Kamis, 31 Oktober 2013

(Prosa) - T e b u s a n

Prosa









T e b u s a n




Nilai sebuah tebusan yang dibayarkan hendaknya setara, sesuai dengan harga yang dibayarkan, sehingga memiliki nilai keadilan, seringkali nilai sebuah tebusan yang dibayar memiliki nilai lebih dari yang dibayarkan, ini lebih baik.

Para filsuf sekarang sering berkata tentang dosa, dan mereka mengambil istilah ini dari para pendahulu mereka yang berpikir dan terilham. Suatu kaum memiliki dosa, suatu negara memiliki dosa, suatu rezim berkuasa mewarisi dosa, suatu kelompok pernah berbuat dosa.

Dosa telah menyebar ke mana-mana melalui satu orang dosa diwariskan, sebuah gagasan yang tadinya ditentang sekarang ini diolah kembali oleh ahli pikir filsafat, dosa itu nyata bukan saja mewakili perorangan tapi ia pun mewakili berbagai macam kebudayaan.

Kebudayaan mengayau kepala orang, kebudayaan memakai sepatu sempit untuk wanita, kebudayaan memakai kalung dileher seorang wanita, kebudayaan mistis, kebudayaan bertelanjang badan tanpa sehelai kain, kebudyaan memenggal kepala kerbau dan menanam di bangunan, menjadi adat istiadat turun temurun dan lain sebagainya.

Awalnya kebudayaan memiliki kisah, suatu pola pikir nenek moyang sebagai sesuatu yang wajib dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Berbagai cara manusia dalam mencapai ketenangan batin dan pencarian seumur hidup akan kedamaian seringkali bersunggingan dengan sebuah kata 'dosa', tanpa disadari, seolah-olah ada suatu pemaksaan, suatu roh yang berkuasa dan mengendalikan kegelapan menjadi terang.

Jika kita menyadari, bahwa kita manusia biasa memerlukan sebuah tebusan dari apa yang kita tidak ketahui yang melahirkan dosa, tebusan itu penting, karena ia menutup dosa dengan sempurna, sehingga kita sebagai manusia layak untuk hidup baru, tidak lagi di bawah bayang-bayang kekelaman atau kegelapan yang membelenggu diri kita.



31 Oktober 2013

Rabu, 30 Oktober 2013

(Puisi) - Kerinduan dan Cinta

Puisi












Aku ingin membangun sebuah menara yang tinggi sekali, sewaktu-waktu aku naik dan melihat yang terjauh dari diriku, hanya ingin melihat dari kejauhan

Aku ingin membangun jembatan yang panjang, langsung menuju tempatmu di pusat kota, hanya aku saja yang bisa melewatinya.

Mimpiku buyar oleh sebuah keinginan yang tak mungkin dalam alam imajinasi, sebab ia dibangun dalam alam nyata, kerinduan dan cinta





30 )ktober 2013
Sonny H. Sayangbati

Senin, 21 Oktober 2013

(Seluk Beluk Sastra) - Yang Luput Dari Penghargaan: Politik Penganuerahan Hadiah Nobel Sastra - Oleh Ben Anderson

Seluk Beluk Sastra







Rabu, 26 Juni 2013

"Yang Luput dari Penghargaan: Politik Penganugerahan Hadiah Nobel Sastra" oleh Ben Anderson


"Yang Luput dari Penghargaan: Politik Penganugerahan Hadiah Nobel Sastra," oleh Benedict Anderson. Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dengan persetujuan dan penyeliaan penulis dari “The Unrewarded: Notes on the Nobel Prize for Literature”, New Left Review 80, Maret-April 2013, hlm. 99-108. Tulisan ini merupakan perluasan dari Kata Pengantar buku Nor Faridah Abdul Manaf dan Mohammad Quayum (eds.), Imagined Communities Revisited: Critical Essays on Asia-Pacific Literatures and Cultures, Kuala Lumpur 2011.
Keputusan untuk menganugerahkan Hadiah Nobel Sastra 2012 kepada novelis Mo Yan dari Tiongkok sekali lagi menimbulkan pertanyaan menggelitik tentang pola-pola pendistribusian hadiah ini pada tataran global. Hampir di setiap negara, penganugerahan hadiah-hadiah sastra tentunya tak lepas dari politik nasional, formasi klik-klik sastrawan, keyakinan religius, prasangka rasial, standar ganda, dan ideologi-ideologi zaman ini dan itu. Apakah ini alasannya, mengapa selama lebih dari 110 tahun pengumuman pemenang Hadiah Nobel Sastra, penerimanya tak pernah ada yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara—padahal setiap kawasan besar lainnya sudah mendapat giliran?
Sejarah pembagian Hadiah ini bisa dibagi tiga: era dominasi dunia oleh negara-negara kuat di Eropa Barat, era Perang Dingin, dan era globalisasi kontemporer. Selama periode pertama, antara 1901-1939, hampir semua hadiahnya dimenangkan oleh penulis dari Eropa Barat, dengan urutan sebagai berikut: enam dari Perancis; lima dari Jerman; dan masing-masing tiga untuk Swedia, Italia, Norwegia, dan AS. Inggris, Spanyol, Polandia, Irlandia, dan Denmark masing-masing dapat dua, lalu para perwakilan tunggal dari Belgia, Finlandia, Rusia, Swiss, dan India (lihat Tabel 1). Pilih kasih kedaerahan kentara jelas waktu itu—para penulis Skandinavia menerima sepertiga dari total hadiah yang diberikan, padahal di antara mereka hanya Knut Hamsun dari Norwegia yang bisa dibilang penulis kelas dunia. Rabindranath Tagore dari India (kolonial) adalah keganjilan menarik. Ia satu-satunya pemenang (pada 1913) yang pernah mewakili negara jajahan, dan tetap “bintang” tunggal Asia hingga 1968, saat Yasunari Kawabata dari Jepang berhasil meraihnya. Para penulis Amerika baru mulai menang pada masa 1930an yang penuh gejolak, dua di antaranya sesudah Hitler berkuasa, dan mutu mereka sesungguhnya rada kacangan. Pada saat yang sama, ada satu negara penting di Eropa yang secara blak-blakan didiskriminasi, yakni Rusia/Uni Soviet. Sebelum revolusi Lenin, diskriminasi ini dikarenakan persaingan turun temurun dan ketidaksukaan Swedia terhadap Rusia imperial; pasca 1919, komunisme yang jadi faktor penentunya. Tak syak lagi, satu-satunya pemenang dari era itu yang orang Rusia, Ivan Bunin, hidup dalam pengasingan di Paris. Pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Tsar, si begawan gaek Leo Tolstoy diabaikan, mungkin gara-gara pendirian politik “anarkis”-nya yang radikal, begitu pula Anton Chekhov dan penyair Aleksandr Blok. Nantinya, dramawan besar Mikhail Bulgakov, para penyair Vladimir Mayakovsky dan Osip Mandelstam, serta para novelis Maxim Gorky, Leonid Andreev, dan Yevgeny Zamyatin semuanya dilewati.


Komite Nobel berisikan 5 anggota dari 18 orang yang duduk di Akademi Swedia, sebuah lembaga bentukan kerajaan Swedia yang anggotanya menjabat seumur hidup. Akademi ini bersifat self-perpetuating atau berkelanjutan dalam memilih anggota pengganti, dengan tugas utama memperkaya “kemurnian, kebugaran, dan keelokan” bahasa Swedia. Komite menyiapkan daftar pendek yang didapat dari pencalonan oleh ahli-ahli terkait dan badan-badan sastra pro­fesional seluruh dunia, serta dari Akademi sendiri dan para penerimanya yang masih hidup, yang akhirnya diputuskan melalui suara terbanyak oleh ke-18 anggota tadi dalam rapat pleno. Maka tidak mengejutkan apabila selera sastra Akademi umumnya konservatif. Para anggotanya tidak doyan para penyair Surealis atau kaum modernis eksperimental seperti Marcel Proust, James Joyce, Robert Musil, Bertolt Brecht, Rainer Maria Rilke, Constantine Cavafy, Walter Benjamin, Joseph Roth, Virginia Woolf, Federico García Lorca, atau dramawan “mengejutkan” August Strindberg dari Swedia sendiri.[1] Dedikasi Nobel sebagaimana tertuang dalam wasiatnya yang diperuntukkan bagi karya yang “ideal” atau berkecenderungan “idealistik” menggugurkan sebagian dari para penulis ini, juga para penulis lainnya seperti Henrik Ibsen atau Emile Zola, Thomas Hardy, D.H. Lawrence atau Theodore Dreiser—dan pada saat yang sama turut membentuk salah satu genre paling medioker dalam kesusastraan abad ke-20, yakni Nobel citation atau pemerian alasan pemberian hadiah itu sendiri, dengan humanisme hambar yang diciptakan dari gunungan klise yang bakal menodai lembaran sastra koran kampung sekalipun yang tahu menjaga harga diri. Selain itu, perlu disadari juga bahwa pada tahun-tahun itu kemampuan berbahasa Komite cukup terbatas, dan terjemahan karya-karya sastra dari bahasa-bahasa non-Eropa sangatlah sedikit. Kendala struktural ini bisa menjelaskan dengan gamblang mengapa Tiongkok (Lu Hsün misalnya, atau Lu Ling) dan Jepang (Natsume Soseki, Ryonosuke Akutagawa, Junichiro Tanizaki) tidak menjadi kandidat penerima hadiah ini.
Era Perang Dingin menunjukkan pola-pola yang cukup berbeda. Tak ada hadiah yang diberikan selama 1940-1943, tahun-tahun genting Perang Dunia II. Namun sejak 1944 dst, Komite tak syak lagi dipengaruhi oleh runtuhnya imperialisme Eropa dan persaingan perebutan pengaruh antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di dunia, yang membelah Eropa ke dalam dua blok yang saling berseteru. Negara-negara koloni bisa diabaikan, namun negara-negara bangsa merdeka yang baru, yang duduk di Majelis Umum PBB, tidak bisa diperlakukan begitu. Harga diri Eropa dalam hal superioritas budaya yang mengungguli si “ndeso” Amerika Serikat, dalam era baru kemunduran ekonomi-politiknya sendiri ini, mendorong lonjakan hasrat —terutama di London dan Paris—akan penerjemahan dan penerbitan karya-karya sastra penting dari luar Eropa. Sementara itu sikap dan pandangan Swedia sendiri cukup berbeda dari masa sebelum Perang Dunia II. Negeri ini tetap netral di antara kekuatan sekutu dan fasis, padahal Denmark dan Norwegia diduduki oleh tentara Nazi, dan netralitas ini menuai cemooh dari negara-negara Sekutu pemenang perang tahun 1945. Kengerian yang diperbuat rezim Hitler atas nama rasisme dan superioritas Arya dengan telak merontokkan prestise nasionalisme sayap kanan (termasuk sastra sayap kanan) di seluruh Eropa. Sepanjang masa Perang Dingin, Swedia menata ulang netralitasnya dengan cara-cara baru yang penting. Negara itu mengembangkan masyarakat sosial-demokrasi paling maju di dunia dan mencoba menyajikan diri sebagai alternatif ketiga di antara kapitalisme Amerika yang ganas dan sosialisme-negara Soviet yang menindas. Mendekati negara-negara “Dunia Ketiga” adalah cara bagus buat Swedia untuk membangun reputasi barunya sebagai negara kiri moderat yang cinta damai, yang produktif dalam meraih jabatan-jabatan tinggi di PBB.
Antara 1944 hingga 1991, lima puluh Hadiah Nobel Sastra diberikan dengan persebaran yang cukup berbeda dari era sebelumnya. Bila lima belas negara yang memenangkan hadiah ini antara 1901 hingga 1939, dua puluh delapan yang berhasil meraihnya semasa Perang Dingin. Perancis, dengan enam pemenang (meski Sartre menolaknya) masih tetap nomor satu, tapi tipis. Berikutnya AS dengan lima pemenang, Inggris dan Uni Soviet masing-masing empat; Swedia, Jerman, dan Spanyol tiga; Italia, Cile, dan Yunani masing-masing dua. Yang cuma menang sekali berasal dari Polandia, Denmark, Irlandia, Eslandia, Yugoslavia, Israel, Guatemala, Jepang, Australia, Bulgaria, Kolombia, Cekoslowakia, Nigeria, Mesir, Meksiko, dan Afrika Selatan. Dalam daftar ini bisa kita lihat bahwa blok Skandinavia sebelum Perang Dunia II anjlok drastis.
Di sisi lain, pandangan Stockholm kini meluas ke Asia Timur, Timur Tengah, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, dan Australia—hanya Asia Tenggara yang masih tak dilirik. Arah politik Komite telah berubah dalam beberapa hal penting. Hal pertama yang bisa kita cermati adalah diskriminasi terhadap penulis-penulis sayap kanan, misalnya: Louis-Ferdinand Céline dan André Malraux di Perancis, Jorge Luis Borges di Argentina, Mario Vargas Llosa (diampuni baru pada 2010), Evelyn Waugh dan Anthony Powell. Perkecualian yang konyol adalah Winston Churchill. Di sisi lain, kiri-kiri independen macam Jean-Paul Sartre, atau bahkan komunis seperti Pablo Neruda oke-oke saja, asalkan mereka tidak berasal dari Soviet atau RRT. Mikhail Sholokhov kasus tersendiri, dihadiahi persis sesudah masa-masa Khrushchev yang relatif melunak, sementara ketiga pemenang lainnya yang dari Rusia adalah pembangkang dan/atau pelarian.
Perubahan besar lainnya adalah status komparatif antar bahasa. Sebelum Perang Dunia II, Jerman, Perancis, dan Inggris adalah bahasa-bahasa prestisius dalam kehidupan nyata maupun dalam “sastra dunia”. Namun sesudah 1945, Jerman terbelah dua dan Jermanfobi merebak di mana-mana. Wibawa linguistik Perancis merosot perlahan-lahan. “Inggris” dalam berbagai bentuknya merajalela sebagai hegemon dunia. Sungguh berandang bahwa meski Perancis tetap menjadi peraih hadiah terbanyak, tak satu pun pemenangnya berasal dari bekas imperium Perancis di seberang lautan seperti Indocina, Afrika Barat, Maghreb, atau Karibia. Di sisi lain, negara-negara dominion Inggris dan bekas koloninya melaju mulus: Patrick White untuk Australia, Samuel Beckett dan kemudian Seamus Heaney untuk Irlandia, Wole Soyinka untuk Nigeria, Nadine Gordimer (dan kemudian J.M. Coetzee) untuk Afrika Selatan dan terakhir Derek Walcott untuk Hindia Barat (Saint Lucia). Para penulis yang melarikan diri atau bermigrasi ke AS dan Inggris juga menulis dalam bahasa Inggris—Czeław Miłosz, yang sudah menyeberang ke Barat 30 tahun sebelum menerima Nobel; Joseph Brodsky; Elias Canetti, yang meninggalkan Bulgaria menuju Inggris pada umur 6 tahun; dst. Namun demikian, yang masih berlanjut dari era sebelumnya adalah dilupakannya atau diabaikannya para penulis dari banyak negara yang sangat dikagumi oleh para kritikus zaman sekarang, misalnya: Kobo Abe dari Jepang, Vladimir Nabokov dan Anna Akhmatova dari Rusia, W.H. Auden yang Inggris-Amerika dan Graham Greene dari Inggris.
Dalam hampir seperempat abad sesudah era Perang Dingin, kita bisa melihat beberapa kebaruan menarik. Pertama, tumbangnya otoritas Perancis (cuma satu hadiah), hegemoni Amerika (satu hadiah), prestise Rusia (tanpa hadiah). Para juara adalah orang Hindia Barat yang berbahasa Inggris, Amerika, Jepang, Polandia, Italia, Portugis, Hungaria, Afrika Selatan, Austria, Turki, Irlandia, Perancis, Peru dan ... Swedia. Perkecualiannya adalah Jerman bangkit lagi (dua hadiah: Günter Grass dan Herta Müller, meski bukan Hans Magnus Enzensberger) serta Tiongkok (dua hadiah juga: Mo Yan dan Gao Xingjian—meski Gao yang menang pada 2000 sudah menetap di Perancis sejak akhir 1980an). Inggris unggul dengan tiga hadiah—tapi dari para pemenang Inggris ini, hanya Harold Pinter yang asli Inggris, sementara V. S. Naipaul berasal dari Hindia Barat dan Doris Lessing besar di Rhodesia.
Satu yang Lain Sendiri
Lalu Asia Tenggara? Secara struktur, kawasan ini luar biasa beraneka—tak ada bahasa dominan, tak ada kepaduan religius, tak ada hegemon politik. Pada era kolonial, bagian-bagian Asia Tenggara dikuasai oleh imperialis Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, Portugis, dan Amerika. Gabriel García Márquez bisa dianggap mewakili Amerika Tengah dan Selatan yang Katolik dan berbahasa Spanyol, Walcott untuk Karibia (bekas-Inggris), Tagore untuk Asia Selatan (bekas-Inggris), Naguib Mahfouz untuk Timur Tengah Muslim, Soyinka untuk Afrika (di mana imperialisme Inggris yang paling digdaya) dan barangkali Orhan Pamuk untuk Turki-yang-ngebet-masuk-Eropa. Tapi tak ada penulis Asia Tenggara yang bisa menjadi simbol dari kawasan ini secara keseluruhan. Selama Perang Dingin, Asia Tenggara tercabik-cabik dalam pengertian ideologis dan militer. Hampir semua negara di sana mengalami periode panjang konflik bersenjata antara kubu komunis dan anti-komunis—membuahkan kediktatoran militer atau kediktatoran sayap kanan di Filipina, Thailand, Indonesia, Singapura, dan Birma, serta tiga negara komunis yang berhasil di Indocina.
Terjadi juga proses hilangnya “bahasa besar” secara mencolok di kawasan ini sepanjang abad ke-20. AS memastikan agar bahasa Spanyol lenyap di sebagian besar Filipina, Indonesia dengan lekas membuang bahasa Belanda, Birma di bawah rezim militer menyingkirkan bahasa Inggris, dan Indocina meminggirkan bahasa Perancis selama dua generasi. Kontras dengan Afrika sangat mencolok: sebagian besar bekas negara jajahan di benua itu melanjutkan pemakaian bahasa kolonial sebagai bahasa negara, sekalipun bila mereka menggencarkan bahasa-bahasa daerah sebagai lambang nasionalisme tertentu. Atas alasan ini, para penulis Asia Tenggara jadi tidak bisa memiliki sekutu yang energik di Eropa, di belahan bumi Barat, atau bahkan di dunia Islam. Satu kejanggalan pamungkas yang perlu dicatat: Indonesia, negara-bangsa terbesar di Asia Tenggara, dijajah oleh Belanda, kekuatan imperialis paling kecil dan paling tak penting di Eropa, yang bahasanya hanya digunakan oleh warganya sendiri. Lebih parah lagi, atau malah bagus, Belanda tak pernah sekalipun menang Nobel, yang mendudukkan negeri itu sejajar dengan para pecundang akut Eropa lainnya, Albania dan Rumania (kalau kita anggap Canetti mewakili Bulgaria). Maka Den Haag juga tak berada dalam posisi untuk melobi kuat-kuat buat Indonesia, bahkan sekalipun jika mereka mau begitu.
Kita bisa menduga bahwa kuasa-kuasa kolonial besar akan mendukung para penulis dari bekas wilayah kekuasaan mereka. Tapi Paris lebih tertarik pada negara-negara bekas federasi Afrika Barat Perancis, Maghreb, serta Karibia yang masih berbahasa Perancis ketimbang Vietnam nun jauh di sana yang telah mengalahkan Perancis dalam perang pembebasan yang panjang dan mematikan. AS, selalu dengan perasaan inferioritas budaya terhadap Eropa, lebih memilih mengklaim para pelarian pemenang Nobel yang telah mengambil kewarganegaraan AS sebagai “penulis Amrik” (Miłosz dari Polandia, Brodsky dari Rusia), meski kewibawaan sastra mereka sudah sangat menjulang sebelum pindah ke sana. Dengan demikian Filipina sama sekali diabaikan atau disepelekan, sekalipun bahasa dominannya adalah “Inggris versi Amerika”. London punya banyak opsi lain akibat besaran dan jangkauan imperiumnya dulu—banyak negara eks-dominion (Australia, Afrika Selatan, Kanada, Selandia Baru) begitu pula tempat-tempat seperti Nigeria, Ghana, India, Karibia, Pakistan, dll.—sehingga Malaysia dan Singapura, yang mempertahankan Inggris sebagai bahasa negara, tidak dipandang penting.
Bagaimana dengan dampak nasionalisasi bahasa di Asia Tenggara? Sebagian besar nasionalisasi ini dilaksanakan untuk mencapai solidaritas nasional, namun keputusan bahasa manakah yang harus menjadi “bahasa nasional” hampir selalu berdampak menguntungkan kelompok-kelompok linguistik-demografik-politik tertentu. Orang Birma dan Vietnam punya banyak klaim —jumlah mereka, kepadatan geografis, pendidikan yang lebih tinggi, kuasa politik—sehingga keputusan untuk menasionalkan bahasa Birma dan bahasa Vietnam adalah “keniscayaan alamiah”, bahkan sekalipun itu berarti memarjinalisasi banyak “kelompok minoritas”. Sementara Bangkok tak punya dominasi “alamiah” macam itu, sehingga pemaksaan bahasa “Thai Bangkok” hanya bisa dicapai lewat sarana yang otoriter. Pada akhir kolonisasi Amerika, kelompok linguistik terbesar di Filipina mengucapkan pelbagai dialek Cebuano, tapi bahasa Tagalog, yang dituturkan oleh orang-orang di ibukota atau wilayah sekitarnya, harus dipaksakan lewat koersi, dengan hasil campur-campur. Penentangan datang dari banyak pihak, baik yang mendukung Cebuano atau Inggris versi Amerika sebagai lingua franca. Di Malaysia, bahasa Melayu juga harus diterapkan paksa oleh orang-orang Melayu yang dominan secara politik, namun ditentang oleh orang Tionghoa, India, dan orang-orang “Kalimantan Utara” yang bercakap entah dalam bahasa aslinya sendiri yang asing (Tionghoa, India) atau lingua franca (Inggris).
Satu-satunya negara yang mencapai sebuah bahasa nasional tanpa tentangan dan yang sekaligus juga merupakan lingua franca adalah Indonesia. Dalam sastra, sulit untuk menemukan penulis penting Indonesia yang tidak secara otomatis memakai bahasa Indonesia ini, sekalipun dengan infleksi-infleksi lokal. Bahasa ini tidak menguntungkan kelompok tertentu. Karena itulah dalam jajaran sastra nasional terdapat aneka ragam etnis: Kwee Thiam Tjing (Tionghoa Hokkian), Iwan Simatupang (Batak Toba), Chairil Anwar (Minang Medan), Amir Hamzah (Melayu), Pramoedya Ananta Toer (Jawa), Eka Kurniawan (Sunda), Putu Wijaya (Bali) dst. Dari pengalaman saya yang terbatas, saya yakin dalam hal sastra Indonesia adalah negeri paling kreatif di Asia Tenggara persis karena ia telah membaurkan lingua franca dengan bahasa nasional dalam sebuah cara yang tidak memaksa. Sebaliknya, pemaksaan koersif (oleh para politisi dan birokrat yang picik) justru mendorong semacam neo-tradisionalisme yang bodoh serta penolakan mentah-mentah. Karenanya kelompok-kelompok minoritas yang penting justru memilih menulis dalam bahasa Inggris, dengan maksud menolak neo-tradisionalisme, namun juga untuk mencapai pemirsa internasional yang barangkali mau menerimanya.
Tapi nasionalisasi macam apapun berarti juga sejenis keterpencilan. Tak satu pun bahasa nasional di Asia Tenggara punya aura transnasional. Sistem global membentuk sebuah kepastian bahwa bahasa Birma, Vietnam, Lao, Thai, Khmer, Tagalog, bahkan Melayu hanya diperuntukkan buat “penutur” lokal saja. Bahkan dalam kasus bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, yang masih sepupu dekat, orang Indonesia jarang membaca sastra Melayu —yang mereka anggap udik dan kuno, serta berbau “etnik”—sementara orang Melayu Malaysia cenderung menganggap bahasa Indonesianya orang Indonesia sebagai gado-gado semrawut dari banyak bahasa. Jadi sepertinya tak mungkin ada bahu-membahu dalam menghadapi Stockholm. Keterpencilan juga berarti bahwa peluang memperoleh Hadiah Nobel membutuhkan penerjemahan ke “bahasa besar” yang bisa dicerna orang-orang Swedia itu. Namun elite-elite nasionalis picik yang berkuasa umumnya tidak membaca karya sastra yang bagus, dan jarang berpikir untuk melatih penerjemah-penerjemah yang benar-benar bagus. Penerjemahan bukan dipahami sebagai seni, namun semata-mata teknik. Satu alasan mengapa penulis-penulis besar Amerika Latin bisa mendapat Hadiah Nobel adalah adanya sekelompok penerjemah dwibahasa (Spanyol-Inggris) profesional kelas wahid yang dihormati secara luas. Asia Tenggara, sebagai sebuah kawasan, dan sebagai sekelompok negara yang berdiri sendiri-sendiri, tak memiliki yang seperti ini.
Para Penantang
Pernahkah ada kandidat yang mungkin meraih Nobel Sastra dari Asia Tenggara? Saya tak kompeten untuk mengurai sampai tuntas persoalan ini. Pahlawan nasional Filipina, José Rizal—jelas tokoh sastra terbesar yang dihasilkan negerinya—dihukum mati oleh orang Spanyol pada 1896, lima tahun sebelum Hadiah Nobel mulai dianugerahkan. Andai ia hidup sampai umur 60-an, akankah ia punya kesempatan? Saya kira tidak, sekalipun ia menulis dalam salah satu bahasa “penting”, sebab tak ada penulis anti-imperialis serius dari koloni manapun yang bisa diterima sampai sesudah Perang Dunia II (Hadiah Nobel hanya diberikan kepada penulis yang masih hidup). Puisi-puisi tasawuf Islam yang menakjubkan gubahan aristokrat Melayu Medan Amir Hamzah pada 1930an tak bakal dianggap serius di Stockholm, dan ia kelewat cepat “pergi”, dibunuh oleh begundal-begundal “revolusioner” setahun sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karyanya amat sulit diterjemahkan, tak kurang karena kecondongan religiusnya, dan sejauh yang saya tahu, belum pernah diterjemahkan secara profesional. Baik negara kolonial Belanda maupun Republik Indonesia juga tidak begitu mengindahkannya. Namun masuk akal untuk mengangankan bahwa andai diterjemahkan dengan jitu ke dalam bahasa Perancis atau Inggris, secara prinsipil puisi-puisinya mungkin untuk jadi pemenang pada era pasca-Perang Dingin—andai saja ia masih hidup.
“Kemungkinan” terakhir jelas Pramoedya Ananta Toer, yang namanya mulai diajukan oleh para pendukungnya di Eropa sejak 1980an. Tak ada yang bakal membantah fakta bahwa Pramoedya jelas prosais terbesar dalam bahasa Indonesia, dengan curahan karya yang menakjubkan (nov­el, cerpen, drama, dan esai-esai kritik sastra) selama lebih dari 40 tahun, kasarnya 1948–1988. Bila kita mencoba mencari penjelasan mengapa ia berulang kali dilewati oleh Komite Stockholm, ada sejumlah argumen yang bisa diajukan. Pertama dan terutama adalah sikap politiknya sebagai aktivis revolusi kemerdekaan Indonesia, dan kemudian sebagai aktivis kiri independen yang menulis terutama dalam alur realisme sosialis. Pada awal 1960an, ia menyerang secara konstan sesama penulis dan cendekiawan Indonesia yang berhaluan konservatif dan liberal atas arah politik mereka yang reaksioner serta keterikatan mereka pada Barat. Sejumlah tulisannya dengan lekas diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Rusia, serta beberapa bahasa yang lebih sedikit penuturnya di Eropa Timur dan unsur-unsur non-Rusia dalam Uni Soviet. Bahkan sekalipun bila saat itu ia telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, ia takkan pernah diterima oleh Stockholm, tak kurang karena Partai Komunis Indonesia (yang Pramoedya sendiri sebenarnya bukan anggotanya) adalah partai komunis terbesar di luar blok Komunis.
Kita bisa mengira peluang Pramoedya meningkat pada 1980, karena ia menghabiskan tahun-tahun 1966 hingga 1979 di penjara-pulau bikinan kediktatoran Soeharto sesudah pembantaian besar-besaran atas orang komunis dan yang dituduh komunis pada 1965–1966. Terlebih lagi, bahwa ia berhasil menulis novel-novel “tetralogi Buru” yang terkenal itu semasa berada di kamp konsentrasi Pulau Buru yang terpencil. Malahan, semua karyanya dicekal selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, dan sampai sekarang pun pelarangan ini belum secara resmi dicabut, sekalipun juga sudah jarang ditegakkan. Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada pemenang Nobel yang menghabiskan waktu begitu lama di penjara (tanpa pernah diadili). Kemungkinan juga Pramoedya tak direpresentasikan dengan baik oleh kawan-kawan lamanya, yang memutuskan menerbitkan terjemahan Inggris yang tergesa-gesa atas tetralogi Buru, terutama demi maksud-maksud politik dan HAM, hasil kerja seorang aktivis Australia yang tak begitu mumpuni untuk menggarap tugas itu. Gaya prosa Pramoedya tak seperti penulis Indonesia manapun, dan humor gelapnya sangatlah sulit dialihkan ke bahasa Inggris. Terlebih lagi, tulisan-tulisan terbaiknya —kumpulan cerpen-cerpen dahsyatnya dari tahun 1950an—masih banyak yang belum diterjemahkan. Sesudah berakhirnya Perang Dingin, ia memenangkan Hadiah Magsaysay (1995) dan Hadiah Fukuoka (2000), namun kedua penghargaan ini disambut dengan permusuhan sengit oleh kelas berkuasa Indonesia serta banyak dari littérateurs dan kaum intelektualnya yang anti-komunis. Baru sesudah wafat ia diterima sebagai penulis modern terbesar di negerinya. Telat sudah bagi Stockholm...













[1] Perasaan orang umum di Swedia sendiri bertabrakan telak dengan Akademi, dan pada 1912 Strindberg dianugerahi hadiah yang nantinya dikenal sebagai Anti-Nobel Prize. Sejumlah 50.000 kronor berhasil digalang melalui sumbangan publik ala kadarnya untuk menghormati sang dramawan, seorang anarkis bersemangat yang pada 1884 merancang rencana untuk membunuh raja. Hadiah dipersembahkan oleh pemimpin Sosial Demokrasi Swedia, Hjalmar Branting, dengan suatu arak-arakan buruh besar-besaran sambil diterangi nyala obor untuk memperingati ulang tahun ke-60 Strindberg. (Baca Strindberg’s Letters, vol. 2, diedit dan diterjemahkan oleh Michael Robinson, London 1992, hlm. 790.)


Sumber :  http://sastraalibi.blogspot.com/2013/06/yang-luput-dari-penghargaan-politik.html

Kamis, 17 Oktober 2013

(Puisi Menarik) Puisi-Puisi Wiji Thukul

(Puisi Menarik)









Puisi Sikap
 
maunya mulutmu bicara terus
tapi telingamu tak mau mendengar
maumu aku ini jadi pendengar terus
 
kamu memang punya tank
tapi salah besar kamu
kalau karena itu
aku lantas manut
 
andai benar
ada kehidupan lagi nanti
setelah kehidupan ini
maka akan kuceritakan kepada semua makhluk
bahwa sepanjang umurku dulu
telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku
untung menentangmu
hei penguasa zalim
 
24 Januari 1997
 
 
 
 
 
Nonton Harga
 
ayo keluar keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja
 
kalau pingin durian
apel-pisang-rambutan-anggur
 
ayo…
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
 
kalau pingin lihat orang cantik
di kota kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kau nikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja
 
ayo…
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya
 
kota kita memang makin megah dan kaya
 
tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
 ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
 
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan
 
besok pagi
kita ke pabrik
kembali bekerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
 
18 November 1996
 
 
 
 
kucing, ikan asin dan aku
 
seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
 
aku meloncat
kuraih pisau
biar kubacok dia
biar mampus!
 
ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam
 
mendadak
lunglai tanganku
aku melihat diriku sendiri
 
lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan
 
14 Oktober 1996
 
 
 
 
 
 
 ________________
 
 
Tiga puisi di atas dilansir dari buku kumpulan puisi “Aku Ingin Jadi Peluru” karya Wiji Thukul yang diterbitkan pertamakali pada Juni 2000.
 
Sumber :  http://www.sorotnews.com/berita/view/puisi-puisi-wiji-thukul.370.html#.Ul9xwRCZnIW

Rabu, 16 Oktober 2013

(Puisi Tamu) - Puisi-Puisi Cahaya Syahadah (Penyair Malaysia)

Puisi Tamu







Lantera Cinta Beradu Sepi

 

Saat tangkai debunga cinta kelayuan
ditusuk sembilu dimamah lara pedih
tiada curahan rindu yang dulu indah
hanya hembusan pilu yang menyapa
merobek kasih di pelupuk rapuh

berdiri aku di sini sebagai pencinta
setia menanti kala resah berjauhan
memagut kembali sirna cinta dulu
kini tinggal serpihan luka tiada peri
rekahannya semakin nampak

puncak kasih yang mewangi harum
kini kemelut bertamu meragut lesu
rona-rona teja pun suram berkabus
hingga tiada lagi derapan cinta ini
yang membuai asa rindu

menggapai mega illusi punah juaku
tatkala serambi kasih menjunam
hangus terbakar dalam rimbunan
bila impian hanya seungkap bicara
sucinya cinta dicantas rebah

buram rindu semakin menguis rasa
terawang dalam lamunan yang usai
rangkulan cinta terbelit dihiasi apimu
keegoaan kasih lemas di benak sepi
asyiknya cuma seketika

bagaikan di penjara cinta sembilu
mengangankan kasih di perdu jiwa
dicengkam erat mengungkap duga
di mata rindu kiasan semu bermula
terpukau dalam nafas beracun

seakan dipersenda rindu kasmaran
melabuh layar kasih di pelayaranmu
berkemudi asmara cinta dipegunmu
sauhnya kian hanyut ke dasar riba
membisik sinis bertintakan palsu

helaian noktah rindu dipalit nestapa
hancur kasih direntap walang alpa
di serbu ribuan raksa yang azzah
cinta yang sementara mengulitku
keikhlasanku

mengapa kecundang cinta terbiarmu
dibayangi silam luka tertancap padaku
di mana metafora telus kasih diucap
yang berkemuning di mahligai aksara
kini hamparan berkasih tercarik terluka

biarlah kasih menenun sendirianku
lakaran lukisan hati rindu tersisipmu
dibasahi curahan deraian airmata
tatkala cinta yang terpatri di kalbu
lebur di sisi rawan bisu...

Lantera Cinta Beradu Sepi'...sirna cahaya rindu dipersia..tiada lagi dalam belaian...

 

16hb Oktober 2013 Rabu
7.26pm
cahayasyahadah





Deruan Bunga Cinta Rimbunan Kasih Suci

 

Di kala kumenatap rembulan cinta aksara
bersinar indah dalam dakapan seri kasih
bersimpuh rindu kasmaran syahdu asyik
mendakap kehangatan sinar mentarimu
dibelai dalam denyutan ikatan berkasih

pepohonan kasih kian hari mengintaiku
mengetuk jendela rindu yang bertamu
membuncah embunan membasahiku
di kamar cinta yang menanti puingmu
mengucup renda percintaan suci

telah kupersembahkan kanvas rindu ini
menyusur di tepian tasik cinta alunan
mendesah bayu romantis dipalu asa
membuai lamunan kasih di pusaran
muara perkasihan di anjung seri

kupetik dedaunan kasih dalam rengkuhan
lalu kubajai, kusirami dengan ikatanmu
agar mewangi di segenap ruang cinta
yang kutancapkan di pelupuk angsana
dalam hiasan damainya puncak rindu

berselerak kemuning bunga rindu diusai
bersemarak di jendela kamar cintamu
moga mekar mewangi metafora kasih
bersulamkan rona-rona teja jinggaku
mewarnai kasawari impian

di puncak rangkulan deruan nafas cinta
melakar ukiran di dada syahdu kasih
terbitnya pancarwarna menghiasi nurani
bertandu dalam kalbu rindu yang semu
tersingkap afsun di mata percintaan

di sanubari cinta yang kugenggam erat
dipuja keabadian rindu terusik di sukma
mengucap kata romantis buaian dirasa
kalimah kasih tersimpul tulus dipalumu
aku bagai terawang dalam pelukanmu

sayuku, pilu dalam terharu ucapan kasih
menerjah pundak rindu yang bersemi
mengalun nyanyian sendu kerinduan
saat cinta menyusup rongga nafasku
terkasima dalam ketelusanmu

pesona cinta bergemerincing gemawan
mengintai kasih digelangi azimatmu
di pelaminan rindu yang bernoktahkan
terpatri wada'ah di lubuk hatimu hatiku
tiada lagi walang yang bertamu...

'Deruan Bunga Cinta Rimbunan Kasih Suci'...tiada lagi derita sengsara di jiwa...tatkala kerinduan berkasih bersemi keabadian sejati...

 


15hb Oktober 2013 Selasa
4.30pm
cahaya syahadah





_______________


Cahaya Syahadah adalah nama pena penyair perempuan asal Taiping, Malaysia. Ia dikenal sebagai penulis puisi-puisi bertemakan atau bertajuk cinta romantis. Puisi-puisinya menghias halaman puisi di Info For Us dan beberapa group puisi lainnya.

Sumber ; https://www.facebook.com/groups/163328617032339/

Selasa, 15 Oktober 2013

(Puisi) - Si Kartono

Puisi







Si Kartono




Lelaki lusuh, hitam dan jelek itu berdiri membilang musim,
kini dia seorang duda asem di musim kerontang cinta,
seorang tanpa jati diri,
dia sekarang luntang-lantung,
sungguh menyakitkan,
karena dia tidak memiliki cinta lagi,
baginya cinta dan wanita menyakitkan,
betapa tidak,
di saat emansipasi wanita berkumandang,
dia pun ikut kena getahnya,
ditinggal wanita karena tak mampu membahagiakannya,
hanya karena gengsi dan godaan zaman,
wanita itu tak mau hidup bersahaja dan religius,
wanita itu meninggalkannya tepat
pada hari Kartini,
baginya Kartini adalah masa kelam bagi Kartono
lelaki lapuk tanpa daya.








 


21 April 2013
Sonny H. Sayangbati

(Seluk Beluk Sastra) - Apa Itu Puisi Esai

Seluk Beluk Sastra







Apa Itu Puisi Esai

Puisi esai adalah puisi yang ditulis berdasarkan fakta peristiwa tertentu dan dituangkan dalam bahasa komunikasi yang mudah dipahami.[i]) Puisi esai membedakan dirinya dengan puisi lirik yang memang lebih sering ditulis berdasarkan imajinasi, dan kerap menggunakan bahasa simbolik atau metafor-metafor yang sulit dipahami. Walaupun diangkat dari peristiwa faktual, puisi esai tetaplah fiksi. Fakta peristiwa hanya merupakan latar belakang dari cerita yang ingin dibangun oleh penulis puisi esai.

Jika dalam puisi lirik peristiwa seperti tenggelamnya matahari atau jatuhnya hujan digambarkan sebagai semata-mata peristiwa puitik, maka dalam puisi esai peristiwa yang diangkat adalah peristiwa yang memiliki dimensi sosial dalam ruang dan waktu tertentu. Untuk memahami dengan benar dimensi sosial dari suatu peristiwa seorang penulis puisi esai melakukan riset yang mendalam. Ia membutuhkan referensi untuk memperkuat fakta, menyajikan data, atau memperjelas duduk persoalan. Karena itu puisi esai dilengkapi catatan kaki untuk menegaskan bahwa cerita yang diangkatnya adalah cerita manusia kongkret yang terlibat dalam suatu realitas sosial atau peristiwa sejarah, bukan sesuatu yang tak ada, asing, dan abstrak—sebagaimana penggambaran yang sering muncul dalam puisi lirik.

Cara Baru Penulisan Puisi
Sejauh ini publik sastra mengenal puisi lirik sebagai puisi arus utama, bahkan menjadi paradigma dalam penulisan puisi.[ii]) Lirisisme dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia selalu mendominasi semua ruang kreativitas, bahkan menjadi sebuah hegemoni bagi para penyair. Namun demikian, banyak penyair yang mencoba keluar dari jalur utama itu dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.[iii])

Puisi esai merupakan salah satu jalan lain yang berada di luar jalur utama lirisisme. Puisi esai mengambil bentuk penulisan yang berbeda karena lebih menyerupai cerita pendek (cerpen) yang dituangkan dalam bentuk puisi. Pesan yang disampaikan sangat jelas dengan latar seting dan konteks yang juga tidak dirahasiakan. Bahasa yang dipilih ialah bahasa yang mudah dipahami. Inilah yang membedakannya dengan puisi lirik.

Para penyair puisi lirik melukiskan keindahan alam dengan bahasa yang indah, mengungkapkan perasaan melalui simbol dan metafor, yang untuk itu tak jarang mereka harus menciptakan idiom-idiom sendiri di luar bahasa konvensional. Membaca puisi hampir selalu berarti membaca pesan yang tersirat, karena penulis merahasiakannya melalui bahasa simbol dan pengungkapan yang sublim. Walhasil, hanya orang tertentu saja yang dapat memahami dan bisa menulisnya—yang bukan penyair tidak ambil bagian.

Hal sebaliknya terjadi pada puisi lama. Bentuk-bentuk puisi lama seperti pantun, syair, gurindam, dan sebagainya, merupakan puisi rakyat dimana semua orang bisa terlibat aktif baik dalam menikmati, memahami, maupun mencipta. Masyarakat awam sangat dekat dengan bentuk-bentuk puisi lama dan, pada masanya, ikut bertanggung jawab memelihara dan menghidupkannya. Sayangnya masa itu sudah lewat. Saat ini puisi nyaris tidak lagi memiliki “kaki” di tengah-tengah masyarakat.

Gejala elitisme dalam puisi liris telah menjauhkan masyarakat dari bentuk kesusastraan yang dulu sangat populer ini. Dan itu bukan hanya gejala Indonesia melainkan juga terjadi di mana-mana, sehingga melahirkan kerisauan tersendiri di kalangan penikmat sastra.  John Barr, misalnya,  pemimpin Foundation of Poetry, dalam tulisannya berjudul American Poetry in New Century yang dipublikasikan dalam Poetry, A Magazine of Verse tahun 2006, mengatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi.

Menurut John Barr, para penyair asik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan perkembangan masyarakat yang lebih luas. Saat itu puisi juga memotret aura dan persoalan zamannya.

Puisi esai berada di dalam aras itu. Ia hadir dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami publik pembaca sehingga keberadaannya tidak dipandang sebagai makhluk asing. Puisi esai menghindari paham “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Dalam paham ini, puisi punya logika bahasanya sendiri dalam beropini. Pesan tersirat dalam bahasa yang abstrak telah menjadi tradisi dalam berpuisi selama ini. Karena itu puisi esai dengan bahasanya  yang mudah dipahami hadir sebagai “movement” cara baru beropini dan cara baru penulisan puisi, sekaligus mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat sebagai pemilik bahasa.

Pelopor Kelahiran Puisi Esai 

Pada bulan Maret 2012, terbit sebuah buku puisi berjudul Atas Nama Cinta karya Denny JA, seorang ilmuwan sosial dan kolumnis yang telah menerbitkan puluhan buku, serta dikenal luas sebagai konsultan politik. Buku ini mencantumkan judul tambahan: Sebuah Puisi Esai, dan keterangan pada cover: Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati. Penerbitan buku puisi esai ini diiringi oleh dua orang penyair papan atas yaitu Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, serta seorang budayawan senior Ignas Kleden, yang semuanya memberi apresiasi pada epilog buku. Ketiganya dapat dikatakan menyambut baik corak baru penulisan puisi—atau eksperimen—yang dilakukan oleh Denny JA, yang keluar dari pakem penulisan puisi lirik.

Buku ini memuat lima buah puisi esai dan semuanya bertemakan cinta. Hanya saja, kisah cinta yang dituturkan dalam lima puisi esai ini bukan cinta yang berdiri sendiri melainkan bertali-temali dengan kompleksitas persoalan sosial yang kritis. Di sana ada isu perbedaan agama (Bunga Kering Perpisahan), isu rasial (Sapu Tangan Fang Yin), orientasi seksual (Cinta Terlarang Bantam dan Robin), kekerasan gender (Minah Tetap Dipancung), dan pertentangan sekte agama (Romi dan Yuli dari Cikeusik). Disajikan sedemikian rupa dengan pesan-pesan moral yang dikemas apik dengan bahasa puisi, kelima isu tersebut dibingkai dalam tema besar: masalah diskriminasi.

Buku Atas Nama Cinta buah tangan Denny JA menjadi karya pertama puisi esai yang mencoba keluar dari paradigma lirisisme dan sekaligus menandai tradisi baru dalam penulisan puisi di Tanah Air. Salah satu puisi dalam buku itu yang berjudul Sapu Tangan Fang Yin untuk pertamakalinya dibacakan dalam Kongres Sastra Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang berlangsung di kawasan Puncak, Jawa Barat, pada bulan Maret 2012. Dalam acara yang dihadiri sekitar 150-an sastrawan dari seluruh Tanah Air itu juga untuk pertamakalinya dilakukan sosialisasi puisi esai dalam bentuk undangan untuk membuat review, kritik, dan lomba penulisan puisi esai.

Transformasi Puisi Esai

Di samping versi cetak, buku karya Denny JA ini juga dibuatkan versi mobile web, sehingga dapat diakses dari telpon genggam dan akun twitter sekalipun. Oleh sebagian orang, buku itu dianggap sebagai tonggak yang membawa sastra ke era sosial media. Hanya dalam waktu sebulan, HITS di web buku puisi itu melampaui satu juta. Ini tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah buku puisi, buku sastra bahkan buku umum sekalipun. Tak hanya membaca, sebagian mereka juga menyampaikan kesan dan komentar, seperti yang bisa dilihat di www.puisi-esai.com.

Sampai tanggal 7 Januari 2013, belum genap 10 bulan sejak diluncurkannya, web www.puisi-esai.com telah diklik lebih dari 7 juta kali (persisnya 7.502.891). Ini menunjukkan betapa puisi kembali dekat dengan khalayak. Publik luas membaca dan merespon puisi dalam waktu cepat dan massif. Dapat diduga bahwa mereka pun sebenarnya akan memberikan respon yang sama kepada puisi lain, asalkan mereka dihidangkan puisi dengan bahasa yang mudah; asalkan mereka disajikan tema yang juga menjadi kegelisahan mereka sendiri; asalkan mereka diberikan pula kemudahan akses untuk membaca puisi itu melalui jaringan yang kini hot, media sosial: twitter, smartphone, internet.

Bukan hanya disajikan dalam web dan mobile web, puisi-puisi esai karya Denny JA ini juga ditransformasikan ke dalam film dimana penulisnya, Denny JA, menggaet sineas kenamaan Hanung Bramantyo sebagai co-produser. Beberapa nama terlibat sebagai sutradara dan artis dalam film-film tersebut:
  •  Sapu Tangan Fang Yin disutradarai oleh Karin Bintaro. Para aktor/aktris: Leoni Vitria, Hartanti Reza Nangin, dan Verdi Solaiman.
    • Romi dan Yuli dari Cikeusik disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Zascia Adya Mecca, Ben Kasyafani, dan Agus Kuncoro.
    •  Minah Tetap Dipancung disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Vitta Mariana, Saleh Ali, dan Peggy Melati Sukma.
    •  Cinta Terlarang Batman dan Robin difilmkan dengan judul Cinta Yang Dirahasiakan disutradarai oleh Rahabi MA. Para aktor: Rizal Syahdan, Zack Nasution, dan Tio Pakusadewo.
    •  Bunga Kering Perpisahan disutradarai oleh Emil Heradi. Para aktris/aktor: Rawa Nawangsih, Arthur Brotolaras, dan Teuku Rifku Wikana.
Selain dibuat dalam bentuk film, puisi-puisi esai karya Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta juga dibuatkan versi poetry reading-nya dalam bentuk video klip yang melibatkan para sastrawan dan budayawan Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sudjiwo Tedjo, dan Fatin Hamama.

Tema-tema puisi esai Denny JA yang sudah difilmkan dan dibuatkan video klipnya, dijadikan simulasi dalam pertemuan korban tragedi kekerasan bulan Mei 1998, peringatan hari lahir Pancasila di Taman Ismail Marzuki, dan momen hari buruh memperingati kematian Ruyati, TKW Indonedia yang dipancung di Arab Saudi. Lebih lengkapnya lihat di web resmi www.puisi-esai.com.

Sebagaimana diungkapkan oleh Denny JA dalam pengantar bukunya, sebagai penulis ia mencari bentuk lain agar kegelisahan dan komitmen sosialnya sampai ke publik dalam bentuk yang pas. Ia mencari medium baru, medium tulisan yang bisa menyentuh batin manusia, namun pada saat yang sama membuat pembaca mendapatkan pemahaman tentang sebuah isu sosial, walau secuplik. Esai atau makalah atau kolom jelas tidak mengeksplor sisi batin manusia. Sementara puisi yang ada sering tidak dipahami, apatah lagi menyentuh batin. Maka ia mengembangkan medium sendiri yang kemudian disebutnya puisi esai—puisi bercita rasa esai, atau esai yang dituliskan dalam bentuk puisi.

Dalam perkembangannya puisi esai karya Denny JA kemudian ditransformasikan ke dalam banyak bentuk. Selain film pendek dan video klip pembacaannya seperti disebutkan di atas, juga diekspresikan dalam medium teater, lukisan, foto, lagu, dan social movement.[iv]) Ini sekaligus menjadi kekuatan puisi esai yang sejak awal menegaskan diri untuk menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat. Karena karakternya yang sangat dekat dengan social movement itulah maka sejak diterbitkan buku karya Denny JA ini memperoleh perhatian yang luas dari publik dan media.[v])

Konsep Keindahan dalam Puisi Esai  

Kelahiran puisi esai disambut dengan pertanyaan apa konsep estetika yang ditawarkannya.[vi]) Sebab tanpa itu sebuah karya puisi dianggap batal. Setiap karya sastra—dan sebenarnya setiap karya seni—disajikan kepada khalayak dengan konsep keindahan atau estetika tertentu. Dikatakan demikian karena konsep keindahan muncul dalam beragam makna. Karya puisi pun selalu hadir dengan konsep keindahan yang tidak monolitik.

Konsep keindahan dalam puisi esai tidak terutama terletak pada rima atau persajakan sebagaimana dalam puisi lama, juga tidak melulu pada pilihan-pilihan kata (diksi) sebagaimana pada puisi baru, namun pada keseluruhan bangunan puisi esai itu sendiri, termasuk struktur cerita yang ditampilkan, dan pesan-pesan yang disampaikannya.

Dalam wacana filsafat, nilai keindahan dikaitkan dengan kemampuan seseorang melakukan “diskriminasi” sensorik pada objek yang dilihat atau dirasakan. Seseorang memperoleh nilai keindahan atas suatu objek melalui pengalaman pribadinya yang bersifat khusus. Namun konsep keindahan pada seseorang itu (yang bersifat partikular) bisa saja berubah menjadi konsep keindahan yang dianut oleh banyak orang apabila ia mampu memengaruhi persepsi keindahan orang lain.

Begitu juga dalam puisi. Konsep keindahan puisi pertama-tama terletak pada bahasa yang digunakannya, karena bagaimanapun puisi dikomunikasikan melalui media bahasa. Namun, karena bahasa terus berkembang, maka konsep keindahan yang melekat padanya seharusnya juga berkembang. Selama ini bahasa yang dalam dan sublim pada sebuah puisi dijadikan patokan untuk menilai keindahannya. Masalahnya, yang dalam dan sublim itu selalu berarti sulit dan abstrak. Sebuah puisi yang sulit dan abstrak dikatakan telah mencapai estetika tertinggi. Pembaca dipaksa untuk menyelami keindahan di lorong-lorong gelap bahasa yang tidak memberi jaminan akan kepastian maknanya. Membaca puisi bagaikan menebak sebuah teka-teki.

Puisi esai menganut paham yang berbeda. Sejak awal puisi esai justru ingin mengembalikan puisi agar mudah dipahami publik seluas-luasnya. Pencapaian estetika tidak harus dengan bahasa yang sulit dan abstrak. Jika bahasanya sulit dipahami itu bukan pencapaian estetika tapi ketidakmampuan penyair berkomunikasi dengan baik. Dengan pandangan seperti ini, bukan berarti puisi esai mengenyahkan sama sekali keindahan bahasa. Seluruh perangkat yang mendukung terciptanya bahasa yang indah tetap digunakan dalam puisi esai. Pemakaian metafora, simbol, rima, metrum, dan berbagai gaya bahasa lainnya justru dianjurkan, namun harus tetap komunikatif dan mudah dipahami. Puisi esai dianggap berhasil jika dapat dipahami publik seluas-luasnya.

Namun komitmen estetika puisi esai tidak terutama pada keadaan apa adanya (as it is) itu sendiri, melainkan pada nilai-nilai yang dimunculkan darinya. Dengan kata lain, keindahan bukan sesuatu yang diciptakan di dalam imajinasi melainkan diturunkan dari realitas. Di dalam realitas melekat nilai-nilai yang saling bertentangan dan kadang tidak disadari tetapi menghegemoni kesadaran. Misalnya nilai baik dan buruk, benar dan salah, cinta dan benci, adil dan lalim, tulus dan serakah, dan sebagainya.

Konsep keindahan dalam puisi esai Denny JA ialah keberpihakannya pada nilai-nilai universal dan pembebasan manusia dari belenggu diskriminasi. Sastrawan Leon Agusta menyebut konsep keindahan dalam puisi esai Denny JA ini sebagai estetika pembebasan.[vii])

Salahkah sebuah karya sastra semisal puisi memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan? Menurut penyair Sapardi Djoko Damono, tidak. Sebab, para penyair justru terdorong untuk menulis puisi karena ingin berbagi penghayatan hidup. Dan di dalam proses itu ia selalu berada dalam ketegangan untuk menjadi anak-anak yang bermain-main dengan bahasa dan untuk menjadi nabi yang diutus-Nya untuk membebaskan manusia dari malapetaka.[viii])

Karena keberpihakan dan perhatiannya pada isu-isu kemanusiaan itu maka puisi esai ialah karya yang nilai-nilainya bisa dikenali oleh pembaca. Puisi esai menganut pandangan bahwa keindahan terbit dari penggambaran yang menggugah atas realitas sosial, yang pesan-pesannya dapat ditemukan karena bahasanya mudah dipahami.

Lima Platform Puisi Esai  

Mana yang dapat dinamakan puisi esai dan mana yang bukan? Denny JA membuat lima platform puisi yang dipeloporinya itu sebagai berikut:[ix])

Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Jika Budi jatuh cinta kepada Ani, itu saja belum cukup untuk menjadi sebuah puisi esai. Kondisinya harus diubah menjadi:  Budi jatuh cinta kepada Ani, tapi mereka berbeda agama, kasta, atau kelas sosialnya sehingga menimbulkan satu problema dalam komunitas tertentu.

Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya justru bagus untuk dipilih. Namun diupayakan siapapun cepat memahami pesan yang hendak disampaikan puisi.

Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu memotret tokoh riel yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan oleh puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah. Karena ia fiksi, penulis sangat bebas membuat dramatisasi agar lebih menyentuh dan lebih membuat kita merenung.

Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair, tapi hasil riset minimal realitas sosial. Ia merespon isu sosial yang sedang bergetar di sebuah komunitas, apa pun itu. Dalam hal ini, catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai karena ia menunjukkan bahwa fiksi ini berangkat dari fakta sosial. Sejak awal puisi esai ini memang menggabungkan fiksi dan fakta. Unsur fakta dalam puisi esai itu diwakili oleh catatan kaki tersebut.

Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas sosial. Dinamika karakter dan perubahan sebuah realitas sosial itu dengan sendirinya membutuhkan kisah yang berbabak.

Denny JA menyebut kelima kriteria itu bukan sejenis hukum agama yang berdosa jika dilanggar. Kelima kriteria itu adalah tuntunan paling mudah dikenali jika seseorang membuat sebuah puisi esai. Ketika sebuah “movement” dan genre ingin dikemas, tak terhindari harus ada garis batas yang memisahkan “what is” dengan “what is not”. Kelima kriteria itu adalah “what is”.

Puisi esai menurut Denny JA hanya satu variasi saja dari aneka bentuk puisi yang sudah ada dan yang akan ada. Ia tidak diklaim lebih superior atau inferior. Ia juga tidak dimaksudkan untuk mendominasi apalagi menyeragamkannya. Ia hanyalah sebuah bunga mawar dari taman firdaus sastra yang dipenuhi bunga lain jenis. Ia hanyalah rusa yang berlari di sebuah marga satwa yang didiami aneka hewan lain. Ia hanyalah warna oranye dari sebuah pelangi yang diperkaya oleh aneka warna lain.

Karya-karya Puisi Esai yang Lain

Menyusul terbitnya buku antologi puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA, telah terbit pula sejumlah buku antologi puisi esai dari para pengarang lain, yaitu:
  •  Kutunggu Kamu Di Cisadane (Penerbit: Komodo Book, 2012) karya Ahmad Gaus. Kata Pengantar: Jamal D. Rahman.
  •  Manusia Gerobak (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013) karya Elza Peldi Taher. Kata Pengantar:  D. Zawawi Imron
  •  Mata Luka Sengkon-Karta (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Peri Sandi Huizchedengan, Beni Setia, dan Saifur Rohman. Penyair Agus R. Sarjono bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
  •  Dari Rangin ke Telpon (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara hiburan Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Katherine Ahmad, Kedung Darma Romansha, Rahmad Agus Supartono, Wendoko, dan Yustinus Sapto Hardjanto. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
  •  Dari Singkawang ke Sampit (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara hiburan Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Arief Setiawan, Arif Fitra Kurniawan, Catur Adi Wicaksono, Hanna Fransisca, dan Jenar Aribowo. Penyair Jamal D. Rahman bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
  •  Mawar Airmata (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai kategori puisi esai menarik Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Nur Faini, Onik Sam Nurmalaya, Sahasra Sahasika, Syifa Amori, Stefanus P Elu, Yudith Rosida. Antologi ini diberi kata pengantar oleh Sunu Wasono. Penyair Jamal D. Rahman bertindak selaku editor.
  •  Penari Cinta Anak Koruptor (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013. Antologi ini memuat puisi esai kategori puisi esai menarik Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Alex R. Nainggolan, Baiq Ratna Mulyaningsih, Carolina Betty Tobing, Chairunnisa, Damhuri Muhammad, dan Huzer Apriansyah.  Penyair  Nenden Lilis A. menulis kata pengantar untuk antologi yang disunting oleh penyair Jamal D. Rahman ini.
  •  Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Buku ini merupakan bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan seputar puisi esai. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk buku ini.
Selain karya-karya yang disebutkan di atas, Jurnal Sajak yang terbit setiap 3 (tiga) bulan dan diasuh oleh para penyair memuat puisi esai dan mendiskusikan isu puisi esai dalam setiap edisinya. Pada bulan Januari 2013, Dapoer Seni Djogjakarta mementaskan teater Sapu Tangan Fang Yin berdasarkan puisi esai Denny JA.









[i] Denny JA, Puisi Esai: Apa dan Mengapa, dalam Jurnal Sajak No.3 Tahun III/2012 hal. 68-75. Semua bahan menyangkut penjelasan apa itu puisi esai dikutip dari artikel tersebut, kecuali penjelasan dan analisa yang bahan-bahannya disebutkan dari sumber lain.

[ii] Hal ini terungkap dalam diskusi “Imperium Puisi Liris” di Bentara Budaya Jakarta (19/3/2008), yang menghadirkan penyair Afrizal Malna dan Sapardi Djoko Damono.

[iii] Misalnya pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an pernah lahir genre puisi mbeling yang dipelopori oleh Jeihan Sukmantoro, Remy Sylado, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sanento Yuliman dan Wing Karjo. Menurut Sapardi Djoko Damono, puisi mbeling lahir sebagai suatu usaha pembebasan. Istilah mbeling menurutnya kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak. (Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud). 

 [iv] Pada tanggal 10 Juni 2012 sedikitnya 50 lembaga swadaya masyarakat menjadi panitia Sepekan Tribute untuk Korban Kekerasan Agama di Indonesia yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Minggu (10/6). Para LSM itu antara lain YLBHI, ICRP, Maarif  Institute, Wahid Institute, Kontras, PGI, dan PP Ansor. Ribuan pengunjung yang hadir ikut larut dalam keprihatinan memburuknya toleransi agama di Indonesia. Di acara puncak yang juga hadiri oleh Hj.Sinta Nuriyah itu, diputar sebuah film yang diangkat dari puisi esai Denny JA dengan sutradara Hanung Bramantyo. (Indopos, 11 Juni 2012).

[v] Lihat, misalnya, Puisi Esai Denny JA Ajak Berempati (Media Indonesia, 12 Juni 2012); Pemutaran Video Puisi Esai Denny JA Menjadi Puncak Acara Lomba Sastra Antar SLTP dan SLTA se-Provinsi Banten (Media Indonesia, 5 Juni 2012); Puisi Esai Denny JA Menjelma Jadi Film Romantis Sarat Pesan (MediaIndonesia.com – 11 Juni 2012); Kisah Romi dan Yuli dari Cikeusik (kompas.com – Selasa, 12 Juni 2012)

[vi] Lihat, misalnya, Maman S. Mahayana (MSM), Posisi Puisi, Posisi Esai, dalam Kompas 30 Desember 2012, h. 20. Dalam artikel ini MSM juga mempertanyakan legitimasi puisi esai sebagai sebuah genre baru dalam kesusastraan Indonesia. Pertanyaan ini dijawab oleh sastrawan senior Leon Agusta dalam artikel sanggahannya yang dimuat di harian Kompas, 13 Januari 2013, yang berjudul Mempersoalkan Legitimasi Puisi Esai. Dalam artikel tersebut, Leon balik bertanya kepada MSM: “Legitimasi dari siapa? Siapa sesungguhnya yang berhak memberikan ”stempel legitimasi” terhadap konsep puisi esai atau konsep puisi penyair mana pun? Dari mana seseorang mendapatkan hak sedemikian? Apakah Denny JA memerlukan legitimasi seperti yang dipahamkan MSM? Sejauh pengenalan saya tentang cara berpikir dan sepak terjang Denny JA dalam dunia perpuisian yang dibangunnya, cara berpikir, pertanyaan, dan kesimpulan MSM sepertinya sudah jauh ketinggalan zaman.”

[vii] Lihat Leon Agusta, Tentang Puisi Esai Denny JA, dalam Majalah Horison No XLVII Nopember 2012,  hal. 31-36.

[viii] Sapardi Djoko Damono, Bilang Begini, Maksudnya Begitu, Jakarta, Editum, 2010, hal. 105

[ix] Denny JA, Puisi Esai: Apa dan Mengapa, Jurnal Sajak No.3 Tahun III/2012.





_______________

Sumber :  http://puisi-esai.com/2013/08/15/puisi-esai/

Senin, 14 Oktober 2013

Seluk Beluk Sastra - MACAM-MACAM METODE KRITIK SASTRA

Seluk Beluk Sastra







Selain Jenis-jenis Kritik Sastra, ada juga Macam-macam Metode kritik sastra. Para pakar kritik sastra membagi kritik sastra menjadi lima metode pendekatan, dan metode pendekatan itu didasari oleh subjektivitas kritikus sastra (minat, latar belakang, dan kepakaran), adapun pendekatan kritik sastra yang lima itu yaitu,
  • metode kritik sastra formalis,
  • metode kritik respon pembaca,
  • metode kritik feminis,
  • metode kritik sosiologis,
  • mentode kritik psikoanalisis.

Metode Pendekatan Kritik Sastra Formalis

Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) adalah aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme abad ke-19 khususnya yang berhubungan erat dengan puisi moderen Rusia yang beraliran futurisme.

Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.

Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).

Gerakan formalis, memang tidak dapat disangkal, secara tidak langsung telah menorehkan garis demarkasi terhadap bahasa prosa yang sebenarnya juga termasuk dalam studi sastra. Bagi para Formalis, prosa menjadi the other sehingga pengertian mengenai fiksi yang sesungguhnya terpusat dalam istilah defamiliarisasi atas bahasa sehari-hari. Hal demikian dapat dipahami karena sejak timbulnya pemberontakan kaum Bolsevik di Rusia, bahasa yang terdapat dalam prosa menjadi stimulus dan kendaraan propaganda yang paling efektif untuk membuat massa bergerak sesuai kebijakan yang telah ditentukan. Bagi para Formalis, bahasa demikian jelas menjauhkan orang dari imajinasi dan penafsiran yang terus terbuka.

Dari sejarah perkembangan bahasa tulis, keberadaan bahasa fiksi (yang tertulis) sudah teruji. Inilah yang menjadi salah satu pangkal pemikiran para poststrukturalis seperti Barthes atau Derrida untuk memahami bahasa tulis sebagai sebuah teks yang berjejak bukan hanya dari sisi kontinuitasnya dengan beberapa momen, tetapi juga bahkan dari sisi diskontinuitasnya. Hal ini berarti bahwa bahasa tulis pun tidak selalu merepresentasikan sebuah fakta yang juga terbentuk dalam bahasa sehari-hari berdasarkan konvensi atau kebiasaan.

Metode Pendekatan Kritik Sastra Respon Pembaca

Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.

Pembaca Gelisah
Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.

Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.

Pembaca Pasrah
Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.

Sastra berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan

Pembaca sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).

The Real Reader (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.

Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.

Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)

Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks.

Ideal Reader (Pembaca Ideal)
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.

Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.

Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.

Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa terminologi khusus.

Superreader (Pembaca Pakar)
Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.

Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi kesastraan. Intended Reader (Pembaca Harapan)

Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan peran pembaca.

Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur.
Metode Pendekatan Kritik Sastra Feminis
Abad 20, seperti pernah dinyatakan Noami Wolf, seorang feminis dari Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di berbagai bidang. Termasuk di bidang sastra.

Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.

Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.

Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.

Akan tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.

Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.

Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, kritik sastra feminis ideologis, marxis, psikoanalitik, dll. Gynocritics melakukan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan perbedaannya dengan tulisan laki-laki. kritik sastra feminis Ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji adalah citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).

Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan. Di berbagai wilayah, berkat usaha para kritikus feminis, para perempuan dan karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, setelah melalui pengkajian dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di Inggris adalah salah satu contohnya.

Angin segar itu misalnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa kritikus sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara laki-laki dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan sehingga saat ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon sastra.

Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk menganalisis karya laki-laki. Padahal menurut sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada karya laki-laki untuk melihat bagaimana laki-laki mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita rekaannya. Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada penelitian mendalam terhadap penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini baru sebatas dugaan. Kajian mendalam ke arah ini tampaknya akan bermanfaat untuk membantu penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak hanya digunakan sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.
Metode Pendekatan Kritik Sastra Sosiologis

Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari masyarakat dan memberi pengaruh terhadap masyarakat.

Konsep dan kriteria

Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang, pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:

Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.

Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.

Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya.

Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.

Kekuatan dan Kelemahan

Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat diperlukan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.

Metode Pendekatan Pisikologis

Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu tehnologi yang canggih ini, manusia memiliki konflik kejiwaan yang yang bermula dari sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam kehidupannya.

Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk menetahui lebih dalam tentang seluk beluk manusia yang unik ini merupakan sesuatu yang merangsang. Banyak penulis yang berusaha mendalami masalah pisikologi seiring dengan itu banyak penelaah atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan bantuan pisikologi. Memang benar setiap permasalahan kehidupan manusia dapat dikembalikan kedalam teori-teori pisikologis.

Berangkat dari pemikiran semacam itu muncullah pendekatan Pisikologis dalam telaah atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka seperti Jung, Adler, freud, dan Brill memberikan infirasi yang cukup banyak tentang pemecahan masalah misrteri tingkah laku manusia melalui teori-teori pisikologi. Namun hanya Freud yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat dari tekanan dan tinbunan masalah dibawah alam sadar yang kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni pisikologi yang di bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang bayank diterapkan dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.
Konsepsi dan Kriteria Pisikoanalisis

Kritik psikoanalisis dilakukan berdasarkan psikologi yang ada dalam diri manusia. Dalam dirinya terdapat id, ego, dan super-ego yang menyebabkan manusia selalu berada dalam keadaan berperang dalam dirinya apabila terjadi ketidakseimbangan antara ketiganya. Akan tetapi ketiganya bekerjasama seimbang dan melahirkan watak yang wajar. Dalam metode pendekatan psikoanalisis kajian sastra yang diambil hanya bagian-bagian yang sesuai dengan teori psikoanalasis.

Berikut ini beberapa konsepsi dasar kriteria yang digunakan dalam metode pendekatan psikoanalisis:
  • Karya sastra merupakan produk dari jiwa dan pemikiran pengarang yang berada dalam setengah sadar atau subconcius setelah mendapat bentuk yang jelas secara sadar atau concious dalam bentuk penciptaan karya sastra.

  • Kualitas karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat pertama, yaitu keadaan setengah sadar di bawah alam sadar kepada tingkat kedua, yaitu dibawah keadaan sadar.

  • Menurut metode psikoanalisis, karya yang berkualitas adalah karya sastra yang mampu menyajikan simbol, wawasan, kepercayaan, tradisi, moral, budaya dan lain-lain.
 
Karya sastra menurut metode psikoanalisis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia.

Kebebasan sastrawan atau pembuat karya sastra sangat dihargai. Dia memiliki kebebasan yang istimewa, yaitu berupaya mengkongkritkan gejolak batin yang ada dalam dirinya.

Metode atau Langkah

Freud mengatakan dalam teori psikoanalisisnya bahwa dalam mengarang, sastrawan diserang oleh penyakit jiwa yang disebut ‘neurosis’ bahkan sampai ‘psikosis’ seperti sakit mental. Berikut ini digambarkan metode atau langkah kerja pendekatan atau metode psikologis.
  • Metode psikologis menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi intrinsik maupun segi ekstrinsik. Namun metode ini lebih ditekankan pada segi intrinsik sesuai dengan penokohan atau perwatakan.

  • Segi ekstrinsik perlu dibahas yang menyangkut dengan permasalah jiwanya. Dengan memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam karakter cerita atau karya sastra yang ditulisnya.

  • Di samping menganalisis perwatakan dalam segi psikologis, mengurai tentang tema karya sastra itu sendiri juga perlu dilakukan.

  • Analisis dapat diteruskan kepada analisis kesan pembaca, karena karya sastra sangat berpengaruh dalam respon pembaca yang menimbulkan kesan pada pembaca dan berdampak didaktis bagi dirinya.

  • Kekuatan dan Kelemahan Metode Psikoanalisis.

  • Melalui pendekatan psikologi, dapat menimbulkan kesan bahwa pendekatan ini menjurus pada pemanfaatan ilmu jiwa yang rumit, abstrak dan kompleks. Sungguh meskipun begitu, metode psikoanalisis ini memiliki kekuatan, yaitu:

  • Sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan.

  • Metode ini memberi timbal balik kepada penulis atau sastrawan tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya.

  • Sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, atau absurd dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya sastra semacam itu.

Metode ini juga memiliki kelemahan dalam menerapkannya dalam kritik sastra. Kelemahan tersebut dapat digarisbesarkan sebagai berikut:
  • Mengharuskan kritikus untuk mengetahui ilmu kejiwaan.
  • Banyak hal yang abstrak yang sukar dipecahkan tentang perilaku dan motif tindakan.
  • Sukar diketahui kaitan tindakan yang satu dengan yang lain, karena dalam cerita kadang tokoh itu ‘mati’.
  • Tidak mudah mengetahui apakah pengalaman yang menimpa tokoh itu merupakan pengalaman pengarang langsung atau bukan.
  • Metode ini lebih mudah jika seorang pengarang menulis jujur sesuai dengan penglaman hidup dan karakternya, karena jika pengarang tidak jujur dalam membuat karyanya, maka kajian tentang riwayat hidup pengarang pun tidak ada gunanya.
  • Sampai saat ini teori yang dikemukakan Freud belum dapat dibuktikan secara saintifik dan masih banyak hal yang bersifat metafor dan merupakan misteri. 

Demikian Macam-macam Metode kritik Sastra.


Referensi:

  • Atar Semi, M. Pror. Drs. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit ANGKASA Bandung.

  • Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustakan Utama.

  • Hardiyana, Andre. 1994. Kritk Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Purtaka Utama.

  • Yusuf, Suhendra. Drs. MA. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.


 
 
 
 
 
_______________