboyong pengantin perempuan dari rumah bapaknya ke rumah pengantin laki-laki atau ke rumah bapak pengantin laki-laki. Sang pengantin laki-laki, yang sudah mengenakan pakaian terbaiknya, meninggalkan rumahnya pada malam hari untuk pergi ke rumah orang tua pengantin perempuan, disertai teman-temannya. Dari sana, dengan diiringi oleh para pemusik serta penyanyi dan biasanya oleh orang-orang yang membawa pelita, arak-arakan tersebut mulai bergerak menuju rumah pengantin laki-laki. Di sepanjang jalan, banyak orang yang menonton arak-arakan itu; ada juga yang turut bergabung, khususnya para perawan yang membawa pelita. (Yer 7:34; 16:9; Yes 62:5) Arak-arakan itu bisa jadi tertunda sampai larut malam, karena memang tidak ada yang harus dikejar, sehingga di antara orang-orang yang menunggu di sepanjang jalan mungkin ada yang mengantuk dan tertidur. Nyanyian dan keramaiannya akan terdengar dari jauh, dan orang-orang yang mendengarnya akan berseru, ”Lihat pengantin laki-laki!” Kemudian, setelah pengantin laki-laki dan rombongannya memasuki rumah dan pintu ditutup, tamu yang terlambat tidak bisa masuk lagi. Pelita-pelita yang dibawa selama arak-arakan itu berbahan bakar minyak sehingga harus sering diisi kembali.

(29) Talenta (Mat 25:14-30). Perumpamaan ini, tentang seorang pria yang akan mengadakan perjalanan ke luar negeri, disampaikan Yesus kepada keempat muridnya tepat tiga hari sebelum kematiannya, dan tidak lama setelah itu ia naik ke surga. Perumpamaan ini juga merupakan bagian dari jawaban Yesus atas pertanyaan yang terdapat di Matius 24:3.—Mrk 13:3, 4.

Berbeda dengan perumpamaan tentang mina, yang menceritakan bahwa setiap budak diberi hanya satu mina, dalam perumpamaan ini talenta diberikan ”kepada tiap-tiap orang sesuai dengan kesanggupannya”. (Luk 19:11-27) Talenta perak, yang dimaksudkan di sini, sama nilainya dengan upah yang dihasilkan seorang pekerja selama 14 tahun pada zaman itu. Seharusnya, budak-budak itu menaruh perhatian akan milik majikannya dan dengan sungguh-sungguh dan bijaksana berjual-beli dengan milik majikan yang dipercayakan kepada mereka. Setidaknya mereka bisa mendepositokan uang tersebut, sehingga jika mereka sendiri tidak mau meningkatkan harta milik sang majikan, uang tersebut tidak akan tersimpan sia-sia tetapi akan menghasilkan bunga. Namun, budak yang fasik dan lamban itu menyembunyikan talenta yang dipercayakan kepadanya dalam tanah, dan dengan demikian, sebenarnya ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan majikannya.

(30) Domba dan kambing (Mat 25:31-46). Sebagaimana dinyatakan di ayat 31, 32, 41, 46, yang digambarkan di sini adalah pemisahan dan penghakiman orang-orang dari bangsa-bangsa pada waktu Putra manusia tiba dalam kemuliaannya. Perumpamaan ini merupakan bagian dari jawaban Yesus atas pertanyaan tentang ’tanda kehadirannya dan tanda penutup sistem ini’.—Mat 24:3.

Di Timur Tengah, biasanya domba dan kambing merumput bersama-sama, dan sang gembala dengan mudah membedakan kedua jenis hewan ini sewaktu ia mau memisahkan kawanannya. Dengan menyebutkan kambing dalam perumpamaan ini, Yesus tidak bermaksud merendahkan jenis hewan ini. (Pada Hari Pendamaian tahunan, darah kambing digunakan untuk mendamaikan dosa demi kepentingan Israel.) Jadi, kambing dalam konteks ini hanyalah menggambarkan kelompok orang tertentu, dan domba menggambarkan yang lain. ’Sebelah kanan’, tempat untuk ”domba-domba”, adalah tempat kehormatan. (Kis 2:33; Ef 1:19, 20) ’Sebelah kiri’, tempat untuk ”kambing-kambing”, memaksudkan tempat yang tercela. (Bdk. Pkh 10:2.) Perhatikan bahwa ”domba-domba” yang ditempatkan di sebelah kanan takhta Putra manusia tidak sama dengan ’saudara-saudara’ Yesus Kristus yang menerima kebaikan hati dari domba-domba.—Mat 25:34-40; Ibr 2:11, 12.

Buku Penyingkapan. Dalam buku terakhir, buku Penyingkapan, terdapat lebih banyak perumpamaan dibandingkan dengan buku-buku lain dalam Alkitab. Penulisnya sendiri, Yohanes, mengatakan bahwa semua itu disampaikan kepadanya ”dengan tanda-tanda”. (Pny 1:1) Oleh karena itu, dengan sesungguhnya dapat dikatakan bahwa, dari awal sampai akhir, Alkitab sangat luar biasa dalam hal menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang tepat.

Perumpamaan yang digunakan murid-murid Kristus. Selain mencatat perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus Kristus, para penulis Alkitab Kristen juga memanfaatkan perumpamaan. Dalam buku Kisah, Lukas mencatat perumpamaan-perumpamaan bagus yang digunakan oleh rasul Paulus sewaktu berbicara dengan orang-orang non-Yahudi di Athena. Paulus menyebutkan objek-objek ibadat yang mereka kenal dan karya tulis para pujangga mereka sendiri. (Kis 17:22-31) Sebagaimana dapat diketahui dari pembacaan buku Ibrani, rasul yang sama (yang biasanya dianggap sebagai penulis surat ini) dengan bebas menggunakan perumpamaan dari catatan sejarah tentang cara Allah berurusan dengan Israel. Kepada orang-orang di Korintus, yang mengenal olahraga Yunani dengan baik, ia menyamakan haluan Kristen dengan suatu perlombaan. (1Kor 9:24-27) Perumpamaan pohon zaitun pun sangat bagus, yang mengandung peringatan terhadap ketidakpedulian dan pengingat bagi orang Kristen untuk melaksanakan dinas suci kepada Allah dengan daya nalar mereka.—Rm 11:13-32; 12:1, 2.

Saudara tiri Yesus yang bernama Yakobus dengan indah mewarnai tulisannya dengan keadaan-keadaan dalam kehidupan sehari-hari, dengan menyebutkan seorang pria yang becermin, kekang di mulut kuda, sirip kemudi sebuah kapal, dan lain-lain, untuk mengesankan kebenaran-kebenaran rohani. (Yak 1:23, 24; 3:3, 4) Petrus dan Yudas banyak merujuk kepada peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam tulisan-tulisan terilham yang lebih awal untuk mengilustrasikan berita yang mereka harus sampaikan atas dorongan roh kudus. Semua perumpamaan yang bagus ini, yang disampaikan menurut bimbingan roh Allah, digunakan sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk membuat Firman Allah, Alkitab, sebuah buku yang hidup.




___________________

Sumber : http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1200002147?q=mencari+kebenaran&p=par