Kamis, 31 Juli 2014

(Serba-Serbi) - Humanisme Sesungguhnya


















Universalisme Eropa hanya selubung bagi penindasan kolonial. Di tanah jajahan, dia menemukan humanisme sesungguhnya.
 
 
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
 
 
 
10 Agustus 2010
 
 
 
 
 
 
DALAM salah satu acara makan malam di Paris, Emilie menjadi pusat perhatian. Semua orang membicarakan rencana Emilie pergi ke Hindia Belanda. Negeri jauh ini, mereka bilang, masih penuh dengan horor: manusia memakan manusia, ibu memakan anaknya. Yang lain mengoreksi, bahkan menyebut orang Jawa sangat halus, sopan; tak mengeluh sekalipun dicambuk karena menganggap orang Belanda sebagai tamu yang layak dihormati.

Emilie terperangah mendengar percakapan yang tak sepenuhnya dia pahami. Dia tak suka dengan arogansi khas kota Paris ini. Emilie malah kagum dengan cerita sepupunya suatu ketika.

“Emilie, apakah Anda telah mendengar tentang seni modern?” tanya sepupunya, “… Pemerintah Belanda mengirimkan kain baru ini, namanya batik, dari Pulau Jawa. Ya, jenis kain yang sangat diminati dewasa ini. Motif dan warnanya sudah dipakai di mana-mana, mulai dari desain interior, seprai, taplak meja. Di Belanda, para ibu rumah tangga katanya hanya membeli kopi arabika, yang juga berasal dari Jawa. Dan bahkan konon, komponis kita, Debussy, mengagumi musik orang Jawa dan mengakui secara terbuka bahwa dia memperoleh inspirasi darinya.”

Kekaguman akan eksotisme Pulau Jawa mengalahkan cerita horor tentang kanibal di Jawa. Emilie kian mantap pergi ke sana, mendampingi suaminya, Lucien Bernieres, yang mendapat jabatan di Departemen Dalam Negeri dan Keamanan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Pulau Jawa.

Saat kisah Emilie berlangsung, kolonialisme memuncak. Sesuai kesepakatan Kongres Berlin 1895, bangsa-bangsa Eropa membagi wilayah-wilayah seberang yang masih “bebas”. Pergolakan berkobar di mana-mana. Di Nusantara, Belanda tengah berusaha keras mematahkan perlawanan Aceh dan menyiapkan serangan ke Bali.

Di negeri para penjajah, kolonialisme bukanlah tanpa perdebatan di kalangan politikus, cendekiawan, serikat buruh, dan pemilik modal. Sebagian sepakat kolonialisme, dengan mengatasnamakan kejayaan bangsa, kepentingan ekonomi negara, atau hasrat avonturir. Tapi, pada zaman dan di lingkungan asal Emilie, yang mengemuka justru mereka yang mendukung ekspansi kolonial atas nama panggilan sejarah: The White Man’s Burden atau upaya mengadabkan bangsa-bangsa terbelakang.

Emilie dibesarkan dan dididik oleh ayahnya, seorang saudagar kaya, berhaluan politik Republikan-Radikal, pengagum aliran positivis August Comte, dan memihak pada pandangan universalisme. Dia meyakini bahwa melalui kolonialisme, humanisme akan terwujud di belahan negeri manapun. Emilie mewarisi prinsip universalisme itu dan ingin membawa misi itu ke negeri jauh. Tapi selama perjalanan, dan begitu sampai di Jawa, dia menemukan sisi lain dari kolonialisme. Dan pergulatan itu merupakan tema utama novel ini.
Penulisnya, Catherine van Moppes, adalah seorang wartawan dan penulis asal Prancis. Dia lahir dari seorang ibu Rusia dan ayah Belanda asli Portugis. Dia menikah dengan Marc Menguy, pensiunan diplomat Prancis. Selama 30 tahun terakhir dia malang melintang di negara-negara Asia: China, Indonesia, Laos, Singapura, dan Vietnam sebagai reporter lepas untuk majalah Elle, Marie Claire, Realities, dan France Soir. Dia juga membuat dokumenter TV, foto, dan laporan mengenai keseharian dan revolusi kebudayaan di China serta Vietnam dan Laos pascaperang. Dunia film tak asing baginya. Di masa mudanya dia sempat berkutat di Cinematheque Francaise, berkenalan dengan Orson Welles, Bunuel, dan Kurosawa.

Isu-isu gender dan perbedaan budaya menjadi perhatian utamanya. Novel pertamanya, Drole d’Amerique, berkisah tentang gadis Prancis di Amerika yang menggelandang menyaksikan kekerasan terhadap para penentang Perang Vietnam. Sementara dalam novel ini, Moppes menghadirkan kontradiksi-kontradiksi atas pandangan yang membenarkan kolonialisme.

Di akhir cerita, Emilia akhirnya menyadari bahwa universalisme Eropa pada galibnya hanya selubung bagi penindasan kolonial. Pemahaman itu dia peroleh dalam perjalanan dan setelah sampai di Jawa.

Semasa tinggal di Belanda, dia bersentuhan dengan kaum Hindia Belanda dan mulai memahami paradoks zamannya. Di Singapura, dia diselamatkan dari preman jalanan oleh tokoh China Baba, yang menyadarkannya akan muslihat Inggris di kota itu. Setiba di Batavia, ketika Jawa mulai bergolak dan Politik Etis merebak, dia tak segan-segan bergaul dengan siapa saja: orang Indo, China, pribumi, bahkan aktivis perjuangan. Dia juga mengenal gagasan Multatuli dan Raden Ajeng Kartini. Semakin banyak bergaul, dia semakin menyadari kontradiksi dalam konsep universalisme anutan ayahnya, dan lantas berangsur-angsur tercerahkan.

Sebaliknya, Lucien kian menghayati perannya selaku pejabat kolonial. Dia semakin menerima wacana kolonialisme sebagai sarana mengadabkan bangsa-bangsa lain. Sadar berbeda keyakinan dengan suaminya, Emilie menjadikan seksualitas sebagai sarana pemberontakan politiknya. Seks, baginya, bukanlah petualangan hedonis, melainkan sarana eksplorasi jati diri. Dia mulai merasakan kehampaan dan teringat cinta masa remajanya bersama Sarah, pengasuh pribadinya dari Inggris. Dia juga mengkhianati Lucien dan menjalin hubungan dengan seorang seniman aktivis dari Solor, Anendo, yang membawanya ke puncak kesadaran politiknya.

Perlahan tanah jajahan bukan lagi tanah yang dijanjikan sebagaimana Emilie ketahui di masa remajanya, melainkan tanah perjuangan bagi humanisme yang sesungguhnya. Dan yang jelas di tanah perjuangan itu tak ada manusia yang memakan manusia.
 
 
 
 
____________________
 
Sumber :  http://historia.co.id/artikel/resensi/848/Majalah-Historia/Humanisme_Sesungguhnya





(Cerita Penjuru Dunia) - Sabah Milik Siapa?

















Wilayah sengketa itu kini kembali dipersengketakan.


OLEH: MF MUKTHI



5 Maret 2013


MANTAN Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad bersuara lantang mengomentari penyerangan bersenjata di Sabah yang memakan banyak korban jiwa. “Tidak ada jalan keluar selain meluncurkan serangan balik untuk mengusir mereka,” ujarnya. Mahathir menganggap pemerintah Malaysia keliru mengirimkan polisi. “Ancaman eksternal semestinya ditangani oleh angkatan bersenjata,” kritiknya.

Konflik itu diawali oleh penyusupan ratusan warga Filipina Selatan, yang mengklaim sebagai Tentara Diraja Kesultanan Sabah ke Lahad Datu, Sabah, Malaysia awal Februari 2013. Mereka berusaha mengambil kembali Sabah (Kalimantan Utara) dari Malaysia, yang mencaploknya 50 tahun silam.

Pada 1 Maret 2013 pihak keamanan Malaysia mengepung mereka. Baku tembak menewaskan sedikitnya 14 orang. Dua hari kemudian konflik meluas ke Semporna, 150 kilometer selatan Lahad Datu. Enam polisi Malaysia dan enam penyerang tewas.

Meningkatnya eskalasi konflik membuat PM Najib Razak mengirimkan dua batalyon tentara, lengkap dengan kendaraan lapis baja. Sementara itu, pemerintah Filipina yang awalnya memerintahkan para penyusup menyerahkan diri, kini mendesak pemerintah Malaysia agar menggunakan “toleransi maksimum” terhadap warganya. Di samping mengutus Menteri Luar Negeri Albert del Rosario ke Kuala Lumpur, pemerintah Filipina juga meminta Malaysia agar mengizinkan kapal angkatan lautnya merapat ke Lahad Datu guna memberi bantuan medis dan membawa pekerja sosial.

Sabah atau Kalimantan Utara awalnya milik Kesultanan Brunei. Pada abad ke-7, wilayah ini rumah bagi komunitas bernama Vijayapura, vasal Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan. Banyak yang percaya, Vijayapura leluhur orang Brunei.

Sejak abad ke-6, Kalimantan Utara ramai dikunjungi orang dari berbagai tempat. Ia menjadi pusat transit karena posisinya berada di tengah jalur perdagangan Tiongkok-Nusantara. Sewaktu Kesultanan Brunei Darussalam berdiri pada abad ke-14, Sabah dan wilayah-wilayah lain di Kalimantan belum resmi bagian kerajaan. Baru pada era kekuasaan Raja Bolkiah (abad ke-15), yang melakukan ekspansi besar-besaran hingga ke Banjarmasin di selatan, Sabah resmi dimasukkan ke dalam Brunei Darussalam. “Pada abad ke-16 Brunei merupakan satu kerajaan besar yang meliputi Kalimantan Utara dan merentang hingga ke Filipina,” tulis John Stewart Bowman dalam Columbia Chronologies of Asian History and Culture.

Di kawasannya, dominasi Brunei mendapat tantangan dari Kesultanan Sulu di Mindanao. Namun setelah terjadi perpecahan dalam tubuh kerajaan pada pertengahan abad ke-17 dan Kesultanan Sulu turut membantu mengatasinya, menurut Graham Saunders dalam A History of Brunei, Brunei terpaksa memberikan Sabah kepada Kesultanan Sulu sebagai kompensasi. 

Di bawah Kesultanan Sulu, yang lalu takluk oleh Spanyol, Sabah kembali berganti pemilik. Wilayah itu lalu dijadikan pos perdagangan Kongsi Dagang Inggris (EIC) setelah Alexander Dalrymple, perwira EIC, menandatangani perjanjian kontrak dengan sultan Sulu. British North Borneo Provisional Association Ltd. –lalu menjadi British North Borneo Company– mendirikan kantor di situ dengan ibukota di Kudat. Ketika Protokol Madrid ditandatangani oleh Inggris, Spanyol, dan Jerman pada 1885, yang mengakui Sulu sebagai wilayah kedaulatan Spanyol sebagai ganti atas klaim Spanyol terhadap Kalimantan Utara, Sabah tetap menjadi konsesi perusahaan Inggris itu.

Pasca-Perang Dunia II, wilayah-wilayah yang diduduki Jepang kembali menjadi bagian dari pemilik-pemilik sebelumnya. Sabah dan wilayah lain seperti Brunei menjadi protektorat Inggris, salah satu pemenang perang. Konflik baru kembali muncul pada paruh pertama 1960 ketika tiga negara (Brunei Darussalam, Filipina, dan Federasi Malaya) mengklaim Sabah secara bersamaan. Berdasarkan sejarah, klaim Brunei, Sabah adalah wilayah kekuasaannya; Filipina bersikukuh Sabah bagian wilayahnya karena sebelumnya merupakan milik sah Kesultanan Sulu yang disewakan kepada perusahaan Inggris; dan Federasi Malaya mengklaim Sabah miliknya karena mulanya Sabah milik Inggris. Malaya ingin menyatukan Sabah, Sarawak, dan Brunei ke dalam Federasi Malaysia, yang disponsori Inggris.

Konflik Brunei-Filipina berhasil diselesaikan pada 1962. Sedangkan konflik Filipina-Malaya, meski alot, akhirnya bisa diselesaikan dengan –bantuan Indonesia, yang lebih condong ke Filipina lantaran Sukarno menganggap Malaysia sebagai proyek neokolonialisme– ditandatanganinya Manila Agreement pada 31 Juli 1963. Isinya antara lain, Sabah dan Serawak bisa bergabung ke dalam Malaysia asalkan sebelumnya diadakan referendum terlebih dulu, apakah rakyat di kedua wilayah setuju atau tidak bergabung dengan Malaysia.

Yang sulit adalah konflik Brunei-Malaya, masing-masing pihak bersikukuh terhadap pendiriannya. Namun sebuah penyerangan bersenjata –oleh rakyat Brunei terhadap pos-pos keamanan Inggris di hampir seluruh Kalimantan Utara– pada 8 Desember 1962 membuat posisi politik Brunei runtuh. Inggris kembali menggenggam Brunei dan Sabah sebagai protektoratnya. Yang tersisa tinggal Malaya. Gerbang kelancaran proyek Malaysia pun kian menganga.

Ketika tim pencari fakta PBB, yang dibantu wakil-wakil Indonesia dan Filipina, sedang bekerja sebagai kelanjutan dari keputusan Manila Agreement, PM Malaya Tunku Abdul Rahman Putera mengumumkan proklamasi Federasi Malaya pada 16 September 1963. “Tentu saja aku marah. Pemerintah Indonesia telah ditipu dan diperlakukan seperti patung,” ujar Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta dan Manila menganggap Tunku mengangkangi perjanjian yang telah mereka sepakati. Namun, nasib Sabah –dan Serawak– secara formal tetap masuk ke dalam Malaysia pada 1963, meski ada permintaan Sukarno kepada Sekjen PBB U Thant untuk menyelidiki ulang hasil referendum. “Ini adalah penggabungan wilayah yang dipaksakan,” tegas Sukarno




____________________

Sumber :  http://historia.co.id/artikel/modern/1182/20/Majalah-Historia/Sabah_Milik_Siapa

(Cerpen Menarik) - Buku Harian Anne Frank







Selama 75 tahun sejak pertama kali diterbitkan, Het Achterhuis atau yang lebih dikenal dengan “The Diary of A Young Girl” telah menuai banyak simpati dari pembaca sastra dan non-sastra, serta penyangkalan dan penghargaan yang tak ada habisnya.

Ditulis oleh seorang gadis remaja yang hidup dalam persembunyian selama masa penjajahan Nazi Jerman di periode Perang Dunia II, buku harian ini adalah saksi kekejaman pemerintahan Adolf Hitler serta sumber pembelajaran para ahli sejarah terhadap nasib kaum Yahudi pasca pendudukan Jerman di negara-negara tetangga (Eropa).

Kisah di bawah ini bukan cerita fiksi yang dipintal oleh seorang penulis handal, bukan juga imajinasi seorang penulis amatir yang mencari ketenaran—melainkan buah pena seorang remaja berusia 13 tahun yang mau tak mau terpaksa berteman dengan “buku tulis” di tengah tragedi yang melanda Eropa di masa itu. Anne Frank dan keluarga disembunyikan di loteng rumah tempat Otto Frank (Ayah) bekerja, yang disebut sebagai SECRET ANNEXE.

Ini adalah cuplikan kecil dari sebuah otobiografi yang berisi pengakuan, harapan, keputus-asaan, serta observasi seorang remaja bernama Anne Frank yang hidup dalam keterbatasan. Namun di kalangan masyarakat pembaca dunia: ini adalah sebuah masterpiece.

Selamat membaca!

~ Fiksi Lotus


————————



Kiri-kanan: Margot, Otto, Anne, Edith






SABTU, 20 JUNI 1942


Menulis buku harian adalah suatu pengalaman yang aneh bagi seseorang sepertiku. Bukan hanya karena aku belum pernah menulis secara kreatif sebelumnya, tapi juga karena rasanya takkan ada orang yang tertarik membaca racauan seorang gadis berusia 13 tahun. Ach ja, itu tak penting. Aku suka menulis, dan yang paling penting adalah aku perlu mengeluarkan uneg-uneg yang menyesakkan dada ke dalam buku ini.

“Kertas lebih sabar dari manusia.” Setiap kali aku merasa tertekan, aku selalu ingat kalimat itu, terutama saat aku berada di rumah sambil berpangku tangan, bosan tanpa kegiatan, berpikir apakah sebaiknya aku diam di rumah atau main ke luar. Akhirnya, aku diam di rumah, merenung. Benar, kertas memang lebih sabar dari manusia, dan karena aku takkan pernah membiarkan seorang pun membaca isi buku tulis yang disebut “buku harian” ini, kecuali aku menemukan seorang teman sejati, maka tak ada bedanya apakah aku menulis atau tidak.

Sekarang aku kembali ke poin utama yang mendorongku untuk menulis buku harian: aku tak punya teman.

Biar kujelaskan dulu, karena takkan ada orang yang percaya bahwa seorang anak gadis berusia 13 tahun hidup sendirian di dunia ini. Memang aku tidak sendirian. Aku punya dua orangtua yang saling menyayangi dan seorang kakak perempuan berusia 16 tahun, serta sekitar tiga puluh orang yang biasa kusebut sebagai teman. Aku juga punya banyak pengagum yang tak pernah bosan menatapiku, yang sering mencuri-curi pandang di kelas menggunakan pecahan cermin yang mereka simpan dalam saku. Aku punya keluarga, kerabat yang menyayangiku dan rumah yang nyaman. Memang, di permukaan aku memiliki semua yang kubutuhkan, kecuali sahabat sejati. Setiap kali aku berkumpul dengan teman-temanku, yang kupikirkan hanya bermain. Aku tidak bisa membicarakan apa-apa kecuali kegiatan sehari-hariku dengan mereka. Kami seolah tidak bisa menjalin hubungan yang lebih dekat, dan di situ letak masalahnya. Mungkin akulah penyebab hubungan kami tidak seharmonis yang kuinginkan; tapi memang sudah begini keadaannya dan kurasa takkan berubah dalam waktu dekat. Ini alasan aku menulis buku harian.

Demi menguatkan “tali persahabatan” antara aku dan buku harian ini, maka aku takkan menulis di dalamnya seperti kebanyakan orang. Aku ingin buku ini jadi sahabatku, dan oleh sebab itu aku akan memanggilnya dengan nama Kitty.

Agar cerita yang kutulis terkesan mulus, sebaiknya aku mulai dari awal. Meski aku enggan bercerita panjang lebar, namun aku akan memberikan sketsa singkat kehidupanku.



 




Ayahku, yang sangat kusayangi, tidak menikahi Ibu sampai ia berusia 36 tahun dan ibuku berusia 25 tahun. Kakakku, Margot, lahir di Frankfurt am Main di Jerman pada tahun 1926. Aku lahir pada tanggal 12 Juni, 1929. Aku tinggal di Frankfurt sampai usia 4 tahun. Karena kami beragama Yahudi, ayahku memutuskan untuk beremigrasi ke Belanda di tahun 1933, di mana ia bekerja sebagai Managing Director di perusahaan Dutch Opekta, menghasilkan produk yang digunakan untuk membuat selai. Ibuku, Edith Holländer Frank, menyusul Ayah ke Belanda di bulan September, sementara aku dan Margot dikirim ke Aachen untuk tinggal bersama Nenek. Margot pergi ke Belanda di bulan Desember, dan aku menyusul di bulan Februari (sebagai kejutan bagi Margot di hari ulang tahunnya).

Aku segera didaftarkan untuk belajar di TK Montessori sampai ulang tahunku yang ke-6. Setelah itu aku didaftarkan ke Sekolah Dasar. Di kelas enam, aku punya guru bernama Frau Kuperus, yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah. Di akhir tahun ajaran, kami berdua menangis sambil berpamitan, karena aku diterima di sekolah menengah Jewish Lyceum (khusus untuk siswa beragama Yahudi) di mana Margot juga belajar.

Namun kehidupan kami sekeluarga tidak setenang yang kami harapkan, karena kerabat kami di Jerman menderita di bawah pemerintahan Hitler yang mengesahkan peraturan anti-Yahudi. Setelah pogrom (keributan massa) di tahun 1938, kedua pamanku (kakak-kakak ibuku) pergi meninggalkan Jerman dan menjadi pengungsi di Amerika Serikat. Nenekku yang sudah renta tinggal bersama kami. Usianya saat itu 73 tahun.

Setelah bulan Mei 1940 kesenangan yang kami alami bisa dihitung dengan jari. Pertama, gara-gara timbulnya perang; kedua, Belanda menyerah terhadap Jerman. Kedatangan Jerman ke negara ini adalah awal dari berbagai permasalahan bagi kaum Yahudi. Kebebasan kami sangat dikekang oleh serentetan pasal-pasal hukum baru yang sengaja diciptakan untuk mendiskriminasi kaum Yahudi, misalnya: orang Yahudi diharuskan membalut lengan dengan kain berlambangkan bintang kuning; orang Yahudi diharuskan menyerahkan sepeda yang mereka miliki kepada pemerintahan Jerman; orang Yahudi dilarang menggunakan transportasi umum; orang Yahudi tidak boleh naik mobil, meskipun itu mobil pribadi; orang Yahudi hanya boleh belanja di supermarket dari jam 3-5 sore; orang Yahudi hanya boleh mendatangi salon dan tempat cukur rambut milik orang Yahudi; orang Yahudi dilarang keluar rumah dari jam 8 malam sampai 6 pagi; orang Yahudi dilarang memasuki bioskop, teater, atau tempat-tempat hiburan lainnya; orang Yahudi dilarang menggunakan kolam renang, lapangan tenis, lapangan hoki atau tempat-tempat olahraga lainnya; orang Yahudi dilarang mengayuh kapal; orang Yahudi dilarang mengikuti kegiatan atletik di depan umum; orang Yahudi dilarang duduk-duduk di taman pekarangan rumah tetangga ataupun rumah sendiri lewat jam 8 malam; orang Yahudi harus pergi belajar di sekolah milik kaum Yahudi; dll. Banyak sekali larangan yang ditetapkan—tapi hidup terus berjalan. Jacque selalu berkata: “Aku tidak berani melakukan apa-apa, karena takut melanggar peraturan.”

Di musim panas tahun 1941, Nenek jatuh sakit dan harus dioperasi; maka ulang tahunku terasa sangat hambar tanpa perayaan. Di musim panas tahun sebelumnya, 1940, ulang tahunku juga tidak dirayakan karena pertempuran baru saja berakhir di Belanda. Nenek meninggal di bulan Januari 1942. Tak ada orang yang tahu betapa sering aku memikirkannya, dan betapa aku mencintainya. Perayaan ulang tahunku di tahun 1942 direncanakan sedikit meriah untuk menebus tahun-tahun sebelumnya, dan kami tetap menyulut lilin Nenek seperti tahun-tahun sebelumnya.

Selain itu, keluarga kami baik-baik saja. Sekarang tanggal 20 Juni, 1942—dan aku mendedikasikan hari ini sebagai hari jadi buku harianku.


SABTU, 20 JUNI, 1942

Dearest Kitty!

Aku tak sabar ingin menulis kepadamu; mumpung keadaan di dalam rumah sedikit lebih tenang dan menyenangkan. Ayah dan Ibu sedang pergi keluar; sementara Margot sedang main Ping-Pong bersama para remaja lainnya di rumah Trees, temannya. Belakangan ini aku juga jadi sering main Ping-Pong. Saking seringnya, aku dan keempat teman-temanku sampai membentuk sebuah klub khusus. Nama klubnya adalah “Little Dipper Minus Dua”. Nama yang konyol sebenarnya, tapi nama itu terpilih karena suatu kesalahan. Tadinya kami berniat memberikan nama spesial untuk klub kecil kami ini; dan karena kami berlima, kami memutuskan untuk mengambil nama rasi bintang Little Dipper. Tapi perkiraan kami salah. Ternyata Little Dipper tidak terdiri dari lima bintang, melainkan tujuh bintang, seperti rasi Big Dipper—makanya kami tambahkan kalimat “Minus Dua”. Ilse Wagner punya meja Ping-Pong di rumahnya, dan keluarganya mengijinkan kami untuk bermain di sana kapanpun kami mau. Kemudian karena kami semua suka es krim, terutama di musim panas, dan karena biasanya kami kepanasan sehabis main Ping-Pong, maka permainan kami sering diakhiri dengan kunjungan ke toko es krim terdekat yang diijinkan melayani kaum Yahudi: Oasis atau Delphi. Sudah lama kami tidak membayar pesanan es krim kami sendiri, karena biasanya setiap kali kami ke sana, suasana pasti sedang ramai pelanggan, dan remaja pria kenalan kami yang kebetulan ada di sana selalu menawarkan untuk membelikan es krim sebanyak yang kami mau.


Rumah persembunyian keluarga Frank (ditandai warna biru)





Kau pasti bingung mendengar celotehanku tentang para remaja pria yang mengagumiku di usia segini. Entah berkah atau kutukan, sebagian besar remaja perempuan seusiaku menggunakan daya tarik mereka untuk mengambil keuntungan dari para remaja pria yang mengagumi mereka. Menurut pengalaman pribadiku, begitu seorang remaja pria menawarkan untuk bersepeda bersama dan mengantarku pulang sampai rumah, bisa dipastikan mereka takkan melepaskanku dari pandangan mereka bahkan untuk sedetik pun. Tapi lama-kelamaan semangat mereka akan luntur, terlebih jika aku tidak membalas pandangan curian mereka dan dengan santai bersepeda sendirian. Terkadang ada juga yang terlalu berani sampai membicarakan “minta ijin Ayah”—kalau sudah begitu, biasanya aku akan menukik di atas sepeda sampai tasku terjatuh, hingga remaja itu terpaksa berhenti dan memungut tas itu dari tanah untuk dikembalikan kepadaku. Lalu aku akan mengganti topik pembicaraan. Ini tipe-tipe yang lugu. Masih ada lagi remaja pria lain yang lebih agresif: meniupkan ciuman dari jauh atau berusaha menggenggam tanganku—tapi mereka tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa. Kepada remaja-remaja itu, aku biasa menolak ditemani bersepeda sampai rumah atau bertingkah seolah aku tersinggung dan mengusir mereka jauh-jauh.

Nah, sekarang kita sudah membangun dasar persahabatan. Sampai besok.


Yours,
Anne


RABU, 8 JULI, 1942

Dearest Kitty,


Rasanya tahunan sudah berlalu sejak Minggu pagi, terakhir aku menulis kepadamu. Banyak sekali yang terjadi sejak hari itu dan rasanya duniaku berbalik. Tapi seperti yang bisa kau lihat, Kitty, aku masih hidup, dan menurut Ayah, itu adalah hal yang terpenting. Aku memang masih hidup, tapi jangan tanya kenapa aku masih hidup atau di mana aku berada sekarang. Kau mungkin tak mengerti apa yang sedang kukatakan hari ini, jadi aku akan menjelaskan apa yang terjadi di Minggu sore.




Tempat persembunyian keluarga Frank dari 1942-1944





Pada pukul tiga sore (Hello* sudah pergi tapi seharusnya kembali agak sore), bel pintu rumah berdentang. Aku tidak mendengar suara bel itu, karena aku sedang ada di balkon, sambil malas-malasan membaca buku di bawah terik sinar matahari. Tak lama kemudian, Margot muncul di ambang pintu dapur dengan wajah tegang.

“Ayah menerima panggilan dari SS**,” bisik Margot. “Ibu sedang pergi menemui Herrn van Daan.” Herrn van Daan adalah rekan bisnis Ayah sekaligus teman baik keluarga.

Aku terkejut. Panggilan: semua orang tahu apa artinya. Bayangan kamp konsentrasi dan sel tahanan yang sunyi dan sepi melintasi pikiranku. Bagaimana mungkin kita membiarkan Ayah mengalami siksaan itu? “Tentu saja dia takkan memenuhi panggilan itu,” celetuk Margot, ketika kami tengah menunggu Ibu di ruang tamu. “Ibu sedang pergi ke rumah Herrn van Daan untuk menanyakan apakah kita bisa pindah ke tempat persembunyian kita besok. Keluarga van Daan juga akan ikut bersama kita. Jadi totalnya ada 7 orang.”

Sunyi. Kami tak bisa bicara banyak. Membayangkan Ayah yang sedang mengunjungi seseorang di Rumah Sakit khusus warga Yahudi, sama sekali tak sadar akan bencana yang mengancam, serta lamanya waktu berlalu selagi kami menunggu Ibu, dibarengi oleh udara panas dan perasaan gundah—semua itu membuat aku dan Margot tercenung.

Tiba-tiba bel pintu berdentang lagi. “Itu Hello,” kataku.

“Jangan buka pintu!” teriak Margot seraya menahanku. Namun tak lama kemudian kami mendengar suara Ibu dan Herrn van Daan di bawah berbicara kepada Hello sebelum keduanya masuk ke dalam dan menutup pintu. Setiap kali bel pintu berdentang, aku atau Margot harus berjingkat menuruni tangga untuk melihat apakah Ayah yang datang atau bukan. Karena kalau bukan Ayah, kami dilarang membukakan pintu. Lalu aku dan Margot diminta keluar dari kamar karena Herrn van Daan ingin bicara dengan Ibu berdua saja.

Ketika aku dan Margot duduk di kamar tidur kami, Margot mengatakan bahwa panggilan itu sebenarnya bukan datang untuk Ayah, melainkan untuk dia. Aku terkejut bukan kepalang dan mulai menangis tersedu-sedu. Usia Margot baru 16 tahun—nampaknya pemerintah Jerman ingin mengirim gadis-gadis muda seusianya untuk pergi meninggalkan keluarga mereka. Tapi Ibu sudah bilang bahwa Margot takkan diijinkan pergi, mungkin itu maksud Ayah ketika menyampaikan kabar bahwa tak lama lagi kami harus pergi ke tempat persembunyian. Tapi…sembunyi di mana? Di dalam kota? Di daerah pedesaan? Di rumah? Di gubuk? Kapan, di mana, bagaimana…? Aku dilarang mempertanyakan semua itu, namun tetap saja pertanyaan tersebut menghantui pikiranku.

Aku dan Margot mulai mengepak barang-barang yang kami butuhkan ke dalam tas sekolah masing-masing. Hal pertama yang kusertakan adalah buku harian ini, lalu rol rambut, sapu tangan, buku sekolah, sisir dan beberapa pucuk surat. Pikiranku sibuk membayangkan tempat persembunyian kami nanti, dan karenanya aku jadi memasukkan barang-barang aneh ke dalam tas sekolahku—tapi aku tidak menyesal. Kenangan lebih berarti daripada pakaian.


 
Suasana kamp di Belsen saat musim dingin





Ayah akhirnya pulang pukul lima sore, dan kami memanggil Herrn Kleiman untuk menanyakan apakah dia bisa mampir ke rumah malam itu. Herrn van Daan sudah pergi untuk menjemput Miep. Miep datang dan berjanji untuk kembali malam itu juga, dan dia pergi sambil membawa sekantung besar berisi sepatu, pakaian, jaket, pakaian dalam, dan stoking. Setelah itu rumah kami jadi sunyi; kami bahkan tak merasakan lapar. Cuaca masih terlalu panas, dan semua berlangsung dengan sangat aneh.
Kami telah menyewakan kamar besar di lantai atas kepada Herrn Goldschmidt, seorang duda yang berusia 30an, yang nampaknya tidak punya kegiatan malam itu, karena meski sudah ‘disindir’ secara sopan ia tetap tidak mau pergi sampai pukul 10 malam.

Miep dan Jan Gies*** tiba pada pukul sebelas malam. Miep yang sudah bekerja di perusahaan Ayah sejak tahun 1933 kini telah jadi teman dekat keluarga, dan begitu juga dengan suaminya, Jan. Sekali lagi, sepatu, stoking, buku dan pakaian dalam hilang ke dalam tas Miep dan kantung jaket Jan. Pada pukul sebelas-tiga-puluh malam, mereka juga pergi.

Aku merasa lelah, dan meskipun aku sadar malam itu adalah malam terakhir aku akan melihat ranjang tidurku, aku segera jatuh tertidur dan baru terbangun saat Ibu memanggilku pukul setengah enam keesokan paginya. Untung cuaca tidak sepanas hari Minggu; seharian itu hujan turun rintik-rintik membasahi kota. Kami berempat membungkus tubuh kami dengan berlapis-lapis pakaian seolah kami mau menginap di dalam kulkas; dan kami melakukan itu agar kami bisa membawa lebih banyak pakaian ke tempat persembunyian kami. Tak ada orang Yahudi yang akan meninggalkan rumahnya dalam keadaan ini dengan membawa koper penuh pakaian. Aku mengenakan dua lembar pakaian dalam, tiga pasang celana dalam, sebuah gaun, dan di atas itu ada selembar rok, jaket, jas hujan, dua pasang stoking, sepatu yang berat, topi, syal dan masih banyak lagi. Aku merasa sesak bahkan sebelum kami keluar dari rumah, tapi tak ada yang menanyakan keadaanku.

Margot menjejalkan tas sekolahnya dengan buku-buku teks, kemudian ia pergi mengambil sepedanya dan, bersama Miep sebagai penunjuk jalan, berkendara ke tempat asing. Setidaknya, itu yang kurasakan—karena aku tidak tahu di mana kami hendak bersembunyi.

Pada pukul tujuh-tiga-puluh pagi, kami juga menutup pintu rumah. Moortje, kucingku, adalah satu-satunya mahluk hidup yang kupamitkan. Menurut surat kecil yang kami tinggalkan untuk Herrn Goldschmidt, Moortje akan diadopsi oleh tetangga rumah kami yang telah berjanji untuk merawatnya.

Ranjang yang tak berseprai, meja makan yang masih dipenuhi makanan, serta setengah kilo daging untuk kucing piaraan kami di dapur—semua itu menciptakan kesan seolah kami pergi terburu-buru. Namun kami tidak tertarik meninggalkan kesan apapun. Kami hanya ingin cepat-cepat pergi dari sana, sejauh mungkin, dan tiba di tujuan kami dengan selamat. Tak ada yang lebih penting dari itu.
Sampai besok.


Yours,
Anne


2012 © Klub Lotus dan Anne Frank. Tidak untuk dijual, digandakan atau ditukar.


——————–



#KETERANGAN:


* Helmuth “Hello” Silberberg adalah seorang teman yang sempat ikut bersembunyi bersama keluarga Anne Frank di SECRET ANNEXE. Akhirnya, ia kembali ke orangtuanya di Belgia dan selamat setelah Pasukan Amerika Serikat membebaskan kota tempat mereka tinggal pada tanggal 3 September 1944, di hari yang sama keluarga Anne Frank ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi di Auschwitz.

** SS (singkatan dari Schutzstaffel) adalah pasukan tentara Nazi Jerman yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan selama berlangsungnya Perang Dunia II.

*** Miep dan Jan Gies adalah pasangan Belanda yang terlibat dalam pergerakan pemberontakan terhadap penjajahan Jerman, dan yang menyembunyikan keluarga Anne Frank hingga akhirnya ditangkap oleh pasukan kepolisian Orpo, di bawah perintah Nazi Jerman. Miep adalah orang yang menemukan buku harian Anne Frank dan menyimpannya sampai ayah Anne, Otto Frank, kembali dari kamp konsentrasi.

#CATATAN:

> Tulisan ini bukan fiksi, melainkan sebuah otobiografi yang ditulis oleh seorang remaja perempuan Yahudi bernama ANNE FRANK, yang meninggal di kamp konsentrasi di Belsen, Jerman bersama kakak dan ibunya.

>> Buku harian Anne Frank diterbitkan pada tahun 1947, dua tahun setelah ia meninggal—dan dianggap sebagai salah satu “catatan sejarah penting” yang terkait dengan praktik kekejaman pasukan Nazi Jerman di masa Perang Dunia II. Terbit dengan judul “Het Achterhuis” atau The Diary of A Young Girl, buku harian ini ditulis saat Anne Frank berusia 13-15 tahun, di mana ia menceritakan masa-masa persembunyian keluarganya (di loteng kecil) dari pemerintah Nazi Jerman, sebelum akhirnya mereka dikhianati, ditangkap dan digiring ke kamp konsentrasi. Untuk kepentingan publikasi, buku ini diedit oleh Ayah Anne sendiri, Otto Frank, yang selamat dari deraan kamp konsentrasi.

>>> ANNE FRANK lahir pada tahun 1929 dan meninggal di kamp konsentrasi pada tahun 1945 (di usia 15 tahun). Ia dan kakaknya, Margot, diduga meninggal karena wabah tipus yang merebak saat itu di antara para tahanan.




_____________________

Sumber : http://fiksilotus.com/2012/0 /11/bukuharian-anne-frank/


















Senin, 28 Juli 2014

(Cerita Penjuru Dunia) - Festival Shaman, Tempat Berkumpul Para Dukun Terkuat Di Dunia


24/07/2014 Oksana Gribanova, Rossiyskaya Gazeta
 



Festival Internasional The Call of 13 Shamans dimeriahkan dengan parade drum, nyanyian tenggorokan (thorat singing), ritual, dan meditasi. Foto: Press photo



Shaman merupakan sejenis dukun atau penyembuh dan pemimpin spiritual. Para shaman terkuat dari Swedia, Greenland, Meksiko, Kirgistan, Mongolia, Korea Selatan dan Kazakhstan datang ke Festival Internasional The Call of 13 Shamans yang sedang diadakan di Tuva, Rusia hingga Minggu (27/7).

Shaman dari empat daerah Rusia yakni Altai, Khakassia, Tuva, dan Yakutia juga berpartisipasi dalam festival tersebut.


Festival tersebut dimeriahkan dengan parade drum, nyanyian tenggorokan (thorat singing), ritual, dan meditasi. Penyelenggara juga menyajikan seminar menarik serta workshop tentang praktik shaman dan ramalan. Semua peserta yang tertarik juga akan diajari tarian Elang, yang merupakan bagian dari program kesehatan rohani Un-Hun.

Pencetus ide dan penyelenggara utama festival The Call of 13 Shamans adalah penyanyi tenggorokan (throat singer) Nicholay Oorzhak. Ia merupakan seorang shaman Tuva keturunan klan Black Heaven.

Festival ini diselenggarakan untuk pertama kali dan tanpa dukungan sponsor. “Kami berhasil 

menemukan lokasi yang sangat cocok untuk acara ini. Para shaman terkuat telah berkumpul di tempat wisata Shyk-Bazhy, Dzun-Khemchiksky, Tuva,” tutur Nicholay Oorzhak. 

Tamu kehormatan festival, shaman dari Meksiko Don Rogelio Carrillo, mengatakan bahwa tradisi umatnya di Meksiko dan tradisi masyarakat Tuva sangat mirip. “Itulah yang memikat saya hingga bersedia datang ke daerah Siberia yang sangat jauh ini,” tutur Don Rogelio.

Carrillo bercerita, tradisi shaman yang ia amalkan sudah sangat kuno. “Tradisi ini mungkin berasal dari 2.000 tahun yang lalu. Kami tidak punya bukti tertulis tentang hal itu, tapi saya tahu pasti bahwa nenek moyang saya melakukan hal-hal yang sama persis,” kata Don Rogelio.



Sumber: Rossiyskaya Gazeta




______________________

Sumber : http://indonesia.rbth.com/news/2014/07/24/festival_shaman_tempat_berkumpul_para_dukun_terkuat_di_dunia_24505.html
Share

(Cerita Penjuru Dunia) - Mula Pedagang Kaki Lima

Pedagang sedang menjajakan dagangannya. Foto: KITLV.

















Kekeliruan penerjemahan membuat mereka disebut pedagang kaki lima. Dianggap masalah akut perkotaan.

OLEH: HENDARU TRI HANGGORO

 
 
PKL bukan pedagang kemarin sore. Kehadiran mereka di Jakarta bisa dirunut hingga ke zaman Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816).  Saat itu, Raffles memerintahkan beberapa pemilik gedung di jalanan utama Batavia untuk menyediakan trotoar selebar lima kaki (five foot way) untuk pejalan kaki.

Menurut William Liddle dalam “Pedagang yang Berkaki Lima”, termuat 111 Kolom Bahasa Kompas, saat bertugas di Singapura pada 1819, Raffles kembali menerapkan kebijakan ini di Chinatown.

Lantas terjadi kesalahan penerjemahan istilah five foot ke bahasa Melayu. “Five foot rupanya disalahmaknakan sebagai kata majemuk. Dalam menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu, orang membalikkan hukum MD (menerangkan-diterangkan) Inggris menjadi hukum DM (diterangkan-menerangkan) Melayu, sehingga terjemahannya bukan lima kaki, melainkan kaki lima,” tulis Mayapada, 15 Desember 1967.

Meski dibuat untuk pejalan kaki, ruang itu justru ditempati para pedagang sehingga orang menyebut mereka pedagang kaki lima. “Istilah ini menjalar ke Medan. Dari Medan sampai di Jakarta dan menyebar ke kota-kota di Indonesia,” tulis Mayapada.

Dagangan mereka antara lain barang kelontong, obat-obatan, buku-buku, dan mainan anak. Pedagang makanan dengan gerobak atau pikulan tak termasuk kategori ini. Mereka masuk kategori dagang rakyat.

PKL di Batavia pada akhir abad ke-19, seperti digambarkan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, biasa berteriak untuk menarik pembeli. Tapi pemerintah kota tak menyukai kehadiran mereka. Mereka diusir dari jalan. Tindakan ini menuai protes dari sejumlah bumiputera yang duduk di Dewan Kota (gemeente raad). Salah satunya Abdoel Moeis. (Baca: Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia)

“Para pedagang diusir dari pinggir jalan karena di tempat tersebut tinggal banyak orang Belanda yang tidak mau melihat para pedagang kaki lima kotor itu,” protes Moeis dalam sidang Dewan Kota pada 1918, dikutip Susan Blackburn.

Meski tak diketahui pasti, Susan memperkirakan jumlah PKL meningkat pada 1934 sebagai buntut dari masa depresi yang melanda dunia pada 1930-an.  Jumlah mereka terus meningkat setelah kemerdekaan. Bahkan Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS) menyebut mereka sebagai salah satu sumber utama konflik penduduk di Jakarta pada dekade 1950-an. Selain itu, DPKS menilai bahwa PKL menganggu keteraturan kota. Maka DPKS berusaha mencarikan mereka tempat berdagang yang memadai. Langkah ini gagal diterapkan karena kota kekurangan lahan untuk pasar.

Memasuki 1960-an, cap PKL kian buruk. Beberapa alasannya, menurut Mayapada 15 Januari 1968, PKL dianggap merusak keindahan kota, cara dagangnya primitif, dan bikin malu negara jika tamu asing datang. Tapi sebagian kalangan membela mereka. “Sebagian dari pedagang-pedagang kita baru mampu berkaki lima,” tulis Mayapada.

Gubernur Ali Sadikin berusaha bersikap tegas. Dia menindak para PKL yang membandel. Tapi Ali juga menyediakan lahan baru untuk mereka. Ini tertuang dalam Pengumuman Gubernur DKI Jakarta tanggal 27 Juli 1971 No Ib.1/1/11/1970.

Pada masa Gubernur Cokropranolo, PKL beroleh angin lantaran pengusiran agak berkurang. Sejak itu, jumlah PKL tak terkendali. Mereka terus memenuhi pinggiran jalan ibukota.




____________________

Sumber : http://historia.co.id/artikel/modern/1190/Majalah-Historia/Mula_Pedagang_Kaki_Lima

(Puisi Tamu) - TERJAGA


Foto: TERJAGA

Detak-detik jam dinding
"tak..! tik..! tak..! tik..!"
Memanggil mata untuk terbuka...
Tapi untuk apa?
Pikiranku sudah terjaga
Dan ku tahu tiada siapapun disini
Aku hanya menunggu waktu melarutkan kembali sadarku untuk kembali dalam mimpi...
Mimpi yang menghidupkan tentramku
Mimpi yang kerap ku tertawakan di dunia nyata
Mimpi yang membuatku menjadi aku
Ya, aku...
Aku yang tanpa cacat luka
Aku yang hanya tahu bahagia
Aku yang tak jemu berpuas
Aku yang tak akan ada disini
Dan aku yang hanya ingin bertemu denganmu...
Kau, yang berujar sahaja
Yang bijak menyapa
Yang menyelam rendah di tiap arus waktu dan tinggal dalam dasar damaimu.

"tak..! tik..! tak..! tik..!"

Ah, sudahlah...!!
Percuma kau goda.
Pikiranku sudah terjaga.
____________________________
originally written by:
Almondia Salem
July 28th.2014
02.05 am

Sumber gambar: youthvoices.net







Detak-detik jam dinding
"tak..! tik..! tak..! tik..!"
Memanggil mata untuk terbuka...
Tapi untuk apa?
Pikiranku sudah terjaga
Dan ku tahu tiada siapapun disini
Aku hanya menunggu waktu melarutkan kembali sadarku untuk kembali dalam mimpi...
Mimpi yang menghidupkan tentramku
Mimpi yang kerap ku tertawakan di dunia nyata
Mimpi yang membuatku menjadi aku
Ya, aku...
Aku yang tanpa cacat luka
Aku yang hanya tahu bahagia
Aku yang tak jemu berpuas
Aku yang tak akan ada disini
Dan aku yang hanya ingin bertemu denganmu...
Kau, yang berujar sahaja
Yang bijak menyapa
Yang menyelam rendah di tiap arus waktu dan tinggal dalam dasar damaimu.

"tak..! tik..! tak..! tik..!"

Ah, sudahlah...!!
Percuma kau goda.
Pikiranku sudah terjaga.
 
____________________________
 
originally written by:
Almondia Salem
July 28th.2014
02.05 am

Sumber gambar: youthvoices.net

(Sudut Pandang/Referensi) - KASIH







Rasa keterikatan yang hangat dan bersifat pribadi, atau kasih sayang yang dalam, misalnya terhadap sahabat, orang tua atau anak, dan lain-lain; perasaan senang atau suka yang hangat; selain itu, kasih sayang penuh kebaikan yang Allah miliki terhadap ciptaan-Nya atau kasih sayang penuh hormat yang sepatutnya mereka berikan kepada Allah; selain itu, kasih sayang penuh kebaikan hati yang dengan patut diperlihatkan oleh ciptaan Allah kepada satu sama lain; kasih sayang atau cinta yang kuat atau penuh gairah terhadap lawan jenis, yang menjadi dorongan emosi untuk ikatan suami istri. Salah satu sinonim kasih adalah ”pengabdian”.

Selain arti-arti di atas, Alkitab juga menyebutkan tentang kasih yang dibimbing oleh prinsip, seperti kasih akan keadilbenaran atau bahkan kasih terhadap musuh, meskipun seseorang mungkin tidak menyayanginya. Segi atau pernyataan kasih ini adalah pengabdian yang tidak mementingkan diri kepada keadilbenaran serta kepedulian yang tulus akan kesejahteraan kekal orang lain, yang dibarengi pernyataan aktif demi kebaikan mereka.

Kata kerja ʼa·hev′ atau ʼa·hav′ (”mengasihi”) dan kata benda ʼa·havah′ (”kasih”) adalah kata-kata yang terutama digunakan dalam bahasa Ibrani untuk kasih dengan arti-arti di atas, dan dari konteksnya dapat ditentukan arti serta tingkatan yang dimaksud.

Kitab-Kitab Yunani Kristen terutama menggunakan berbagai bentuk kata a·ga′pe, fi·li′a, dan dua kata yang berasal dari stor·ge′ (e′ros, cinta kepada lawan jenis, tidak digunakan). A·ga′pe muncul lebih sering daripada yang lain.

Mengenai kata benda a·ga′pe dan kata kerja a·ga·pa′o, Vine’s Expository Dictionary of Old and New Testament Words mengatakan, ”Kasih hanya dapat diketahui melalui tindakan yang dihasilkannya. Kasih Allah nyata dari tindakan-Nya memberikan Putra-Nya, I Yohanes 4:9, 10. Tetapi jelas itu bukan kasih untuk kepuasan diri, atau kasih sayang, dalam arti bahwa kasih itu tidak digugah karena sifat baik apa pun di pihak objeknya, Rm. 5:8. Kasih itu diperlihatkan karena Allah menghendakinya sebagai pilihan atas dasar pertimbangan yang matang, dilakukan tanpa penyebab yang dapat ditunjuk kecuali bahwa sifat itu adalah watak Allah Sendiri, bdk. Ul. 7:7, 8.”—1981, Jil. 3, hlm. 21.

Sehubungan dengan kata kerja fi·le′o, Vine berkomentar, ”[Fileo] hendaknya dibedakan dari agapao karena alasan ini, yakni fileo lebih mendekati kasih sayang yang lembut. . . . Selain itu, tindakan mengasihi (fileo) kehidupan, yang disebabkan oleh hasrat yang berlebihan untuk mempertahankannya, tanpa memperhatikan tujuan kehidupan yang sebenarnya, akan mendapat teguran Tuan, Yohanes 12:25. Sebaliknya, tindakan mengasihi kehidupan (agapao) sebagaimana digunakan di I Ptr. 3:10, berarti berpaling kepada hal-hal yang benar-benar penting dalam kehidupan. Di ayat itu, kata fileo kurang cocok.”—Jil. 3, hlm. 21, 22.

Exhaustive Concordance of the Bible karya James Strong, dalam kamus Yunaninya (1890, hlm. 75, 76), menyatakan tentang fi·le′o,Berteman dengan (menyukai [seseorang atau suatu benda]), yaitu memiliki kasih sayang bagi (yang menunjukkan keterikatan yang bersifat pribadi, atas dasar emosi atau perasaan; sedangkan [a·ga·pa′o] lebih luas, khususnya mencakup kemampuan untuk menilai sesuatu dan kemauan sendiri sebagai hasil pertimbangan yang matang; [a·ga·pa′o] menyangkut prinsip, kewajiban, dan hal yang patut . . . ).”—Lihat KASIH SAYANG.

Oleh karena itu, a·ga′pe mengandung makna kasih yang dibimbing, atau dikendalikan, oleh prinsip. Kasih ini tidak selalu mencakup perasaan sayang dan suka. Bahwa a·ga′pe bisa disertai perasaan sayang dan kehangatan dapat dilihat dalam banyak ayat. Di Yohanes 3:35, Yesus mengatakan ”Bapak mengasihi [a·ga·pai′] Putra.” Di Yohanes 5:20, ia mengatakan, ”Bapak memiliki kasih sayang [fi·lei′] terhadap Putra.” Tentu kasih Allah bagi Yesus Kristus disertai dengan kasih sayang yang limpah. Yesus juga menjelaskan, ”Dia yang mengasihi [a·ga·pon′] aku akan dikasihi [a·ga·pe·the′se·tai] oleh Bapakku, dan aku akan mengasihi [a·ga·pe′so] dia.” (Yoh 14:21) Kasih yang dimiliki oleh Bapak dan Putra ini disertai kasih sayang yang lembut terhadap orang-orang yang pengasih tersebut. Para penyembah Yehuwa harus mengasihi Dia dan Putra-Nya, juga mengasihi sesama mereka, dengan cara yang sama.—Yoh 21:15-17.

Jadi, meskipun bercirikan respek akan prinsip, a·ga′pe bukannya tanpa perasaan; jika demikian, a·ga′pe tidak akan ada bedanya dengan keadilan yang kaku. Tetapi kasih ini tidak diatur oleh perasaan atau emosi; ia tidak pernah mengabaikan prinsip. Orang Kristen selayaknya memperlihatkan a·ga′pe terhadap orang-orang yang mungkin tidak mereka sayangi atau sukai, melakukannya demi kesejahteraan orang-orang tersebut. (Gal 6:10) Namun, meskipun tidak disertai perasaan sayang, mereka bisa merasakan keibaan hati dan kepedulian yang tulus terhadap sesama manusia, hingga batas dan dengan cara yang diperbolehkan dan dibimbing oleh prinsip.

Akan tetapi, meskipun a·ga′pe memaksudkan kasih yang dikendalikan oleh prinsip, ada prinsip yang baik dan yang buruk. Karena dibimbing oleh prinsip-prinsip yang buruk, bisa saja orang memperlihatkan a·ga′pe yang salah. Sebagai contoh, Yesus mengatakan, ”Jika kamu mengasihi [a·ga·pa′te] orang yang mengasihi kamu, apa kelebihannya bagimu? Karena bahkan orang-orang berdosa mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka. Dan jika kamu melakukan kebaikan kepada orang yang melakukan kebaikan kepadamu, sesungguhnya apa kelebihannya bagi kamu? Bahkan orang-orang berdosa melakukan yang sama. Juga, jika kamu memberikan pinjaman tanpa bunga kepada orang yang darinya kamu mengharapkan untuk menerima, apa kelebihannya bagi kamu? Bahkan orang-orang berdosa memberikan pinjaman tanpa bunga kepada orang-orang berdosa agar mereka mendapatkan kembali sebanyak itu juga.” (Luk 6:32-34) Prinsip yang diikuti orang seperti itu: ’Saya akan berbuat baik kepada Anda jika Anda berbuat baik kepada saya.’

Rasul Paulus mengatakan tentang orang yang pernah bekerja bersamanya, ”Demas telah meninggalkan aku karena ia mengasihi [a·ga·pe′sas] sistem sekarang ini.” (2Tim 4:10) Demas agaknya mengasihi dunia ini karena prinsip bahwa mengasihi dunia akan mendatangkan keuntungan materi. Yesus mengatakan, ”Manusia mengasihi [e·ga′pe·san] kegelapan sebaliknya daripada terang, karena perbuatan mereka fasik. Karena ia yang mempraktekkan hal-hal yang keji membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, agar perbuatan-perbuatannya tidak dicela.” (Yoh 3:19, 20) Merupakan suatu kebenaran atau prinsip bahwa kegelapan turut menyembunyikan perbuatan-perbuatan fasik, oleh karena itulah mereka mengasihi kegelapan.

Yesus memerintahkan, ”Kasihi [a·ga·pa′te] musuh-musuhmu.” (Mat 5:44) Allah sendiri menetapkan prinsipnya, sebagaimana dinyatakan rasul Paulus, ”Allah merekomendasikan kasihnya [a·ga′pen] sendiri kepada kita dalam hal, sementara kita masih berdosa, Kristus mati bagi kita. . . . Karena jika pada waktu kita adalah musuh, kita dirukunkan dengan Allah melalui kematian Putranya, terlebih lagi sekarang setelah kita dirukunkan, kita akan diselamatkan oleh kehidupannya.” (Rm 5:8-10) Contoh menonjol dari kasih semacam itu adalah cara Allah berurusan dengan Saul dari Tarsus, yang menjadi rasul Paulus. (Kis 9:1-16; 1Tim 1:15) Oleh karena itu, mengasihi musuh harus dikendalikan oleh prinsip yang ditetapkan Allah dan hendaknya dilakukan demi menaati perintah-perintah-Nya, tidak soal kasih demikian disertai kehangatan atau perasaan sayang, atau tidak.

Allah. Rasul Yohanes menulis, ”Allah adalah kasih.” (1Yoh 4:8) Ia adalah personifikasi kasih, yang merupakan sifat-Nya yang dominan. Akan tetapi, fakta itu tidak dapat dibalik, tidaklah benar jika dikatakan bahwa ’kasih (sifat abstrak) adalah Allah’. Ia menyingkapkan diri-Nya dalam Alkitab sebagai Pribadi dan secara kiasan menyebutkan bahwa Ia memiliki ”mata”, ”tangan”, ”hati”, ”jiwa”, dan lain-lain. Ia juga mempunyai sifat-sifat lain, seperti keadilan, kuasa, dan hikmat. (Ul 32:4; Ayb 36:22; Pny 7:12) Lagi pula, Ia memiliki kapasitas untuk membenci, sifat yang sama sekali berlawanan dengan kasih. Kasih-Nya akan keadilbenaran mengharuskan Dia untuk membenci kefasikan. (Ul 12:31; Ams 6:16) Kasih mencakup perasaan dan ungkapan kasih sayang yang hangat dan bersifat pribadi, yang hanya dapat dimiliki suatu pribadi, atau yang dapat diulurkan kepada suatu pribadi. Dan Putra Allah, Yesus Kristus, pasti bukan suatu sifat abstrak; ia berkata bahwa ia ada bersama Bapaknya, bekerja bersama-Nya, menyenangkan Dia, dan mendengarkan Dia, juga bahwa para malaikat melihat muka Bapaknya; hal-hal ini mustahil jika Allah sekadar sifat abstrak.—Mat 10:32; 18:10; Yoh 5:17; 6:46; 8:28, 29, 40; 17:5.

Bukti kasih-Nya. Ada banyak sekali bukti bahwa Yehuwa, sang Pencipta dan Allah alam semesta, adalah kasih. Fakta itu dapat terlihat dari ciptaan fisik. Sungguh besar perhatian yang telah dicurahkan untuk membuat segala ciptaan itu demi kesehatan, kesenangan, dan kesejahteraan manusia! Manusia dibuat tidak untuk sekadar hidup tetapi untuk menikmati makanan, merasa senang dengan melihat berwarna-warninya dan indahnya ciptaan, bermain dengan binatang dan menikmati pergaulan dengan sesama manusia, dan mendapatkan kesukaan dari tak terhitung banyaknya kesenangan hidup. (Mz 139:14, 17, 18) Namun, Yehuwa telah mempertunjukkan lebih banyak kasih-Nya dengan membuat manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej 1:26, 27), disertai kapasitas untuk memiliki kasih serta kerohanian, dan dengan menyingkapkan diri-Nya kepada manusia melalui Firman-Nya dan roh kudus-Nya.—1Kor 2:12, 13.

Kasih Yehuwa terhadap umat manusia bagaikan kasih seorang Bapak terhadap anak-anaknya. (Mat 5:45) Tidak ada yang tidak Ia berikan jika itu demi kebaikan mereka, tidak soal pengorbanan apa pun yang harus Ia lakukan; kasih-Nya melampaui apa pun yang dapat kita rasakan atau ungkapkan. (Ef 2:4-7; Yes 55:8; Rm 11:33) Manifestasi terbesar kasih-Nya, hal paling pengasih yang dapat dilakukan orang tua, telah Ia lakukan bagi umat manusia, yaitu memberikan kehidupan Putra-Nya sendiri yang setia, satu-satunya yang diperanakkan. (Yoh 3:16) Sebagaimana ditulis rasul Yohanes, ”Mengenai kita, kita mengasihi, karena dia pertama-tama mengasihi kita.” (1Yoh 4:19) Jadi, Ia adalah Sumber kasih. Paulus, rekan rasul Yohanes, menulis, ”Sebab hampir tidak ada orang yang mau mati bagi orang yang adil-benar; sesungguhnya, bagi orang yang baik, mungkin seseorang bahkan berani mati. Tetapi Allah merekomendasikan kasihnya sendiri kepada kita dalam hal, sementara kita masih berdosa, Kristus mati bagi kita.”—Rm 5:7, 8; 1Yoh 4:10.

Kasih abadi Allah. Kasih Yehuwa bagi hamba-hamba-Nya yang setia bersifat abadi, tidak berkesudahan atau memudar, tidak soal keadaan para hamba-Nya, senang atau susah, atau problem apa pun yang mungkin menimpa mereka, besar atau kecil. Rasul Paulus berseru, ”Sebab aku yakin bahwa baik kematian atau kehidupan atau malaikat-malaikat atau pemerintah-pemerintah atau perkara-perkara yang ada sekarang atau perkara-perkara yang akan datang atau kuasa-kuasa atau ketinggian atau kedalaman atau apa pun yang diciptakan, tidak ada yang akan sanggup memisahkan kita dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus, Tuan kita.”—Rm 8:38, 39.

Kedaulatan Allah didasarkan atas kasih. Yehuwa bangga akan fakta bahwa kedaulatan-Nya dan dukungan yang diberikan ciptaan-Nya kepada kedaulatan-Nya terutama didasarkan atas kasih. Ia hanya menginginkan pribadi-pribadi yang mengasihi kedaulatan-Nya karena sifat-sifat-Nya yang baik dan karena kedaulatan-Nya adil-benar, pribadi-pribadi yang lebih menyukai kedaulatan-Nya di atas segala hal lain. (1Kor 2:9) Mereka memilih untuk melayani di bawah kedaulatan-Nya daripada mencoba independen, karena mereka memiliki pengetahuan tentang Dia dan tentang kasih, keadilan, serta hikmat-Nya, yang mereka sadari jauh mengungguli sifat-sifat mereka sendiri. (Mz 84:10, 11) Si Iblis gagal dalam hal ini, dengan egois ia berupaya independen, demikian juga Adam dan Hawa. Si Iblis bahkan menantang cara Allah memerintah, dengan seolah-olah mengatakan bahwa Allah memerintah dengan cara yang tidak pengasih dan tidak adil-benar (Kej 3:1-5), dan bahwa makhluk-makhluk ciptaan Allah melayani Dia bukan karena kasih, melainkan karena sifat mementingkan diri.—Ayb 1:8-12; 2:3-5.

Allah Yehuwa membiarkan si Iblis hidup dan menguji hamba-hamba-Nya, bahkan Putra Allah satu-satunya yang diperanakkan, sampai mati. Allah menubuatkan kesetiaan Yesus Kristus. (Yes 53) Bagaimana sampai Ia berani menubuatkan hal itu, mempertaruhkan kata-katanya pada diri Putra-Nya? Karena kasih. Yehuwa mengenal Putra-Nya dan mengetahui kasih yang Putra-Nya miliki bagi Dia dan bagi keadilbenaran. (Ibr 1:9) Ia mengenal Putra-Nya dengan sangat akrab dan saksama. (Mat 11:27) Ia sepenuhnya percaya dan yakin akan kesetiaan Putra-Nya. Dan lebih dari itu, ”kasih . . . adalah ikatan pemersatu yang sempurna”. (Kol 3:14) Kasih adalah ikatan yang paling kuat di alam semesta, kasih sempurna yang menyatukan Putra dan Bapak tanpa dapat dipisahkan. Untuk alasan-alasan serupa, Allah dapat percaya kepada organisasi hamba-hamba-Nya, karena tahu bahwa kasih akan membuat kebanyakan di antara mereka teguh berpaut pada Dia di bawah ujian dan bahwa organisasi makhluk-makhluk ciptaan-Nya tidak akan pernah meninggalkan-Nya secara keseluruhan.—Mz 110:3.

Yesus Kristus. Karena selama waktu yang tak terhitung lamanya Yesus bergaul sangat erat dengan Bapaknya, Sumber kasih, dan mengenal Dia dengan sangat akrab dan saksama, Yesus dapat mengatakan, ”Ia yang telah melihat aku telah melihat Bapak juga.” (Yoh 14:9; Mat 11:27) Karena itu, kasih Yesus lengkap, sempurna. (Ef 3:19) Ia memberi tahu murid-muridnya, ”Tidak seorang pun mempunyai kasih yang lebih besar daripada ini, bahwa seseorang menyerahkan jiwanya demi kepentingan sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13) Ia pernah mengatakan kepada mereka, ”Aku memberikan kepadamu perintah baru, agar kamu mengasihi satu sama lain; sebagaimana aku telah mengasihi kamu, agar kamu juga mengasihi satu sama lain.” (Yoh 13:34) Perintah ini baru, karena dalam Hukum, yang ditaati oleh Yesus dan murid-muridnya pada waktu itu, terdapat perintah, ”Engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18; Mat 22:39) Hukum memang menuntut agar mengasihi orang lain seperti diri sendiri, tetapi tidak menuntut kasih yang rela berkorban, kasih yang bahkan rela menyerahkan nyawa demi orang lain. Kehidupan dan kematian Yesus menjadi contoh kasih yang dituntut oleh perintah baru ini. Selain berbuat baik setiap ada kesempatan, seorang pengikut Kristus diperintahkan untuk berinisiatif, di bawah bimbingan Kristus, untuk membantu orang lain dalam hal rohani dan hal-hal lain. Ia harus aktif mengupayakan kebaikan mereka. Pengabaran dan pengajaran kabar baik kepada orang lain, bahkan mungkin kepada musuh, adalah salah satu pernyataan kasih yang terbesar, karena bisa mendatangkan kehidupan abadi bagi mereka. Orang Kristen harus ’memberikan bukan saja kabar baik Allah, melainkan juga jiwanya sendiri’ dalam membantu dan bekerja bersama orang-orang yang menerima kabar baik. (1Tes 2:8) Dan ia harus siap menyerahkan jiwanya (kehidupannya) demi kepentingan mereka.—1Yoh 3:16.

Caranya Memiliki Kasih. Melalui roh kudus, pria dan wanita pertama diciptakan untuk hingga taraf tertentu memiliki sifat dominan Allah ini, yaitu kasih, dan dengan kapasitas untuk memperlihatkan, memperluas, dan memperkaya kasih itu. Kasih adalah buah roh Allah. (Gal 5:22) Kasih ilahi bukan sifat yang kita miliki tanpa tahu sebabnya, tidak seperti kesanggupan fisik atau mental tertentu, misalnya kecantikan jasmani, bakat musik, atau sifat-sifat bawaan serupa. Kasih ilahi tidak dapat dimiliki seseorang tanpa pengetahuan tentang Allah dan dinas kepada-Nya atau tanpa renungan dan penghargaan. Hanya dengan memupuk kasih sajalah kita bisa menjadi peniru Allah, Sumber kasih. (Mz 77:11; Ef 5:1, 2; Rm 12:2) Adam tidak memupuk kasih kepada Allah; ia tidak menyempurnakan kasihnya. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa ia tidak berada dalam persatuan dengan Allah, tidak terikat kepada Allah dengan ikatan yang sempurna itu. Meskipun demikian, sekalipun telah menjadi tidak sempurna dan berdosa, Adam mewariskan kepada keturunannya, ’menurut gambarnya’, kesanggupan dan kapasitas untuk mengasihi. (Kej 5:3) Umat manusia pada umumnya menyatakan kasih, tetapi sering kali kasih yang telah disesatkan, rusak, dan menyimpang.

Kasih bisa disesatkan. Karena alasan-alasan tersebut, nyatalah bahwa kita dapat memiliki kasih sejati yang terarah dengan benar hanya jika kita mengikuti roh Allah dan pengetahuan yang berasal dari Firman-Nya. Sebagai contoh, orang tua bisa jadi sayang kepada anaknya. Tetapi ia mungkin membiarkan kasih itu berkembang ke arah yang buruk atau ia bisa disesatkan karena perasaan sentimentil, dengan memberi anak itu segala-galanya dan menuruti semua keinginannya. Ia mungkin tidak menjalankan wewenangnya sebagai orang tua dalam memberikan disiplin dan sekali-sekali benar-benar memukulnya. (Ams 22:15) Apa yang disangka sebagai kasih itu sesungguhnya adalah gengsi keluarga, yang sama dengan sifat mementingkan diri. Alkitab mengatakan bahwa orang demikian bukannya menjalankan kasih, melainkan kebencian, karena ia tidak mengambil haluan yang akan menyelamatkan kehidupan sang anak.—Ams 13:24; 23:13, 14.

Kasih demikian bukan kasih yang berasal dari Allah. Kasih ilahi mendorong orang melakukan apa yang baik dan berguna bagi orang lain. ”Kasih membangun.” (1Kor 8:1) Kasih bukan perasaan sentimentil. Sifat ini teguh, kuat, dibimbing oleh hikmat ilahi, pertama-tama berpaut kepada apa yang murni dan benar. (Yak 3:17) Allah mempertunjukkannya kepada Israel, yang Ia hukum dengan keras karena ketidaktaatan, demi kesejahteraan kekal mereka sendiri. (Ul 8:5; Ams 3:12; Ibr 12:6) Rasul Paulus mengatakan kepada orang-orang Kristen, ”Kamu bertekun sebagai suatu disiplin. Allah berurusan denganmu seperti dengan seorang putra. Sebab apakah ada putra yang tidak didisiplin oleh bapaknya? . . . Selanjutnya, kita mempunyai bapak jasmani yang mendisiplin kita, dan kita menaruh respek kepada mereka. Tidakkah kita akan lebih tunduk lagi kepada Bapak dari kehidupan rohani kita, dan beroleh kehidupan? Karena mereka mendisiplin kita untuk waktu yang singkat menurut apa yang kelihatannya baik bagi mereka, tetapi ia melakukannya demi keuntungan kita agar kita dapat mengambil bagian dari kekudusannya. Memang, tampaknya setiap disiplin pada saat diberikan tidak mendatangkan sukacita tetapi memedihkan hati; namun setelah itu, bagi mereka yang telah dilatih olehnya, itu akan menghasilkan buah suka damai, yakni keadilbenaran.”—Ibr 12:7-11.

Pengetahuan mengarahkan kasih ke jalan yang benar. Kasih harus ditujukan pertama-tama kepada Allah, di atas segala-galanya. Kalau tidak, kasih akan menyimpang dan bahkan mengarah kepada penyembahan makhluk ciptaan atau benda. Pengetahuan akan maksud-tujuan Allah sangat penting, karena dengan demikian orang akan tahu apa yang paling baik bagi kesejahteraan dirinya serta orang lain, dan akan tahu caranya menyatakan kasih dengan benar. Kasih kita kepada Allah haruslah dengan ’segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan’ kita. (Mat 22:36-38; Mrk 12:29, 30) Kasih seharusnya bukan sekadar pernyataan lahiriah, melainkan cerminan segenap batin seseorang. Kasih melibatkan emosi. (1Ptr 1:22) Tetapi jika pikiran tidak diperlengkapi dengan pengetahuan tentang apa itu kasih sejati dan caranya bertindak, kasih dapat dinyatakan ke arah yang salah. (Yer 10:23; 17:9; bdk. Flp 1:9.) Pikiran harus tahu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, maksud-tujuan-Nya, dan bagaimana Ia menyatakan kasih. (1Yoh 4:7) Selaras dengan hal ini, dan karena kasih adalah sifat yang paling penting, pembaktian kepada Allah ditujukan kepada pribadi Yehuwa sendiri (yang memiliki sifat dominan kasih) dan bukan kepada suatu pekerjaan atau tujuan. Kemudian, kasih harus diperlihatkan dengan jiwa kita, setiap unsur tubuh kita; dan segenap kekuatan harus dikerahkan untuk mengupayakannya.

Kasih itu luas jangkauannya. Kasih sejati, yang adalah buah roh Allah, luas jangkauannya. (2Kor 6:11-13) Kasih tidak pelit, sempit, atau terbatas. Agar lengkap, kasih harus dibagikan kepada orang-orang lain. Seseorang harus pertama-tama mengasihi Allah (Ul 6:5), Putra-Nya (Ef 6:24), dan selanjutnya segenap persekutuan saudara-saudara Kristennya di seluruh dunia (1Ptr 2:17; 1Yoh 2:10; 4:20, 21). Suami harus mengasihi istri; dan istri mengasihi suami. (Ams 5:18, 19; Pkh 9:9; Ef 5:25, 28, 33) Kasih harus dinyatakan kepada anak-anak. (Tit 2:4) Kita harus mengasihi seluruh umat manusia, bahkan musuh, dan memperlihatkan perbuatan-perbuatan Kristen kepada mereka. (Mat 5:44; Luk 6:32-36) Ketika mengulas tentang buah-buah roh, Alkitab mengatakan, ”Tidak ada hukum yang menentang hal-hal demikian.” (Gal 5:22, 23) Kasih ini tidak dapat dibatasi oleh suatu hukum. Kepada orang yang patut mendapatkannya, kasih dapat diperlihatkan kapan saja atau di mana saja, seluas-luasnya. Malah, satu-satunya utang yang harus dibayarkan orang Kristen kepada satu sama lain ialah kasih. (Rm 13:8) Kasih kepada satu sama lain ini adalah tanda pengenal orang Kristen sejati.—Yoh 13:35.

Penerapan Kasih Ilahi. Kasih, seperti halnya Allah, terlalu luar biasa untuk didefinisikan. Lebih mudah untuk menguraikan bagaimana kasih diterapkan. Dalam pembahasan berikut tentang sifat bagus ini, akan diperlihatkan bagaimana orang Kristen harus menerapkan kasih. Ketika menulis tentang pokok ini, rasul Paulus pertama-tama menandaskan betapa pentingnya kasih bagi seorang Kristen yang beriman lalu menjabarkan bagaimana kasih bertindak tanpa mementingkan diri, ”Kasih itu panjang sabar dan baik hati. Kasih tidak cemburu, tidak membual, tidak menjadi besar kepala, tidak berlaku tidak sopan, tidak memperhatikan kepentingan diri sendiri, tidak terpancing menjadi marah. Kasih tidak mencatat kerugian. Kasih tidak bersukacita karena ketidakadilbenaran, tetapi bersukacita karena kebenaran. Kasih menanggung segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mempunyai harapan akan segala sesuatu, bertekun menanggung segala sesuatu.”—1Kor 13:4-7.

”Kasih itu panjang sabar dan baik hati.” Kasih bisa dengan sabar bertahan menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan dan kesalahan orang lain, karena ada tujuannya, yaitu untuk mengupayakan agar para pelaku kesalahan itu atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya mendapatkan keselamatan akhir, dan juga, yang terpenting, untuk membenarkan kedaulatan Yehuwa. (2Ptr 3:15) Kasih itu baik hati, apa pun bentuk provokasinya. Tidak ada hal baik yang dapat dihasilkan jika seorang Kristen berlaku kasar atau keras terhadap orang lain. Meskipun demikian, kasih bisa tegas dan melakukan tindakan hukum demi keadilbenaran. Pihak yang memiliki wewenang dapat mendisiplin pelaku kesalahan, tetapi sekalipun demikian, mereka hendaknya berlaku baik hati. Tindakan yang tidak baik hati tidak akan mendatangkan manfaat bagi si penasihat yang tidak baik hati ataupun bagi orang yang melakukan ketidakadilbenaran itu, malah dapat semakin menjauhkan orang itu dari pertobatan dan perbuatan yang benar.—Rm 2:4; Ef 4:32; Tit 3:4, 5.

”Kasih tidak cemburu.” Kasih tidak iri apabila orang lain memperoleh hal-hal baik, malah turut bersukacita apabila melihat sesamanya mendapatkan kedudukan dengan tanggung jawab yang lebih besar. Kasih tidak iri bahkan jika musuh menerima hal-hal yang baik. Kasih murah hati. Allah menurunkan hujan atas orang-orang yang adil-benar dan yang tidak adil-benar. (Mat 5:45) Hamba-hamba Allah yang memiliki kasih puas dengan apa yang mereka miliki (1Tim 6:6-8) dan dengan kedudukan mereka, tidak melampaui batas atau secara mementingkan diri berupaya mendapatkan kedudukan orang lain. Setan si Iblis secara mementingkan diri dan dengki melampaui batas, bahkan ingin agar Yesus Kristus memberikan penyembahan kepadanya.—Luk 4:5-8.

Kasih ”tidak membual, tidak menjadi besar kepala”. Kasih tidak berupaya mendapatkan pujian dan kekaguman makhluk lain. (Mz 75:4-7; Yud 16) Orang yang memiliki kasih tidak akan merendahkan orang lain agar dirinya tampak lebih hebat. Sebaliknya, ia akan meninggikan Allah dan dengan tulus membesarkan hati serta membina orang lain. (Rm 1:8; Kol 1:3-5; 1Tes 1:2, 3) Ia akan bahagia melihat orang Kristen lain membuat kemajuan. Dan ia tidak akan menyombongkan apa yang bakal ia lakukan. (Ams 27:1; Luk 12:19, 20; Yak 4:13-16) Ia sadar bahwa segala sesuatu dapat ia lakukan berkat kekuatan yang berasal dari Yehuwa. (Mz 34:2; 44:8) Yehuwa memberi tahu Israel, ”Biarlah orang yang membual, membual karena hal ini, yaitu karena memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang aku, bahwa akulah Yehuwa, Pribadi yang menunjukkan kebaikan hati yang penuh kasih, keadilan dan keadilbenaran di bumi; sebab hal-hal inilah yang kusenangi.”—Yer 9:24; 1Kor 1:31.

Kasih ”tidak berlaku tidak sopan”. Kasih mempunyai tata krama yang baik, tidak terlibat dalam perilaku yang tidak sopan, seperti penganiayaan seksual atau tingkah laku yang menggegerkan. Kasih adalah kebalikan dari sifat yang kasar, vulgar, tidak sopan, menghina, atau tidak respek terhadap siapa pun. Dalam penampilan atau tindakannya, orang yang memiliki kasih tidak akan melakukan hal-hal yang mengganggu saudara-saudara Kristennya. Kepada sidang di Korintus, Paulus menginstruksikan, ”Biarlah segala sesuatu berlangsung dengan sopan dan teratur.” (1Kor 14:40) Kasih juga akan menggerakkan orang untuk berjalan dengan penuh hormat di mata orang-orang yang bukan Kristen.—Rm 13:13; 1Tes 4:12; 1Tim 3:7.

Kasih ”tidak memperhatikan kepentingan diri sendiri”. Kasih mengikuti prinsip, ”Biarlah masing-masing tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, melainkan bagi orang lain.” (1Kor 10:24) Dalam hal inilah kepedulian akan kesejahteraan kekal orang lain menjadi nyata. Kepedulian yang tulus terhadap orang lain adalah salah satu motivator terkuat dalam kasih dan juga salah satu hal yang hasil-hasilnya paling efektif dan bermanfaat. Orang yang memiliki kasih tidak menuntut agar segala sesuatu dilakukan menurut cara dia. Paulus mengatakan, ”Bagi yang lemah aku menjadi lemah, agar aku dapat memperoleh yang lemah. Aku telah menjadi segala sesuatu bagi segala macam orang, agar aku dengan segala cara dapat menyelamatkan beberapa orang. Namun aku melakukan segala sesuatu demi kepentingan kabar baik, agar aku dapat ikut mengambil bagian dari kabar baik itu bersama orang-orang lain.” (1Kor 9:22, 23) Kasih juga tidak menuntut ”hak-hak”-nya; ia lebih peduli terhadap kesejahteraan rohani orang lain.—Rm 14:13, 15.

Kasih ”tidak terpancing menjadi marah”. Kasih tidak mencari-cari kesempatan atau dalih untuk menjadi marah. Kasih tidak cenderung untuk melampiaskan kemarahan, yang adalah perbuatan daging. (Gal 5:19, 20) Orang yang memiliki kasih tidak mudah sakit hati terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain. Ia tidak takut ”martabat” dirinya disinggung.

Kasih ”tidak mencatat kerugian”. (Harfiah, kasih tidak ”menghitung hal buruk”; Int.) Kasih tidak menganggap dirinya dirugikan sehingga mencatat kerugian itu seolah-olah ’dalam buku rekening’, sebagai sesuatu yang pada waktunya harus dibereskan, atau dibayar atau dibalas, seraya membiarkan hubungan antara pihak-pihak yang bertikai itu terputus. Hal itu sama saja dengan semangat mendendam, yang dikutuk dalam Alkitab. (Im 19:18; Rm 12:19) Kasih tidak akan menuduhkan motif-motif yang jahat kepada orang lain tetapi cenderung memberikan kelonggaran dan tidak mencurigai orang lain.—Rm 14:1, 5.

Kasih ”tidak bersukacita karena ketidakadilbenaran, tetapi bersukacita karena kebenaran”. Kasih bersukacita karena kebenaran sekalipun kebenaran itu mematahkan kepercayaan yang sebelumnya dianut atau pernyataan yang telah diucapkan. Kasih berpaut pada Firman kebenaran Allah. Kasih selalu memihak yang benar, tidak senang dengan perbuatan salah, dusta, atau segala bentuk ketidakadilan, siapa pun korbannya, sekalipun ia seorang musuh. Akan tetapi, jika ada sesuatu yang salah atau menyesatkan, kasih tidak takut untuk angkat suara demi kebenaran dan demi orang lain. (Gal 2:11-14) Selain itu, ia lebih suka membiarkan diri dirugikan ketimbang melakukan kesalahan lain dalam upaya membereskan persoalannya. (Rm 12:17, 20) Tetapi jika ada orang yang dengan patut dikoreksi oleh seseorang yang memiliki wewenang, orang yang pengasih tidak akan secara sentimentil berpihak kepada orang yang ditegur serta mencari kesalahan pada koreksi atau orang yang mengoreksi. Tindakan itu bukan pernyataan kasih terhadap orang tersebut. Orang yang dikoreksi itu mungkin akan senang, tetapi ia justru akan dirugikan dan bukannya dibantu.

Kasih ”menanggung segala sesuatu”. Ia rela bertekun, menderita demi keadilbenaran. Terjemahan harfiahnya, ”kasih menutupi segala sesuatu”. (Int) Orang yang memiliki kasih tidak akan cepat menyingkapkan kepada pihak lain orang yang telah berbuat salah kepadanya. Jika kesalahannya tidak terlalu serius, ia akan mengabaikannya. Jika ternyata serius, dan apabila prosedur yang Yesus sarankan di Matius 18:15-17 memang cocok diterapkan, ia akan mengikutinya. Dalam kasus-kasus demikian, jika orang itu meminta maaf setelah kesalahannya diberitahukan kepadanya secara pribadi, dan memperbaiki yang rusak, orang yang memiliki kasih akan memperlihatkan bahwa pengampunannya nyata, bahwa masalahnya telah sama sekali ditutup, seperti yang telah Allah lakukan.—Ams 10:12; 17:9; 1Ptr 4:7, 8.

Kasih ”percaya segala sesuatu”. Kasih beriman akan hal-hal yang Allah katakan dalam Firman kebenaran-Nya, sekalipun hal-hal yang kelihatan tampaknya bertentangan dan dunia yang tidak percaya mencemoohnya. Kasih ini, khususnya terhadap Allah, adalah pengakuan bahwa Ia benar, didasarkan atas riwayat kesetiaan dan keterandalan-Nya, sebagaimana kita mengenal dan mengasihi seorang sahabat sejati yang setia dan tidak ragu-ragu apabila ia memberitahukan sesuatu yang mungkin tidak ada buktinya. (Yos 23:14) Kasih mempercayai semua yang Allah katakan, walaupun hal itu mungkin belum dapat dipahami sepenuhnya, dan rela menunggu dengan sabar hingga hal itu dijelaskan secara lebih lengkap atau hingga hal itu dipahami dengan jelas. (1Kor 13:9-12; 1Ptr 1:10-13) Kasih juga yakin bahwa Allah membimbing sidang Kristen dan hamba-hamba-Nya yang terlantik dan bahwa Allah mendukung keputusan-keputusan mereka yang berdasarkan Firman Allah. (1Tim 5:17; Ibr 13:17) Akan tetapi, kasih bukannya naif, sebab kasih mematuhi nasihat Firman Allah untuk ’menguji pernyataan-pernyataan terilham itu untuk melihat apakah itu berasal dari Allah’, dan kasih menguji segala sesuatu dengan Alkitab sebagai tolok ukur. (1Yoh 4:1; Kis 17:11, 12) Kasih akan membuat seseorang yakin akan saudara-saudara Kristennya yang setia; seorang Kristen tidak akan mencurigai mereka atau tidak mempercayai mereka kecuali ada bukti kuat bahwa mereka bersalah.—2Kor 2:3; Gal 5:10; Flm 21.

Kasih ”mempunyai harapan akan segala sesuatu”. Kasih mengharapkan segala sesuatu yang telah Yehuwa janjikan. (Rm 12:12; Ibr 3:6) Kasih terus bekerja, dengan sabar menanti Yehuwa mendatangkan hasil, memberikan pertumbuhan. (1Kor 3:7) Orang yang memiliki kasih akan mengharapkan yang terbaik bagi saudara-saudara Kristennya dalam keadaan apa pun yang mungkin mereka hadapi, meskipun beberapa mungkin lemah iman. Ia akan sadar bahwa jika Yehuwa bersabar terhadap saudara-saudara yang lemah demikian, ia pun seharusnya mempunyai sikap yang sama. (2Ptr 3:15) Dan ia terus membantu orang-orang yang sedang dibantunya mempelajari kebenaran, sambil berharap dan menanti mereka tergerak oleh roh Allah untuk melayani Dia.

Kasih ”bertekun menanggung segala sesuatu”. Seorang Kristen sangat memerlukan kasih agar dapat memelihara integritasnya kepada Allah Yehuwa. Tidak soal apa pun yang mungkin si Iblis lakukan untuk menguji teguhnya pengabdian dan kesetiaan seorang Kristen kepada Allah, kasih akan bertekun dengan cara menjaga seorang Kristen tetap loyal kepada Allah.—Rm 5:3-5; Mat 10:22.

”Kasih tidak berkesudahan.” Kasih tidak akan pernah berakhir atau lenyap. Pengetahuan dan pemahaman baru mungkin mengoreksi hal-hal yang tadinya kita yakini; harapan berubah seraya hal-hal yang diharapkan itu terwujud dan ada hal-hal baru yang kita harapkan, tetapi kasih tetap lengkap dan terus berkembang semakin kuat.—1Kor 13:8-13.

”Waktu untuk Mengasihi.” Hanya kepada orang-orang yang Yehuwa nyatakan tidak pantas menerimanya, atau kepada orang-orang yang berkukuh dalam haluan kejahatan, kasih tidak ditunjukkan. Kasih diulurkan kepada semua orang hingga mereka memperlihatkan diri membenci Allah. Itulah waktunya pernyataan kasih terhadap mereka berakhir. Baik Allah Yehuwa maupun Yesus Kristus mencintai atau mengasihi keadilbenaran dan membenci pelanggaran hukum. (Mz 45:7; Ibr 1:9) Orang yang sangat membenci Allah yang benar bukanlah orang yang harus dikasihi. Ya, tidak akan ada gunanya untuk terus memperlihatkan kasih kepada orang seperti itu, sebab orang yang membenci Allah tidak akan menanggapi kasih Allah. (Mz 139:21, 22; Yes 26:10) Oleh karena itu, sepantasnyalah Allah membenci mereka dan menetapkan waktu untuk menindak mereka.—Mz 21:8, 9; Pkh 3:1, 8.

Hal-Hal yang Tidak Boleh Dikasihi. Rasul Yohanes menulis, ”Jangan mengasihi dunia maupun perkara-perkara yang ada di dunia. Jika seseorang mengasihi dunia, kasih akan Bapak tidak ada dalam dirinya; karena segala sesuatu yang ada di dunia—keinginan daging, keinginan mata, dan pameran sarana kehidupan seseorang—tidak berasal dari Bapak, tetapi berasal dari dunia.” (1Yoh 2:15, 16) Belakangan, ia mengatakan bahwa ”seluruh dunia berada dalam kuasa si fasik”. (1Yoh 5:19) Oleh karena itu, orang yang mengasihi Allah membenci segala jalan yang fasik.—Mz 101:3; 119:104, 128; Ams 8:13; 13:5.

Walaupun Alkitab memperlihatkan bahwa suami dan istri hendaknya saling mencintai dan bahwa cinta demikian merupakan bagian dari hubungan suami istri (Ams 5:18, 19; 1Kor 7:3-5), Alkitab menunjukkan betapa salahnya cinta seksual yang bersifat daging dan duniawi terhadap orang yang bukan teman hidupnya. (Ams 7:18, 19, 21-23) Hal duniawi lainnya adalah materialisme, ”cinta akan uang” (fi·lar·gy·ri′a, harfiah, ”kesukaan akan perak”; Int), yang adalah akar segala macam perkara yang mencelakakan.—1Tim 6:10; Ibr 13:5.

Yesus Kristus memperingatkan kita agar tidak mencari kemuliaan dari manusia. Dengan pedas ia mencela para pemimpin agama Yahudi yang munafik, yang senang berdoa sambil berdiri di sinagoga-sinagoga dan di tikungan-tikungan jalan raya agar dapat dilihat orang dan yang sangat menyukai tempat-tempat terkemuka pada perjamuan malam dan tempat duduk terdepan di sinagoga. Ia menunjukkan bahwa mereka sudah menerima upah mereka sepenuhnya, hal yang sangat mereka sukai dan inginkan, yaitu kehormatan dan kemuliaan dari manusia; karena itu, sama sekali tidak ada lagi upah bagi mereka dari Allah. (Mat 6:5; 23:2, 5-7; Luk 11:43) Ada tertulis, ”Banyak orang bahkan di antara penguasa-penguasa, sebenarnya beriman kepada [Yesus], tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakui dia, agar tidak dikeluarkan dari sinagoga; sebab mereka mengasihi kemuliaan dari manusia lebih daripada kemuliaan dari Allah.”—Yoh 12:42, 43; 5:44.

Ketika berbicara kepada murid-muridnya, Yesus mengatakan, ”Ia yang mencintai [fi·lon′] jiwanya membinasakannya, tetapi ia yang membenci jiwanya dalam dunia ini akan melindunginya untuk kehidupan abadi.” (Yoh 12:23-25) Orang yang lebih suka melindungi kehidupannya yang sekarang daripada rela kehilangan nyawa sebagai pengikut Kristus tidak akan mendapatkan kehidupan abadi, tetapi orang yang menomorduakan kehidupan di dunia ini, dan yang mengasihi Yehuwa dan Kristus serta keadilbenaran Mereka di atas segala-galanya, akan menerima kehidupan abadi.

Allah membenci pembohong, sebab mereka tidak mengasihi kebenaran. Ia menyatakan kepada rasul Yohanes dalam penglihatan, ”Di luar [kota kudus, Yerusalem Baru] itulah tempat anjing-anjing, orang-orang yang mempraktekkan spiritisme, orang-orang yang melakukan percabulan, para pembunuh, para penyembah berhala, dan setiap orang yang menyukai [fi·lon′] dusta dan terus melakukannya.”—Pny 22:15; 2Tes 2:10-12.

Kasih Bisa Mendingin. Ketika memberi tahu murid-muridnya tentang kejadian-kejadian pada masa mendatang, Yesus Kristus menunjukkan bahwa kasih (a·ga′pe) banyak orang yang mengaku percaya kepada Allah akan mendingin. (Mat 24:3, 12) Rasul Paulus mengatakan bahwa, sebagai salah satu ciri masa kritis yang akan datang, manusia akan menjadi ”pencinta uang”. (2Tim 3:1, 2) Oleh karena itu, jelaslah bahwa seseorang dapat lupa akan prinsip-prinsip yang benar dan bahwa kasih yang baik yang pernah ia miliki dapat memudar. Pernyataan ini menandaskan pentingnya terus menjalankan dan mengembangkan kasih dengan merenungkan Firman Allah serta menyelaraskan kehidupan kita dengan prinsip-prinsip-Nya.—Ef 4:15, 22-24.




____________________

Sumber : http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1200002781 (Watchtower Library/Indonesia)