Senin, 30 September 2013

(Seluk Beluk Sastra) - Seni Untuk Kehidupan

Seluk Beluk Sastra






Seni untuk Kehidupan

PERTANYAAN tentang fungsi seni dan peran seniman dalam masyarakatnya adalah pertanyaan mendasar yang akan selalu mencuat seiring perkembangan zaman, peradaban dan kebudayaan. Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berbeda dari masa kemasa sesuai dengan spirit zaman yang mewakilinya.

Pada dasarnya seni dan kehidupan saling berhubungan satu dan lainya, entah berupa hubungan simbiosis maupun kritis. Demikian pula antara seni, filsafat, science, politik dan sistem ekonomi berkelindan sedemikian rupa saling mempengaruhi. Terutama seni sendiri sepertinya merupakan wilayah yang paling fleksibel dan terbuka atas pengaruh disiplin ilmu lainya. Memang ada istilah “seni untuk seni” yang seakan tak ada hubungan dengan bidang lainnya. Tetapi makna sesungguhnya sebetulnya tak pernah bisa terlepas dari konteks yang membingkainya. Bahkan seni yang hanya mementingkan estetika saja pun jika dilihat dalam konteks tertentu bisa memiliki “makna” juga.

Tampaknya pertanyaan yang lebih mendasar harus diajukan disini yaitu pertanyaan tentang kreatifitas yang melandasi penciptaan seni. Apakah kreatifitas itu hanya milik para seniman saja? Mungkin akan ada beragam jawaban – tergantung dari siapa yang menjawab dan dari sudut pandang mana. Mungkin lebih baik beralih kepertanyaan mendasar lainya saja: apakah fungsi kreatifitas itu? Jawaban sederhana adalah kemampuan manusia untuk mendorong lahirnya penciptaan, dari tak ada menjadi ada, dari satu hal menjadi sesuatu lainya baik dari segi bentuk maupun makna. Sehingga lewat kreatifitas manusia bisa melakukan perubahan, baik di dunia seniman pun lainya.

Dalam kenyataanya seniman sebagai penciptaan adalah juga mahluk yang harus hidup berdampingan dengan mahluk lainya. Ia berkeluarga, bertetangga, dan menjadi anggota masyarakat yang memiliki tanggung-jawab terhadap diri dan lingkunganya. Artinya seperti yang lain ia juga menghadapi berbagai masalah, baik yang bersifat personal maupun public dan ia diharapkan mampu untuk menemukan solusi. Terlebih jika seniman ini hidup di negeri seperti Indonesia dimana masalah-masalah menumpuk di berbagai bidang dan ranah masih menunggu pemecahan dan jalan keluar. Apakah seorang seniman akan duduk berpangku tangan saja? Dan hanya asik menciptakan karya yang akan laku dipasar dan mencari keuntungan pribadi belaka?

Memang seniman perlu hidup dan membutuhkan penunjang. Dalam kondisi dimana Negara tak berfungsi dan lemahnya infrastruktur seni maka pasar amatlah diperlukan. Pasar bisa bersifat konstruktif jika dijalankan dengan aturan dan menghargai nilai-nilai penciptaan. Ketika pasar mulai mendikte seniman maka berahirlah kreatifitasnya. Apakah produknya layak disebut karya seni – ini bisa dipertanyakan. Di era kapitalisme neo-liberal ini memang persoalan pasar bukan hal sederhana dan tak hanya digunakan untuk mencari keuntungan saja. Tapi pasar juga bisa menjadi alat untuk menjarah dan mendominasi. Apalagi dalam pasar seni yang bersifat lebih longgar aturan – sehingga bisa dimanfaatkan oleh para pemodal untuk mengeruk untung yang sangat besar. Jadi sudah sepantasnya jika situasi seperti ini akan membawa kita pada pertanyaan etik.

Rasanya memang seniman tak bisa berlaku naïf dan berpaling dari kenyataan. Seniman harus paham permainan pasar yang manipulatif, permisif dan bisa bersifat destruktif. Begitulah pasar yang tanpa aturan dan eksklusif – bisa membawa manfaat bagi segelintir orang namun kehancuran bagi seniman lain maupun dunia seni itu sendiri. Situasi ini sebetulnya mencerminkan apa yang terjadi dalam kehidupan umumnya dimana pasar dijadikan indicator dan ukuran penilaian. Akibatnya kehidupan dikelola secara sedemikian rupa bagai sebuah perusahaan saja. Yang mendatangkan keuntungan sangat besar bagi segelintir orang. Namun sekaligus mendatangkan berbagai persoalan serius di berbagai ranah. Mengakibatkan kehancuran budaya tradisional, disintegrasi sosial dan kerusakan lingkungan hidup. Menganggu keseimbangan ekologi dan bersifat tidak adil serta menyengsarakan orang banyak.

Memang selain kemampuan teknis yang memadai sebaiknya seniman juga memiliki wawasan luas dan memahami bagaimana kehidupan digerakkan. Hal ini sudah pasti akan menambah kemampuan kreatif serta stamina berkarya yang stabil. Ia juga akan mampu untuk terus mengembangkan gagasan dan tidak menjadi stagnan lalu hanya mengulang-ulang. Untuk itu seniman sebaiknya membuka diri bagi kehidupan disekelilingnya dan bukan sebaliknya malah memagari diri dalam gaya hidup eksklusif. Biarlah seni merambah kehidupan dan tak hanya berkutat diruang sempit ego ataupun studio. Apalagi cuma menghiasi dinding-dinding rumah mewah dan galeri-galeri megah. Biarlah seni menjadi milik semua dan tidak dipenjarakan serta diisolasi dalam koleksi mereka yang tak memberi kesempatan pada orang kebanyakan untuk menyaksikan dan menikmati. Berilah seni dan seniman kesempatan untuk menyumbang pada kehidupan budaya yang kreatif dan bebas.

Nyatanya seni yang tak memisahkan diri dari kehidupan dan kebudayaan yang sehat sebetulnya bisa menawarkan kemungkinan pendekatan masalah dari sudut kreatif dan bersifat alternatif, yang biasanya minim prasangka. Membebaskan dari belenggu perspektif konservatif dan wacana dominan. Juga berpotensi untuk merekatkan elemen-elemen di dalam masyarakat yang terfragmentasi serta mempertemukan dan merekonsiliasi unsur yang berlawanan. Ya, mulai dari titik inilah seniman dihadapkan pada tantangan kreatif yang sesungguhnya. Sebab jika perkara seni dibatasi hanya sebagai ekspressi pribadi dan hanya merujuk pada keyakinan “seni untuk seni” maka hasil usaha kreatif berbentuk karya hanya akan menjadi komoditas belaka. Seni menjadi kehilangan vitalitas dan kemampuan untuk mentransformasi nilai-nilai. Seni akan terceraikan dari kehidupan, terasing dari masyarakatnya dan juga dari penciptanya.



Nitiprayan, 19 Februari 2012


(Makalah ini disampaikan pada diskusi pameran seni rupa bertanjuk ”Kenduri Seni” oleh Ruang Kelas SD, 20 Febuari 2013. Tema Diskusi: ”Mahasiswa, Pekerja Seni dan Masyarakat” dengan pembicara: Prof. Faruk HT (guru besar FIB UGM), Prof. M. Dwi Marianto (dosen ISI Yogyakarta dan penulis seni), Arahmaini (seniman, aktivis seni), dan Arif Budiman (mahasiswa ISI Yogyakarta), dan moderator Nano Warsono (osen FSR ISI YK), bertempat di bekas gedung SD Sewon 2, Pedukuhan Geneng, Sewon, Bantul).


*) Perupa.

 




________________


Tidak ada komentar:

Posting Komentar