Selasa, 30 September 2014

(Cerpen Menarik) - Penebang Kayu yang Tidak Tahu Berterimakasih







Mrs. E. B. Mawr


Pada jaman dahulu, di suatu desa, ada seorang penebang kayu yang sangat miskin, sehingga dia hanya mempunyai sebuah kapak untuk bekerja dan menghidupi anak-anak dan istrinya. Dengan sangat sulit dia bisa memperoleh enam pence (sejenis mata uang) setiap hari. Dia dan istrinya harus bekerja membanting tulang dari subuh hingga larut malam agar mereka dapat hidup dengan tidak kehabisan makanan. Apabila mereka beristirahat, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa.

"Apa yang harus saya lakukan?" katanya, suatu hari, "Saya sekarang sangat lelah, istri dan anakku tidak memiliki apa-apa untuk dimakan, dan saya sudah tidak sekuat dulu lagi memegang kapak ini, untuk memperoleh sekerat roti untuk keluargaku. Ah, begitu buruknya nasib bagi orang miskin, ketika mereka dilahirkan ke dunia ini."

Sementara dia masih berkeluh-kesah, sebuah suara memanggilnya dengan penuh rasa iba: "Apa yang kamu keluhkan?"

"Bagaimana saya tidak suka mengeluh, apabila saya tidak memiliki makanan?" katanya. "Pulanglah ke rumahmu," kata suara itu, "galilah tanah di sudut pekaranganmu, dan kamu akan menemukan harta karun di bawah sebuah dahan yang telah mati.

Ketika penebang kayu ini mendengar hal ini, dia langsung berlutut di tanah, dan berkata: "Tuan, siapakah nama tuan? siapakah tuan yang begitu baik hati?"

"Namaku Merlin," kata suara itu.

"Ah! Tuan, Tuhan akan memberkahimu apabila kamu datang menolongku dan menyelamatkan keluargaku dari kemelaratan."

"Pergilah cepat," kata suara itu, "dan dalam satu tahun, kembalilah ke sini, dan berikanlah saya penjelasan tentang apa saja yang kamu lakukan dengan uang yang kamu temukan di sudut pekaranganmu."

"Tuan, Saya akan mengunjungimu dalam satu tahu, atau setiap hari, apabila kamu memerintahkan saya."

Lalu sang penebang kayu pulang ke rumahnya, menggali tanah pada sudut pekarangannya dan disana dia menemukan harta karun yang telah dijanjikan. Betapa gembiranya mereka sekeluarga karena telah lepas dari kemiskinan.

Karena tidak ingin tetangganya tahu mengapa mereka tiba-tiba menjadi kaya, dia masih pergi ke dalam hutan dengan membawa kapak, sehingga seolah-olah dia bekerja keras dan secara perlahan-lahan terangkat dari kemiskinan menjadi kemakmuran.

Pada akhir tahun, dia pergi ke dalam hutan untuk memenuhi janjinya. Dan suara itu berkata, "Jadi kamu akhirnya datang!" "Ya Tuan," "Dan bagaimana kamu membelanjakan harta tersebut?" "Tuan, keluargaku sudah dapat makan makanan yang baik dan berpakaian yang bagus, dan kami selalu berterima kasih kepadamu setiap hari."

"Keadaan kamu sekarang menjadi lebih baik kalau begitu, tapi katakan padaku, apakah masih ada hal yang kamu inginkan?" "Ah, ya, Tuan, saya ingin menjadi walikota di tempat saya."

"Baiklah, dalam empat puluh hari kamu akan menjadi walikota."

"Oh, beribu-ribu terima kasih, pelingdungku yang baik."

Pada tahun kedua, penebang kayu yang kaya datang ke hutan dengan baju baru yang sangat baik dan mengenakan atribut bahwa dia adalah walikota.

"Bapak Merlin," panggilnya, "datanglah dan berbicaralah padaku."

"Saya di sini," kata suara itu, "apa yang kamu harapkan?"

"Seorang pejabat tinggi baru saja meninggal kemarin, dan anak laki-laki saya, dengan bantuanmu, ingin menggantikannya, Saya meminta kebaikan hatimu."

"Dalam empat puluh hari, hal yang kamu inginkan akan terwujud," kata Merlin.

Begitu pula dalam empat puluh hari, anaknya menjadi pejabat tinggi, dan mereka masih juga belum puas.

Pada akhir tahun ketiga, penebang kayu tersebut mencari lagi Merlin di hutan, dan dengan suara yang merendahkan, dia berkata "Merlin, maukah kamu membantu saya?"

"Apa yang kamu kehendaki?" kata suara itu.

"Putriku berharap agar dapat menikah dengan seorang pejabat," katanya. "Harapanmu akan terwujud," balas Merlin, dan dalam empat puluh hari, anak perempuan penebang kayu itu menikah dengan seorang pejabat.

Dan begitulah akhirnya waktu terus berlalu, hingga pada akhir tahun keempat, istrinya yang bijaksana menyuruhnya kembali kesana untuk berterima kasih, tetapi penebang kayu itu menjawab:"Mengapa saya harus masuk kembali ke hutan itu untuk berbicara dengan mahluk yang tidak pernah saya lihat? Saya sekarang sangat kaya, mempunyai banyak teman, dan namaku sangat di hormati semua orang."
"Pergilah sekali lagi," kata istrinya, "Kamu harus memberi dia salam dan berterima kasih atas segala kebaikannya."

Akhirnya penebang kayu itu dengan menunggangi kudanya, diikuti oleh dua orang pelayan, masuk ke dalam hutan dan mulai berteriak: "Merlot! Merlot! Saya tidak membutuhkan kamu lagi, karena sekarang saya cukup kaya." Merlin membalasnya, "Sepertinya kamu lupa saat kamu masih miskin, tidak cukup makan, dengan hanya berbekal kapak, kamu dengan susah payah mendapatkan enam pence setiap hari! Saya saya memberikan kamu berkah pertama kali, kamu berlutut dengan kedua kakimu, dan memanggil saya 'Tuan', setelah berkah kedua, kamu hanya memanggil saya 'Bapak' dan setelah yang ketiga, kamu memanggilku dengan 'Merlin' saja, sekarang dengan sombongnya kamu memanggilku 'Merlot'! kamu mungkin berpikir bahwa kamu sudah sangat kaya dan hidup dengan baik dan tidak memerlukan lagi saya, Mari kita lihat nanti, selama ini kamu tidak memiliki hati yang baik dan selalu bertindak bodoh, tetaplah menjadi bodoh, dan tetaplah menjadi miskin seperti saat pertama saya bertemu dengan kamu." Penebang kayu itu tertawa terbahak-bahak, mengangkat bahunya dan tidak mempercayai apa yang dikatakan kepadanya.

Dia kembali ke rumahnya, tapi dengan cepat anaknya yang sekarang menjadi pejabat tinggi, meninggal, putrinya yang menjadi istri seorang pejabat juga menderita sakit keras dan akhirnya meninggal. Kesialan menimpanya terus menerus dan saat perang pecah, serdadu dari kedua belah pihak yang berperang, memasuki rumahnya, merampas minuman dan makanan yang ada di lumbungnya, membakar semua ladangnya, juga rumahnya, hingga dia tidak memiliki uang satu penny pun.

Ketika tiba masa untuk membayar pajak, dia tidak mempunyai uang di kantongnya, sehingga dia terpaksa menjual semua ladangnya. "Lihat," kata penebang kayu yang tidak tahu berterimakasih itu, sambil menangis, "Saya telah kehilangan semua yang saya miliki, uang, ladang, kuda, anak-anakku! Mengapa saya tidak percaya kepada Merlin? hanya kematian yang belum menjemput saya, saya sudah tidak tahan dengan penderitaan ini."

"Tidak begitu," kata istrinya yang bijaksana, "Kita harus mulai bekerja keras kembali." "Dengan apa?" kata penebang kayu, "Kita bahkan sudah tidak memiliki seekor keledaipun untuk bekerja!"
"Dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita," kata istrinya lagi.

Tuhan hanya memberikan mereka sebuah keranjang, yang dipinjam dari tetangganya. Dengan keranjang ini di punggungnya dan kapak di tangannya, dia akhirnya masuk ke hutan untuk bekerja menebang kayu, mencoba untuk mencari kayu untuk mendapatkan enam pence sehari.

Semenjak itu, dia tidak pernah mendengar suara Merlin lagi.




____________________

Sumber : http://www.ceritakecil.com/cerita-dan-dongeng/Penebang-Kayu-yang-Tidak-Tahu-Berterimakasih-22

(Seluk Beluk Sastra) - Kehidupan Para Eksil



Mereka menyimpan sejarah panjang di balik kehidupan sehari-harinya yang tampak biasa-biasa saja.

 

  • Kehidupan Para Eksil



  • Kehidupan Para Eksil
    Ibrahim Isa, pria bersuku Minang tersebut tinggal di kairo sebagai perwakilan dari AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization). Pada Januari 1966, Isa berbicara sebagai delegasi Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba. Setelah ia berbicara dalam konferensi tersebut, ia menjadi eksil karena pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai agen Gestapu. Dari Kuba, Isa pun mengungsi ke China, dan kemudian pindah ke Belanda pada 1987. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Chalik Hamid, lahir di Sumatera Utara pada 16 Mei 1938. Ia adalah anggota Lekra yang kemudian di kirim ke Albania, Eropa Timur. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Sarmadji (83), pria asal Solo itu dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari pendidikan luar sekolah untuk anak-anak. Sarmadji mempunyai prinsi mengubah kesedihan menjadi kekuatan. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Sarmadji terbiasa pergi ke pusat kota untuk memfotokopi berbagai arsip untuk Perdoi (Perkumpulan Dokumentasi Indonesia). (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Beberapa teman sesama eksil kadang berkumpul di rumah Chalik, sekadar silaturahmi tanpa berbincang tentang politik. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Isa terbiasa menggunakan transportasi umum ke berbagai tempat di Belanda. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Foto ini diambil oleh Isa dalam Konferensi Damai di Bandung pada 1963. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Orang umum bebas mengakses Perdoi, dan jika dibutuhkan, Sarmadji bahkan bersedia membantu memfotokopi dokumen atau arsip yang diperlukan. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Pernak-pernik Indonesia masih dapat ditemui di rumah Chalik, seperti kalender Indonesia yang ia letakkan di dinding rumahnya. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Ibrahim Isa, pria bersuku Minang tersebut tinggal di kairo sebagai perwakilan dari AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization). Pada Januari 1966, Isa berbicara sebagai delegasi Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba. Setelah ia berbicara dalam konferensi tersebut, ia menjadi eksil karena pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai agen Gestapu. Dari Kuba, Isa pun mengungsi ke China, dan kemudian pindah ke Belanda pada 1987. (Rosa Panggabean/Antara)



Lelaki itu berjalan keluar flatnya, menyapa beberapa tetangga, menaiki tram dan turun di Centraal Station, Amsterdam. Dari sana ia berjalan di antara orang-orang kaukasia yang bergegas-gegas, untuk melanjutkan perjalanan ke Leiden, menghadiri sebuah diskusi. Garis-garis senja tertera di wajahnya.

Itulah sekelumit aktivitas dari sejumlah pria yang tak lagi muda, menghabiskan hari-harinya di Amsterdam, Belanda. Mereka menyimpan sejarah panjang di balik kehidupan sehari-harinya yang tampak biasa-biasa saja.

Tiga pria yang saya temui di Belanda itu adalah Chalik Hamid, Ibrahim Isa, dan Sarmadji. Sedikit dari ratusan orang eksil 65 di Belanda yang mau terbuka tentang kisah hidupnya.

Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan Soekarno pada 1964. Pada masa itu, lewat jargon politik Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) dan dengan cita-cita mempunyai bangsa yang berdikari di bidang ekonomi, pemerintah RI melakukan kerja sama dengan negara asing untuk mengirim orang-orang muda Indonesia bersekolah di luar negeri dengan berbagai bidang studi, antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga sastra. Cita-cita Soekarno pada masa itu adalah menjadikan pemuda-pemuda ini sebagai tenaga ahli, sehingga menjadi sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengolah sumber daya alam Indonesia kelak.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa itu sejalan dengan Uni Soviet, yaitu antiimperialisme. Sementara itu, Indonesia juga sedang mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok karena kedua negara sedang membangun kekuatan yang tidak bergantung pada Blok Barat dan Blok Timur. Oleh karena itu, beberapa negara yang menjadi negara tujuan studi antara lain negara-negara sosialis yang terletak di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania, serta Tiongkok. Pelaku sejarah menyebutkan sekitar 1.500 orang dikirim ke negara-negara di Eropa Timur.

Pada masa itu, pemerintah Indonesia juga sedang gencar membangun hubungan baik dengan dunia internasional. Maka pada 1965, pemerintah mengirim sejumlah delegasi untuk menghadiri sejumlah konferensi di negara-negara sosialis, antara lain ke Tiongkok untuk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok yang jatuh pada 1 Oktober.

Narasi sejarah orde Baru menyebutkan Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan upaya kudeta dengan melakukan pembunuhan terhadap enam jenderal pada 1 Oktober 1965. Kenyataan sejarah tersebut masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Namun, pada 1965-1966, jutaan orang Indonesia menjadi korban, dalam pengertian menjadi korban pembunuhan, korban fisik, yaitu mereka yang ditangkap dan ditahan atas tuduhan menjadi bagian dari komunis, dan korban mental atau psikis, karena setelah mereka dicap sebagai komunis mereka sulit mendapat pekerjaan, harus menjalani bersih diri dan bersih lingkungan, bahkan berimbas kepada anak-anak mereka.

Eksil 65 adalah mereka yang pada masa itu berada di luar Indonesia untuk belajar atau menjadi delegasi negara untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi di negara-negara sosialis. Keseluruhan peristiwa tersebut berlangsung dalam konteks perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat.

Setelah orde baru berkuasa, para pelajar dan delegasi yang masih berada di luar negeri yang tidak mengakui pemerintahan Soeharto dianggap sebagai komunis. Pemerintah Indonesia pada masa itu mencabut paspor mereka. Kalaupun ada yang berhasil kembali ke Indonesia, mereka sudah ditunggu di bandara untuk ditangkap dan diinterogasi oleh pihak militer.

Bertahun-tahun, para eksil 65 hidup tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok, serta Kuba. Saat mereka hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang mereka tempati mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil.

Pada 1980-an, sebagian dari mereka bermigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda. Mereka pun kemudian melamar menjadi warga negara Belanda. Karena rata-rata para eksil ini lahir sebelum tahun 1945, pemerintah Belanda menganggap para eksil ini sejatinya warga negara Belanda karena lahir sebelum Indonesia merdeka, atau masih dianggap lahir di wilayah Nederlandsch-Indische. Tidak ada data yang pasti mengenai eksil yang tinggal di Belanda, namun diperkirakan jumlah mereka ratusan. Meskipun para eksil ini sudah menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah melupakan tempat asal mereka, Indonesia. 

Para eksil 65 hingga kini berharap pemerintah Indonesia memberi pengakuan bahwa telah terjadi penyimpangan sejarah. Mereka tidak muluk-muluk berharap mendapat kompensasi materi atas penderitaan mereka karena tragedi 1965 memakan terlalu banyak korban. Yang mereka harapkan hanyalah permintaan maaf.

SARMADJI

Sarmadji sudah berprofesi sebagai guru saat ia dikirim ke Tiongkok untuk belajar tentang pendidikan anak di luar sekolah pada 1965. Setelah kejadian 30 September 1965, Sarmadji dituduh menjadi bagian dari komunis karena ia mengaku sebagai Soekarno-is. Pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil paspornya dan ia tidak dapat kembali ke Indonesia.

Sarmadji tinggal di Tiongkok hingga ia berusia 45 tahun. Pada saat itu, ia memutuskan untuk pindah ke Belanda. Ia kemudian diterima sebagai warga negara Belanda, namun ia diharuskan untuk bekerja. Di usia yang tidak muda lagi, Sarmadji pun mencari pekerjaan dan diterima sebagai buruh pemotong kaca di sebuah perusahaan. Di perusahaan itu pula ia bertemu dengan orang-orang Suriname yang pandai berbahasa Jawa. Oleh teman-teman Surinamenya itu pula, Sarmadji diminta untuk mengajarkan cara menulis dalam bahasa Jawa.

Dalam pergulatannya melawan orde baru, Sarmadji kemudian membuat Perkumpulan Dokumentasi Indonesia atau disingkat Perdoi. Perdoi memuat kumpulan arsip dan dokumentasi tentang sejarah Indonesia yang berkaitan dengan tragedi 65/66. Sekarang sekitar 20 orang Indonesia menjadi relawan untuk menjalankan perpustakaan tersebut. Perdoi dapat diakses oleh publik umum jika ada yang orang yang memerlukan data atau arsip yang berkaitan dengan sejarah 1965. Sarmadji bahkan bersedia memfotokopi beberapa dokumen jika ada yang membutuhkan.

Pria asal Solo yang kini berusia 83 tahun tersebut tidak menikah dan berketurunan. Selain mengurus Perdoi, Sarmadji dengan sukarela membantu mengurus cucu dari keluarga temannya, yang bahkan sudah ia anggap sudah seperti cucu sendiri. Sarmadji percaya untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan dan hal itulah yang tetap membuat Sarmadji bertahan.

IBRAHIM ISA

Ibrahim Isa tinggal di Kairo sebagai Indonesian Permanent Representative at the Permanent Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization) pada tahun 1960-1966. Pada Januari 1966, ia berbicara mengenai kondisi politik Indonesia mengenai apa yang terjadi pada Oktober 1965 dalam Konferensi Solidaritas Rakyat-rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (Tricontinental Conference) yang berlangsung di Kuba. Setelah ia berbicara di konferensi tersebut, paspornya dicabut dan pria asal Minang itu pun menjadi eksil. Lewat surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yuda, pemerintah Indonesia yang pada saat itu diambil alih oleh militer menyatakan bahwa Isa adalah agen Gestapu dan harus digantung.

Di Kuba, Isa mendapat perlindungan dari pemerintah Kuba. Kemudian atas saran sejumlah rekan, ia pergi ke Tiongkok demi keselamatan dirinya. Pada saat yang bersamaan, Isa mendapat informasi bahwa istri dan ketiga anaknya yang pada saat itu masih berdomisili di Kairo akan ditangkap militer untuk memaksa Ibrahim Isa kembali ke Jakarta. Dengan bantuan sejumlah teman, istri dan ketiga anaknya dapat menyusul Isa ke Tiongkok. Mereka sekeluarga tinggal di Tiongkok selama 11 tahun. Isa memutuskan untuk ke Belanda pada November1987 dan meminta suaka politik. Isa kemudian menjadi warga negara Belanda dan tinggal di Amsterdam hingga kini.

Namun pria kelahiran Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta) pada 20 Agustus 1930 itu tidak pernah melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. Ia masih memantau berbagai kondisi di Indonesia lewat pemberitaan media, dari hal-hal umum hingga perkembangan politik di Indonesia. Isa menuangkan berbagai pemikirannya tentang Indonesia lewat tulisan. Isa menulis sebuah memoar Kabar dari Negeri Seberang dan Bui Tanpa Jerajak Besi. Lewat tulisan-tulisannya itulah Isa mencoba melawan lupa.

CHALIK HAMID

Chalik Hamid adalah sastrawan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) atau organisasi sayap kiri yang berkonsentrasi di bidang seni dan budaya. Pemerintahan Soekarno mengirim Chalik ke Albania pada awal tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Setelah pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto, paspor Chalik dicabut sehingga ia tidak bisa pulang atau kembali ke Indonesia. Karena tak punya identitas legal sebagai warga negara, Chalik pun tidak dapat melanjutkan studinya dan kemudian bekerja sebagai montir di sebuah pabrik mobil, jauh berbeda dari apa yang ia pelajari di universitas.

Saat Chalik menjadi eksil pada masa itu, istri yang ia tinggalkan di Indonesia kemudian ditangkap dan ditahan. Usaha surat menyurat ia lakukan untuk tetap berhubungan dengan keluarga di Indonesia. Ia kembali ke Indonesia pertama kali pada tahun 1995, saat itu ia sudah menikah dan mempunyai kehidupan baru dengan perempuan Albania, sementara istri pertamanya pun sudah mempunyai suami baru.

Pada tahun 80-an itu, Albania pun mengalami krisis ekonomi, kemudian Chalik pindah ke Belanda pada akhir tahun 1989. Ia pun kemudian menjadi warga negara Belanda. Pria asal Sumatra Utara tersebut menikah lagi dengan seorang perempuan dari Indonesia dan menjalani masa tuanya di kawasan Amsterdam Utara. Ia aktif menulis di milis, dan masih menulis sajak, serta menjadi redaktur di kalangan Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI).



(Teks dan foto oleh Rosa Panggabean/Antara)




____________________

Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/09/kehidupan-para-eksil/1

(Kisah Perang) - Ternyata di Dunia ini Ada Sebidang Tanah yang Tidak Diklaim Negara Manapun


  • Peta letak wilayah Bir Tawil.







   
 
 
 
 
 
Bila biasanya sebidang tanah diperebutkan untuk diklaim sebagai bagian dari wilayah suatu negara, namun tidak demikian dengan sebidang tanah ini. Tanah dengan luas sekitar sekitar 795 mil persegi (2.060 kilometer persegi) ini bernama Bir Tawil, terletak antara Mesir dan Sudan.

Sebidang tanah itu sengaja dibuat pada tahun 1902, ketika Inggris menarik perbatasan yang berbeda dari yang diciptakan pada tahun 1899. Dua batas yang berbeda membuat dua daerah yang berbeda, Bir Tawil dan Halaib.

Halaib memiliki berbagai sumber daya, sehingga diinginkan, tetapi Bir Tawil tidak. Oleh karena itu, Mesir mengklaim perbatasan pada 1899, yang memberikan Halaib ke Mesir dan Bir Tawil ke Sudan. Sebaliknya, Sudan mengklaim perbatasan tahun 1902, yang memberikan Halaib ke Sudan dan Bir Tawil ke Mesir.

Baik Mesir dan Sudan menegaskan bahwa Bir Tawil bukan miliknya, membuat Bir Tawil satu-satunya tanah di dunia (di luar Antartika) yang tidak diklaim oleh negara manapun.
 
 
 
sumber: danish56
 
 
 
 
____________________

Sumber : http://duniasejutawarna.blogspot.com/2014/03/ternyata-di-dunia-ini-ada-sebidang.html

(Puisi Tamu) - Puisi dan Kata-Kata Indah Selendang Hitam (Russie)







BUKAN


Bukan mahuku
untuk mencalar
garis pelangi senja
yang tersusun
kerana aku
adalah mentari
yang bakal tenggelam
dalam tangis hujan.~



~ Rusie ~
22/9/2014




Perlukah kupadamkan rindu
Saat cintaku tidak lagi diperlu olehmu?



~ Sie ~




Di mana sentuhan malam
saat sunyi memanggil namamu?


 
~ Sie ~




?


Entah mengapa
tibatiba disenja
nan syahdu..
jiwa diracau rindu
yang lama membeku.
Engkaukah?
yang mengusik senjaku
atau cuma rindu
yang membuakbuak
di dada daku?




~ Rusie ~

18/9/2014
16:48pm




Bila bulan enggan bicara
wajah malam bermuram durja.



~ Sie ~
23:40 mlm



Melangkah bawah redup senja
bayangmu tibatiba menerpa..



~ Sie ~
16:57




_____________________

Penyair : Selendang Hitam (Rusie)
Tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia

Senin, 29 September 2014

(Serba-Serbi) - 500 Naskah kuno Indonesia berada di British Library Inggris


500 Naskah kuno Indonesia berada di British Library Inggris




MERDEKA.COM. Di British Library, London Inggris, saat ini terdapat sekitar 500 naskah kuno dari Indonesia yang masih perlu dikaji oleh para pakar dan pemerhati. Keberadaan naskah kuno Indonesia itu diungkapkan Kepala Seksi Asia Tenggara di British Library, Annabel Teh Gallop yang menjadi pembicara dalam pelatihan naskah kuno kerja sama KKI Warsi dengan Jurnal Seloko yang berlangsung pada 15-16 September 2014.

Pelatihan akan berkutat dan mengkaji piagam dan naskah-naskah kuno yang berhasil ditemukan dari beberapa daerah di Provinsi Jambi. Pelatihan ini diikuti belasan peserta yang berasal dari peneliti, dosen dan aktivis dari berbagai instansi di Jambi.

Annbel mengatakan, untuk bisa mengkaji naskah kuno itu setidaknya dibutuhkan tiga kemampuan dasar, yakni filologi untuk mengkaji isi naskah, kodikologi untuk mengkaji fisik naskah dan pengetahuan terhadap konteks sosio-budaya masyarakat pemilik naskah.

"Menurut saya ini adalah kesempatan emas. Karena peneliti akan menjadi perantara antara naskah itu dengan dunia luar," kata Annabel seperti dikutip dari Antara, Kamis (18/9).

Ia mengatakan, pengetahuan mengenai naskah masa lalu yang dimiliki Jambi sangat diperlukan untuk mengetahui kearifan lokal dan sosial budaya masyarakat setempat.

Selain itu, melalui kajian naskah juga terbuka peluang untuk mengetahui sejarah masa lalu yang barangkali luput dari pengamatan, sebab di dalam naskah juga bisa ditemukan kapan sebuah naskah dibuat dan siapa pembuat naskah tersebut, terutama untuk naskah piagam yang banyak ditemukan di Jambi.

"Naskah piagam sangat penting sebagai kajian sejarah karena biasanya ada judul dan tanggal penulisannya," kata Annabel.

Menurut Warsi, di daerah Jambi banyak terdapat piagam atau naskah kuno yang saat ini sudah sulit ditemukan. Jika pun masih bisa ditemukan, kondisi fisik naskah juga sudah banyak yang rusak karena dimakan usia.

Padahal, di dalam naskah-naskah tersebut terkandung aturan adat, kearifan lokal, serta batas-batas wilayah masyarakat di suatu daerah.

Sebelum naskah-naskah itu benar-benar hilang dan tidak bisa diakses lagi, diperlukan sebuah upaya penyelamatan melalui pengkajian dan penelitian naskah yang masih bisa ditemukan. Jika penyelamatan naskah melalui penelitian seperti ini tak segera dilakukan maka aturan lokal yang tercantum di dalam naskah tersebut akan hilang dan tidak bisa memberikan manfaat kepada masyarakat di masa yang akan datang.

Namun, karena kemampuan masyarakat masih sangat minim untuk mengkaji dan meneliti naskah tersebut, KKI WARSI bekerja sama dengan Seloko Jurnal Budaya sengaja menggelar penelitian naskah dengan mendatangkan pembicara dari British Library. Melalui pelatihan ini diharapkan bisa memberi pemahaman awal bagi para peneliti untuk lebih serius mengkaji dan mendokumentasikan naskah, piagam yang merupakan kekayaan masyarakat Jambi.

Selain naskah bisa diselamatkan dari kepunahan, masyarakat luas juga bisa mengetahui keagungan dan kearifan lokal yang pernah tumbuh di tengah masyarakat Jambi pada zaman dulu kala.

Deputi KKI Warsi Yulqari mengatakan, pelatihan pernaskahan itu sangat perlu dilakukan karena melalui pemahaman dan kemampuan dalam menganalisis naskah lama diharapkan bisa memberikan pengetahuan dalam mengambil kebijakan terkait pemberdayaan masyarakat adat, sebab naskah-naskah tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan kearifan lokal masyarakat pemilik naskah.

Ia mencontohkan, dalam melakukan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) yang selama ini diusung oleh KKI WARSI, untuk mewujudkan advokasi dibutuhkan informasi terkait klaim wilayah dan bagaimana struktur-struktur di dalam suatu masyarakat.

Hal itu bisa ditemukan di dalam naskah dan piagam tersebut, semua itu tercantum dalam tambo atau naskah. Ini yang perlu kita ketahui dan kita gali. Untuk wilayah hulu masih sangat kental dan banyak menyimpan naskah-naskah tersebut," katanya.

Diharapkan melalui kegiatan pelatihan pernaskahan itu akan memberikan bekal bagi staf WARSI dan para peserta pelatihan dalam membaca naskah yang masih bisa ditemukan di tengah masyarakat.

"Kita akui selama ini kita masih kurang atau masih minim dalam membaca naskah seperti ini. Selama ini kita lebih banyak membaca naskah berdasarkan interaksi langsung dengan masyarakat," katanya.

Melalui pelatihan ini setidaknya akan ada cikal bakal peneliti di Wasri dan Jurnal Seloko.





____________________

Sumber: Merdeka.com

Sabtu, 27 September 2014

(Artikel Ringan) - The Murmur House : Ajak Kaum Muda Menulis




Shutterstock/Djem



Kemajuan teknologi yang kian pesat, ternyata tanpa sadar telah menjauhkan kita sebagai manusia dari kehidupan nyata.

Teknologi memudahkan semua pekerjaan, bersosialisasi yang seakan membuat dunia seperti dalam genggaman, “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” sangat cocok untuk menggambarkan perkembangan teknologi saat ini.

Kecanggihan teknologi telah membuat kita terisolasi atau mengisolasi diri ke dalam dunia yang kita buat menjadi baik-baik saja. Kita membentengi diri dari realita di sekitar kita bahkan dari hal yang paling remeh temeh dan sederhana.

Pengalaman sulit ditemukan di dalam ruangan, dengan menggenggam sebuah pensil dan kertas atau bahkan kini telepon genggam, atau pula duduk berlama-lama di depan laptop.

Meski menulis sering dikenal sebagai suatu proses kesendirian,  kita sering melupakan bahwa untuk sampai pada proses menulis kita melewati proses pencarian ide dan setelah menulis kita membutuhkan kritik dan proses perbaikan. Sehingga, alasan inilah yang membuat kita sebagai manusia mulai tertarik kepada teknologi.

Guna mendidik dan mengajak para penulis muda untuk kembali tertarik pada dunia tulis menulis, Syarafina Vidyadhana dan Rain Chudori pada 2013 yang lalu membuat sebuah organisasi atau lembaga yang diberi nama The Murmur House.

The Murmur House dijadikan sebagai sarana, tempat para penulis muda dapat memperluas pemikiran, pengalaman dan ide-idenya. The Murmur House hadir dan berharap menjadi tempat penulis muda terhubung kembali dengan realita dan dunia sesungguhnya, dengan orang-orang baru, dengan emosi dan diri sendiri. 

Dalam waktu dekat The Murmur House memiliki dua proyek utama yakni Murmuration dan Murmur journal. Murmuration merupakan apresiasi karya sastra berupa readers’ gathering yang diisi pembacaan puisi atau beberapa paragraf novel. 

Murmur journal adalah jurnal sastra berbahasa Inggris yang berisi puisi, cerpen dan esai yang setiap karyanya diiringi dengan foto atau ilustrasi.

Dengan adanya The Murmur House, pihaknya berharap dapat mengajak anak muda di Indonesia untuk tetap mencintai dunia tulis-menulis agar tidak selalu bergantung dengan teknologi terus-menerus.[*]




___________________

Sumber : http://geotimes.co.id/seni-budaya/seni-budaya-news/seni-rupa/9745-the-murmur-house-ajak-kaum-muda-untuk-menulis.html

(Artikel Ringan) - Panduan bagi Redaktur









LPDS, 2 Mar 2009. T.D. Asmadi, pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo.



Redaktur – bahasa Belanda/Prancis – redacteur: Orang yang menangani bidang redaksi (KBBI). Editor – bahasa Latin edere (e = keluar + dare = memberi). Edere berarti menjulang, menyembul, memberitahukan, atau menerbitkan. Penyunting – ‘sunting’ = hiasan rambut, seperti bunga, kembang goyang (bunga tiruan, umumnya dari logam, yang bergoyang-goyang), tusuk konde, dan lain-lain. Suntingan membuat rambut menjadi mahkota bagi wanita. Penyunting bertugas memperindah naskah.

Bedakan dengan istilah editor pada bahasa Inggris. Media Barat memiliki copy-editor, selain editor/redaktur. Di Inggris/AS yang menjadi editor biasanya tidak memeriksa dan menurunkan naskah. Yang melakukan tugas pemeriksaan/ penurunan adalah copy editor. Jabatan copy editor ini merupakan jenjang tersendiri dan paling mempunyai peluang untuk menduduki posisi tertinggi di struktur organisasi rekdaksi.

Floyd K. Baskette mengibaratkan redaktur sebagai pengasah intan yang menghaluskan, menggosok, menghilangkan cacat, dan membentuk batu menjadi permata. Warren K. Agee, penulis buku dan profesor bidang jurnalisme, lebih tinggi lagi menilainya. Redaktur itu hati nurani surat kabar, katanya. (KBBI: hati nurani adalah hati yang telah mendapat cahaya Tuhan atau perasaan hati yang murni dan yang sedalam-dalamnya). Marjorie Paxson, seorang penerbit di Amerika Serikat, menggambarkan redaktur sebagai orang yang tahu tata bahasa, ejaan, punya perhatian kepada hal yang detail, dan perfeksionis. Seorang yang dapat mengerjakan tugas rutin tanpa bosan, yang menggunakan kreativitas dan imajinasinya untuk mengimbangi kerutinan. Orang yang berpengetahuan luas dan berpikir cepat. Dia juga kaya inisiatif, hati-hati, cerdas, dan memahami tugasnya.

Redaktur itu memang jantung yang menentukan hidup dan mati media massa. Jantung pada manusia letaknya tersembunyi dan besarnya hanya sekepal. Memompa darah 70–80 kali setiap menit. Mengubah darah kotor menjadi darah bersih. Menyalurkan makanan, oksigen, dan zat lainnya bagi miliaran sel yang tersebar di seluruh tubuh.

Nama seorang redaktur tidak pernah muncul dalam sebuah tulisan seorang wartawan. Betapapun banyaknya perbaikan dan penambahan yang dilakukan seorang redaktur, tetap nama orang lain yang muncul. Seorang redaktur, perlu memiliki keterampilan teknis dan kecendekiawanan. Seorang redaktur harus menjadi spesialis dalam bidang yang ditanganinya. Seorang redaktur juga harus menjadi manajer. Seorang redkatur juga harus menjadi guru/pendidik.

Tiga bidang tugas redaktur:
  1. Manajemen, meliputi:
    • keuangan
    • kekompakan tim
    • penilaian/rekomendasi kerja reporter
    • promosi
    • penempatan/mutasi
  2. Pendidikan, meliputi:
    • pelaksanaan etika profesi
    • manajemen organisasi
    • keterampilan jurnalistik, riset,
    • dengan memberi contoh yang baik
  3. Editorial, meliputi a.l.:
    • perencanaan isi
    • pembagian tugas
    • penetapan tugas lapangan
    • penetapan tugas riset
    • pembuatan tulisan
    • editing
Yang tak tidak kalah penting: bersinergi dengan bidang lain (iklan, promosi, sirkulasi/distribusi). Semuanya untuk kemajuan media agar diperoleh keuangan yang mandiri.

Redaktur sebagai pendidik:
  • Membimbing saat mencari bahan
  • Membimbing saat menulis berita
  • Mengembangkan kepercayaan diri reporter
  • Mengembangkan kekuatan dan menghilangkan kekurangan reporter
  • Membimbing agar reporter independen
  • Membimbing agar berani mengambil risiko
Pembimbingan dilakukan dengan tanya jawab dan dengan lebih banyak mendengar
Berbagai pertanyaan yang perlu diajukan kepada reporter:
  • Apa sih yang ingin diketahui pembaca?
  • Bagaimana sih caranya agar pembaca jelas?
  • Tulisan Anda ini tentang apa sih?
  • Sudahkan menemukan fokus tulisan?
  • Kutipan langsung mana yang paling bagus?
  • Siapa tokoh yang paling menarik dalam tulisan Anda?
  • Sudah memikirkan bagaimana akhir tulisan?
  • Bagaimana sih Anda mengetahui hal itu?
  • Seperti apa sih kisahnya?
  • Apa yang terjadi?
Seorang redaktur perlu memahami:
  • Perilaku pembaca/audiens
    • hubungan dengan berita televisi
    • soal kebiasaan pembaca yang selalu berubah
    • yang mereka inginkan dari media kita
    • dll
  • Konsep tentang berita:
    • jika semua media elektronik sudah memberitakan, apa yang akan kita sampaikan kepada pembaca esok harinya?
    • bagaimana menyusun berita?
      • piramida terbalik tunggal sudah tidak memadai lagi, karena sudah “dimakan” media elektronik.
      • kini: sebuah tulisan terdiri dari banyak piramida terbalik yang saling mengait.
Masalah yang paling penting bagi seorang redaktur adalah bukan kapan dia harus mengubah sebuah tulisan, tetapi mengapa dia harus melakukan itu.

Pekerjaan seorang redaktur separuh bersifat keilmuan, setengahnya lagi bersifat seni.

Akurasi dan beberapa bagian bahasa merupakan ilmu, karena ada ukuran benar atau salahnya.

Tetapi pilihan kata untuk sebuah pernyataan, atau peristiwa serta kapan untuk membuang atau menambah sebuah tulisan adalah sebuah pekerjaan seni.

Dalam tugas keredaksian, posisi seorang redaktur ada di tengah pintu. Di dalam ada segerombolan reporter yang menjadi tanggung jawabnya dan di luar ada beribu-ribu pembaca. Semuanya ingin dipuaskan oleh kerja redaktur.

Redaktur bukan hanya mengerjakan tugas keredaksian, tetapi juga manajeman: membagi reporter ke mana bertugas, kapan memuji dan kapan menghardik, mengamati rajin-tidaknya anak buah, mengusulkan kenaikan gaji dll.

Redaktur juga seorang teman bagi reporter. Dia tahu setiap saat kondisi reporter. Dia paham keluarganya dan gaya hidupnya. Dia perlu memahami kelakuan reporter.

Redaktur juga seorang guru. Dia membimbing reporter agar mencari fakta lebih banyak, mencari narasumber yang tepat, membuka literatur yang sepadan. Dia juga memberi saran dan pedoman bagaimana menulis lebih baik.

Dalam menyunting sebuah tulisan, dia melakukannya dengan membaca sedikitnya tiga kali:
  1. Membaca keseluruhan sebagai seorang pembaca biasa.
  2. Membaca sambil memperbaiki semua kekurangan, sebagai seorang redaktur.
  3. Membaca lagi untuk mengetahui bagaimana tanggapan diri sendiri tentang tulisan yang baru saja perbaiki.
Penyuntingan
  1. Membaca tulisan untuk klarifikasi bahasa dan makna tulisan sekaligus menulis kembali jika diperlukan
  2. Memperpendek tulisan dengan tetap menjaga agar esensi dan kepaduannya
  3. Memadukan satu tulisan dengan lainnya atau dengan tulisan yang sedang masuk dari kantor berita, koresponden, dan wartawan untuk menghasilkan satu tulisan yang padu dari berbagai sumber yang kadang bertentangan.
  4. Menjaga agar tulisan tetap ‘masuk’ dalam ruangan yang tersedia.
  5. Mengecek bahasa dan gaya media yang ditanganinya
  6. Mengecek soal-soal fakta: adakah yang keliru.
  7. Mengecek adakah kesalahan legal
  8. Mengecek ‘rasa’ seluruh tulisan.
  9. Menambah fakta penting dan menghindarkan adanya pertanyaan yang tak terjawab
  10. 1Membuat judul sehingga menarik pembaca sekaligus juga membuat subjudul jika diperlukan
Nilai dari seorang redaktur (Paula Ellis dari The State di Columbia, AS)
  • Memandang ke depan sebuah tulisan: apa pengaruhnya bagi masyarakat atau orang per orang.
  • Bentuk tulisan terbaik: bercerita
  • Tidak terpaku pada satu bentuk tulisan, termasuk yang dinilai baku pada media itu.
  • Berbagi peran dalam mengembangkan tulisan
  • Memahami reporter
  • Sifat kritis yang tidak sembarangan
  • Tanamkan nilai-nilai yang Anda kehendaki pada reporter.
  • Evaluasi pada kinerja reporter.
  • Membangun kepercayaan diri reporteer.
  • Membangun kebersamaan.
  • Menempuh risiko
  • Jaga diri sendiri juga
Redaktur memahami benar visi dan misi serta kemudian karakter medianya. Dia harus selalu berpedoman pada hal itu dalam tugas sehari-harinya.

Oleh karena itu juga, seorang redaktur kini harus bersinergi dengan bagian lain, misalnya promosi, iklan, dan bisanis pada umumnya. Karya yang keluar dari sebuah perusahaan media adalah hasil kerja sama semua bidang.

10 Sifat yang Perlu Dimiliki Redaktur (Anne Glover, St. Petersburg Times)
  1. Semangat bekerja (Passion for the work)
  2. Memiliki pengetahuan dasar yang memadai (A solid education in the basics)
  3. Pengalaman (Experience)
  4. Kreativitas (Creativity)
  5. Pengetahuan umum yang luas (Knowledge of the Times)
  6. Memiliki keyakinan (Convictions)
  7. Sikap luwes dan menyadari kenyataan (Flexibility and a sense of reality)
  8. Perhatian kepada detail (Attention to detail)
  9. Rasa ingin tahu yang besar (Curiosity)
  10. Akal sehat (Common sense)
Konsekuensi Tugas Redaktur
  1. Tenang, meski tegang. Redaktur bekerja dalam suasana tegang dan tergesa-gesa. Namun, dalam keadaan demikian dia dituntut untuk sanggup tetap tenang.
  2. Sabar dan bugar. Pekerjaan mengedit itu membosankan. Duduk berjam-jam di ruang tertutup. Mata terus-menerus menatap monitor. Ini mengundang banyak penyakit (mata, pencernaan, stres, dll.). Acap kali juga gemas karena yang ditulis oleh wartawan jauh dari harapannya. Redaktur dituntut untuk sabar dan tetap bugar.
  3. Kerja sama. Penerbitan pers adalah produk kerja sama. Oleh sebab itu, redaktur harus pandai-pandai menjalin kerja sama bukan hanya di selingkup redaksi, melainkan juga dengan bagian iklan, pemasaran, promosi, dan lain-lain.
  4. Berilmu dan berpengalaman. Seseorang diangkat sebagai redaktur karena luas wawasan, dalam pengetahuan, dan banyak pengalamannya.
  5. Berjiwa pendidik. Redaktur berkewajiban membimbing wartawan. Oleh karena itu, ia harus berjiwa pendidik. Mendidik adalah mentransfer ilmu dan mengubah perilaku, kebiasaan, dan kepribadian. Misalnya, mengubah kebiasaan wartawan yang umumnya bekerja tanpa perencanaan, baik dalam mencari bahan tulisan maupun ketika membuat tulisan.
  6. Mencintai bahasa. Sebagian besar pekerjaan mengedit itu memperbaiki bahasa. Konsekuensinya redaktur harus mencintai bahasa dan mahir berbahasa.
  7. Kreatif dan kaya inisiatif. Bisnis media adalah jasa melayani masyarakat. Masyarakat itu dinamis. Redaktur harus selalu memantau masalah yang sedang berkembang, yang sedang digemari, dan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan redaktur yang kaya inisiatif dan kreatif.
Perlengkapan Redaktur
  1. Agenda
  2. Daftar alamat, termasuk e-mail
  3. Telepon seluler
  4. Kamus Inggris–Indonesia
  5. Kamus Indonesia–Indonesia
  6. Kamus sinonim
  7. Kamus bahasa daerah
  8. Buku Pengindonesiaan Istilah Asing
  9. Buku panduan (style book)
  10. Buku pintar
  11. Ensiklopedi
  12. Buku tata bahasa
  13. Buku ejaan
  14. Peta, termasuk peta kota
  15. Kata-kata mutiara
  16. Data base
  17. Kliping surat kabar, tabloid, majalah
  18. Dan lain-lain.
Bahan-bahan:
  1. Coaching Writers, Editors and Reporters Working Together (Roy Peter Clark dan Don Fry)
  2. The Art of Editing (Floyd K. Baskette, Jack Z. Sissors, Brian S. Brooks)
  3. The Copy Editing and Headline Handbook (Barbara G. Ellis Ph.D)
  4. Redaktur itu Jantung Surat Kabar (Makalah Maskun Iskandar)



____________________

Sumber :  http://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/03/02/panduan-bagi-redaktur/

Jumat, 26 September 2014

(Serba-Serbi) - Inspirasi dari Jepang


Ketika membuat karya terpenting di jamannya, van Gogh, Monet dan Gauguin sepenuhnya terinspirasi Jepang. Karya-karya mereka itu dipamerkan di museum Folkwang.


 
Bildergalerie zur Ausstellung Monet, Gauguin, van Gogh... Inspiration Japan  
 
 
 

"Gelombang Jepang" Mencapai Eropa

1888 Vincent van Gogh menemukan di Arles, Perancis Selatan sebuah karya lukisan pada kayu yang dibuat seniman Jepang Katsushika Hokusai, dan mulai terinspirasi. Karya lukisan kayu Hokusai yang berjudul "Gelombang Besar di dekat Pantai Kanagawa" (sekitar 1831), juga dipertunjukkan di pameran "Inspirasi Jepang" di museum Folkwang, Essen.


 
Bildergalerie zur Ausstellung Monet, Gauguin, van Gogh... Inspiration Japan  
 
 
 

Orang Perancis Kumpulkan Karya Jepang

Edouard Manet, Edgar Degas dan Claude Monet kumpulkan karya Katsushika Hokusai, Utagawa Hiroshige dan Kitagawa Utamaro. Van Gogh bahkan menjual karya lukisan kayu Jepang, dan adakan pameran di sebuah kafe di Paris, "Le Tambourin" pada tahun 1887. Ukiyo, yang artinya "gambar dari dunia yang mengalir", sangat disukai seniman Jepang. Ini jadi inspirasi karya Gustave Courbet, "Gelombang" (1869).


 
Bildergalerie zur Ausstellung Monet, Gauguin, van Gogh... Inspiration Japan  
 
 
 

Orientalisme Yang Memukau

Fokus pameran adalah masa antara 1860 dan 1910, awal dan masa puncak penyerapan inspirasi dari karya seniman Jepang di Perancis. Karya Van Gogh "Perahu Sungai Rhone" diciptakan di fase ini, setelah mempelajari karya Katsushika Hokusai berupa lukisan pada kayu.


 
Bildergalerie zur Ausstellung Monet, Gauguin, van Gogh... Inspiration Japan  
 
 
 

Terpukau dengan Lukisan Kayu

Lukisan kayu dari Jepang asing dan memukau bagi pelukis pada akhir abad ke-19. Pameran menunjukkan, bagaimana pelukis aliran Impresionis terinspirasi estetika dari Jepang. Karya berjudul Pierre Bonnard ini dibuat dengan teknik lukisan pada kayu dari Jepang. Untuk membuat lukisan ini, Bonnard perlu tiga tahun (1894/1897).


 
Bildergalerie zur Ausstellung Monet, Gauguin, van Gogh... Inspiration Japan  
 
 
 

Bukan Hanya Tiruan

Dengan lukisan minyaknya, "Perempuan dari Arles," (1888) Paul Gauguin juga terinspirasi seni dari Jepang. Para seniman Eropa tidak hanya meniru gaya dan motif, melainkan juga prinsip komposisi seni lukis Jepang. Sehingga mereka, misalnya menekankan segi dekoratif.


 
Bildergalerie zur Ausstellung Monet, Gauguin, van Gogh... Inspiration Japan  
 
 
 

"Japonism" Berpengaruh Luas

Selama dua ratus tahun Jepang menutup diri dari dunia luar. Akibat tekanan AS, Jepang akhirnya membuka diri 1853 dan berbisnis dengan AS, dan kemudian dengan Eropa. Setelah tahun 1860 semakin banyak karya lukis kayu, keramik dan kipas berdatangan dari Jepang ke Barat. Fenomena ini disebut "Japonism."


 
Bildergalerie zur Ausstellung Monet, Gauguin, van Gogh... Inspiration Japan  
 
 
 

Benda Seni dan Yang Untuk Digunakan

Kekaguman seniman Perancis bagi karya seni Jepang tampak dalam banyak hal. Misalnya, mereka menampilkan gambar benda dari Jepang di karya mereka. Karya Gauguin yang berjudul "Kucing Kecil pada Kunci" (1888) berbentuk seperti kipas dari Jepang.




____________________

Sumber :  http://www.dw.de/inspirasi-dari-jepang/g-17957674















































Rabu, 24 September 2014

(Serba-Serbi) - Lonceng Penanda Awal Denyut Peradaban Palmerah


Rumah tuan tanah itu telah musnah, namun sebuah lonceng penanda jam kerja para budaknya tetap selamat di sudut Palmerah.

 

Lonceng Penanda Awal Denyut Peradaban Palmerah 


Meskipun Landhuis Djipang (warisan pejabat VOC Andries Hartsinck) telah dibongkar pada 1996, lonceng vila tersebut tetap lestari di Palmerah Selatan. Pembongkaran bangunan cagar budaya kerap terjadi di Jakarta atas dalih bisnis dan meluasnya pembangunan kota. Generasi penerus pun kehilangan ingatan sejarah mereka. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Vila megah milik Andries Hartsinck itu beratap gaya limasan yang ditudungi genting. Keberadaannya pernah menjadi markah sehamparan kawasan pertanian di pedalaman Batavia pada akhir abad ke-18.

Bangunan milik tuan tanah itu kelak dikenal sebagai Landhuis Djipang—sekitar Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Menurut Alwi Shahab, jurnalis senior dan pemerhati sejarah Jakarta, bangunan tersebut berada dalam kawasan yang pernah dijuluki sebagai Kampung Jepang.

Vila dengan atap bersudut lebar itu ibarat topi berpinggiran lebar yang menaungi beranda depan dan belakang. Pintu masuknya berukuran besar dan tinggi. Hiasan di atas pintu, berupa kaca dan bilah-bilah lubang angin, menunjukkan pengaruh Belanda yang kuat. Rumah sang tuan tanah itu merupakan penanda zaman, tatkala orang-orang Belanda telah beradaptasi dengan cuaca dan menerima kebudayaan setempat. Barangkali, inilah kearifan para pendatang Eropa saat itu—gaya Belanda-Tropis.

Hartsinck, lahir pada 1755 di Wageningen, Belanda. Dia pernah bertugas sebagai akuntan di Surabaya, dan menjabat residen di beberapa kota: Pekalongan, Rembang, dan Surakarta. Menikahi sembilan perempuan dan memiliki keturunan sepuluh anak, termasuk dua anak dari hubungan tak resmi dengan budaknya. Hubungan asmara majikan dan budak saat itu sangat lazim, yang kelak turut melahirkan peradaban budaya indis.

Berikut istri-istri Hartsinck: Saijo Boerat (anaknya bernama Johanna Susanna Hartsinck yang lahir pada 1777); Willemijntje (anaknya bernama Andries Hartsinck dan Paulus Hartsinck. Keduanya lahir pada 1791 dan 1794); Mida (anaknya bernama Pieter Hartsinck, lahir 1793; Roosje van Mandaar (anaknya bernama Frederik Ditloff Hartsinck, lahir 1800); Moetiara van Loean (anaknya bernama Balthazar Frederik Wilhelm Hartsinck, lahir 1800); Malatie van Mandaar (anaknya bernama Anna Hartsinck, lahir 1801); Matra (anaknya bernama Petronella Cornelia Hartsinck, lahir 1794); seorang pribumi mungkin budak (anaknya bernama Sara Cornelia Hartsinck); dan Moetiana van Boegis (anaknya bernama Anthonetta Henrietta Hartsinck).

Tampaknya, setelah purna-tugas dari Surakarta, Andries membangun vila mewah di kawasan pedesaan, jauh dari hiruk-pikuk Kota Batavia pada paruh kedua abad ke-18.

Satu vila berada di Palmerah Selatan yang dijuluki sebagai Landhuis Djipang—ada juga yang menyebutnya Landhuis Depan. Sementara beberapa ratus meter di belakang Landhuis Djipang,



Landhuis Djipang di Palmerah ... 


Landhuis Djipang di Palmerah pada awal abad ke-20. Arsitektur vila perdesaan di pinggiran batavia ini memadukan unsur lokal dan Eropa. (Georg Friedrich Johannes Bley/Tropenmuseum/wikimedia)


Landhuis Djipang pernah diungkap dalam sebuah catatan pada 1792, sebagai rumah tembok yang berada sekitar dua jam jalan kaki ke luar kota Batavia. Rumah itu dikelilingi persawahan padi dan sekitar seratusan ekor ternak.

Di halaman depan vila itu terdapat sebuah menara lonceng. Seperti pada rumah-rumah tuan tanah  abad ke-18, biasanya lonceng digunakan untuk menandai waktu awal dan akhir bekerja para budak yang tinggal di barak terpisah dari rumah majikannya.

"Fungsinya mirip kentongan orang Jawa, sungguh," ujar Liliek Suratminto, pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Menurutnya, lonceng bisa berfungsi sebagai alat komunikasi, misalnya untuk mengumpulkan anggota keluarga, menyampaikan berita atau pengumuman penting, dan menandai aktivitas para budak. "Jadi tuannya tidak perlu teriak-teriak karena rumahnya sangat besar dan pekarangan sangat luas," ujar Liliek. "Dengan lonceng pekerjaan menjadi lebih praktis dan efisien."

"Di Belanda abad 17 dan 18," Liliek melanjutkan, "orang dengar lonceng bisa tahu ada kematian, yang meninggal laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa. Juga, kelahiran dan perkawinan."

Pada akhir abad ke-17 hingga abad ke-19, tanah-tanah partikelir untuk perkebunan yang dimiliki orang-orang Eropa dan Cina di Batavia mengalami perluasan hingga menjauh dari kota. Perluasan tersebut diikuti perkembangan kawasan permukiman orang Eropa dan Cina. Barangkali, Hartsinck merupakan tuan tanah yang membuat Palmerah berdenyut sejak akhir abad ke-18, hingga berkembang menjadi tempat berdagang, dan juga pecinan di pinggiran Batavia.  


Beranda depan Landhuis Djipang ... 


Ruangan dalam Landhuis Djipang di Palmerah. Bangunan warisan Andries Hartsinck ini bergaya rumah indis karena memadukan aspek arsitektur tropis dan Eropa. Foto sekitar 1920-1935, tampaknya saat itu landhuis Djipang telah dihuni keluarga Cina.  (Georg Friedrich Johannes Bley/Tropenmuseum/wikimedia)

Dalam perkembangannya hingga pada akhir abad ke-20, vila yang pernah dimiliki Hartsinck itu mengalami keanggunan yang memudar. Tanah perkebunannya menjelma menjadi petak-petak hunian padat.

“Selama beberapa dekade rumah itu dilindungi Monumenten Ordonantie dan masuk dalam bangunan yang dilindungi,” ungkap Adolf Heuken dalam bukunya Historical Sites of Jakarta. “Namun pada 1993, rumah itu dicabut dari daftar bangunan yang dilindungi oleh sebuah persekongkolan misterius, kemudian dibongkar pada 1996.”



Namun pada 1993, rumah itu dicabut dari daftar bangunan yang dilindungi oleh sebuah persekongkolan misterius, kemudian dibongkar pada 1996.


Monumenten Ordonantie merupakan undang-undang yang dibuat atas kesadaran pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam upaya mengumpulkan, melestarikan dan merevitalisasi berbagai peninggalan budaya di Nusantara. Peraturan ini dibuat pada 1931, kemudian disempurnakan pada 1934.

Pada akhirnya, rumah zaman VOC itu telah musnah di zaman Orde Baru. Namun, lonceng yang menyertainya masih lestari. Lonceng yang tak berpenanda aksara atau pun angka itu tersemat di sebuah menara beton di pekarangan kantor rukun warga setempat—beberapa jengkal dari Gedung Kompas Gramedia di Palmerah Selatan.

Lonceng lawas itu tak lagi berdentang. Dia telah tenggelam dalam gelumat pasar, perkantoran, dan permukiman. Kini, warga pun melupakan hikayat tentang lonceng yang bahana dentangannya pernah menandai awal peradaban di Palmerah.




____________________

Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/09/lonceng-penanda-awal-denyut-peradaban-palmerah







Senin, 22 September 2014

(Puisi) - Lorong Kota Tua







di hari minggu yang cerah dan nyaman
aku pergi ke kota tua mencari lampion
dan singgah sebentar di kedai kopi
duduk di tepi jalan trotoar kedai

melihat banyak orang lalulalang
hilir mudik persis belalang
aku aduk kopiku dan gula kotak
menyeruputnya hingga tekak

aroma kopi dan manisnya gula
membawaku sampai histeria
ah aku tak pernah lupa kamu
di mana langkah kaki ini selalu

aku pesan secangkir lagi kopi
dan aku lihat kue-kue roti beragi
air liurku tertelan betapa nikmat
kepalaku penuh dengan hikmat

tiba-tiba aku ingat lampu lampion harus kubeli
bergegas aku ke kasir dan membayar tunai
kembali aku berada di jalan lorong kota tua
sampai akhirnya di toko kelontong Mei Hwa 







Jaga Blengko, 22 Sept' 14
Jack Phenomenon

(Cerpen Menarik) - Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku


Cerpen Martin Aleida (Kompas, 18 November 2012)


Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku ilustrasi Mahendra Mangku




QUEENARAKU, kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup, berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi, aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup kening dan rambutmu. Mengagumi matamu….

Manakala pelupuk matamu sudah kuyu, sementara dongengku belum sudah, sadarlah aku sesungguhnya kau sudah bosan. Ya, jangankan kau, Si Kancil yang cemerlang dan buaya yang bebal itu pun mencibirku sebagai seorang yang majal daya khayalnya.

Aku bukan seorang pencipta. Lebih sebagai pengelana. Dari pengembaraanku aku ingin memetikkan sebuah kisah untukmu.

Kemarin, setelah bertahun tak pernah dicium kamoceng, aku bersih-bersih di kamar. Kutata kembali buku-buku yang sudah renta dan berdaki kulitnya. Di celah buku ketemukan ini. Guntingan koran L’Unita yang terbit di Roma setengah abad lampau. Kertasnya sudah kusam. Kalau jatuh ke tangan pemulung, dia hanya layak untuk pembungkus terasi. Kliping itu mengingatkan aku pada pengalaman yang menceriakan hati, tetapi juga meninggalkan luka lantaran kecewa.

Tataplah guntingan koran ini. Lihat. Di bawah fotoku, yang sedang melambaikan tangan (dengan peci yang membuat aku kelihatan dungu) setiba di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma, mengalir sebaris keterangan: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai tamu resmi L’Unita.

Foto dan kata-kata di guntingan koran ini seperti kerlip rama-rama yang datang mengantarkan terang, memancing fantasiku untuk menguntai cerita untukmu, sekarang. Golekkanlah kepalamu di lenganku. Akan kupejamkan matamu dengan belaian kisah tentang bagaimana kekaguman pada seorang perempuan, yang telah menenung Kakekmu ini, sehingga dia menjadi begitu pandir dalam kesetiaan. Aku percaya, kau akan sakit perut terpingkal-pingkal dikocok tawa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebodoh itu, seperti buaya yang dikadali sang kancil.

Nanti, pengalamanku itu akan kutuliskan baik-baik dengan tulis-tangan tebal-tipis di atas kertas bergaris halus-kasar. Gaya menulis orang “jadul,” sebagaimana kata Ibumu. Dan akan kuselipkan di antara buku-bukuku. Kalau kau sudah dewasa, dan aku mungkin sudah tiada, bacalah! Saat itu kau tentu sudah memahami arti ketulusan hati dan kesetiaan seseorang yang pandir. Dan orang itu adalah Kakekmu ini, ketika dia masih seorang mahasiswa di sebuah negeri bersalju.

Beruntung, hampir lima puluh tahun lalu, aku dapat beasiswa belajar teknik kapal selam di Moskow. Sungguh mati, Uni Soviet waktu itu bukan surga di bumi. Tetapi, aku sudah merasa seperti berdiri di pintu masuk sebuah taman yang menjanjikan. Setiap bulan aku menerima stipendiya (beasiswa) 90 rubel, dipotong dua rubel untuk bayar obsyezitie (asrama). Dengan uang itu, setiap akhir bulan aku leluasa ngluyur di tokok-toko buku, yang menjual bacaan dengan murah. Dalam bahasa Rusia, aku membaca The Call of the Wild dan The White Fang, yang mencitrakan anjing, binatang kesayangan kita, sebagai lambang pencari kebebasan, karangan novelis Amerika Serikat, Jack London. Novel-novel itu laris seperti kerupuk di Uni Soviet.

Gara-gara buku aku jadi tak bisa menabung. Padahal, aku sudah lama berangan-angan melihat Italia, negeri di mana catatan peradaban masa lalu bisa dibaca dalam berbagai peninggalan berbatu pualam. Alamnya menawan. Cuma ada beberapa kawan yang coba mementahkan hajatku itu. “Jangan pernah ke Italia! Orang-orang tak bersahabat di sana. Banyak pelancong yang tertipu. Penjambret di mana-mana, seperti lalat yang tak pernah kenyang. Karena itu Takhta Suci dibangun Tuhan di sana.”

Tapi, aku keras kepala. Kuturuti kehendak hatiku. Tak punya duit, aku tak kehabisan akal. Di kios-kios penjualan surat kabar di Moskow hanya ada koran partai komunis dari berbagai penjuru dunia. Kubeli L’Unita, dan dengan bahasa Italia yang terbata-bata, dibantu kamus, aku mengadu nasib. Kulayangkan surat pembaca ke koran itu.

“Signore,” nekat aku menyapa. “Saya mahasiswa Indonesia di Moskow. Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk membiayai hidup beberapa hari di sana.”

Kiambang bertaut. Surat itu dimuat dan dapat tanggapan. Beberapa keluarga bergairah ingin menjadi tuan rumahku. Namun, belum sempat aku menyurati mereka, tiba-tiba datang telegram dari L’Unita yang mengambil-alih semua kebaikan hati orang-orang yang bersimpati padaku. Koran itu menyatakan siap menyambutku sebagai tamu resmi.

Begitulah, ke mana saja singgah aku disambut. Tak kulupakan bagaimana hangatnya aku didaulat di kantor koran tersebut. Juga anak-anak muda yang menerimaku dengan tulus. Tetapi, bukan itu benar yang ingin kukisahkan kepadamu. Pun tidak tentang kota maupun wanita Italia berambut jagung yang memang cantik jelita.

Musim panas, Sabtu sore, minggu ketiga Juli 1962. Kutinggalkan stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, terus menyeberang ke Polandia. Aku menempati coupe paling ujung untuk dua penumpang. Temanku satu coupe seorang perempuan berusia 60-an. Melihat perawakannya yang tidak begitu tinggi untuk rata-rata orang Rusia, dan gerak-geriknya yang gesit seperti marmut, kukira dia berasal dari Asia Tengah. Dia mendapat tempat-tidur sebelah bawah, aku di atas. Kalau siang, tempat-tidur bertingkat itu kami lipat jadi tempat duduk.

Uni Soviet diperintah orang-orang bertangan besi, tetapi mencintai musik. Di sana, perempuan tak bisa meninggalkan negerinya seorang diri. Karena itu, saya terheran-heran melihat perempuan teman sekeretaku itu yang mengelana sebatang kara. Mungkin dia seorang pejabat, kupikir. Tetapi, yang kudengar, pejabat yang bepergian ke luar negeri, harus ada yang mengawal. Khawatir kalau-kalau membelot mencari kebebasan ke negara musuh. Atau memang ada pengawal yang mengawasinya dari gerbong lain?

Ah, itu urusan dalam negeri di mana aku hanya sekadar menumpang. Tapi, perempuan ini memang unik. Selama perjalanan dua malam, sebelum sampai di perbatasan Polandia, di Brest-Litovsk, aku sering dia bangunkan dengan sikap yang kaku, agak kasar malah. Mencolek pinggangku dari bawah.
Molodoi celowek [Anak muda], tolong tanya kondektur, sudah sampai mana kereta kita?”

Seperti seekor tupai yang terusik, turunlah aku mencari kondektur ke gerbong lain sambil ngedumel di dalam hati: “Cerewet amat Ibu Rusia ini, kayak suaminya saja aku dia perlakukan, sesuka hatinya menggelitikku di tengah malam begini.”

Senin siang rangkaian kereta berhenti di Brest-Litovsk. Di perbatasan itu kereta tertahan dua jam lebih, karena harus mengganti roda, dari yang lebar (di Soviet rel kereta-api lebih lebar) ke yang lebih sempit di Polandia. Selama ganti roda, kami memilih tetap berada di dalam gerbong. Aku duduk menghadapnya seperti seorang anak yang sedang menanti nasihat dari ibunya.

“Anda datang dari mana?” Senyum, tanpa menatap mataku, dia memantik percakapan.

Iz Indanezii [Dari Indonesia].”

Selama ngobrol hampir dua jam lebih, wajahnya yang semula mengesankan seorang yang tertutup, tidak supel, lama-lama mencair, dan menampakkan jati diri seorang ibu yang berhati terbuka.

“Setiap tahun saya mengunjungi tiga makam orang yang saya cintai.” Kontan pikiranku yang nakal berbisik, tentulah waktu mudanya dia cantik sekali sehingga dia punya banyak kekasih. “Yang pertama di Ukraina, yang kedua di sekitar Moskow, dan yang ketiga di Polandia,” sambungnya lagi.

Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya, yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur.

Saat berbicara kelihatan dia bersusah-payah menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Katanya, dia menghabiskan beberapa tahun untuk mencari makam putra bungsunya yang tewas di Polandia itu. Semua biaya perjalanan selama mencari anaknya itu, katanya, ditanggung pemerintah. Sampai akhirnya dia menemukan makam putra bungsunya itu di Katowice, Polandia. Kalau sebelumnnya saban tahun dia mengadakan perjalanan ziarah ke kedua makam di negerinya sendiri, maka untuk perjalanan duka yang ketiga dia harus melintasi perbatasan.

Kereta bertolak kembali. Tiap setengah jam dia menggelitik pinggangku dari bawah, memintaku menemui kondektur, menanyakan sudah sampai di mana kami. Senin sore, kereta berhenti di Katowice. Ibu yang telah memberikan tiga yang terbaik dalam hidupnya untuk Patrioticeskaya Woina, perang patriotik habis-habisan dalam Perang Dunia II, di mana jutaan tentara maupun rakyat biasa Soviet terbunuh, menunjukkan kebaikan hatinya kepadaku. Kuanggap sebagai imbalan untuk gelitik dan kerepotanku mondar-mandir mencari kondektur. Kedua pojok mulutnya tersungging, dia senyum menatap mataku, dan dengan enteng tangannya memberikan semua bekalnya kepadaku: roti hitam, apel, keju serta sosis. “Salamku untuk Emakmu,” katanya mengelus kedua pipiku. Dia juga meninggalkan alamat, dan berharap aku berkenan mengunjunginya suatu ketika.

Desember 1962. Bingkai tingkap asramaku memutih dibalut es. Kujenguk keluar. Hanya ada warna putih. Seluruh alam berselimut salju. Pada saat seperti itu terasa benar bahwa aku berada di perantauan yang jauh, di mana batang kelapa, pohon singkong maupun akar bakau adalah mimpi di balik dunia yang lain. Aku teringat Emakku. Dengan siapa aku cinta dan hormat begitu tinggi. 

Perempuan Rusia teman segerbongku itu tertawa seperti dikocok perutnya ketika kuceritakan bahwa aku tidak hanya mencium Emakku menjelang tidur. Aku juga kerap menggumulnya, mencium pipinya, merenggut kakinya untuk kucium, hingga dia merasa malu melihat kebiasaanku yang berlebihan itu.

Pahit rasanya kalau rindu tak terpuaskan. Entah bagaimana, lamunanku pada kampung halaman mendorong hatiku untuk melangkahkan kaki ke luar asrama. Berdesak-desakan dengan angin yang perih membekukan pipi, aku menguak butir-butir salju menuju Ceremuskinskaya Ulitsa, tempat tinggal perempuan Rusia, kawan seperjalananku.

Begitu tiba, buru-buru kuketuk pintu. “Ibu! Ini aku, mahasiswa Indonesia. Kawanmu!” kataku mantap. Beberapa kali kuulangi ketukan dan kuucapkan kembali kata-kata itu. Diam. Hanya butir-butir salju yang menyahut, menumpuk di sepatuku.

Aku terpacak di bendul pintu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pintu terkuak. Dia berdiri dengan anggun. Kujulurkan tanganku. Cepat dia tangkap dan genggam kuat-kuat. Tanpa canggung-canggung kudekap dia. “Aku rindu negeriku, kangen Emakku, maka aku ke sini,” ucapku tanpa malu-malu.

Melihatku kedinginan, dia langsung mempersilakan aku masuk. Dia sibuk menyiapkan minuman, nyamikan, dan menghidangkannya. Sebagai balasan kuberikan majalah Druzhba, sekalipun kusangka dia sudah membacanya. Di situ aku menulis kisah pertemuanku dengannya, terutama upayanya bertahun-tahun mencari jiwa manusia ketiga yang telah dia sumbangkan untuk tanah airnya. “Hatimu Seputih Salju”.

Begitulah aku memujanya yang kuungkapkan dalam judul tulisanku itu.

Dia letakkan album foto di pangkuanku, membukakan halaman di mana dia kelihatan sedang berdiri di samping suaminya. Di lembar foto yang lain, dia tampak begitu hangat dengan kedua putranya. Mereka tertawa lepas, saling beradu pipi.

“Liliana meninggal musim gugur lalu,” katanya seperti menggigil sambil mengusap airmatanya. 

“Kecelakaan lalu lintas.”

“Yang di dalam foto-foto ini adalah Ibu.”

“Bukan. Bukan. Saya saudara kembar Liliana.”

“Apa salah saya, sehingga Ibu harus berbohong. Kalau Ibu tak mau saya kunjungi, katakan terus terang. Saya datang dari negeri yang jauh. Mengapa Ibu memperdaya?”

Dia gugup, menghampiri pangkuanku, mengatupkan album foto yang terbuka di pangkuanku, dan membawanya ke dalam kamar.

“Saya tahu saudara mengasihi, mengagumi, Liliana. Terima kasih. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan saudara,” katanya bergetar.

Aku mematung di sofa. Tak percaya dengan apa yang terjadi di ruang tamu itu. Perlahan aku bangkit dan beringsut mau pergi. Dari belakang terasa tangannya memegangi bahuku. “Maafkan…” ucapnya lembut tersendat. Aku tak memalingkan muka, terus melangkah menerabas bulir salju. Merasa sedang dipermainkan.

Seminggu kemudian, aku datang kembali. Ketika bersalaman, kuperhatikan baik-baik jarinya, terutama telunjuknya yang suka menggelitikku. Aku mematut-matut diri di depannya. Aku tak salah ingat, tinggi kami sama. Kutatap matanya lama-lama. Juga kening dan kerut di lehernya. Aku tak pernah salah, dialah perempuan itu. “Maaf, Liliana sudah tak ada….” Begitulah dia terus mengulang-ulang kata yang menyakitkan itu. Dia membiarkan aku masuk. Membiarkan aku termangu.

Minggu berikutnya aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hatiku kecut ketika menerima surat dari dosenku, yang meminta aku supaya berhenti berkunjung ke rumah perempuan itu. Dasar kepala batu, aku tetap saja datang bertandang. Mengapa persahabatan harus dibungkam dengan cara licik begitu, pikirku. Sampai pun ketika sepasang Tentera Merah mencegatku di pintu, mencekal leher bajuku. “Durak…!” Sinting! Maki mereka berbareng, meludahi mukaku. Aku beranjak, menepiskan ludah yang membeku di pipiku. (*)


(Kepada Djoko Sri Moeljono, ilham cerita ini)




___________________

Sumber : https://lakonhidup.wordpress.com/2012/11/18/perempuan-yang-selalu-menggelitik-pinggangku/#more-3553