Rabu, 20 November 2013

(Seluk Beluk Sastra) - Peran Sastra Terhadap Karakter Bangsa

Seluk Beluk Sastra







Adevira Lestari  (@Adefira Lestari)



Jika membincang soal peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa, timbul rasa prihatin dari para pendidik soal perkembangan pendidikan dan pengenalan sastra di sekolah. Pasalnya, pada kurikulum 2013 yang mulai diterapkan tahun ini, peran sastra dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangatlah minim. Memang, dengan diterapkannya kurikulum baru itu, manajemen sistem pendidikan akan lebih tertata. Namun, terlepas dari pernyataan tersebut, porsi pembelajaran sastra yang diberikan sangatlah kurang. Peserta didik hanya diajarkan satu genre sastra dalam satu jenjang pendidikan. Padahal, untuk mengenal sastra yang sesungguhnya diperlukan waktu yang tidak singkat.

Pemahaman serta ketelatenan memahami kata demi kata yang tertuang dalam buku sastra bukanlah perkara mudah. Butuh tahapan pemahaman yang saling berkesinambungan dan harus diulang terus menerus. Sementara itu, tingkat pemahaman setiap orang terhadap suatu masalah tidak bisa bebarengan.

Sejalan dengan hal itu, Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum, Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang (Unnes), mengatakan bahwa masih banyak topik-topik sastra dalam kurikulum 2013 yang mengandung nilai karakter, tetapi dihilangkan (www.suaramerdeka.com). Menilik keadaan demikian, maka tantangan terbesar seorang pendidik adalah mengoptimalkan waktu pembelajaran sastra dalam menumbuhkan nilai positif bagi peserta didik. Untuk mencapai hal itu, para pendidik harus bekerja keras demi terwujudnya tujuan pembelajaran.

Dalam praktik di lapangan, sampai saat ini kedudukan sastra dalam ruang lingkup nasional kurang mendapatkan perhatian, apalagi dalam dunia pendidikan. Sastrawan Budi Dharma menyebutkan bahwa naskah kuno di Indonesia –termasuk sastra− masih banyak yang tak terurus. Pendokumentasian naskah kuno lemah karena bangsa Indonesia tak terbiasa memberi ruang bagi sejarah (Kompas, 22 Juni 2013). Hal inilah yang melatarbelakangi kurang berkembangnya ilmu sastra di bumi pertiwi.

Selain itu, untuk menghasilkan peserta didik yang mampu menjadikan sastra sebagai alat untuk pembentukan karakter, diperlukan kekreatifan guru dalam menyajikan materi pelajaran. Fenomena ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006; Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra yang menyatakan bahwa belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, pembelajaran sastra Indonesia diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan pemahaman dan penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia.

Karakter

Lalu, bagaimana upaya untuk membentuk karakter bangsa melalui pembelajaran sastra di sekolah? Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa sebenarnya bukanlah terletak pada keberadaan sastra itu sendiri. Sastra hanya digunakan sebagai alat untuk membentuk karakter bangsa. Artinya, pemahaman tentang sastra yang berupa apresiasi karya sastra itulah yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh setiap individu menghayati nilai-nilai yang terdapat pada karya sastra.

Pada dasarnya, sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat. Sehingga, untuk memahami nilai yang terkandung dalam karya sastra yang sedang diapresiasi, seorang apresiator harus bisa menggunakan seluruh intuisinya saat sedang menelaah karya sastra. Hal ini diperlukan agar selain mendapatkan nilai tersurat, seorang apresiator juga mampu menemukan makna tersirat dari karya sastra yang dihadapinya. Meski demikian, tak banyak orang yang mampu memahami makna karya sastra dengan seutuhnya.

Sejauh ini, pengajaran sastra dinilai masih kurang mendapatkan perhatian, baik dari segi pengajar maupun pelajar. Dari segi pengajar, kekurangperhatian itu terletak pada tingkatan pengetahuan dan pemahaman tentang sastra yang masih minim. Perkara ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti;kurangnya kekreatifan dalam mengajar, kurangnya referensi, waktu diskusi, dan minimnya pemahaman tentang sastra. Faktor lain yang turut menghambat proses pembelajaran muncul dari pelajar. Mereka cenderung acuh tak acuh terhadap pembelajaran sastra karena saat pembelajaran berlangsung, mereka merasakan kebosanan dengan sistem pengajaran yang tidak bervariasi.

Berkaca pada fenomena itu, keberadaan sastra dalam pembelajaran yang terbatas diharapkan mampu menjadi tali penyambung pembentukan karakter pada peserta didik. Tidak usah muluk-muluk menghasilkan para penulis muda yang berbakat. Paling tidak, mereka telah mampu menyerap nilai-nilai karakter bangsa setelah menjadi apresiator, misalnya; menghargai pendapat orang lain, berpendirian teguh, memiliki sifat periang, terbuka, dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Sebab, tujuan utama pembelajaran sastra adalah melatih peserta didik untuk menghargai karya orang lain dan memunculkan sifat kreatif.

Akibat Modernitas Bangsa

Di zaman sekarang, kemajuan ICT (Information, Communication, and Technology) merupakan salah satu tanda berkembangnya modernitas suatu bangsa. Zaman ini ditandai dengan semakin maraknya media sosial yang turut menambah malas generasi muda untuk membaca buku. Akses informasi begitu mudah dicari di dunia maya. Tinggal ketik dan klik pada laman yang tersedia, muncullah informasi yang diinginkan.

Kebiasaan hidup instan seperti ini sangatlah berbahaya. Manusia akan cenderung menggantungkan diri pada dunia maya di tengah kesibukan mereka dalam beraktivitas. Budaya konsumerisme dunia maya semakin menjalar. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi ihwal ini, misalnya; alasan tidak punya banyak waktu untuk membaca buku, anggapan bahwa dunia maya lebih praktis, dan kekurangefisienan dalam berproses lantaran membawa buku dirasa lebih susah dibandingkan membawa ponsel, tablet, ataupun laptop. Sebenarnya, anggapan demikian merupakan kesan negatif yang menjerumuskan bangsa ke lubang ketidakcerdasan.

Sedikit mengingat tentang para pemikir bangsa yang terdahulu. Tanpa adanya modernitas seperti saat ini, mereka pun mampu mengusir para penjajah yang telah bertahun-tahun menguasai negara. Sebelum perperang, yang mereka lakukan hanyalah mengatur cara dan melakukan tindakan disertai dengan kobaran semangat berperang yang menggebu-gebu. Mereka tidak perlu browsing mencari strategi untuk melakukan taktik perlawanan. Bekal mereka hanyalah kerjasama dan adanya satu tekad untuk bersama-sama maju menuju kemerdekaan. Nilai inilah yang harus dilestarikan.
Saat ini, tantangan terberat bagi bangsa adalah upaya pemeliharaan nilai-nilai karakter para pejuang negara. Untuk mengemban amanat ini diperlukan strategi yang militan. Salah satunya adalah menghargai karya sastra dengan menjadi apresiator sastra dan mengamalkan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.

Sastra bukan hanya sebatas hiburan dan kesenian. Ia merupakan salah satu identitas bangsa yang perlu dipelihara. Bukti adanya pengamalan peran sebagai pewaris sifat pejuang bangsa bukanlah kesiapan untuk bertempur ke medan perang, melainkan persiapan mempertahankan  jati diri bangsa. Jika diperhatikan, saat ini Indonesia sedang menghadapi masa-masa peralihan menjelang harapan Indonesia Emas tahun 2045. Pengaruh ICT telah benyak memberikan pengaruh bagi generasi muda, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, melalui pembelajaran sastra yang dilakukan meskipun dengan waktu terbatas, diharapkan mampu membentuk karakter bangsa melalui bangunan pondasi kepribadian yang akan terus melekat seiring dengan modernitas yang semakin tak terbatas. 





_______________

Sumber :  http://vokalinstitute.com/index.php/12-guru-bertutur/137-peran-sastra-terhadap-karakter-bangsa


(Puisi) - 9 Puisi Sonny H. Sayangbati di Buku Puisi 2 Koma 7, Apresiasi dan Kolaborasi

Puisi








1. Metafor


Hujan kau sebuah episoda,
makna keabadian: episentrum


11 Juni 2013


2. Matryoshka


Kupandang berlama-lma boneka Babushka,
pesan kasih ibu


06 Juni 2013


3. Teguh

Tenunlah kain dengan air matamu,
jiwamu teguh


16 Maret 2013


4. Tersembunyi


Senyum melihat kekasihku,
hasratnya tersembunyi dalam tudungnya


27 Agustus 2013


5. Pelukan


Seteduh-teduhnya,
lebih teduh pelukan kekasihku, adem!


24 Januari 2012


6. Rindu


Betapa sakitnya terpisah darimu,
Laila rusukku memanggil-manggilmu


10 Januari 2013


7. Kyu


Dua tujuh jadi kyu,
bandar, koruptor, bangkrut


21 Januari 2013


8. Membatik


Membatik itu asyik
menulis puisi dengan ritual


13 Januari 2013


9. Engkau Adalah Puisiku


Puisiku, lembaran-lembaran papirus
menghela nafas tertulis cintaku


8 Agustus 2013





© Sonny H. Sayangbati





_______________

9 (sembilan) puisi di atas diterbitkan dalam: Buku Puisi 2 Koma 7 Apresiasi dan kolaborasi, h. 347-349. (Penyair Grup Puisi 2, 7) © All right reserved, Hak cipta dilindungi undang-undang, Kurator : Imron Tohari, Dimas Arika Mihardja, Cunong Nunuk Suraja, Muhammad J, Dien Makmur, Bung Jupri, Rindawati Sudaryono.

Desain Cover : Haris Fadillah
Lay Out : Rony Azza, Sosiawan Leak
Cetakan Pertama : Oktober 2013
ISBN : 978-602-777-746-0
Penerbit : Bengkel Publisher

Selasa, 19 November 2013

(Puisi) - Benih

Puisi








Engkau hanyalah bagian terkecil dari partikel yang jatuh terbenam dalam tanah, entah burung membawamu jauh bermil-mil dari asalmu, ataupun binatang mamalia membawamu dalam sela kuku kaki, mungkin angin menerbangkanmu hingga jatuh dalam tanah.

Aku ingat perkataan orang bijak tentang perumpamaan biji sawi dan jenis-jenis tanah, bagaimanapun aku mengagumimu bagaimana engkau tumbuh hingga menjulang ke langit.

Bagaimana kerasnya hidup ini




18 Nopember 2013
© Sonny H. Sayangbati

Jumat, 08 November 2013

(Puisi Tamu) - Diana She Stanlay

Puisi Tamu






Di ujung heningnya malam ..
Ku coba tuliskan satu cerita ..
Tentang Aku, Kau dan Bintang ..

Telah banyak malam-malam terlewati ..
Beribu rasa tercurah dalam kata ..
Sebagai bukti tentang adanya Kita ..

Rindu ini, Cinta ini, harap ini ..
Membelenggu hati dalam resah tak berujung ..
Saat mentari terlihat di esok hari ..

Masihkah ..???
Satu kata merangkai sederet kata tanya ..
Saat Ku ungkapkan resah hatiKu ..

Entahlah ..
Biar sang waktu menjawabnya ..
Meski tak ada janji Kita di antara bintang ..



Nop 2013




 
Kanda ....
Aku selalu bahagia..
Saat hujan turun..
Karena Ku dapat mengenangMu..
UntukKu sendiri..

Selalu ada cerita tersimpan di hatiKu..
Tentang Kau dan hujan..
Tentang cinta Kita yang mengalir seperti air..



Nop. 2013




 
Gelap Malam kembali bertandang. Menggenggam jemariku erat.
Perlahan lengan ini didekapnya kuat,
di dadanya.

Lalu ia pun mendekatkan bibirnya ke telingaku, berbisik,
"Dengarlah detak jantungku ini.
Tutuplah kelopak matamu sejenak tanpa beban.
Hiruplah napasmu perlahan,
sejenak tahan.
Rasakanlah dengan rasamu yang paling dalam.

Hingga kamu rasakan sebuah kekosongan yang paling sunyi.
Ada nada yang lembut hening.
Di situlah aku selalu menantimu, sayang."......

Met bobo Dear .....



Okt. 2013 






_______________

Diana She Stanlay, adalah seorang gadis berasal dari Bandung, bekerja sebagai sekretaris di Jakarta, menyukai puisi dan hal-hal romantis, simpel dan mudah bergaul, akrab, puisi-puisinya jarang menggunakan judul/tajuk serta titimangsa. Proses berpuisinya terus belajar.

Kamis, 07 November 2013

(Puisi Tamu) - Ibu (Shinta Maharani)

Puisi Tamu






Ibu

Engkau seperti bejana berisi air yang berbual-bual, takkan habis, sekalipun kuteguk sepuasku, ibu aku ingin engaku memegang tanganku dan mengajak aku bermain di tanah lapang, seperti dulu, di mana bunga-bunga setaman bermekaran menghias karpet bumi menjadi semarak, seperti kasihmu yang selalu berbunga di hatiku.

Ibu, aku merinduimu dalam jiwaku, aku ingin selalu bersembunyi di tempat yang paling aman, di ketiakmu, oh ibu aku ingin slalu dipanggil putrimu, putri rembulan

sm
7/11/13
 
 
________________
Shinta Maharani, tinggal di Jakarta, ibu rumah tangga yang aktif menulis puisi dan hobby membaca buku, travelling, photografi dan shopping.
 
 
 

Sabtu, 02 November 2013

(Prosa) - Metamoforsis (Franz Kafka)

Prosa







Jalan Pulang


Lihat betapa sesuatu kekuatan tenang udara setelah suatu badai! Kebaikanku menjadi terang dan menyergapku, meskipun aku tak membangun perlawanan apapun, aku menjaminmu.

Aku melangkah panjang dan waktuku adalah waktu semua sisi jalanku, seluruh jalan, seluruh bagian. Milikku merupakan pertangungjawaban, dan sangat benar, untuk semua ketukan pintu atau permukaan sebuah meja, untuk semua toast minum-minum, untuk para kekasih di tempat tidur mereka, di dalam tangga-tagngga bangunan baru, menekan satu sama lain ke dinding-dinding rumah dalam gang-gang, atau di atas tempat tidur sebuah rumah pelacuran.

Aku mempertimbangkan masa laluku melawan masa depanku, tetapi menemukan keduanya mengagumkan, juga tak dapat memberinya pilihan, dan tak menemukan apa pun untuk mengerutu dalam menyimpan ketidakadilan pemeliharaan yang begitu terang juga menyokongku.

Hanya ketika aku dating ke kamarku aku merasa sedikit meditative, tanpa menemukan apapun di tangga-tangga nilai bermeditasi. Tak banyak membantuku membuka candela lebar dan mendengarkan musik yang tetap dimainkan di sebuah taman.



Tamasya ke Gunung


Aku tak tahu, “ aku berteriak tanpa terdengar,” Aku tak tahu. Jika tak ada orang dating. Aku melakukan hal dimana orang tidak aku rugikan, tak ada orang melakukan dimana aku rugi, tetapi tak ada orang yang akan membantuku. Sekumpulan tanpa orang. Namun semua itu tidak semuanya benar. Hanya, bahwa tidak ada orang membantuku – sekumpulan tanpa orang akan menjadi lebih baik, di sisi lain. Aku suka pergi bertamasya – mengapa tidak? – dengan sekumpulan tanpa orang. Ke gunung-gunung, tentu saja, kemana lagi? Bagaimana orang-orang yang tak ada ini berdesak-desakan satu sama lain, semuanya mengangkat lengan berhubungan bersama-sama, kaki-kakiyang tak terhitung ini berjejak begitu dekat! Tentu saja semua mengenakan stelan. Kami pergi begitu riang gembira, angina bertiup menghembus kami dan jarak di antara rombongan kami. Kerongkongan kami membengkak dan bebas digunung! Ini suatu ke ajaiban yang tak kami desakkan ke dalam lagu.”.

Pepohonanan


Kita ini seperti batang-batang pohon di dalam salju. Di dalam penampakan mereka berbaring dengan licin dan sebuah tiupan kecil seharusnya cukup membuat membuat mereka berguling-guling. Tidak, itu tak dapat dilakukan, karena mereka dengan kokoh menyatu ke tanah. Tetapi lihat, bahwa itu cuma penampakan.

Jendela Jalan


Siapa pun yang menjalani kehidupan soliter namun sekarang dan kemudian ingin meletakkan dirinya di suatu tempat, siapa pun, menurut pergantian waktu hari, dan, musim, keadaan bisninnya, dan kesukaan, tiba-tiba berharap melihat banyak lengan pada semua yang ia mungkin pegang teguh – ia tak akan dapat mengatur untuk waktu yang lama tanpa sebuah jendela menghadap kejalanan. Dan jika ia tak berselera apapun dan hanya pergi ke ambang jendelanya sebagai seorang laki-laki lelah, dengan mata memandang bergantian orang-orangnya ke langit dan kemabali lagi, tidak ingin memandang dan menolehkan kepalanya sedikit, bahkan kemudian kuda-kuda di bawah akan membawanya kea rah kereta mereka dan gempar, dan kahirnya ke dalam suatu harmoni manusia.


Diambil dari Buku “ METAMOFORSIS”
Penterjemah : Eka Kurniawan
Penerbit : Yayasan Aksara Indonesia 2000




_______________

Sumber : http://perpustakaan-malang-bersastra.blogspot.com/2009/03/karyafranz-kafka.html