Kamis, 25 Juni 2015

(Kisah Perang) - Kisah TNI AU mau bom pangkalan jet tempur Inggris di Singapura




Kisah TNI AU mau bom pangkalan jet tempur Inggris di Singapura
 

B-26 Invader. ©repro buku Baret Jingga




Merdeka.com - Tahun 1965, Inggris membangun pangkalan utama di Singapura. Pangkalan Udara Militer Tengah Air Force Base menjadi markas jet tempur Inggris.

Saat itu hubungan Indonesia dan Malaysia sedang memburuk. Malaysia meminta bantuan Inggris, Australia dan Selandia Baru. Bantuan langsung datang. Pesawat jet, kapal perang, hingga pasukan elite mereka disiagakan di perbatasan dengan Indonesia.

TNI AU melihat Pangkalan Udara Inggris di Singapura sebagai ancaman. Komando Mandala Siaga (Kolaga) merancang rencana untuk mengebom pangkalan tersebut.

Panglima Komando Operasi Komodor Leo Watimena memimpin briefing di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

"Pangkalan Udara Militer Tengah Air Force Base dijaga dengan radar dan misil anti serangan udara. Bukan tugas mudah untuk menyerang dan menghancurkannya," kata Komodor Leo Watimena.

Dia melihat para komandan skadron di depannya. "Siapa di antara kalian yang siap berjibaku menghancurkan tengah ABF?" tanya Leo.

"Saya siap Panglima!" teriak seorang perwira senior.

Tantangan itu dijawab dengan gagah oleh Komandan Skadron I Pembom Taktis Kolonel (Oedara) Pedet Soedarman. Dia merasa perlu mengobarkan semangat anak buahnya dalam konfrontasi melawan Malaysia dan sekutunya.

Pedet Soedarman pilot berpengalaman. Dia kenyang pengalaman menerbangkan pesawat jenis B-25 Mitchel dan B-26 Invander dalam menumpas berbagai penumpasan pemberontakan yang terjadi di tanah air.

Maka saat merencanakan mengebom Tengah ABF, 2 pesawat itu juga yang akan digunakannya. Demikian dikisahkan Pedet Soedarman dalam buku Pengalaman Heroik Penerbang Bomber tahun 2003.

"Direncanakan 50 persen bom yang dijatuhkan dari pesawat itu akan mampu menghancurkan landasan sekaligus mencegah musuh melakukannya," kata Pedet.

Rencana dan persiapan terus dilakukan. Moril para anggota TNI AU tinggi untuk melaksanakan tugas itu.

Namun angin berubah cepat. Peristiwa G30S mengubah peta politik Indonesia. Presiden Soekarno jatuh dan penggantinya, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan Malaysia.

Dalam waktu singkat pula TNI AU menderita akibat pemerintah Orde Baru memutus semua kerja sama dengan Rusia dan China. Pesawat-pesawat paling canggih milik TNI AU tak bisa terbang gara-gara kekurangan suku cadang. Berakhirlah era Macan Terbang Asia.

Misi mengebom pangkalan jet tempur itu tak pernah digelar.





_____________________

Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-tni-au-mau-bom-pangkalan-jet-tempur-inggris-di-singapura.html

Senin, 22 Juni 2015

(Puisi) - Jikalau Nanti Kita Bertemu









aku akan mengajakmu ke tempat yang tinggi sekali
biar kita tahu betapa kecilnya kita
supaya kita selalu mengingatNya
pasti hari itu yang paling indah
langit tersenyum
tanah tempat kita berpijak
akan tumbuh bunga mawar

burung-burungpun bernyayi
seperti lovebird yang berkicau berdua
ya, berdua saja
berpuisi dari relung hati yang paling dalam
C.I.N.T.A.





__________________


Jaga Blengko, 22 Juni 2015
Jack Phenomenon

Kamis, 18 Juni 2015

(Kisah Perang) - Kisah para tentara Islam berjuang di perang kemerdekaan Amerika


Kisah para tentara Islam berjuang di perang kemerdekaan Amerika

perang kemerdekaan amerika. ©althistory.wikia.com



Merdeka.com - Sejarah perang kemerdekaan Amerika Serikat melawan Inggris tak bisa dilepaskan dari sejumlah tentara Muslim. Mereka ikut bertempur dengan gagah untuk negara baru yang merdeka tahun 1776 itu.

Sosiolog AS Dr Craig Considine menulis sebuah artikel soal para pejuang Muslim ini. Tulisannya yang berjudul 'Honoring Muslim American Veterans on Memorial Day' dimuat di Huffington Post.

Di bawah Tentara Kontinental pimpinan George Washington, ada nama Bampett Muhammad. Dia bertempur untuk Barisan Virginia sejak tahun 1775.

Lalu ada nama Peter Buckminster yang dicatat dalam sejarah militer AS. Dia menembak mati Major Jenderal John Pitcairn, seorang panglima Inggris di pertempuran Bunker Hill.

Setelah mendapatkan kemerdekaannya sebagai budak. Buckminster mengganti namanya dengan Salem. Asal katanya Salam, yang berarti damai dalam Bahasa Arab. Salem kemudian kembali mendaftar sebagai sukarelawan dan bertempur dengan gagah berani di pertempuran Saratoga dan pertempuran Stony Point.

"Saat itu Washington yang menjadi komandan pasukan," kata Dr Craig Considine, yang ahli dalam sejarah hubungan Islam dan Katolik di AS.

Considine berpendapat, kehadiran pasukan Muslim di barisan Jenderal Washington itu menunjukkan kebebasan beragama di pasukannya. Tak masalah apa pun kepercayaan mereka selama mau bertempur untuk kemerdekaan AS.

Di pasukan Jenderal Thomas Sumter, seorang pria asal Afrika Utara bernama Yusuf Ben Ali ikut berperang. Pria yang dikenal dengan nama Joseph Benhaley bergabung dengan pasukan Carolina Utara.

Setelah perang kemerdekaan usai, Amerika terjebak dalam perang saudara antara daerah Utara yang menentang perbudakan dan Selatan yang ingin terus melegalkan perbudakan. Kembali sejumlah prajurit yang beragama Islam ikut berperang.

Banyak dari mereka bergabung di Resimen Massachusetts ke-55. Yang terkenal dengan julukan All African Amerikan. Seorang bernama Muhammad Ali bin Said yang kemudian mengganti nama menjadi Nicholas Said berhasil meraih pangkat sersan.

Seperti yang dikatakan Considine, peran Muslim di ketentaraan AS sudah dimulai sejak era para pendiri negara adidaya tersebut. Hal ini masih berlangsung sampai sekarang.
[ian]




___________________

Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-para-tentara-islam-berjuang-di-perang-kemerdekaan-amerika.html














(Cerita Penjuru Dunia) - Misteri Lenyapnya Mayor Muller, Utusan Belanda di Kalimantan



Suku Dayak dalam pakaian perangnya, 1864. Foto: The Illustrated London News/commons.wikimedia.org. Suku Dayak dalam pakaian perangnya, 1864.
Foto: The Illustrated London News/commons.wikimedia.org.



Setelah meneken perjanjian dengan Kesultanan Kutai Kertanegara, utusan pemerintah Belanda lenyap di Kalimantan. Diabadikan menjadi nama gunung.


 Oleh: RAHADIAN RUNDJAN




DI perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur terdapat Pegunungan Muller. Keanekaragaman hayatinya penting untuk menjaga kelestarian tiga sungai terbesar di Kalimantan: Kapuas, Barito, dan Mahakam. Penjelajah Belanda, Anton Willem Niewenhuis adalah orang yang pertama kali menamai pegunungan itu dengan nama Muller pada 1894.
Siapakah Muller? Georg Muller lahir di Mainz, sekarang wilayah Jerman, pada 1790. Karir militernya dimulai di pasukan Austria pada 1807. Muller menjadi perwira zeni pasukan Napoleon Bonaparte ketika Prancis menyerbu Rusia. Ketika Napoleon kalah, dia pergi ke Hindia Belanda pada 1817 untuk bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).

Dia terlibat dalam penyerangan Belanda ke Kesultanan Sambas pada 1818, bahkan diangkat sebagai acting residen di sana. Sempat bekerja sebagai petugas inspeksi pala di Banda Neira, Maluku, pada 1820. Dua tahun kemudian dia kembali ke Kalimantan Barat sebelum terpilih untuk mewakili Belanda ke Kesultanan Kutai Kertanegara.

Dengan ambisi untuk mengontrol arus perdagangan di sepanjang sungai Mahakam, Belanda bermaksud meneken kontrak politik dengan sultan Kutai, Salahuddin. Belanda mengutus Muller beserta 20 prajurit Jawa, ke Kutai pada 8 Agustus 1825.

“Ditetapkan bahwa perjanjian perdamaian mengharuskan Belanda untuk memberi perlindungan kepada Kutai dan menyediakan upah tahunan sebesar 8000 gulden untuk kesultanan sebagai syarat persetujuan,” tulis Burhan Djabier Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy.

Setelah meneken perjanjian dengan Salahuddin, Muller berambisi menelusuri pedalaman Kalimantan –dari Kutai di timur menuju Sambas atau Pontianak di barat– untuk mengeksplorasi alam Kalimantan yang disebut para penjelajah Belanda sebagai terra incognita atau “wilayah tak diketahui.”

“Meski sultan enggan mengizinkan Muller masuk lebih jauh ke dalam wilayah kekuasaannya, dia tetap pergi ke Mahakam dengan pasukan Jawanya. Hanya satu dari rombongan itu yang berhasil dengan selamat di pantai Barat,” tulis Bernard Sellato dalam Innermost Borneo: Studies in Dayak Cultures.

Muller dan pasukannya diyakini dibunuh oleh suku Dayak di hulu Kapuas. Hal ini kemudian dibenarkan oleh John Dalton, petualang Inggris yang mengunjungi tempat kejadian perkara tiga tahun kemudian dan menemukan benda-benda peninggalan Muller dan timnya, seperti tertera dalam artikel seabad peringatan hilangnya Muller (20 Januari 1826-20 Januari 1926) oleh De Indische Courant.

Kesimpulan itu diragukan dan ada kecurigaan keterlibatan sultan, seperti diungkap artikel “Massacre of Major Mullen and His Party,” Singapore Chronicle, Mei 1831, termuat dalam Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Countries suntingan J.H. Moor.

Artikel itu menyebutkan bahwa ternyata Muller meneken perjanjian bukan dengan sultan, melainkan syahbandar bernama Saib Abdullah. Saib mengaku bernegosiasi di bawah ancaman Muller; atau justru Muller yang ditipu oleh sang syahbandar. Skenario manapun membuat sultan tidak senang karena harus menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda, dan satu-satunya cara membatalkan perjanjian itu dengan cara melenyapkan Muller.

“Akan tetapi ada beberapa orang yang mau memberikan informasi sesungguhnya apabila mereka dijamin keselamatannya. Salah satunya budak sultan, seorang Jawa, bernama Seredin, yang menyebut sang syahbandar sebagai otak dibalik peristiwa tersebut,” tulis artikel tersebut.

Entah mana yang benar, faktanya Muller dan timnya lenyap, dan tak ada konfirmasi resmi soal siapa yang bertanggungjawab. Setidaknya sampai 1950-an, orang-orang Belanda masih terus menggali kebenaran misteri lenyapnya Muller.*




_____________________

Sumber : http://historia.id/kuno/misteri-lenyapnya-mayor-muller-utusan-belanda-di-kalimantan

Minggu, 14 Juni 2015

(Puisi) - Aku Berserah








Sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu sambil terus-menerus mengetuk pintu rumah-Mu.
Ketika pintu itu terbuka,
aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri. 



RUMI








aku melihat sebuah pohon
aku raih tubuhnya dan kupeluk
antara jariku di sebelah kiri dan jariku di sebelah kanan
aku pertemukan dalam lingkaran pohon
sia-sia upayaku
aku menyerah
aku tak mampu

aku coba lebih keras lagi
aku ambil tali tambang yang panjang
aku coba sekali lagi melingkarkan kedua tanganku ditambah tali tambang
tak mampu juga aku memeluknya

berulang-ulang kucoba dan kucoba
akhirnya aku menyerah

aku lelah dan tertidur di hamparan rumput
dan bermimpi memeluk sebuah pohon besar
dalam mimpi itu kedua tanganku mendekap erat
dan ujung jariku yang satu bertemu dengan ujung jariku yang lain
dan aku mampu menggenggam sepuluh jariku
seperti tangan yang sedang berdoa, memohon








_____________________ 


Jaga Blengko, 8 Juni 2015 
Jack Phenomenon

(Puisi) - Berkat Ilahi







_______BERKAT ILAHI ______



seperti tiga batu
untuk satu tungku
tiga kendi air berbual-bual
membuat huma seperti
sungai mengalir sepanjang musim



____________________

Jage Blengko, 11 Juni 2015
Jack Phenomenon

(Puisi) - Mengapa engkau Tersenyum








“The earth laughs in flowers.”


― Ralph Waldo Emerson






Senangnya bisa melihat bumi tersenyum
dan aku berada di antaranya
seperti berada di bumi baru
yang lalu telah berlalu

Hari-harinya bersama bunga-bunga di padang
berbincang-bincang tentang suatu rahasia
mengapa engkau selalu tersenyum






__________________ 


Jaga Blengko, 13 Juni 2015 
Jack Phenomenon

Selasa, 02 Juni 2015

(Puisi Tamu) - MULANYA ADALAH LANGIT ASTA TINGGI (Karya : Yuli Nugrahani)







Sumber Foto : Koleksi Foto Yuli Nugrahani di Facebook









Asta Tinggi diratapi candra
menusuk daun-daun aren mendesakkan ingatan
pada teras perjumpaan
pada saat tubuhmu tubuhku lekat.
Walau raut hilang dalam malam
namun suara melantunkan irama berpagar tanya.

"Pasirkah hati Pancali, atau batu?"
Tanganku atau tanganmu menadah
kata tergelincir seperti hujan
seperti ujung-ujung awan
dan kita berdua terguncang-guncang
oleh perbedaan.

"Yudistirakah suami Pancali, atau Pandawa?"
Bibirku meregangkan cengkerama
bibirmu menangkapnya sepenuh daya.
Menyudahi perdebatan di pangkal cemara
melumuri prasasti-prasasti dengan kata.
Pasir adalah batu, batu adalah pasir.
Yudistira adalah Pandawa, Pandawa adalah Yudistira.

"Pancali pongah di gelung rambut Krishna."
Itu adalah haknya, katamu.
Kami saling memandang,
kembali pada langit Asta Tinggi, tanpa penilaian
diam dilipat senyuman.


Mei 2015




_____________________

Yuli Nugrahani (Cerpenis dan Penyair Lampung)

Lahir di Kediri 9 Juli 1974. Pernah menjadi wartawan Harian Malang Post dan Pemimpin Redaksi Majalah Nuntius, kini tinggal di Hajimena, Natar, Lampung Selatan. Tulisannya pernah beredar di berbagai buletin, majalah, koran dan jurnal seperti Panyebar Semangat, Terlibat, Lembur, Nuntius, Hidup, Ucanews, Femina, Malang Post, Lampung Post, Suara Karya, Sinar Harapan, Jurnal Perburuhan, Swara Gender, Buletin Insan, Konfrontasi, Teras Lampung, dan sebagainya. Menjadi editor dan penyusun buku untuk Eritis Mihi Testes (2002), Suster-suster Klaris Kapusines Sekincau (2003), Samudera Peziarahan (2010) dan Goro-goro, Kucing Gering Bagong Leong (2013) dan Antologi Puisi Hujan Kampoeng Jerami (2014). Cerpen-cerpennya masuk dalam Antologi Cerpen Kawin Massal (Dewan Kesenian Lampung, 2011) dan Antologi Sastrawan Lampung Hilang Silsilah (Dewan Kesenian Lampung, 2013). Buku cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Daun-daun Hitam (Indepth Publishing, 2014, bersanding dengan sketsa-sketsa Dana E. Rachmat). Sedang puisi-puisinya masuk dalam buku : Turonggo Yakso, Memperjuangkan sebuah Eksistensi (2014), Gemuruh Ingatan, 8 Tahun Lumpur Lapindo (2014), dan Hujan Kampoeng Jerami (2014). Buku puisinya adalah Pembatas Buku (Indepth Publishing, 2014). Terakhir menjadi penulis dan editor dalam antologi puisi Titik Temu, yang diterbitkan Komunitas Kampoeng Jerami 2014, berisi puisi-puisi bertema HAM. Selain sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak, sehari-hari bekerja untuk Bagian Justice and Peace Keuskupan Tanjungkarang, memberikan pelatihan penulisan di berbagai tempat di Indonesia, mengisi berbagai acara sastra dan kegiatan sosial, dan aktif mengembangkan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK).