Minggu, 16 Maret 2014

(Artikel Sastra) - Menulis Di Dinding






Masa semakin lanjut, dunia terperosok dengan keinginan yang purba, dibentuk oleh Sang Penghulu Dunia, tanpa sadar segala lapis ilmu yang kelihatan seperti permata mutu manikam disanjung dan dipuja, seperti memuja ilmu asal usul, ilmu evolusi, ilmu persaingan

Tak ada tempat bagiku menulis syair di buku, tak ada tempat bagi ilmu mulia ditulis, seperti hambar, kehilangan selera, dunia lebih menyukai kepalsuan, seperti penipu itu berkata: 'kamu akan seperti Allah, tahu yang baik dan yang jahat'.

Dunia menyukai pertengkaran, seperti kembang api yang dinyalakan setiap akhir tahun, gempita tak berujung, memaknai hidup dengan hiruk pikuk yang tak perlu, bagaikan laut yang selalu bergelora, seperti itulah hati manusia saat ini, bergelora lebih baik daripada tenang dan berhikmat

Kejayaan dibangun dimana-mana, semangat bangsa meletup-letup, prasasti kemenangan didirikan dengan megah, simbol kemenangan, perjuangan, mereka membangun tembok yang dingin, peradaban seperti nyala kembang api, meriah, penuh warna-warni yang menjilat bagai lidah api.

Aku melihat peredaran uang yang tiada tara, belum ada tandingannya moneter bagai mawar semerbak, dia sedang merambat seperti benalu yang mengikat, menempel, seperti itulah dunia dinilai, harga sebuah persahabatan, harga sebuah peradaban, harga sebuah gengsi, harga sebuah martabat.

Sahabat-sahabat palsu di mana-mana, seperti serigala menerkam, bahkan serigala pun tak tahu bahwa ia adalah binatang buas, musuh tak tahu musuh, tangan kanan tak tahu tangan kiri, mata tak tahu hidung ada di mana, seperti itulah semangat kehidupan dibangun.

Orang-orang senang mendengar filsafat kosong dan ocehan motivator kaya raya, bukankah ada tertulis, mereka lebih percaya yang terlihat mata daripada Sang Kuasa yang kasat mata, oh terlenanya, belum cukupkah apa yang tertulis itu, dan apakah pengajar-pengajarmu tak mampu bicara lagi

Ya lebih baik aku menulis di dinding, lebih merdeka, karena dinding tampat manusia berlindung dari bencana yang datang, siapa tahu saat bencana datang dia membacanya, tapi itu sungguh terlambat.






Jaga Blengko, 16/1/14
Sonny H. Sayangbati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar