Selasa, 14 April 2015

(Puisi) - Kutundukkan Kepalaku Kepada Sang Penenun dan Pemintal Tubuhku








Nenek moyangku seorang pemintal dan tukang tenun kain, turun-temurun memainkan kelentukkan tangan, kaki dan mata lelahnya, memilih warna-warni atau mencari pohon-pohon atau akar dan daun yang apabila sihir petunjuk ilhamnya menyatakan bahwa daun ini dan akar itu apabila diampur akan menghasilkan warna anu.Sejak dahulu kala keturunan nenek moyang pemintal dan penenun menyebar ke seluruh bumi, mereka memiliki kesamaan ilmu, baik dalam corak, alat, benang dan warna. Satu guru mereka yang lahir di lembah subur Mesopotamia, di tengah-tengah benua mereka belajar satu ilmu dari seorang nenek moyang keturunan mahir.

Mata mereka melihat sekeliling alam dan meniru corak alam, binatang, tumbuhan bahkan di langit atas mereka membuat tiruan alam di kain tenun mereka dan mereka membuat apa saja dengan kain tenun ini, membuat busana adat mulai dari pembungkus kaki sampai kepala, membuat kain pelana kuda, membuat taplak meja, alas tempat tidur ataupun kemah dan karpet-karpet tempat duduk orang-orang, raja-raja, dan pangeran beserta keluarga besarnya.

Di semua bumi berpenduduk segala bangsa menenun, memintal, kadangkala mereka mewujudkannya dalam sebuah ritual yang sakral, membuat tenun khusus bagi upacara-upacara, bahkan saat sang bayi lahir di bumi entah itu anak laki-laki atau perempuan mereka memiliki kain tenunnya sendiri. Kepala suku dengan coraknya, bangsawan dengan coraknya dan dukun dengan coraknya.

Semua dikenal karena busana tenunnya yang merupakan identitas atau jabatan mereka, itulah keturunan para penenun dan pemintal mewariskan kepada keturunan mereka dengan segala pesan, nasihat, mantra dan doa-doa panjang mereka

Lihat seringkali busana tenun memiliki sebuah gengsi, kedudukan, pangkat atau jabatan dikombinasikan dengan corak dan warna-warni penuh arti, setiap orang suku bangsa bangga dengan hasil tenunnya sebagai warisan leluhur yang merupakan budaya, adat istiadat yang lestari.

Sampai suatu saat seorang yang memiliki arti hidup, seorang pecinta mengoyakkan jubah tenunnya dan membuangnya di tanah dan kepalanya ditaruh abu dan debu dan berduka cita dengan semua yang apa ia kenakan dengan segala kebanggaan, itu semua sia-sia tanpa martabat, tanpa juru selamat dan tanpa Allah yang hidup, semua sia-sia.

Aku menundukkan kepala dengan segala kerendahan hati bahwa semua itu tidak pantas aku kenakan, biarkan hidupku telanjang dan masuk angin, aku tahu Oh penenun hati dan pikiran, aku menundukkan kepalaku hanya kepadamu bahwa ini semua sia-sia tanpa Engkau ada disampingku senantiasa.




Jaga Blengko, 3 April 2015
Jack Phenomenon

Minggu, 12 April 2015

(Serba-Serbi) - Ada Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer di Blora



Ada Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer di Blora
IST/HELENA LEA MANHARTSBERGER
Pengasuh Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA), Soesilo Toer, yang juga merupakan adik bungsu Pramoedya




TRIBUNJOGJA.COM, BLORA - Seorang penulis paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia dan penuh kontroversial dilahirkan di Blora. Lebih dari 50 karya sastra yang ditulisnya telah diterjemahkan lebih dari 41 bahasa asing. Satu di antara karyanya berjudul ‘Cerita dari Blora’ (1952) dan menjadi meraih penghargaan sebagai karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953. 

Adalah Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan besar yang hampir sebagian besar hidupnya dihabiskan di dalam penjara, mulai zaman kolonial Belanda, Jepang hingga rezim Orde Baru.
Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006. Setelah tragedi 1965, ia ditahan rezim Soeharto karena ideologi sosialis yang dianutnya. Buku-bukunya pun dilarang untuk beredar. Pramoedya ditahan di Nusakambangan tanpa menjalani proses pengadilan, selanjutnya dengan status tahanan politik, ia dipindahkan ke Pulau Buru, dan menghabiskan masa hidupnya selama 14 tahun.

Kini di rumahnya yang terletak di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora didirikan Perpustakaan PATABA yang merupakan akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Di depannya terdapat papan dengan tulisan tegas: BACALAH, BUKAN BAKARLAH!! Rumah tersebut kini menjadi kediaman Soesilo Toer, adik bungsu Pramoedya yang juga menjadi pengasuh perpustakaan.
Kurang lebih sebanyak 5.000 buku, mulai sastra, filsafat, hingga buku lainnya yang menjadi koleksi perpustakaan PATABA, buku-buku tersebut juga terdiri dari berbagai bahasa. Menurut Soesilo, koleksi tersebut sebagian adalah miliknya, milik Pramodya Ananta Toer, dan Koesalah Soebagya Toer, yang juga saudara kandungnya. 

Pengunjung perpustakaan PATABA tidak hanya masyarakat setempat, banyak juga mereka yang sengaja datang dari luar kota, bahkan dari mancanegara yang ingin membaca dan melakukan studi literatur. Bagi para pengunjung yang datang dari luar kota, Soes selalu memberi kesempatan untuk menginap di rumah tersebut. Bahkan dengan kesederhanaannya, ia juga memberi makanan dan minuman kepada para pengunjung perpustakaan.

Jika memasuki bagian depan rumah, kita bisa melihat berbagai foto Pramoedya Ananta Toer dan keluarga. Foto-foto tersebut terdiri dari ketika masa kecil, masa muda, hingga foto masa tua sang maestro. Selain itu juga terdapat foto tokoh-tokoh bangsa seperti, Soekarno, Tan Malaka, dan R.A Kartini.

Seperti kakaknya, Soesilo adalah seorang penulis sekaligus intelektual, ia menyelesaikan studi Master di Universitas Patrice Lumumba, serta PhD (Doktoral) di Institut Plekhanov Uni Soviet, kini Rusia. Tahun 1973, ketika kembali ke Indonesia, Soesilo terpaksa dipenjara oleh rezim yang berkuasa karena perbedaan pandangan politik.

Zaman sudah berlalu, rezim sudah berganti, namun pemerintah setempat tetap saja tidak mengakui perpustakaan tersebut, bahkan menjulukinya sebagai perpustakaan liar. Meski begitu lelaki kelahiran Jetis, Blora, 17 Februari 1937 ini akan terus mengelolanya dengan sepenuh hati. Bacalah, Bukan Bakarlah!! (*) 


Penulis: rap
Editor: wid

Laporan Reporter Tribun Jogja, Riezky Andhika Pradana



 
____________________

Sumber : http://jogja.tribunnews.com/2013/03/17/ada-perpustakaan-pramoedya-ananta-toer-di-blora

(Serba-Serbi) - Taman buku Solo, lokasi berburu buku zaman Belanda dan Jepang


Taman buku Solo, lokasi berburu buku zaman Belanda dan Jepang





Merdeka.com - Jika anda penggemar buku-buku lawas atau naskah kuno, tak ada salahnya anda mencoba berkunjung ke Alun-alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta. Di salah satu sudut pintu masuk keraton, terdapat deretan kios buku bernama Taman Buku dan Majalah. Dari 20 kios yang beroperasi, ada sedikitnya 3 kios yang menjajakan buku-buku kuno terbitan zaman penjajahan Belanda hingga Jepang.

Tak hanya buku tentang pengetahuan umum, sejarah, akuntansi tetapi juga karya-karya sastra dari sastrawan nomor wahid di Indonesia. Di taman buku itu terdapat beberapa kios buku yang menjual buku-buku bekas lain. Harga yang ditawarkan di kios bervariasi dari Rp 5 ribu hingga jutaan rupiah.

Buku-buku bekas dijual di taman ini harganya jauh di bawah harga pasaran buku baru. Harga buku bekas di Alun-alun Utara sekitar 20 hingga 25 persen dari harga buku baru. Jadi jangan heran, jika buku sastra tebal di toko buku dijual seharga Rp 100 ribu lebih, di sini hanya dijual seharga Rp 25 ribu, atau bahkan lebih murah.

Kris Harinto (37) atau akrab disapa Entis, salah satu pemilik kios mengemukakan, dia memang menggeluti jual beli buku kuno sejak 14 tahun lalu. Di kiosnya tersedia ratusan buku, naskah, atau artikel, serta kertas dari era penjajahan Belanda dan Jepang.

"Koleksi buku saya ini semua rata-rata sebelum tahun 1960 mas. Tak mudah memang menemukan buku kuno di Indonesia saat ini. Saya juga belinya dari kolektor, atau cari ke kota lain. Tapi kadang ada juga yang datang ke sini menjual buku kuno," kata Entis saat ditemui merdeka.com, Sabtu (11/4).

Setelah memperoleh buku-buku ini, dia kemudian menjualnya kembali kepada pedagang buku kuno dan para kolektor yang datang dari Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Tak hanya dari dalam negeri, pembeli buku kuno juga berasal dari Brunei Darusalam, Singapura, dan Malaysia.

"Kalau masalah harga itu relatif mas, ada yang Rp 5 ribu, puluhan ribu, ratusan ribu atau bisa sampai jutaan kalau bukunya bagus, antik atau susah dicari," imbuhnya.

Dia mengaku, dari penjualan buku bisa meraup pendapatan cukup untuk menghidupi istri dan satu anaknya. Selain buku-buku kuno, beragam jenis buku dan majalah, baik baru maupun bekas juga dijual Entis di kiosnya. Saat merdeka.com menanyakan koleksinya, Entis memperlihatkan sebuah buku peta atau atlas kuno buatan tahun 1828 dan sebuah surat kabar Sura Karta buatan sebelum kemerdekaan.

"Atlas ini sudah saya beli mas, harganya Rp 200 ribu, nanti saya jual lagi di Yogya," ujar Totok (31) salah satu pembeli asal Yogyakarta.

Menurut Totok, di toko buku kuno Solo, dia sering mendapatkan barang-barang langka, yang dicari. Dari buku atlas yang dibelinya, misalnya, kualitas cetakan dan kertasnya jauh lebih bagus dari kualitas kertas cetakan sekarang. Sedangkan kualitas buku dan penulis zaman dulu juga jauh lebih berbobot.

"Kalau menurut saya bagusan yang lama, kualitas kertas dan isinya lebih bagus, sejarahnya otentik, berkualitas yang pasti. Kalau buku atau artikel zaman sekarang itu kurang bermutu, banyak yang cuma nyontek, katanya.

Bagas Febrantoro, warga Kartasura mengaku sering mengunjungi kios buku kuno. Sejumlah buku bacaan dan sejarah telah dikoleksi. Selain murah harganya, kualitas buku juga tak kalah dengan yang dijual di toko.

"Saya beli buku Karen Amstrong di sini hanya Rp 60 ribu, kalau di toko lainnya bisa Rp 100 ribu. Saya juga beli buku-buku Serat Centini, Nyai Gowok, Marketing Bullshit, Babad Alas Jawi dan lain-lain. Harganya sangat murah, cocok untuk kalangan mahasiswa atau pelajar," ucapnya.

Lebih lanjut Entis mengatakan, pengunjung di taman buku ini dapat menawar buku dan majalah yang dijajakan dengan harga terjangkau dibandingkan dengan harga buku atau pun majalah di toko-toko buku besar. Menurut Entis, berdirinya Taman Buku Alun-alun Keraton bermula oleh pedagang buku yang membuka lapak di tengah alun-alun sebelah utara Keraton Kasunanan Surakarta. Saat itu pedagang dipersilakan pindah ke seberang alun-alun karena alun-alun terlarang untuk kegiatan jual beli oleh pihak keraton.

"Karena tempat yang tidak layak untuk berjualan, tahun 2001 keraton mempersilakan kami untuk menempati bangunan yang ada di sebelah utara alun-alun. Sejak itulah Taman Buku Alun-Alun Keraton resmi berdiri," pungkasnya.
 
 
[efd]
 
 
 
 
____________________

Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/taman-buku-solo-lokasi-berburu-buku-zaman-belanda-dan-jepang.html







(Cerita Penjuru Dunia) - Raja Mati Karena Tuak



Raja Singhasari diserang dan mati di tempat minum tuak. Ditafsirkan dia sedang melakukan ritus agama yang dianutnya.

Oleh: Yudi Anugrah Nugroho



Penjual tuak di Hindia Belanda, sekira 1930.
Foto: KITLV.



TUAK tidak hanya minuman bagi beragam kalangan dalam upacara penetapan sima, prosesi sumpah dan kutukan, dan hiburan. Ia juga salah satu jenis minuman yang disuguhkan kepada raja. Bahkan, raja Singhasari, Kretanegara, mati ketika dia minum tuak.

Kitab Pararaton, gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya serta disalin pada 1613, menggambarkan akhir hidup Kretanagara yang diserang Jayakatwang, raja Gelang-Gelang, bawahan kerajaan Kediri. Dia kemenakan raja Kediri, Seminingrat, jadi saudara sepupu Kretanegara. Baru setelah mengalahkan Kretanegara, dia menduduki ibukota Daha dan memerintah Singhasari sebagai negara bawahan.

Kitab Pararaton menyebut, Jayakatwang menyerang Kretanegara (pada 1291) saat “Sira Bathara Siwa Budhha pijer anadhah sajeng atau Batara Siwabuda (Kretanagara masih meminum minuman keras).” Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa kematian Kretanagara di tempat minum tuak (Sambi atutur kamoktanira bhathara sang lumah ring panadhahan sajeng).

Menurut Ery Soedewo, arkeolog Balai Arkeologi Medan, peristiwa kematian Kretanagara dalam kondisi mabuk bersama para brahmana sebagaimana tersua dalam Pararaton dan prasasti Gajah Mada, sebenarnya adalah gambaran praktik ritus Budha Tantrayana yang dianut oleh Kretanagara.

“Jadi bukan kegemaran Kretanagara terhadap minuman keras khususnya tuak (sajeng),” tulis Ery Soedewo, “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak,” dalam Jejak Pangan dalam Arkeologi.

Budha Tantrayana yang dianut oleh Kretanagara tujuan akhirnya adalah sunyaparamananda, yaitu tingkatan hidup sebagai Adibuddha yang abadi, yang mengecap kebahagian tertinggi (paramananda), yang hakikatnya ialah kasunyatan (sunya).

Untuk mencapai itu, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugraho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II, “salah satunya dengan meminum minuman keras (madya), orang yang melaksanakannya akan dapat mencapai tingkatan sunyaparamananda semasa dia hidup dengan ditahbiskan sebagai jina.”




___________________

http://www.historia.id/kuliner/raja-mati-karena-tuak

Sabtu, 11 April 2015

(Puisi) - Celana







Kepada celana
yang telah berjasa menutup aurat
di mana saja


Aku ingat celana jeans belelku
ke mana-mana aku pakai
biar berhari-hari

Levi's strauss kesukaanku
dengan bokong seksiku
dilirik para gadis-gadis manis

Aku hanya suka satu hal
yaitu kantong kecil yang sempit
tempat uang receh terselip

Konon kantong sempit itu
tempat yang paling berharga tersimpan
yaitu intan permata

Seperti aku teringat adik manisku
gadis Layla dan celana jeansnya
dia sungguh manis




____________________



Jaga Blengko, 11-4-15
Jack Phenomenon

Kamis, 02 April 2015

(Serba-Serbi) - Legenda Nyai Dasima (1): Tetap 'Perawan' Meski Punya Anak



Kamis, 2 April 2015 | 06:23 WIB
Oleh : Hadi SupraptoDody Handoko
 
  
Kecantikan Dasima digambarkan dengan melankolis.
 
 
 
Legenda Nyai Dasima (1): Tetap 'Perawan' Meski Punya Anak 
 
 
 
VIVA.co.id - Sebagian masyarakat Betawi, terutama masyarakat Betawi Kwitang menganggap bahwa tokoh Nyai Dasima pernah hidup.  Anggapan itu dilatarbelakangi pula dengan adanya tempat–tempat dalam “Njai Dasima” yang dapat dilihat hingga saat ini.

Cerita Nyai Dasima meninggalkan jejak bangunan bersejarah yang dibangun pada abad ke–19. Rumah Nyai Dasima bersama Toean W berada di Pejambon, tepatnya di belakang Gereja Immanuel, dekat Stasiun Gambir. Gereja Immanuel didirikan dari tahun 1835-1839 dan dirancang oleh Tuan Horn. Gereja itu diresmikan tepat 24 Agustus 1839 bersamaan dengan Hari lahirnya Raja Belanda Wilem I.

Gedung Pancasila, sekarang Gedung Kementerian Luar Negri, awalnya hanya hutan belukar dengan rawa–rawa. Tahun 1648 mulai berubah setelah tempat itu didiami penduduk.  Keluarga Anthony Chestelyn menguasai kawasan itu untuk pertanian tebu dan padi guna keperluan VOC.

Tapi ketika tak ada pewaris yang tersisa untuk mengurusi warisan tanah itu, maka jadilah tempat itu sebagai Hertogpark sepi. Tentang gedung itu sendiri diperkirakan berdiri dan mengalami renovasi dalam kurun waktu 1890 hingga 1950.

“Kabarnya  jembatan Kwitang , kini depan toko buku Gunung Agung, tempat pembunuhan Nyai Dasima, di sekitar sungai itu juga mayatnya ditemukan,” ujar Yahya Andi Syahputra, budayawan Betawi, ketika ditemui di rumahnya kawasan Terogong, Jaksel.


Pada 1896 G. Francis menerbitkan novel yang diberi judul Tjerita Njai Dasima. Lie Kim Hok dan O.S Tjiang pernah menyadur cerita Nyai Dasima ini dalam bentuk syair. Menurut Claudine Salmon, kedua penulis itu menyadur dari karya G. Francis. A. Th. Mausamana membuat Nyai Dasima dalam bahasa Belanda pada tahun 1926. Cerita ini muncul sebagai bacaan anak – anak dalam Cerita Betawi (Ali, 1995).  Tahun 165 S.M. Ardan pernah mengarang Nyai Dasima dalam bentuk naskah drama.

Berikut cuplikan kisah Nyai Dasima, cerita ini diambil dari sebuah buku karangan G. Francis (Gijsbert Francis a.ir) yang terbit pada tahun 1896, ditulis berdasarkan kisah nyata kehidupan seorang istri simpanan yang bernama Dasima, gadis dusun Kuripan, Bogor.

Tjurug, Tanggerang 1813 Njai Dasima, seorang warga Kuripan, Jawa Barat menjadi gundik tuan tanah bernama Edward W yang berkebangsaan Inggris. Toean W terpikat padanya karena ia cantik, pandai menjahit dan memasak. Dari hubungan mereka lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama, Nanci.

Meski telah punya anak Dasima tetap cantik seperti masa perawannya. ltulah yang mendorong tuan Edward laki-Iaki asal Inggris tak segan-segan memberikan sebuah rumah serta para pembantu yang siap melayani keperluan Dasima. Semula Dasima dan tuan Edward menetap di Curug Tangerang, kemudian pindah ke Pejambon Batavia.

Kecantikan Dasima digambarkan dengan melankolis. ”Setiap lelaki dewasa yang lewat di depan rumahnya, manakala melihat Nyai Dasima, maka menitiklah air liur mereka. Bagi mereka yang telah beristeri, tumbuh sesaat penyesalan mengapa tidak beristerikan wanita itu saja, pastilah hidup bahagia, cahaya kecantikan yang terpancar dari bola matanya, bersih kencang kulitnya dan liuk lekuk tubuhnya yang bagai gitar.”

Bagi lelaki perjaka dan duda, ada setetes keinginan untuk memperisterikan Nyai Dasima. Sungguh, ada magnit yang melekat ditubuhnya membuat lelaki secara refleks mengalih pandang ke arah rumah Dasima dan berharap bisa melihat meskipun sehelai rambut lewat jendela.



Bersambung...

Kami akan mengulas kisah Nyai Dasimah yang berbeda dengan yang lain dalam beberapa tulisan. Tulisan akan terbit setiap pagi. Nantikan tulisan-tulisan selanjutnya.




____________________


Sumber : http://metro.news.viva.co.id/news/read/608882-legenda-nyai-dasima--1---tetap--perawan--meski-punya-anak/2