Senin, 30 Juni 2014

(Puisi) - Rumahku, Danauku, Gunungku


Sumber Foto : Berussa





rumahku
rumah yang tinggi
tempatku menumpah segala air mata
tempat tinggal jiwaku

menyimpan sedu-sedan
masa lalu yang berlalu
masa datang yang penuh kedamaian

rumahku
humaku







aku tahu
danauku selalu penuh
berwarna biru
tempatku mencari ikan, udang dan meminum airnya
tempatku memandang kesunyian dan ketenangan
oh danau






di sebelah rumahku dan danauku
berdiri gunung batuku
tempat aku berlindung dari
angin yang berputar
dari hawa dingin yang mencekam
gunungku tempatku memanjatkan
puji syukur kepada Yang Maha Kuasa
aku berteriak sekencang-kencangnya
dan menerima segala ucapanku kembali
lagi kepadaku
agar aku memiliki pengingat
setidak-tidaknya kata hatiku
bicara dengan jiwaku







Jaga Blengko, 30-6-14
Jack Phenomenon

Minggu, 29 Juni 2014

(Serba-Serbi) - Sufisme Menangkal Ekstrimisme






Indonesia adalah surga sufi. Beragam aliran berkembang dan pengikutnya diperkirakan lebih dari tujuh juta orang. Sufisme Indonesia kini mulai menjangkau kaum mapan di perkotaan, antara lain lewat Twitter. 


Setiap tahun, ribuan sufi dari seluruh dunia berkumpul di Indonesia. Mereka tidak bicara soal kesesatan, mereka lebih memilih bercakap-cakap soal cinta kasih sembari mencari titik-titik temu antar beragam keyakinan.

Januari 2013, para sufi dunia berkumpul di Pekalongan, pulau Jawa. Mereka akan bicara tentang banyak hal terutama konflik di Timur Tengah.

Indonesia menjadi surga bagi para sufi. Jutaan orang menjadi pengikut aliran yang sering disebut sarjana barat sebagai mistikus Islam: mereka yang lebih mengedepankan batin dalam mendekati Tuhan.


Sufisme vs. Ekstrimisme


Mistikus Islam, kelompok tarekat atau tasawuf adalah nama-nama lain bagi mereka yang mempraktekkan sufisme.

“Sufisme fokusnya pada yang batin, sementara kelompok fundamentalis fokusnya adalah kewajiban melaksanakan hukum agama. Itulah yang membuat sufisme dalam sejarah Islam selalu berkonflik dengan kelompok fundamentalis,” kata Media Zainul Bahri, pakar sufisme yang sedang mengikuti program riset Post Doktoral Yayasan Humbolt di Universitas Köln Jerman kepada Deutsche Welle.

“Ketika seseorang mendalami dimensi batin agama, maka dia akan ‘bertemu' dengan agama-agama lain. Karena itulah sufisme sangat toleran terhadap perbedaan keyakinan, karena dia lebih melihat pada dimensi batin agama.“

Meski dikenal dunia sebagai negara berpenduduk muslim moderat, namun belakangan Indonesia mengalami gelombang pasang intoleransi: pemboman oleh kelompok teroris maupun penyerangan atas kelompok minoritas oleh kelompok Islam radikal.

Kelompok sufisme sangat tidak suka dengan kelompok radikal, kata Zainul Bahri. Tapi pandangan mereka sayangnya jarang diekspos oleh media massa. Dia meyakini bahwa sufisme sangat efektif untuk melawan doktrin-doktrin di dalam Islam yang bersifat ekstrim.

“Pengikut sufisme itu bagian dari silent majority di dalam Islam” 



"Sufi sangat toleran dengan perbedaan" Pakar Sufisme Media Zainul Bahri
 

Surga Sufisme


Islam masuk ke Indonesia abad ke-15 melalui sufisme. Menurut Zainul Bahri, para Wali Songo ketika pertama kali memperkenalkan Islam lebih banyak bicara soal nilai-nilai budi pekerti atau akhlak, dan itu dekat dengan ajaran Hindu dan Buddha yang saat itu menjadi agama mayoritas.

Sifat sufisme yang lebih banyak bicara soal nilai-nilai kebaikan itu membuat Islam menjadi lebih gampang diterima di Indonesia.

Zainul Bahri memperkirakan, kini ada lebih dari tujuh juta orang di Indonesia yang mengikuti ajaran sufisme. Organisasi Islam terbesar Nahdatul Ulama, bahkan mempunyai sayap organisasi tasawuf. Sebagian besar pengikut sufi, ada di pedesaan.

Namun beberapa tahun terakhir muncul gejala sufisme perkotaan. Di sejumlah perumahan paling elit Jakarta: kawasan Pondok Indah, Kuningan atau bahkan di hotel-hotel mewah digelar pengajian Tasawuf.

Zainul Bahri yang sempat mengajar di salah satu pengajian tasawuf elit Jakarta bercerita bahwa sebagian besar yang bergabung adalah kalangan pengusaha atau bekas pejabat.

Cendekiawan Islam paling terkemuka seperti almarhum Nurcholish Madjid, Haidar Bagir dan Jalaluddin Rakhmat termasuk diantara mereka yang “menularkan” sufisme di kalangan elit perkotaan.

Orang kaya lebih senang belajar tasawuf karena mereka ingin mencari ketenangan batin. Mereka menemukan kedamaian hati dan pencerahan: wajah Islam yang damai, toleran dan bersahabat.


Sufi Twitter


Jangan bayangkan jubah putih, sufi yang satu ini berbeda. Berambut gondrong, suka bercelana jeans, dan menenteng Ipad ke manapun dia pergi.

Sufi Twitter @candramalik


Namanya @candramalik, usianya 34 tahun. Dia mendeklarasikan diri sebagai sufi Twitter. Follower-nya di jejaring sosial lebih dari 30 ribu. Serial Tweet-nya, terutama di malam hari lewat #FatwaRindu dan #Seucap disukai para pengikut.

Indonesia adalah negara yang menggilai Twitter. Akhir 2012, lembaga riset Semiocast asal Prancis mengungkapkan bahwa Jakarta adalah kota dengan lalu lintas percakapan Twitter paling tinggi di dunia, mengalahkan di urutan berikutnya New York, Tokyo, London, Sao Paolo. Nomor enam tertinggi di dunia adalah: Bandung, yang mengalahkan Paris dan Los Angeles.

“Lewat Twitter, saya bisa menyampaikan pesan sufisme secara lebih terbuka, egaliter, dan bisa diperdebatkan siapa saja tanpa penghalang, itu sangat cocok dengan jiwa sufisme yang selalu membuka ruang bagi dialog“ kata Candra Malik kepada Deutsche Welle.

“Ketika mendeklarasikan diri sebagai sufi Twitter, sebetulnya saya sedang mendekonstruksi sufisme untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya sufisme sangat dekat dan berada di tengah masyarakat.“

Sufi masa kini, menurut Candra Malik tidak perlu selalu berjubah, pakai surban, dan menyembunyikan diri dari publik.

Candra Malik mempunyai pesantren tasawuf di Solo. Dia juga mengajar kelas sufi di kota-kota besar: Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya hingga Bali. Dia mengaku punya 3.500 murid dan sepuluh persen diantaranya mempunyai latar keyakinan Hindu, Buddha, Katolik, Kristen hingga Kejawen.

“Sufisme mengajarkan tentang cinta damai, kasih sayang, tentang bagaimana menghargai kemanusiaan. Seorang sufi selalu berusaha mengerti keberadaan manusia berasal dari keyakinan masing-masing tanpa memaksakan kehendak mana yang lebih benar.“

Saat bulan puasa 2012, Candra Malik merilis album kidung sufi “Samudera Cinta“, dia juga mengisi acara Ramadhan di salah satu stasiun televisi. Dalam beberapa konser, Candra Malik melibatkan paduan suara gereja.

“Twitter atau musik lebih efektif untuk menyebarkan sufisme di dalam masyarakat modern. Kalau hanya berhenti di pengajian atau mesjid, maka gagasan yang cinta damai itu tidak akan bisa merangkul kalangan yang lebih luas,“ pungkas Candra Malik.

DW.DE

 

 

 

 

_____________________

Sumber : http://www.dw.de/sufisme-menangkal-ekstrimisme/a-16499356

Sabtu, 28 Juni 2014

(Serba-Serbi) - Apokrifa







APOKRIFA


 
Makna asli kata Yunani a·po′kry·fos digunakan dalam tiga ayat Alkitab untuk memaksudkan hal-hal yang ”terselubung dengan cermat” atau ”tersembunyi dengan cermat”. (Mrk 4:22; Luk 8:17; Kol 2:3) Jika diterapkan untuk karya-karya tulis, kata itu pada mulanya memaksudkan karya tulis yang tidak dibacakan di depan umum, dengan demikian ”terselubung” dari orang lain. Namun, belakangan kata itu mengandung arti tidak asli atau tidak kanonis, dan dewasa ini paling umum digunakan untuk memaksudkan tulisan-tulisan tambahan yang oleh Gereja Katolik Roma pada Konsili Trente (1546) dinyatakan sebagai bagian kanon Alkitab. Para penulis Katolik menyebut buku-buku ini deuterokanonika, artinya ”bagian dari kanon kedua (atau terkemudian)”, untuk membedakannya dari buku-buku protokanonika.

Tulisan-tulisan tambahan ini ialah Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1 dan 2 Makabe, tambahan-tambahan pada kitab Ester, dan tiga tambahan pada kitab Daniel: Nyanyian Ketiga Anak Kudus, Susana dan para Tua-Tua, dan Kebinasaan Bel dan Naga. Kapan tepatnya buku-buku ini ditulis tidak dapat dipastikan, tetapi menurut bukti yang ada, tidak lebih awal daripada abad kedua atau ketiga SM.

Bukti yang Menentang Kekanonisannya. Meskipun dalam beberapa kasus tulisan-tulisan ini mengandung beberapa nilai sejarah, pernyataan bahwa tulisan-tulisan ini kanonis tidak didukung oleh dasar kuat apa pun. Bukti menunjukkan bahwa kanon Ibrani ditutup pada abad kelima SM, dengan selesainya penulisan buku Ezra, Nehemia, dan Maleakhi. Tulisan-tulisan Apokrifa tidak pernah dimasukkan ke dalam kanon Yahudi untuk Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham dan sekarang pun tidak menjadi bagiannya.

Sejarawan Yahudi abad pertama bernama Yosefus memperlihatkan bahwa yang diakui hanyalah beberapa buku (dari kanon Ibrani) yang dipandang suci tersebut, dengan menyatakan, ”Kami tidak memiliki banyak sekali buku yang tidak konsisten, yang saling bertentangan. Buku-buku kami, yang secara sah diakui, hanya ada dua dan dua puluh [sama dengan ke-39 Kitab-Kitab Ibrani menurut pembagian zaman modern], dan memuat catatan tentang segala zaman.” Setelah itu, ia dengan jelas memperlihatkan bahwa ia tahu akan keberadaan buku-buku Apokrifa, juga bahwa buku-buku itu tidak dimasukkan dalam kanon Ibrani, dengan menambahkan, ”Sejak Artahsasta hingga zaman kami, sejarah lengkap telah ditulis, tetapi tidak dianggap pantas disamakan nilainya dengan catatan-catatan yang lebih awal, karena tidak ada urutan nabi yang tepat.”—Against Apion, I, 38, 41 (8).

Termasuk dalam ”Septuaginta”. Argumen-argumen yang mendukung kekanonisan tulisan-tulisan ini pada umumnya berkisar pada fakta bahwa tulisan-tulisan Apokrifa ini terdapat dalam banyak salinan awal Kitab-Kitab Ibrani terjemahan Septuaginta Yunani, yang pengalihbahasaannya dimulai di Mesir sekitar tahun 280 SM. Akan tetapi, karena naskah asli Septuaginta sudah tidak ada, kita tidak dapat menyatakan dengan pasti bahwa buku-buku Apokrifa pada mulanya termasuk dalam karya itu. Banyak, atau mungkin sebagian besar, tulisan Apokrifa diakui ditulis setelah penerjemahan Septuaginta dimulai, sehingga pasti tidak terdapat dalam daftar asli buku-buku yang oleh tim penerjemah dipilih untuk diterjemahkan. Oleh karena itu, buku-buku tersebut paling-paling hanya dapat dianggap sebagai tambahan ekstra pada karya itu.

Selain itu, walaupun pada akhirnya orang Yahudi yang berbahasa Yunani di Aleksandria menyisipkan tulisan-tulisan Apokrifa ke dalam Septuaginta Yunani dan tampaknya menganggapnya sebagai bagian kanon tulisan-tulisan suci yang diperluas, pernyataan Yosefus yang dikutip di atas memperlihatkan bahwa tulisan-tulisan itu tidak pernah dimasukkan ke dalam kanon Yerusalem atau Palestina, dan paling-paling dianggap sebagai tulisan-tulisan sekunder belaka dan bukan berasal dari Allah. Oleh karena itu, Konsili Yahudi di Yamnia (sekitar tahun 90 M) secara spesifik tidak memasukkan tulisan-tulisan semacam itu dalam kanon Ibrani.

Pernyataan rasul Paulus di Roma 3:1, 2 dengan jelas menunjukkan perlunya mempertimbangkan pendirian orang Yahudi dalam masalah ini.

Bukti kuno lainnya. Salah satu bukti eksternal utama yang menentang kekanonisan Apokrifa adalah fakta bahwa tidak satu pun penulis Alkitab Kristen pernah mengutip buku-buku ini. Memang hal itu sendiri bukan faktor penentu, mengingat bahwa dalam tulisan-tulisan mereka juga tidak terdapat kutipan-kutipan dari beberapa buku yang diakui kanonis, seperti Ester, Pengkhotbah, dan Kidung Agung, tetapi fakta bahwa tidak satu pun tulisan Apokrifa yang dikutip bahkan satu kali tentunya patut disimak.

Yang juga tidak bisa diabaikan adalah fakta bahwa para pakar Alkitab dan ”bapak-bapak gereja” yang terkemuka dari abad-abad pertama Tarikh Masehi pada umumnya menganggap Apokrifa kurang penting. Origenes dari awal abad ketiga M, sebagai hasil penyelidikan yang cermat, membedakan tulisan-tulisan ini dengan tulisan-tulisan yang termasuk kanon sejati. Atanasius, Sirilus dari Yerusalem, Gregorius dari Nazianzus, dan Amfilosius, semuanya dari abad keempat M, menyusun katalog-katalog yang berisi daftar tulisan suci sesuai dengan kanon Ibrani dan tulisan-tulisan tambahan ini mereka abaikan atau tempatkan sebagai tulisan kelas dua.

Yerome, yang digambarkan sebagai ”pakar Ibrani terbaik” di kalangan gereja masa awal dan yang merampungkan Vulgata Latin pada tahun 405 M, dengan tegas menentang buku-buku Apokrifa tersebut; malah, ia adalah orang pertama yang menggunakan kata ”Apokrifa” secara eksplisit untuk menyatakan bahwa tulisan-tulisan ini tidak kanonis. Karena itu, dalam kata pengantarnya untuk buku Samuel dan Raja-Raja, Yerome mendaftarkan buku-buku terilham yang ada dalam Kitab-Kitab Ibrani selaras dengan kanon Ibrani (yang mengelompokkan ke-39 buku menjadi 22 buku) dan selanjutnya mengatakan, ”Jadi, ada dua puluh dua buku . . . Kata pengantar Tulisan-Tulisan Kudus ini dapat menjadi pelindung awal untuk semua buku yang kami terjemahkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Latin; agar kita dapat mengetahui bahwa apa pun di luar ini harus digolongkan sebagai apokrifa.” Dalam surat kepada seorang wanita bernama Laeta tentang pendidikan putrinya, Yerome menasihati, ”Hendaklah ia menjauhi semua buku apokrifa, dan jika ia memang ingin membacanya, bukan untuk kebenaran doktrin-doktrinnya melainkan karena menyukai cerita-ceritanya yang mengagumkan, hendaklah ia sadar bahwa buku-buku itu tidak benar-benar ditulis oleh orang-orang yang dianggap sebagai penulisnya, bahwa ada banyak hal yang salah di dalamnya, dan bahwa dibutuhkan keterampilan yang luar biasa untuk mencari emas di dalam lumpur.”—Select Letters, CVII.
Pandangan Katolik yang berbeda-beda. Kecenderungan untuk memasukkan tulisan-tulisan tambahan ini dan menyatakannya kanonis khususnya dimulai oleh Agustinus (354-430 M), kendati dalam karya-karyanya yang terkemudian ia pun mengakui bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara buku-buku yang termasuk kanon Ibrani dan ”buku-buku luar” tersebut. Akan tetapi, Gereja Katolik, yang mengikuti apa yang dilakukan Agustinus, memasukkan tulisan-tulisan tambahan ini ke dalam kanon buku-buku suci yang ditetapkan oleh Konsili Kartago pada tahun 397 M. Akan tetapi, baru pada tahun 1546 M, pada Konsili Trente, Gereja Katolik Roma dengan tegas meneguhkan penerimaan buku-buku tambahan ini ke dalam katalog buku-buku Alkitab, dan tindakan ini dianggap perlu karena, bahkan dalam gereja, pendapat tentang tulisan-tulisan ini masih berbeda-beda. John Wycliffe, imam dan pakar Katolik Roma, yang belakangan dibantu oleh Nicholas dari Hereford, membuat terjemahan Alkitab pertama ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-14, memasukkan Apokrifa ke dalam karyanya, namun prakata terjemahan ini menyatakan bahwa tulisan-tulisan tersebut ”tanpa wewenang kepercayaan”. Kardinal Kayetanus dari Ordo Dominikan, seorang teolog Katolik terkemuka pada zamannya (1469-1534 M) dan yang disebut ”pelita Gereja” oleh Klemens VII, juga membuat perbedaan antara buku-buku dalam kanon Ibrani sejati dan karya-karya Apokrifa, dengan merujuk kepada tulisan-tulisan Yerome sebagai narasumber.

Yang juga patut diperhatikan adalah Konsili Trente tidak menerima semua tulisan yang pernah disetujui oleh Konsili Kartago yang lebih awal tetapi menyingkirkan tiga tulisan ini: Doa Manasye dan 1 serta 2 Esdras (bukan 1 dan 2 Esdras yang, dalam Alkitab Katolik Douay, sama dengan Ezra dan Nehemia). Jadi, ketiga tulisan, yang selama lebih dari 1.100 tahun tercantum dalam Vulgata Latin yang diakui, kini dikeluarkan.

Bukti internal. Bukti internal yang menentang kekanonisan tulisan-tulisan Apokrifa malah lebih berbobot daripada bukti eksternalnya. Tulisan-tulisan ini sama sekali tidak mempunyai unsur nubuat. Isi dan ajarannya kadang-kadang bertolak belakang dengan yang terdapat dalam buku-buku kanonis dan juga mengandung banyak kontradiksi. Ada banyak sekali unsur historis dan geografis yang tidak akurat dan anakronistis. Dalam beberapa kasus, para penulisnya terbukti tidak jujur karena menyalahgambarkan karya mereka sebagai karya penulis terilham yang lebih awal. Mereka nyata-nyata berada di bawah pengaruh Yunani kafir, dan adakalanya menggunakan bahasa yang muluk-muluk serta gaya kesusastraan yang sama sekali bukan ciri Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham. Dua di antara para penulisnya menyiratkan bahwa mereka tidak diilhami. (Lihat Kata Pengantar Kitab Yesus bin Sirakh; 2 Makabe 2:23-31; 15:37-39; kecuali disebutkan lain, semua kutipan diambil dari Deuterokanonika terbitan LBI.) Jadi, dapat dikatakan bahwa bukti terbaik bahwa Apokrifa tidak kanonis adalah Apokrifa itu sendiri. Berikut ini adalah pembahasan buku demi buku:

Tobit (Tobia). Kisah tentang seorang Yahudi yang saleh dari suku Naftali yang dideportasi ke Niniwe dan menjadi buta karena kedua matanya kejatuhan tahi burung. Ia mengutus putranya, Tobia, ke Media untuk menagih utang, dan Tobia dibimbing oleh seorang malaikat, yang menjelma sebagai manusia, ke Ekbatana (Rages, menurut beberapa terjemahan). Dalam perjalanan, ia mendapatkan jantung, hati, dan empedu ikan. Ia berjumpa dengan seorang janda yang, meskipun telah menikah tujuh kali, tetap perawan karena semua suaminya mati dibunuh pada malam pengantin oleh Asmodeus si roh jahat. Atas anjuran sang malaikat, Tobia menikahi janda yang masih perawan itu, dan dengan membakar jantung dan hati ikan, ia mengusir hantu tersebut. Setelah kembali ke rumah, ia memulihkan penglihatan ayahnya dengan menggunakan empedu ikan.

Cerita ini pada mulanya mungkin ditulis dalam bahasa Aram dan diperkirakan berasal dari sekitar abad ketiga SM. Cerita itu jelas tidak diilhamkan Allah karena dalam narasinya terdapat takhayul dan hal-hal yang tidak benar. Ketidakakuratan yang terdapat di dalamnya antara lain: Kisah itu menyatakan bahwa semasa mudanya, Tobit menyaksikan pemberontakan suku-suku di utara, yang terjadi pada tahun 997 SM setelah kematian Salomo (Tobit 1:4, 5), juga bahwa ia kemudian dideportasi ke Niniwe bersama suku Naftali, pada tahun 740 SM. (Tobit 1:10-12) Itu berarti ia hidup lebih dari 257 tahun, sedangkan Tobias 14:1-3 mengatakan bahwa ia mati pada usia 112 tahun.

Yudit. Buku ini memuat kisah tentang seorang janda Yahudi yang cantik di kota ”Betulia”. Nebukhadnezar mengutus panglimanya, Holofernes, dalam suatu kampanye militer ke wilayah barat untuk menghancurkan semua ibadat kecuali ibadat Nebukhadnezar sendiri. Orang Yahudi dikepung di Betulia, tetapi Yudit berpura-pura mengkhianati perjuangan orang Yahudi dan diperbolehkan masuk ke perkemahan Holofernes, dan di sana wanita itu memberinya laporan palsu tentang keadaan kota. Pada suatu perjamuan, ketika Holofernes menjadi mabuk, wanita itu berhasil memenggal kepalanya dengan pedang sang panglima lalu kembali ke Betulia dengan membawa kepalanya. Keesokan paginya, perkemahan musuh dikacaubalaukan, dan orang Yahudi mendapatkan kemenangan mutlak.

Sebagaimana dikomentari oleh terjemahan Katolik The Jerusalem Bible dalam Pengantarnya untuk buku Tobit, Yudit dan Ester, ”Buku Yudit khususnya terang-terangan tidak mempedulikan sejarah dan geografi.” Ketidakkonsistenan yang ditunjukkan dalam pengantar itu antara lain: Peristiwa-peristiwa dinyatakan terjadi pada masa pemerintahan Nebukhadnezar, yang disebut sebagai ”raja orang-orang Asyur di Niniwe, kota yang besar”. (Yudit 1:1, 7 [1:5, 10, Dy]) Pengantar dan catatan-catatan kaki terjemahan ini menunjukkan bahwa Nebukhadnezar adalah raja Babilonia dan tidak pernah memerintah di Niniwe, sebab Niniwe telah dibinasakan sebelumnya oleh ayah Nebukhadnezar, Nabopolasar.

Sehubungan dengan rute perjalanan pasukan Holofernes, Pengantar ini menyatakan bahwa rute itu ”mustahil secara geografis”. The Illustrated Bible Dictionary (Jil. 1, hlm. 76) berkomentar, ”Cerita itu adalah fiksi murni—kalau tidak, ketidakakuratannya sungguh sulit dipercaya.”—Diedit oleh J. D. Douglas, 1980.

Diduga, buku ini ditulis di Palestina pada periode Yunani menjelang akhir abad kedua atau permulaan abad pertama SM. Menurut perkiraan, buku ini pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani.

Tambahan-Tambahan pada Kitab Ester. Ini terdiri dari enam bagian tambahan. Sebelum pasal pertama di beberapa teks Yunani kuno dan Latin (tetapi Est 11:2–12:6 dalam Dy) terdapat bagian pertama, terdiri dari 17 ayat, yang menceritakan mimpi Mordekai dan bagaimana ia membongkar komplotan yang menentang raja. Setelah 3:13 (tetapi 13:1-7 dalam Dy) tambahan kedua menyajikan teks dekret raja tentang pembinasaan orang Yahudi. Pada penutup pasal 4 (tetapi 13:8–14:19 dalam Dy) doa-doa yang dipanjatkan Mordekai dan Ester disebutkan sebagai tambahan ketiga. Tambahan keempat ditempatkan setelah 5:2 (tetapi 15:1-19 dalam Dy) dan menceritakan kembali kunjungan Ester menghadap raja. Yang kelima ditempatkan setelah 8:12 (tetapi 16:1-24 dalam Dy) dan memuat dekret raja yang memperbolehkan orang Yahudi membela diri. Pada penutup buku itu (tetapi 10:4–11:1 dalam Dy) mimpi yang diceritakan dalam pengantar Apokrifa ini ditafsirkan.

Penempatan tambahan-tambahan ini berbeda-beda di berbagai terjemahan; ada yang menempatkan semuanya di akhir buku (seperti yang dilakukan Yerome dalam terjemahannya) dan yang lain menempatkannya berselang-seling dengan teks yang kanonis.

Di bagian pertama Apokrifa ini, Mordekai diceritakan berada di antara para tawanan yang dibawa oleh Nebukhadnezar, pada tahun 617 SM, dan menjadi orang penting di istana pada tahun kedua pemerintahan Raja Ahasweros (Yn. menyebutnya Artahsasta) lebih dari satu abad kemudian. Pernyataan bahwa Mordekai menduduki jabatan yang demikian penting di bagian yang begitu awal pada masa pemerintahan raja bertolak belakang dengan pernyataan dalam buku Ester yang kanonis. Tambahan-tambahan Apokrifa dianggap sebagai karya seorang Yahudi dari Mesir dan ditulis pada abad kedua SM.

Kebijaksanaan Salomo. Ini adalah karya tulis yang sangat mengagungkan manfaat hikmat ilahi bagi orang-orang yang mencarinya. Hikmat dipersonifikasi sebagai wanita surgawi, dan doa Salomo memohon hikmat disertakan dalam teksnya. Bagian terakhir mengulas sejarah dari Adam hingga penaklukan Kanaan, yang dijadikan contoh yang memperlihatkan bahwa hikmat menghasilkan berkat dan tidak adanya hikmat mengakibatkan malapetaka. Kebodohan penyembahan patung dibahas.

Meskipun tidak secara langsung disebutkan namanya, Salomo diperlihatkan sebagai penulis buku ini di beberapa ayatnya. (Kebijaksanaan Salomo 9:7, 8, 12) Tetapi buku ini mengutip beberapa bagian dari buku-buku Alkitab yang ditulis berabad-abad setelah kematian Salomo (± 998 SM) dan juga dari Septuaginta Yunani, yang mulai diterjemahkan sekitar tahun 280 SM. Ada yang berpendapat bahwa penulisnya adalah orang Yahudi di Aleksandria, Mesir, yang menulis buku ini sekitar pertengahan abad pertama SM.

Sang penulis sangat mengandalkan filsafat Yunani. Ia menggunakan peristilahan Plato ketika mengemukakan doktrin jiwa manusia yang tidak berkematian. (Kebijaksanaan Salomo 2:23; 3:2, 4) Konsep-konsep kafir lain yang disajikan ialah praeksistensi jiwa manusia dan anggapan bahwa tubuh adalah penghalang atau perintang bagi jiwa. (8:19, 20; 9:15) Penyajian kejadian-kejadian sejarah dari Adam hingga Musa dibumbui banyak perincian yang bersifat khayalan, yang sering kali berbeda dengan catatan kanonisnya.

Meskipun beberapa karya referensi berupaya memperlihatkan adanya persamaan antara bagian-bagian dari tulisan Apokrifa ini dengan Kitab-Kitab Yunani Kristen yang ditulis belakangan, persamaannya sering kali tidak berarti dan, bahkan apabila lebih berbobot, tidak membuktikan bahwa para penulis Kristen mengambil dari karya Apokrifa ini tetapi, sebaliknya, mereka mengambil dari Kitab-Kitab Ibrani yang kanonis, yang juga digunakan oleh penulis Apokrifa.

Yesus bin Sirakh. Buku ini berbeda dengan buku-buku Apokrifa yang lain karena merupakan yang terpanjang dan satu-satunya yang pengarangnya diketahui, yakni Yesus bin Sirakh dari Yerusalem. Sang penulis memaparkan sifat dasar hikmat dan penerapannya agar berhasil dalam hidup. Kepatuhan kepada Hukum sangat ditandaskan. Ada nasihat tentang banyak aspek tingkah laku sosial dan kehidupan sehari-hari, termasuk komentar tentang tata krama di meja makan, mimpi, dan perjalanan. Bagian penutup berisi tinjauan tentang tokoh-tokoh penting di Israel, dengan tokoh terakhir Imam Besar Simon II.

Bertentangan dengan pernyataan Paulus di Roma 5:12-19, yang menyatakan bahwa Adam-lah yang bertanggung jawab atas dosa, Kitab Yesus bin Sirakh mengatakan, ”Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati.” (25:24) Sang penulis juga memilih ”keburukan apa saja, asal bukan keburukan perempuan”.—25:13.

Buku ini pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani pada awal abad kedua SM. Talmud Yahudi mengutip dari buku ini.

Barukh dan Surat Nabi Yeremia. Lima pasal pertama buku ini dibuat seolah-olah ditulis oleh Barukh, sahabat dan sekretaris Yeremia; pasal keenam dikemukakan sebagai surat yang ditulis oleh Yeremia sendiri. Buku ini memuat ungkapan-ungkapan pertobatan dan doa memohonkan kelegaan yang diucapkan orang-orang Yahudi buangan di Babilon, nasihat untuk mengikuti hikmat, anjuran untuk berharap pada janji pembebasan, dan kecaman atas penyembahan berhala ala Babilon.

Barukh digambarkan berada di Babilon (Barukh 1:1, 2), sedangkan catatan Alkitab memperlihatkan bahwa ia pergi ke Mesir, seperti halnya Yeremia, dan tidak ada bukti bahwa Barukh pernah berada di Babilon. (Yer 43:5-7) Bertentangan dengan nubuat Yeremia bahwa selama pembuangan di Babilon, Yehuda akan ditelantarkan selama 70 tahun (Yer 25:11, 12; 29:10), Barukh 6:2 memberi tahu orang Yahudi bahwa mereka akan berada di Babilon selama tujuh angkatan atau generasi dan kemudian dibebaskan.

Yerome, dalam prakatanya untuk buku Yeremia, menyatakan, ”Menurut saya, tidak ada gunanya menerjemahkan buku Barukh.” Dalam pengantar untuk buku ini di The Jerusalem Bible (hlm. 1128) tersirat bahwa bagian-bagian dari karya ini mungkin baru ditulis pada abad kedua atau pertama SM; jadi oleh penulis(-penulis) lain dan bukan oleh Barukh. Bahasa aslinya mungkin adalah Ibrani.

Nyanyian Ketiga Anak Kudus. Tambahan pada buku Daniel ini dibuat untuk ditempatkan setelah Daniel 3:23. Tambahan ini terdiri dari 67 ayat yang menguraikan doa yang konon diucapkan oleh Azaria di dalam tanur api, disusul oleh kisah tentang malaikat yang memadamkan kobaran api, dan akhirnya sebuah lagu yang dinyanyikan oleh ketiga orang Ibrani di dalam tanur itu. Lagunya mirip dengan Mazmur 148. Akan tetapi, apa yang disebutkan tentang bait, para imam, dan kerub tidak cocok dengan waktu yang diakuinya. Buku ini mungkin pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani dan dianggap berasal dari abad pertama SM.

Susana dan para Tua-Tua. Cerita pendek ini berkisah tentang suatu insiden dalam kehidupan istri cantik Yoyakim, seorang Yahudi yang kaya di Babilon. Ketika sedang mandi, Susana didekati oleh dua orang tua-tua Yahudi yang mendesaknya untuk melakukan perzinaan dengan mereka dan, ketika ia menolak, mereka melontarkan tuduhan palsu terhadapnya. Sewaktu diadili, ia dijatuhi hukuman mati, tetapi Daniel yang masih muda dengan cerdik menyingkapkan kesalahan kedua tua-tua itu, dan Susana dibebaskan dari tuduhan. Bahasa aslinya tidak dapat dipastikan. Buku ini dianggap ditulis pada abad pertama SM. Dalam Septuaginta Yunani, buku ini ditempatkan sebelum buku Daniel yang kanonis, dan dalam Vulgata Latin, ditempatkan setelahnya. Beberapa terjemahan memasukkannya sebagai pasal ke-13 buku Daniel.

Kebinasaan Bel dan Naga. Ini adalah tambahan ketiga pada buku Daniel, dan dalam beberapa terjemahan ditempatkan sebagai pasal ke-14. Dalam kisahnya, Raja Kores mengharuskan Daniel menyembah patung berhala dewa Bel. Dengan menaburkan abu pada lantai kuil agar jejak-jejak kaki bisa terdeteksi, Daniel membuktikan bahwa makanan yang katanya dimakan oleh berhala itu sesungguhnya dimakan oleh para imam kafir dan keluarga mereka. Para imam itu dibunuh, dan Daniel menghancurkan berhala tersebut. Daniel diminta oleh raja untuk menyembah seekor naga hidup. Daniel membinasakan sang naga tetapi ia dilemparkan ke kandang singa oleh penduduk yang marah. Sewaktu Daniel dikurung selama tujuh hari di sana, seorang malaikat mengangkat Habakuk dengan memegang rambutnya dan membawa dia serta semangkuk bubur dari Yudea ke Babilon untuk memberi makan Daniel. Habakuk kemudian dikembalikan ke Yudea, Daniel dibebaskan dari kandang singa, lalu para penentangnya dijebloskan ke sana dan dilahap oleh singa-singa itu. Tambahan ini juga dianggap berasal dari abad pertama SM. Tambahan-tambahan pada buku Daniel ini disebut sebagai ”dongeng keagamaan yang indah” dalam The Illustrated Bible Dictionary (Jil. 1, hlm. 76).

Satu Makabe. Kisah sejarah tentang perjuangan orang Yahudi demi kemerdekaan pada abad kedua SM, sejak permulaan pemerintahan Antiokhus Epifanes (175 SM) sampai kematian Simon Makabe (± 34 SM). Yang terutama diceritakan ialah tindakan-tindakan heroik imam Matatias dan putra-putranya, yakni Yudas, Yonatan, dan Simon, dalam pertempuran mereka melawan orang Siria.

Di antara karya-karya Apokrifa, buku inilah yang paling bernilai karena keterangan sejarah yang diberikannya tentang masa tersebut. Akan tetapi, sebagaimana dikomentari The Jewish Encyclopedia (1976, Jil. VIII, hlm. 243), di dalam buku ini ”sejarah ditulis berdasarkan sudut pandangan manusia”. Seperti karya-karya Apokrifa yang lain, buku ini bukan bagian dari kanon Ibrani yang terilham, dan agaknya ditulis sekitar akhir abad kedua SM dalam bahasa Ibrani.

Dua Makabe. Meskipun ditempatkan setelah Satu Makabe, kisah ini bercerita tentang masa yang sama (± 180 SM sampai 160 SM) tetapi tidak ditulis oleh pengarang Satu Makabe. Sang penulis menyajikan buku ini sebagai ikhtisar karya-karya sebelumnya yang ditulis oleh seseorang bernama Yason dari Kirene. Buku ini menggambarkan penganiayaan orang Yahudi di bawah pemerintahan Antiokhus Epifanes, penjarahan bait, dan penahbisan kembali bait setelah itu.

Kisah itu menceritakan bahwa pada waktu pembinasaan Yerusalem, Yeremia membawa tabernakel dan tabut perjanjian ke sebuah gua di gunung tempat Musa memandang negeri Kanaan. (2 Makabe 2:1-16) Tentu saja, tabernakel itu telah digantikan oleh bait sekitar 420 tahun sebelumnya.

Berbagai ayatnya digunakan dalam dogma Katolik untuk mendukung doktrin-doktrin seperti penghukuman setelah kematian (2 Makabe 6:26), doa permohonan melalui para santo (15:12-16), dan patutnya mendoakan orang mati (12:41-46, Dy).

Dalam Pengantarnya untuk Buku-Buku Makabe, The Jerusalem Bible mengatakan tentang Dua Makabe, ”Gayanya adalah gaya para penulis helenistik, kendati bukan yang terbaik: kadang-kadang bombastis, dan sering kali berlebih-lebihan.” Penulis Dua Makabe tidak berpura-pura menulis di bawah ilham ilahi dan mengkhususkan sebuah bagian di pasal kedua untuk membenarkan pilihannya akan metode spesifik yang ia gunakan untuk menangani sebuah pokok bahasan. (2 Makabe 2:24-32) Ia mengakhiri karyanya dengan mengatakan, ”Maka aku sendiri pun mau mengakhiri kisah ini. Jika susunannya baik lagi tepat, maka itulah yang kukehendaki. Tetapi jika susunannya hanya sedang-sedang dan setengah-setengah saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku.”—2 Makabe 15:37, 38.
Buku ini tampaknya ditulis antara tahun 134 SM dan kejatuhan Yerusalem pada tahun 70 M dalam bahasa Yunani.

Karya-Karya Apokrifa yang Terkemudian. Khususnya sejak abad kedua M telah berkembang banyak sekali tulisan yang mengaku diilhamkan Allah dan bersifat kanonis serta berpura-pura berkaitan dengan iman Kristen. Tulisan-tulisan ini, yang sering disebut sebagai ”Perjanjian Baru Apokrifa”, berupaya untuk meniru buku-buku Injil, Kisah, surat-surat, dan penyingkapan yang terdapat dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen yang kanonis. Sebagian besar di antaranya dikenal hanya melalui fragmen-fragmen yang masih ada atau melalui kutipan-kutipan atau rujukan-rujukan yang dibuat oleh penulis-penulis lain.

Nyatalah bahwa tulisan-tulisan ini mencoba menyediakan informasi yang sengaja tidak dimuat dalam tulisan-tulisan terilham, misalnya berbagai kegiatan dan kejadian sehubungan dengan kehidupan Yesus dari masa kanak-kanaknya hingga saat pembaptisannya, atau berupaya mendukung doktrin atau tradisi yang tidak ada dasarnya dalam Alkitab atau yang bertentangan dengannya. Sebagai contoh, apa yang disebut Injil Masa Kanak-Kanak dari Tomas dan Protevangelium dari Yakobus penuh dengan kisah-kisah khayalan tentang mukjizat-mukjizat yang konon dilakukan oleh Yesus pada masa kanak-kanaknya. Namun, gambaran keseluruhan yang mereka berikan memberikan kesan bahwa Yesus adalah anak yang bertingkah dan uring-uringan dengan karunia kuasa yang luar biasa. (Bandingkan dengan kisah asli di Luk 2:51, 52.) Dalam ”Kisah” Apokrifa, seperti ”Kisah Paulus” dan ”Kisah Petrus”, pantangan total untuk hubungan seks sangat ditandaskan, bahkan digambarkan bahwa para rasul mendesak para wanita untuk berpisah dengan suami mereka, sehingga bertentangan dengan nasihat autentik Paulus di 1 Korintus 7.

Tentang tulisan-tulisan Apokrifa setelah zaman para rasul ini, The Interpreter’s Dictionary of the Bible (Jil. 1, hlm. 166) mengomentari, ”Banyak di antaranya tidak menarik, ada yang sangat berlebihan, ada yang menjijikkan, bahkan memuakkan.” (Diedit oleh G. A. Buttrick, 1962) Funk and Wagnalls New Standard Bible Dictionary (1936, hlm. 56) berkomentar, ”Buku-buku tersebut telah menjadi sumber yang subur bagi legenda-legenda suci dan kisah-kisah gerejawi turun-temurun. Dalam buku-buku inilah kita harus mencari asal usul beberapa dogma Gereja Katolik Roma.”

Sebagaimana tulisan-tulisan Apokrifa yang lebih awal tidak dimasukkan ke dalam Kitab-Kitab Ibrani pra-Kristen yang diakui, tulisan-tulisan Apokrifa yang terkemudian ini pun tidak diakui terilham dan tidak dimasukkan sebagai bagian yang kanonis ke dalam koleksi atau katalog Kitab-Kitab Yunani Kristen yang paling awal.—Lihat KANON.




___________________

Sumber : http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1200000305?q=buku+apokrifa&p=par [Watchtower Library]

(Serba-Serbi) - KANON [Alkitab]







KANON
(Alkitab).



Pada mulanya, buluh (Ibr., qa·neh′) berfungsi sebagai patokan atau alat pengukur. (Yeh 40:3-8; 41:8; 42:16-19) Rasul Paulus menggunakan ka·non′ untuk ”daerah” yang telah dibagikan sebagai tempat tugasnya, dan sekali lagi untuk ”peraturan tingkah laku” sebagai tolok ukur tindakan orang Kristen. (2Kor 10:13-16; Gal 6:16) ”Kanon Alkitab” belakangan memaksudkan katalog buku-buku terilham yang layak digunakan sebagai tolok ukur untuk iman, doktrin, dan tingkah laku.—Lihat ALKITAB.

Penulisan sebuah buku agama, pelestariannya selama ratusan tahun, dan fakta bahwa jutaan orang menghargainya, tidak secara langsung membuktikan bahwa buku itu berasal dari Allah atau kanonis. Harus ada jaminan bahwa Allah adalah Pengarangnya dan yang mengilhamkannya. Rasul Petrus menyatakan, ”Nubuat tidak pernah dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi manusia mengatakan apa yang berasal dari Allah seraya mereka dibimbing oleh roh kudus.” (2Ptr 1:21) Dengan memeriksa kanon Alkitab, kita dapat melihat bahwa isinya memenuhi kriteria ini dalam setiap aspeknya.

Kitab-Kitab Ibrani. Alkitab diawali dengan tulisan-tulisan Musa, tahun 1513 SM. Tulisan-tulisan ini melestarikan perintah dan hukum Allah kepada Adam, Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub, dan juga peraturan-peraturan dalam perjanjian Hukum. Apa yang disebut Pentateukh mencakup lima buku, yakni Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Buku Ayub, yang tampaknya juga ditulis oleh Musa, melengkapi sejarah setelah kematian Yusuf (1657 SM) dan sebelum Musa terbukti sebagai hamba Allah yang memelihara integritas, suatu masa ketika ”tidak ada seorang pun yang seperti [Ayub] di bumi”. (Ayb 1:8; 2:3) Musa juga menulis Mazmur 90 dan, mungkin, 91.

Mengingat bukti internalnya, sama sekali tidak diragukan bahwa tulisan-tulisan Musa ini berasal dari sumber ilahi, diilhamkan Allah, kanonis, dan adalah pedoman yang aman untuk ibadat murni. Bukan atas prakarsanya sendiri Musa menjadi pemimpin dan komandan orang Israel; pada mulanya Musa enggan menerima kedudukan itu. (Kel 3:10, 11; 4:10-14) Allah-lah yang mengangkat Musa dan mengaruniakan kepadanya kuasa untuk mengadakan mukjizat, sehingga bahkan imam-imam Firaun yang mempraktekkan ilmu gaib terpaksa mengakui bahwa apa yang Musa lakukan berasal dari Allah. (Kel 4:1-9; 8:16-19) Jadi, Musa menjadi orator dan penulis bukan atas ambisi pribadinya. Sebaliknya, karena menaati perintah Allah dan menerima roh kudus sebagai bukti pengangkatan ilahi itulah Musa tergerak untuk pertama-tama berbicara dan kemudian menuliskan sebagian dari kanon Alkitab.—Kel 17:14.

Yehuwa sendiri memberikan preseden sehubungan dengan menuliskan hukum dan perintah-Nya. Seusai berbicara kepada Musa di G. Sinai, Yehuwa ”memberikan kepada Musa dua lempeng Kesaksian, lempeng-lempeng batu yang ditulisi oleh jari Allah”. (Kel 31:18) Kemudian kita membaca, ”Selanjutnya Yehuwa berfirman kepada Musa, ’Tuliskanlah firman ini.’” (Kel 34:27) Oleh karena itu, Yehuwa-lah yang berkomunikasi dengan Musa dan memerintahkan dia untuk menuliskan serta melestarikan kelima buku pertama kanon Alkitab. Bukan suatu dewan manusia yang menyatakannya kanonis; sejak awal mula, buku-buku itu telah diakui Allah.

”Segera setelah Musa selesai menuliskan perkataan hukum ini”, ia memberikan perintah kepada orang-orang Lewi, ”Ambillah buku hukum ini, letakkan itu di samping tabut perjanjian Yehuwa, Allahmu, dan buku ini akan menjadi saksi di sana sehubungan dengan engkau.” (Ul 31:9, 24-26) Patut diperhatikan bahwa Israel mengakui catatan tentang hal-hal yang telah Allah lakukan dan tidak menyangkal fakta-fakta tersebut. Mengingat isi buku-buku ini sering mendiskreditkan bangsa itu secara keseluruhan, pastilah umat itu akan menolak buku-buku tersebut jika mungkin, tetapi tampaknya hal itu tidak pernah terjadi.

Seperti Musa, golongan imam digunakan oleh Allah baik untuk melestarikan perintah-perintah tertulis itu maupun untuk mengajarkannya kepada umat. Pada waktu Tabut dibawa ke bait Salomo (1026 SM), hampir 500 tahun sejak Musa mulai menulis Pentateukh, kedua lempeng batu masih ada di dalam Tabut (1Raj 8:9), dan 384 tahun setelah itu, ketika ”buku hukum” ditemukan di rumah Yehuwa pada tahun ke-18 masa pemerintahan Yosia (642 SM), buku itu masih sangat dihargai. (2Raj 22:3, 8-20) Demikian pula setelah kembali dari pembuangan di Babilon, umat ”bergembira” ketika Ezra membacakan buku Hukum sewaktu berlangsungnya pertemuan selama delapan hari.—Neh 8:5-18.

Setelah kematian Musa, tulisan-tulisan Yosua, Samuel, Gad, dan Natan (Yosua, Hakim-Hakim, Rut, 1 dan 2 Samuel) ditambahkan. Raja Daud dan Raja Salomo juga turut menambah isi kanon Tulisan-Tulisan Kudus. Lalu disusul oleh para nabi mulai dari Yunus sampai Maleakhi. Mereka masing-masing menyumbangkan karyanya ke dalam kanon Alkitab, dikaruniai Allah kemampuan untuk bernubuat secara mukjizat, dan memenuhi syarat-syarat yang diuraikan Yehuwa bagi nabi-nabi sejati, yakni berbicara dengan nama Yehuwa, nubuat mereka menjadi kenyataan, dan membuat umat berpaling kepada Allah. (Ul 13:1-3; 18:20-22) Sewaktu Hanania dan Yeremia diuji sehubungan dengan dua syarat terakhir (keduanya berbicara dengan nama Yehuwa), hanya perkataan Yeremia-lah yang terjadi. Demikianlah, Yeremia terbukti sebagai nabi Yehuwa.—Yer 28:10-17.

Mengingat Yehuwa mengilhami manusia untuk menulis, masuk akal bahwa Ia juga akan membimbing dan mengawasi pengumpulan dan pelestarian tulisan-tulisan terilham ini agar umat manusia memiliki tolok ukur yang langgeng dan kanonis untuk ibadat sejati. Menurut kisah turun-temurun orang Yahudi, Ezra turut berperan dalam pekerjaan ini setelah orang Yahudi buangan pulang dan bermukim kembali di Yehuda. Ia pasti kompeten untuk pekerjaan itu, karena ia salah satu penulis Alkitab yang terilham, seorang imam, dan juga ”seorang penyalin yang mahir sehubungan dengan hukum Musa”. (Ezr 7:1-11) Tinggal buku Nehemia dan buku Maleakhi saja yang belum ditambahkan. Dengan demikian, kanon Kitab-Kitab Ibrani sudah selesai ditetapkan menjelang akhir abad kelima SM, dan memuat tulisan-tulisan yang sama seperti yang kita miliki sekarang.

Menurut tradisi, kanon Kitab-Kitab Ibrani dibagi menjadi tiga bagian: Hukum, Kitab Para Nabi, dan Tulisan-Tulisan, atau Hagiografa, yang terangkum dalam 24 buku, sebagaimana terlihat dalam bagan. Selanjutnya, dengan menggabungkan Rut dengan Hakim-Hakim, dan Ratapan dengan Yeremia, beberapa orang Yahudi yang berwenang menyatakan bahwa jumlahnya 22, sama dengan jumlah huruf dalam abjad Ibrani. Kendati Yerome tampaknya lebih suka dengan jumlah 22, dalam kata pengantarnya untuk buku Samuel dan Raja-Raja, ia mengatakan, ”Ada yang memasukkan Rut dan juga Ratapan ke dalam Hagiografa . . . sehingga ada dua puluh empat buku.”

Sejarawan Yahudi bernama Yosefus, ketika menjawab para penentangnya dalam karyanya Against Apion (I, 38-40 [8]) sekitar tahun 100 M, meneguhkan bahwa pada waktu itu kanon Kitab-Kitab Ibrani telah ditetapkan sejak lama. Ia menulis, ”Kami tidak memiliki banyak sekali buku yang tidak konsisten, yang saling bertentangan. Buku-buku kami, yang secara sah diakui, hanya ada dua dan dua puluh, dan memuat catatan tentang segala zaman. Di antaranya, lima adalah buku-buku Musa, yang terdiri dari hukum-hukum dan sejarah turun-temurun sejak kelahiran manusia hingga kematian si pemberi hukum. . . . Dari kematian Musa sampai Artahsasta, yang menggantikan Xerxes sebagai raja Persia, nabi-nabi setelah Musa menulis sejarah tentang peristiwa-peristiwa pada zaman mereka dalam tiga belas buku. Empat buku sisanya berisi himne kepada Allah dan prinsip-prinsip bertingkah laku dalam kehidupan manusia.”

Jadi, kekanonisan sebuah buku tidak bergantung secara keseluruhan atau sebagian pada apakah suatu dewan, komite, atau kelompok menerima atau menolaknya. Perkataan pria-pria yang tidak terilham demikian hanya berguna sebagai peneguhan atas apa yang telah dilakukan oleh Allah sendiri melalui wakil-wakil-Nya yang diakui.

Berapa persisnya jumlah buku dalam Kitab-Kitab Ibrani tidaklah penting (tidak soal dua buku tertentu digabung atau dibiarkan terpisah), demikian pula urutan buku-bukunya, karena tetap berbentuk gulungan-gulungan terpisah lama setelah kanon ditutup. Katalog-katalog kuno menyusun buku-buku itu dengan urutan yang berbeda-beda, sebagai contoh, ada yang menempatkan buku Yesaya setelah buku Yehezkiel. Akan tetapi, yang paling penting adalah buku-buku mana yang dimasukkan. Sesungguhnya, hanya buku-buku yang sekarang termasuk kanon itulah yang secara sah layak disebut buku-buku yang kanonis. Sejak dahulu, sudah ada penolakan terhadap upaya-upaya untuk memasukkan tulisan-tulisan lain. Dua konsili Yahudi yang masing-masing diadakan sekitar tahun 90 dan tahun 118 M di Yavne atau Yamnia, tidak jauh di sebelah selatan Yopa, ketika membahas tentang Kitab-Kitab Ibrani, dengan tegas tidak memasukkan semua tulisan Apokrifa.

Yosefus memberikan kesaksian tentang pendapat umum orang Yahudi mengenai tulisan-tulisan Apokrifa ketika ia mengatakan, ”Sejak Artahsasta hingga zaman kami, sejarah lengkap telah ditulis, tetapi tidak dianggap pantas untuk disamakan nilainya dengan catatan-catatan yang lebih awal, karena tidak ada urutan nabi yang tepat. Kami telah memberikan bukti yang dapat diandalkan sehubungan dengan rasa hormat kami bagi Tulisan-Tulisan Kudus kami sendiri. Sebab, meskipun waktu yang begitu panjang telah berlalu, tidak ada yang berani untuk menambah, atau menghilangkan, atau mengubah satu suku kata; dan setiap orang Yahudi memiliki naluri, sejak lahir, untuk menganggapnya sebagai ketetapan Allah, untuk mengindahkannya, dan jika perlu, untuk dengan bersukacita mati demi kepentingannya.”—Against Apion, I, 41, 42 (8).

Pendirian sehubungan dengan kanon Kitab Ibrani ini, yang telah lama dianut orang Yahudi dan diakui sejarah, sangatlah penting mengingat apa yang Paulus tulis kepada orang-orang di Roma. Sang rasul mengatakan bahwa kepada orang Yahudi-lah ”pernyataan-pernyataan suci Allah dipercayakan”, termasuk penulisan dan perlindungan kanon Alkitab.—Rm 3:1, 2.

Konsili-konsili masa awal (Laodikia, 367 M; Kalsedon, 451 M) dan orang-orang yang disebut bapak gereja mengakui, tetapi tentunya tidak menetapkan, kanon Alkitab yang telah disahkan oleh roh kudus Allah; secara bulat semuanya setuju untuk menerima kanon Yahudi yang telah ditetapkan dan menolak buku-buku Apokrifa. Pria-pria itu antara lain: Yustin Martyr, seorang apologis Kristen (meninggal ± 165 M); Melito, ”uskup” Sardis (abad ke-2 M); Origenes, pakar Alkitab 

(185?-254? M); Hilarius, ”uskup” Poitiers (meninggal 367? M); Epifanius, ”uskup” Konstantia (dari 367 M); Gregorius Nazianzus (330?-389? M); Rufinus dari Aquileia, ”Penerjemah yang terpelajar untuk Origenes” (345?-410 M); Yerome (340?-420 M), pakar Alkitab dari gereja Latin dan penyusun Vulgata. Dalam kata pengantarnya untuk buku Samuel dan Raja-Raja, setelah menyebutkan satu per satu ke-22 buku dalam Kitab-Kitab Ibrani, Yerome mengatakan, ”Apa pun di luar ini harus digolongkan sebagai apokrifa.”

Kesaksian yang paling meyakinkan mengenai Kitab-Kitab Ibrani adalah perkataan Yesus Kristus dan para penulis Kitab-Kitab Yunani Kristen yang tidak dapat digugat. Meskipun mereka tidak pernah menyebutkan jumlah buku secara persis, kesimpulan yang tidak mungkin salah dari apa yang mereka katakan adalah bahwa buku-buku Apokrifa tidak termasuk dalam kanon Kitab-Kitab Ibrani.

Seandainya tidak ada kumpulan Tulisan Kudus yang sudah pasti, yang dikenal dan diakui oleh mereka dan orang-orang yang mendengar perkataan mereka dan membaca surat mereka, mereka tidak mungkin menggunakan istilah-istilah seperti ”Tulisan-Tulisan Kudus” (Mat 22:29; Kis 18:24); ”Tulisan-Tulisan yang kudus” (Rm 1:2); ”tulisan-tulisan kudus” (2Tim 3:15); ’Hukum’, yang sering kali berarti seluruh Tulisan Kudus (Yoh 10:34; 12:34; 15:25); ”Hukum dan Kitab Para Nabi”, sebagai istilah umum untuk memaksudkan seluruh Kitab-Kitab Ibrani dan bukan hanya bagian pertama dan kedua Kitab-Kitab itu (Mat 5:17; 7:12; 22:40; Luk 16:16). Sewaktu Paulus merujuk ke buku-buku ”Hukum”, ia mengutip dari buku Yesaya.—1Kor 14:21; Yes 28:11.

Sangat kecil kemungkinannya Septuaginta Yunani yang asli memuat buku-buku Apokrifa. (Lihat APOKRIFA.) Namun, sekalipun beberapa tulisan yang diragukan asal usulnya ini menyusup ke dalam salinan-salinan Septuaginta terkemudian yang beredar pada zaman Yesus, ia maupun para penulis Kitab-Kitab Yunani Kristen tidak mengutip dari buku-buku itu meskipun mereka menggunakan Septuaginta; mereka tidak pernah menyebut tulisan Apokrifa sebagai ”Tulisan Kudus” atau produk roh kudus. Jadi, selain tidak memiliki bukti internal tentang ilham ilahi dan pengesahan oleh para penulis Kitab-Kitab Ibrani yang terilham, buku-buku Apokrifa juga tidak memiliki tanda pengakuan dari Yesus dan para rasulnya yang secara sah diakui Allah. Di pihak lain, Yesus memang mengakui kanon Ibrani, karena ia merujuk kepada seluruh Kitab-Kitab Ibrani ketika berbicara tentang ”semua yang tertulis dalam hukum Musa dan dalam Kitab Para Nabi dan Mazmur”; Mazmur adalah buku yang pertama dan terpanjang dalam bagian yang disebut Hagiografa atau Tulisan-Tulisan Kudus.—Luk 24:44.

Kata-kata Yesus di Matius 23:35 (dan di Luk 11:50, 51) juga sangat penting, ”Agar kamu menanggung segenap darah orang yang adil-benar yang ditumpahkan di bumi, mulai dari darah Habel, orang yang adil-benar itu, sampai darah Zakharia putra Barakhia, yang kamu bunuh di antara tempat suci dan mezbah.” Ditinjau dari sudut waktu, nabi Uriya dibunuh pada masa pemerintahan Yehoyakim lebih dari dua abad setelah pembunuhan Zakharia menjelang akhir masa pemerintahan Yehoas. (Yer 26:20-23) Jadi, jika Yesus ingin menyebutkan daftar martir secara lengkap, mengapa ia tidak mengatakan, ’dari Habel sampai Uriya’? Jelaslah karena kejadian tentang Zakharia terdapat di 2 Tawarikh 24:20, 21, dan karena itu mendekati akhir kanon Ibrani yang standar. Maka, dalam arti inilah pernyataan Yesus mencakup semua saksi Yehuwa yang dibunuh, yang disebutkan di Kitab-Kitab Ibrani, dari Habel dalam buku pertama (Kejadian) sampai Zakharia dalam buku terakhir (Tawarikh); sebagai ilustrasi, halnya sama seperti jika kita mengatakan ”dari Kejadian sampai Penyingkapan”.

Kitab-Kitab Yunani Kristen. Penulisan serta pengumpulan ke-27 buku yang membentuk kanon Kitab-Kitab Yunani Kristen mirip dengan penulisan serta pengumpulan Kitab-Kitab Ibrani. Kristus ”memberikan pemberian berupa manusia”, ya, ”ia memberikan beberapa orang sebagai rasul, beberapa sebagai nabi, beberapa sebagai penginjil, beberapa sebagai gembala dan guru”. (Ef 4:8, 11-13) Dengan bantuan roh kudus Allah, mereka menyatakan doktrin yang benar bagi sidang Kristen dan, ”melalui suatu pengingat”, mengulangi banyak hal yang sudah dicatat dalam Tulisan-Tulisan Kudus.—2Ptr 1:12, 13; 3:1; Rm 15:15.

Ada juga bukti di luar Tulisan-Tulisan Kudus bahwa, sudah sejak tahun 90-100 M, setidaknya 10 surat Paulus telah dikumpulkan. Dapat dipastikan bahwa sejak awal orang Kristen sudah mulai mengumpulkan tulisan-tulisan Kristen yang terilham.

Kita membaca bahwa ”menjelang akhir abad ke-1, Uskup Klemens dari Roma telah mengenal surat Paulus untuk gereja di Korintus. Setelah Klemens, surat-surat Uskup Ignatius dari Antiokhia maupun Uskup Polikarpus dari Smirna meneguhkan penyebaran surat-surat Paulus pada dekade kedua abad ke-2”. (The International Standard Bible Encyclopedia, diedit oleh G. W. Bromiley, 1979, Jil. 1, hlm. 603) Mereka semua adalah penulis masa awal—Klemens dari Roma (30?-100? M), Polikarpus (69?-155? M), dan Ignatius dari Antiokhia (akhir abad ke-1 dan awal abad ke-2 M) —yang memasukkan di antara tulisan mereka kutipan-kutipan dan bagian-bagian dari berbagai buku dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen, sehingga memperlihatkan bahwa mereka mengenal tulisan-tulisan kanonis tersebut.

Yustin Martyr (meninggal ± 165 M) dalam karyanya ”Dialogue With Trypho, a Jew” (XLIX), menggunakan ungkapan ”ada tertulis” ketika mengutip dari Matius, sama seperti yang dilakukan para penulis Injil sendiri sewaktu merujuk ke Kitab-Kitab Ibrani. Demikian pula halnya dengan sebuah karya anonim yang lebih awal, yakni ”Surat Barnabas” (IV). Yustin Martyr dalam ”The First Apology” (LXVI, LXVII) menyebut ”catatan para rasul” sebagai ”Injil”.—The Ante-Nicene Fathers, Jil. I, hlm. 220, 139, 185, 186.

Teofilus dari Antiokhia (abad ke-2 M) menyatakan, ”Baik dalam kitab para nabi maupun dalam Injil, dapat ditemukan pernyataan-pernyataan yang meneguhkan keadilbenaran yang dituntut oleh hukum, karena semua penulisnya berbicara di bawah ilham satu Roh dari Allah.” Teofilus kemudian menggunakan ungkapan-ungkapan seperti ’kata Injil’ (ketika mengutip Mat 5:28, 32, 44, 46; 6:3) dan ”perkataan ilahi memberi kita petunjuk” (ketika mengutip 1Tim 2:2 dan Rm 13:7, 8).—The Ante-Nicene Fathers, 1962, Jil. II, hlm. 114, 115, ”Theophilus to Autolycus” (XII, XIII).

Pada akhir abad kedua tidak ada keraguan bahwa kanon Kitab-Kitab Yunani Kristen telah ditutup, dan kita mendapati bahwa tokoh-tokoh seperti Ireneus, Klemens dari Aleksandria, dan Tertulian menganggap tulisan-tulisan yang membentuk Kitab-Kitab Kristen sama berwenangnya seperti tulisan-tulisan dalam Kitab-Kitab Ibrani. Ketika merujuk ke Tulisan-Tulisan Kudus, Ireneus mengutip surat-surat Paulus tidak kurang dari 200 kali. Klemens mengatakan bahwa ia akan menjawab para penentangnya dengan ”Tulisan-Tulisan Kudus yang kami percayai adalah sah berdasarkan sumbernya yang mahakuasa”, yaitu ”dengan hukum dan kitab para nabi, dan juga dengan Injil yang diagungkan”.—The Ante-Nicene Fathers, Jil. II, hlm. 409, ”The Stromata, or Miscellanies”.

Ada yang mempermasalahkan kekanonisan beberapa buku dari Kitab-Kitab Yunani Kristen, tetapi argumen-argumen mereka sangat lemah. Sebagai contoh, sungguh dangkal penalaran para kritikus yang menolak buku Ibrani hanya karena nama Paulus tidak tercantum dan karena gaya penulisannya sedikit berbeda dari surat-suratnya yang lain. B. F. Westcott menyatakan bahwa ”wewenang kekanonisan Surat itu tidak bergantung pada kepenulisan Paulus”. (The Epistle to the Hebrews, 1892, hlm. lxxi) Keberatan atas dasar tidak adanya nama sang penulis sama sekali tidak berarti jika dibandingkan dengan fakta bahwa buku Ibrani ada dalam Papirus Chester Beatty No. 2 (P46) (berasal dari periode 150 tahun setelah kematian Paulus), yang memuat surat itu bersama kedelapan surat Paulus lainnya.

Adakalanya kekanonisan buku-buku kecil seperti Yakobus, Yudas, Dua dan Tiga Yohanes, serta Dua Petrus dipertanyakan karena buku-buku ini jarang sekali dikutip oleh para penulis masa awal. Akan tetapi, jika digabung, buku-buku itu hanya membentuk satu per tiga puluh enam bagian Kitab-Kitab Yunani Kristen dan karena itu lebih kecil kemungkinannya untuk dirujuk. Sehubungan dengan hal ini, patut diperhatikan bahwa Dua Petrus dikutip oleh Ireneus sebagai buku yang memiliki bukti kekanonisan yang sama seperti bagian-bagian lain dari Kitab-Kitab Yunani. Begitu pula halnya dengan Dua Yohanes. (The Ante-Nicene Fathers, Jil. I, hlm. 551, 557, 341, 443, ”Irenaeus Against Heresies”) Buku Penyingkapan, yang juga ditolak oleh beberapa orang, diteguhkan kebenarannya oleh banyak komentator masa awal, termasuk Papias, Yustin Martyr, Melito, dan Ireneus.

Akan tetapi, faktor penentu kekanonisan yang sesungguhnya tidak bergantung pada seberapa sering atau oleh penulis nonrasuli mana suatu buku telah dikutip. Isinya sendiri harus memberikan bukti bahwa buku itu adalah produk roh kudus. Maka buku itu tidak boleh berisi takhayul atau demonisme, serta tidak boleh menganjurkan penyembahan kepada makhluk ciptaan. Buku itu harus sepenuhnya sesuai dan benar-benar terpadu dengan bagian-bagian lain dalam Alkitab, dengan demikian mendukung bahwa Allah Yehuwa-lah pengarangnya. Setiap buku harus selaras dengan ”pola perkataan yang sehat” dari Allah dan sesuai dengan ajaran serta kegiatan Kristus Yesus. (2Tim 1:13; 1Kor 4:17) Para rasul jelas diakui secara sah oleh Allah dan mereka meneguhkan pernyataan penulis lain misalnya Lukas dan Yakobus, saudara tiri Yesus. Melalui bantuan roh kudus, para rasul mempunyai ”daya pengamatan akan ucapan-ucapan terilham” sehingga dapat menentukan apakah ucapan-ucapan itu berasal dari Allah atau bukan. (1Kor 12:4, 10) Dengan meninggalnya Yohanes, rasul yang terakhir, berakhir pula rangkaian yang dapat diandalkan yang terdiri atas pria-pria yang diilhami Allah itu, sehingga kanon Alkitab ditutup dengan Penyingkapan, Injil Yohanes, dan surat-suratnya.

Dengan kesatuan dan keseimbangannya yang harmonis, ke-66 buku yang kanonis dalam Alkitab kita membuktikan keterpaduan dan kelengkapan Alkitab dan merekomendasikannya kepada kita sebagai buku yang sesungguhnya adalah Firman Yehuwa tentang kebenaran terilham, yang terpelihara hingga sekarang meskipun mendapat serangan semua musuhnya. (1Ptr 1:25) Untuk daftar lengkap ke-66 buku yang membentuk seluruh kanon Alkitab, para penulisnya, kapan selesai ditulis, dan waktu yang ditinjau dalam setiap buku, lihat ”Tabel Buku-Buku Alkitab menurut Tahun Penyelesaiannya” di bawah judul ALKITAB.—Lihat juga setiap buku Alkitab di bawah judul masing-masing.





[Tabel di hlm. 1149]

KANON YAHUDI UNTUK TULISAN-TULISAN KUDUS


Hukum        Kitab Para Nabi     Tulisan-Tulisan
                                 (Hagiografa)
1. Kejadian     6. Yosua            14. Mazmur
2. Keluaran     7. Hakim-Hakim        15. Amsal
3. Imamat      8. 1, 2 Samuel        16. Ayub
4. Bilangan     9. 1, 2 Raja-Raja       17. Kidung Agung
5. Ulangan     10. Yesaya            18. Rut
            11. Yeremia           19. Ratapan
            12. Yehezkiel          20. Pengkhotbah
            13. Dua Belas Nabi      21. Ester
            (Hosea, Yoel, Amos,      22. Daniel
            Obaja, Yunus, Mikha,     23. Ezra, Nehemia
            Nahum, Habakuk, Zefanya,  24. 1, 2 Tawarikh
            Hagai, Zakharia, Maleakhi)




_____________________

Sumber : http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1200000880?q=buku+apokrifa&p=par (Watchtower Library)

Jumat, 27 Juni 2014

(Berita (Info) Sastra) - Frankfurt Book Fair: Indonesia in rough waters






(Edith Koesoemawiria, Cologne, Germany | Opinion | Sat, June 21 2014, 1:52 PM)

As the Indonesian media is filled with news on the election, another piece of news has been neglected. Less than five months away from the Frankfurt Book Fair hand over ceremony from Finland this October, Indonesia has apparently changed its translation grant program.

Indonesia is set to be “Guest of Honor 2015” at the world’s largest book fair in Frankfurt. The hand over, at the end of this year’s fair, formally marks the last phase of Indonesia’s preparation.

One may be expecting that German publishers are already reading the translation drafts of showcased books, and that performers and speakers are refining their presentations. The ground preparation, such as programs, translation contracts, the reservation of venues, flights and hotels, would all have to be completed ahead of this.

Of course, this is a simplification. The preparation of every large event requires much more, such as exhibitors, participants, contractors, sub-contractors, donors and a myriad of issues. Indonesia’s participation in the Frankfurt Book Fair is no different.

Perhaps it is even more complex since this is an election year. But foremost, apparent delays in the memorandum of understanding (MoU) signing last year have real repercussions that have created even more difficult waters to navigate. Abrupt changes also create new questions and problems that need to be dealt with publicly.

Such a need returned to the forefront in the second week of June, when the Education and Culture Ministry first published its list of recommended books. The list — 16 pages long — includes 212 literary books, 37 non-literature titles, 31 children’s books and 24 comic books.

Besides small inconsistencies in categories, the foreword explains that Indonesian publishers can apply for this grant as long as they have the book’s copyright, a translator and a five page sample of the translation.

It was also written that authors could suggest to their publishers which translator they wished to work with. The deadline for applications was June 23.

It was somewhat of a surprise not to hear more questions about this. Perhaps the reason for this lies in the information flow after March. At the time, the fair’s national committee gave a press conference at the Leipzig Book Fair, pitching a breakthrough in translation grants that for the first time were being offered to translators.

Launched on their website, it was stated that Indonesia had set aside US$1 million for translations in 2014, with a rate of between 10 and 30 per page. The website explained the focus, eligibility, requirements, process and a link to an application form.

Germans and Indonesians with various expertise were fairly excited by it and sites dealing with Indonesia’s role as guest of honor were full of ideas and questions, which mostly evolved around procedures that seemed bound to trip up.

Translation fees were to be determined on proficiency and fully paid if the translator had a German publisher willing to publish the work. Was this a call for help, or simply a catch-22? Translators can merely offer their translations for viewing. Even if a German publisher liked a translation, it does not mean that they will buy the rights to publish it.

Generally, publishers want to read the whole manuscript before deciding, so does this mean translators are to do the full work, but get only a fraction of the fee?

Ergo, who would be on the teams determining the list of recommended books and the quality of German translations? Who is supposed to approach the German publishers? Can out-of-print books already published in German be reprinted? Who is responsible for answering these questions?

Months floated by with only hearsay information trickled down via informal channels. It did not help that the website link to the application form did not work for weeks. As the murkiness persisted, the questions emerged. Many supporters simply chose to wait for Indonesia’s next move. Perhaps with the intent to give more time, although a loss of interest was also possible. It is not their event.

Along with the last policy change on translation grants, several Indonesian writers and publishers began to contact German translators — sadly, besides the much lower fee than the minimum quoted in Leipzig, offering more questions that they themselves had no answers to.

How can we take care of the copyright on time? What happens to books on the recommended list, if an author has a translator, but is no longer in a contract with a publishing company? Does anyone know what books are already in translation? How many Indonesian books are supposed to be translated into German?

As difficult as it seems, open the information tap. Let it rush. Explain the policy change publicly.

Why, wherefore, how? All these questions need to be openly answered, be it on their English website or the Indonesian site of the Education and Culture Ministry’s language institution (Badan Bahasa).

Reach out. Tell the public where the preparations are at. Letting water stagnate and get muddy only turns people away.

This would be very unfortunate, since the Frankfurt Book Fair is a worthy event for Indonesia to present itself.

The writer is a freelance journalist, media trainer and translator living in Germany.




____________________

Sumber : http://www.thejakartapost.com/news/2014/06/21/frankfurt-book-fair-indonesia-rough-waters.html

(Cerita Penjuru Dunia) - Perang Korea: Awal Perpecahan Korea




Perang Korea: Awal Perpecahan Korea




Sebagai sebuah wilayah yang memiliki sejarah panjang serta kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri, perjalanan Korea sebagai sebuah negara berulangkali mengalami penderitaan yang seringkali  diakibatkan oleh intervensi tetang-tetangganya. Seperti yang tertera dalam sejarah dunia, Kekaisaran China selama beratus tahun menjadikan Korea sebagai salah satu kerajaan jajahan, sehingga terjadilah perang besar antara Republik Rakyat China dan Kekaisaran Jepang pada tahun 1894-1895 untuk memperebutkan Semenanjung Korea yang berhasil dimenanangkan oleh Jepang.

Selain konflik yang telah disebutkan di atas, masih tercatat beberapa konflik yang kerap kali terjadi untuk memperebutkan Semenanjung Korea. Perebutan wilayah ini terjadi sebagai konsekuensi yang dibawa oleh posisi strategis semenanjung Korea bagi negara-negara besar dalam upayanya mengawasi kawasan Asia Tenggara.

Sejarah mencatat bagaimana darah tumpah di bumi Korea bukan disebabkan oleh usaha melawan penjajah ataupun mempertahankan wilayah. Perang Saudara yang begitu panjang dan berlarut-larut dimulai pada 25 Juni 1950. Konflik ini bermula ketika perundingan antara negara Sekutu setelah Perang Dunia 2 selesai. Pada saat itu, Amerika Serikat diserahi tanggung jawab untuk mengawal penarikan pasukan Jepang dari Korea bagian selatan dan Uni Soviet mendapat jatah untuk mengawal bagian utara.

Tidak lama setelah proses penarikan pasukan Jepang selesai, tanpa diduga, dunia melihat kedua negara adidaya tersebut berseteru. Atas nama ideologi masing-masing, mereka salng adu wibawa dalam upaya meraih pucuk pimpinan dunia. Meski perseteruan itu tidak berlangsung secara terbuka, namun perang antara kedua ideologi tersebut terjadi di wilayah lain. bisa disebutkan seperti Perang Vietnam dan Perang Korea.

Kini, kita melihat Korea telah bangkit dari keterpurukannya, meskipun perang memisahkan Korea menjadi 2 bagian. 2 bagian yang tidak pernah akur dan selalu bersitegang. 2 bagian dengan sejarah, darah, dan orang yang dulunya adalah satu kesatuan. Dan perang menampakkan wajahnya yang paling kejam.



(*)
Agus A. Pribadi




____________________

Sumber : http://jogjareview.net/hariinidalamsejarah/perang-korea-awal-perpecahan-korea/

Kamis, 26 Juni 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Puisi Lahir, Pembaca Lahir, Pengarang Mati





 






DIBANDING Roland Barthes, agaknya kita lebih banyak bersepakat dengan Hegel. Dalam Phenomenology of Spirit (1988), Hegel, penganut (diskursus) modernisme itu, menandaskan bahwa karya (seni) adalah ekspresi diri si subyek, si pengarang (dalam konteks sastra). Otentisitas sebuah karya diidentikan dengan “kejeniusan” sang pengarang, sang pencipta, sang pengkarya.

Maka, legitimasi paham ini dengan misalnya: pembubuhan tanda tangan (dan nama) si pelukis pada karya lukisannya, atau nama lengkap si pengarang pada karya tulisnya atau diterakan pada bukunya. Dan sampai hari ini, rupanya, masih demikianlah kecederungannya, bahkan ditambah dengan penguatan hukum melalui HAKI.

Roland Barthes, melalui diskursus postmodernisme, menampiknya. Konsep “pengarang” semacam itu, yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian (melalui cogito ergo sum itu), bagi Barthes “sudah tak punya tempat lagi,” yang kemudian lebih ia pertegas dalam metafor lain; “pengarang telah mati” (The Death of The Author, 1977). Makna “kematian” di sini, menjelaskan bahwa bukan pengarang yang bicara, tapi bahasa, “...hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya (pengarang).”

Kita boleh jadi kemudian menampik pendapat Barthes ini dengan mengatakan bahwa bukankah “bahasa yang beraksi” itu datangnya dari pengarang? Dan Barthes akan menjawab begini, “...sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal teologis si pengarangnya (seperti wahyu Tuhan).” Sebab, kata Barthes, “teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya...”

Tentu, dengan semangat diskursus posmodernisme Barthes semacam itu, segera mengingatkan kita pada sebutan intertekstualitas yang dipopularkan Julia Kristeva, atau lebih lanjut sebutan dekonstruksi yang dikembangkan Jacques Derida. Keduanya, menolak model berpikir strukturalis. Bahwa, dalam teks (atau karya seni) itu, tidak sesederhana hanya soal relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified), antara bentuk dan makna, tapi juga soal ruang dan waktu. Mereka semua, bertiga, pada ujungnya, hendak memberi porsi lebih besar pada lahirnya para pembaca (reader). Sebab, begitu pengarang telah dilepaskan dari otoritasnya terhadap teks, maka pembaca dibebaskan dari tirani pengarang. Dan di saat itu, pembaca-pembaca ini, akan melahirkan berbagai makna, memproduksi teks-teks lain.

Jadi, kita sepakat dengan diskursus modern atau posmodern? Bagi saya, berbagai pertanyaan justru sedang berkelindan. Misalnya, bukankah hari ini, yang dianggap sebagian orang telah memasuki era posmodernisme, justru sebagian (bahkan mayoritas) orang yang lain sedang bertungkus-lumus (bahkan berperang fisik) untuk peneguhan sebuah identitas? Pembubuhan tanda tangan pada lukisan, peneraan nama pada karya tulis—bahkan yang dulu anonim, tak bernama dan tak berpunya—adalah satu kenyataan yang menunjukkan adanya hasrat klaim-klaim kepemilikan, klaim-klaim identitas. Maka sibuklah orang/lembaga/negara mendapuk dada, untuk mengklaim bahwa “ini milik saya!”

Dan, kenapa kiranya, banyak naskah-naskah kuno, teks-teks “karya sastra” lama yang datang pada kita hari ini, justru anonim? Di mana pengarangnya? Kenapa pengarangnya tidak “narsis” dan (dengan berani) menerakan namanya di situ? Sepertinya, jangan-jangan, mereka lebih dulu paham makna posmodernisme dibanding tiga pemikir di atas....***




____________________

Sumber : http://www.riaupos.co/1000-kolom-puisi-lahir,-pembaca-lahir,-pengarang-mati.html#.U6vW4rESDIU

(Cerita Penjuru Dunia) - Naskah Ajaran Islam Awal di Jawa


Makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419). Foto: M.J. (Marius) van Benthem Jutting/Tropenmuseum.





Kropak Jawa atau Kropak Ferrara berisi ajaran Islam yang diajarkan kepada penduduk Jawa.
 
 
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

 
 
SEBUAH naskah berisi ajaran Islam awal yang diajarkan kepada penduduk Nusantara tersimpan selama lebih kurang tiga abad di perpustakaan umum Marquis Cristino, Ferrara, Italia.

Naskah kuna tersebut ditulis dalam aksara Jawa Kuna di atas lontar yang berjumlah 23 lembar, masing-masing berukuran 40 x 3.5 cm. Sebelum menjadi milik perpustakaan Marquis Cristino, naskah itu merupakan koleksi seseorang yang tak tertulis datanya.

“Ketika buku ini ditulis, orang Islam di Jawa masih minoritas. Ini dapat dirujuk pada keterangan musafir Portugis, Tome Pires, yang mengunjungi Sedayu, tempat ditemukannya buku itu pada tahun 1515,” kata Abdul Hadi WM, guru besar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, dalam seminar “Islam Indonesia dan Kebudayaan” yang dihelat di Universitas Paramadina, Jakarta, (19/6).
Karena itu, ajaran fikih, tasawuf, dan ilmu kalam dalam buku itu tidak mendalam, serta etika yang diajarkan bersifat praktis. Naskah itu dibawa para pelaut Belanda dari pelabuhan Sedayu dekat Tuban menuju Eropa pada 1585.

Beberapa sumber menyebut berbeda. Dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Hasanu Simon menduga naskah itu dibawa para pelayar Italia atau rombongan misi Katolik Roma. Beberapa tahun sebelum masa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), antara 1598-1599, misionaris Katolik Roma pernah berkunjung secara teratur ke Pasuruan.

Pada 1962, fotokopi naskah itu dikirim ke Leiden, Belanda. Harapannya ada ahli bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno yang mampu mengidentifikasi dokumen berharga itu. Akhirnya pada 1978, naskah itu diterbitkan Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde, Martinus Nijhoff, Den Haag, dengan judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics, oleh GJH Drewes. Buku tersebut diterjemahkan Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Alfikr Surabaya pada 2002 dengan judul Perdebatan Wali Songo: Seputar Makrifatullah.

“Kropak Ferrara ditujukan kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan mereka yang masih di luar Islam,” tulis Hasanu Simon.

Menurut Abdul Hadi, Drewes menisbahkan isi buku itu sebagai ajaran Maulana Malik Ibrahim (w. 1414). Sebab, pengarang buku menyebut dirinya khalifah, sebutan lazim di Jawa untuk ulama, pemimpin spiritual dan sekaligus imam masjid agung. Maulana Malik Ibrahim adalah imam masjid agung, sekaligus ulama dan pemimpin kerohanian. Judul risalah yang dimuat dalam naskah ini sama dengan judul risalah Imam al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah (Menjelang Hidayah). Tetapi versi Maulana Malik Ibrahim adalah ringkasan dan tak semua yang diajarkan Imam al-Ghazali dikemukakan.

Hal menarik lain, lanjut Abdul Hadi, dalam risalah pendek ini dijumpai 122 kata serapan dari bahasa Arab dan Persia. Terdapat pula beberapa perkataan yang diserap dari bahasa Melayu. Ini membuktikan bahwa pada awal abad ke-15 islamisasi bahasa dan kebudayaan Jawa sudah berlangsung serta menyentuh persoalan pandangan hidup, gambaran dunia, sistem nilai, etika, etos kerja, dan sebagainya. Di saat bersamaan banyak istilah keagamaan dan spiritualitas Islam dialibahasakan ke bahasa Jawa.

Maulana Malik Ibrahim membuka risalahnya dengan kalimat: “Pada akhir zaman, ketika hari kiamat akan tiba, ulama sejati dan orang taat pada ajaran agama akan lenyap dan diganti orang yang suka berbuat bidaah yang menyebabnya rancunya ajaran Islam bercampur dengan ajaran keliru dan sesat.”
“Inikah yang sedang terjadi di Indonesia?” kata Abdul Hadi.




_____________________

Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/modern/1403/Majalah-Historia/Naskah_Ajaran_Islam_Awal_di_Jawa