Masa semakin lanjut, dunia terperosok dengan keinginan yang purba,
dibentuk oleh Sang Penghulu Dunia, tanpa sadar segala lapis ilmu yang
kelihatan seperti permata mutu manikam disanjung dan dipuja, seperti
memuja ilmu asal usul, ilmu evolusi, ilmu persaingan
Tak
ada tempat bagiku menulis syair di buku, tak ada tempat bagi ilmu mulia
ditulis, seperti hambar, kehilangan selera, dunia lebih menyukai
kepalsuan, seperti penipu itu berkata: 'kamu akan seperti Allah, tahu
yang baik dan yang jahat'.
Dunia menyukai pertengkaran,
seperti kembang api yang dinyalakan setiap akhir tahun, gempita tak
berujung, memaknai hidup dengan hiruk pikuk yang tak perlu, bagaikan
laut yang selalu bergelora, seperti itulah hati manusia saat ini,
bergelora lebih baik daripada tenang dan berhikmat
Kejayaan
dibangun dimana-mana, semangat bangsa meletup-letup, prasasti
kemenangan didirikan dengan megah, simbol kemenangan, perjuangan, mereka
membangun tembok yang dingin, peradaban seperti nyala kembang api,
meriah, penuh warna-warni yang menjilat bagai lidah api.
Aku
melihat peredaran uang yang tiada tara, belum ada tandingannya moneter
bagai mawar semerbak, dia sedang merambat seperti benalu yang mengikat,
menempel, seperti itulah dunia dinilai, harga sebuah persahabatan, harga
sebuah peradaban, harga sebuah gengsi, harga sebuah martabat.
Sahabat-sahabat
palsu di mana-mana, seperti serigala menerkam, bahkan serigala pun tak
tahu bahwa ia adalah binatang buas, musuh tak tahu musuh, tangan kanan
tak tahu tangan kiri, mata tak tahu hidung ada di mana, seperti itulah
semangat kehidupan dibangun.
Orang-orang senang mendengar
filsafat kosong dan ocehan motivator kaya raya, bukankah ada tertulis,
mereka lebih percaya yang terlihat mata daripada Sang Kuasa yang kasat
mata, oh terlenanya, belum cukupkah apa yang tertulis itu, dan apakah
pengajar-pengajarmu tak mampu bicara lagi
Ya lebih baik
aku menulis di dinding, lebih merdeka, karena dinding tampat manusia
berlindung dari bencana yang datang, siapa tahu saat bencana datang dia
membacanya, tapi itu sungguh terlambat.
Jaga Blengko, 16/1/14
Sonny H. Sayangbati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar