Selasa, 30 September 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Kehidupan Para Eksil



Mereka menyimpan sejarah panjang di balik kehidupan sehari-harinya yang tampak biasa-biasa saja.

 

  • Kehidupan Para Eksil



  • Kehidupan Para Eksil
    Ibrahim Isa, pria bersuku Minang tersebut tinggal di kairo sebagai perwakilan dari AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization). Pada Januari 1966, Isa berbicara sebagai delegasi Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba. Setelah ia berbicara dalam konferensi tersebut, ia menjadi eksil karena pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai agen Gestapu. Dari Kuba, Isa pun mengungsi ke China, dan kemudian pindah ke Belanda pada 1987. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Chalik Hamid, lahir di Sumatera Utara pada 16 Mei 1938. Ia adalah anggota Lekra yang kemudian di kirim ke Albania, Eropa Timur. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Sarmadji (83), pria asal Solo itu dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari pendidikan luar sekolah untuk anak-anak. Sarmadji mempunyai prinsi mengubah kesedihan menjadi kekuatan. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Sarmadji terbiasa pergi ke pusat kota untuk memfotokopi berbagai arsip untuk Perdoi (Perkumpulan Dokumentasi Indonesia). (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Beberapa teman sesama eksil kadang berkumpul di rumah Chalik, sekadar silaturahmi tanpa berbincang tentang politik. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Isa terbiasa menggunakan transportasi umum ke berbagai tempat di Belanda. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Foto ini diambil oleh Isa dalam Konferensi Damai di Bandung pada 1963. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Orang umum bebas mengakses Perdoi, dan jika dibutuhkan, Sarmadji bahkan bersedia membantu memfotokopi dokumen atau arsip yang diperlukan. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Pernak-pernik Indonesia masih dapat ditemui di rumah Chalik, seperti kalender Indonesia yang ia letakkan di dinding rumahnya. (Rosa Panggabean/Antara)
  • Kehidupan Para Eksil
    Ibrahim Isa, pria bersuku Minang tersebut tinggal di kairo sebagai perwakilan dari AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization). Pada Januari 1966, Isa berbicara sebagai delegasi Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba. Setelah ia berbicara dalam konferensi tersebut, ia menjadi eksil karena pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai agen Gestapu. Dari Kuba, Isa pun mengungsi ke China, dan kemudian pindah ke Belanda pada 1987. (Rosa Panggabean/Antara)



Lelaki itu berjalan keluar flatnya, menyapa beberapa tetangga, menaiki tram dan turun di Centraal Station, Amsterdam. Dari sana ia berjalan di antara orang-orang kaukasia yang bergegas-gegas, untuk melanjutkan perjalanan ke Leiden, menghadiri sebuah diskusi. Garis-garis senja tertera di wajahnya.

Itulah sekelumit aktivitas dari sejumlah pria yang tak lagi muda, menghabiskan hari-harinya di Amsterdam, Belanda. Mereka menyimpan sejarah panjang di balik kehidupan sehari-harinya yang tampak biasa-biasa saja.

Tiga pria yang saya temui di Belanda itu adalah Chalik Hamid, Ibrahim Isa, dan Sarmadji. Sedikit dari ratusan orang eksil 65 di Belanda yang mau terbuka tentang kisah hidupnya.

Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan Soekarno pada 1964. Pada masa itu, lewat jargon politik Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) dan dengan cita-cita mempunyai bangsa yang berdikari di bidang ekonomi, pemerintah RI melakukan kerja sama dengan negara asing untuk mengirim orang-orang muda Indonesia bersekolah di luar negeri dengan berbagai bidang studi, antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga sastra. Cita-cita Soekarno pada masa itu adalah menjadikan pemuda-pemuda ini sebagai tenaga ahli, sehingga menjadi sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengolah sumber daya alam Indonesia kelak.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa itu sejalan dengan Uni Soviet, yaitu antiimperialisme. Sementara itu, Indonesia juga sedang mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok karena kedua negara sedang membangun kekuatan yang tidak bergantung pada Blok Barat dan Blok Timur. Oleh karena itu, beberapa negara yang menjadi negara tujuan studi antara lain negara-negara sosialis yang terletak di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania, serta Tiongkok. Pelaku sejarah menyebutkan sekitar 1.500 orang dikirim ke negara-negara di Eropa Timur.

Pada masa itu, pemerintah Indonesia juga sedang gencar membangun hubungan baik dengan dunia internasional. Maka pada 1965, pemerintah mengirim sejumlah delegasi untuk menghadiri sejumlah konferensi di negara-negara sosialis, antara lain ke Tiongkok untuk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok yang jatuh pada 1 Oktober.

Narasi sejarah orde Baru menyebutkan Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan upaya kudeta dengan melakukan pembunuhan terhadap enam jenderal pada 1 Oktober 1965. Kenyataan sejarah tersebut masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Namun, pada 1965-1966, jutaan orang Indonesia menjadi korban, dalam pengertian menjadi korban pembunuhan, korban fisik, yaitu mereka yang ditangkap dan ditahan atas tuduhan menjadi bagian dari komunis, dan korban mental atau psikis, karena setelah mereka dicap sebagai komunis mereka sulit mendapat pekerjaan, harus menjalani bersih diri dan bersih lingkungan, bahkan berimbas kepada anak-anak mereka.

Eksil 65 adalah mereka yang pada masa itu berada di luar Indonesia untuk belajar atau menjadi delegasi negara untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi di negara-negara sosialis. Keseluruhan peristiwa tersebut berlangsung dalam konteks perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat.

Setelah orde baru berkuasa, para pelajar dan delegasi yang masih berada di luar negeri yang tidak mengakui pemerintahan Soeharto dianggap sebagai komunis. Pemerintah Indonesia pada masa itu mencabut paspor mereka. Kalaupun ada yang berhasil kembali ke Indonesia, mereka sudah ditunggu di bandara untuk ditangkap dan diinterogasi oleh pihak militer.

Bertahun-tahun, para eksil 65 hidup tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok, serta Kuba. Saat mereka hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang mereka tempati mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil.

Pada 1980-an, sebagian dari mereka bermigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda. Mereka pun kemudian melamar menjadi warga negara Belanda. Karena rata-rata para eksil ini lahir sebelum tahun 1945, pemerintah Belanda menganggap para eksil ini sejatinya warga negara Belanda karena lahir sebelum Indonesia merdeka, atau masih dianggap lahir di wilayah Nederlandsch-Indische. Tidak ada data yang pasti mengenai eksil yang tinggal di Belanda, namun diperkirakan jumlah mereka ratusan. Meskipun para eksil ini sudah menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah melupakan tempat asal mereka, Indonesia. 

Para eksil 65 hingga kini berharap pemerintah Indonesia memberi pengakuan bahwa telah terjadi penyimpangan sejarah. Mereka tidak muluk-muluk berharap mendapat kompensasi materi atas penderitaan mereka karena tragedi 1965 memakan terlalu banyak korban. Yang mereka harapkan hanyalah permintaan maaf.

SARMADJI

Sarmadji sudah berprofesi sebagai guru saat ia dikirim ke Tiongkok untuk belajar tentang pendidikan anak di luar sekolah pada 1965. Setelah kejadian 30 September 1965, Sarmadji dituduh menjadi bagian dari komunis karena ia mengaku sebagai Soekarno-is. Pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil paspornya dan ia tidak dapat kembali ke Indonesia.

Sarmadji tinggal di Tiongkok hingga ia berusia 45 tahun. Pada saat itu, ia memutuskan untuk pindah ke Belanda. Ia kemudian diterima sebagai warga negara Belanda, namun ia diharuskan untuk bekerja. Di usia yang tidak muda lagi, Sarmadji pun mencari pekerjaan dan diterima sebagai buruh pemotong kaca di sebuah perusahaan. Di perusahaan itu pula ia bertemu dengan orang-orang Suriname yang pandai berbahasa Jawa. Oleh teman-teman Surinamenya itu pula, Sarmadji diminta untuk mengajarkan cara menulis dalam bahasa Jawa.

Dalam pergulatannya melawan orde baru, Sarmadji kemudian membuat Perkumpulan Dokumentasi Indonesia atau disingkat Perdoi. Perdoi memuat kumpulan arsip dan dokumentasi tentang sejarah Indonesia yang berkaitan dengan tragedi 65/66. Sekarang sekitar 20 orang Indonesia menjadi relawan untuk menjalankan perpustakaan tersebut. Perdoi dapat diakses oleh publik umum jika ada yang orang yang memerlukan data atau arsip yang berkaitan dengan sejarah 1965. Sarmadji bahkan bersedia memfotokopi beberapa dokumen jika ada yang membutuhkan.

Pria asal Solo yang kini berusia 83 tahun tersebut tidak menikah dan berketurunan. Selain mengurus Perdoi, Sarmadji dengan sukarela membantu mengurus cucu dari keluarga temannya, yang bahkan sudah ia anggap sudah seperti cucu sendiri. Sarmadji percaya untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan dan hal itulah yang tetap membuat Sarmadji bertahan.

IBRAHIM ISA

Ibrahim Isa tinggal di Kairo sebagai Indonesian Permanent Representative at the Permanent Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization) pada tahun 1960-1966. Pada Januari 1966, ia berbicara mengenai kondisi politik Indonesia mengenai apa yang terjadi pada Oktober 1965 dalam Konferensi Solidaritas Rakyat-rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (Tricontinental Conference) yang berlangsung di Kuba. Setelah ia berbicara di konferensi tersebut, paspornya dicabut dan pria asal Minang itu pun menjadi eksil. Lewat surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yuda, pemerintah Indonesia yang pada saat itu diambil alih oleh militer menyatakan bahwa Isa adalah agen Gestapu dan harus digantung.

Di Kuba, Isa mendapat perlindungan dari pemerintah Kuba. Kemudian atas saran sejumlah rekan, ia pergi ke Tiongkok demi keselamatan dirinya. Pada saat yang bersamaan, Isa mendapat informasi bahwa istri dan ketiga anaknya yang pada saat itu masih berdomisili di Kairo akan ditangkap militer untuk memaksa Ibrahim Isa kembali ke Jakarta. Dengan bantuan sejumlah teman, istri dan ketiga anaknya dapat menyusul Isa ke Tiongkok. Mereka sekeluarga tinggal di Tiongkok selama 11 tahun. Isa memutuskan untuk ke Belanda pada November1987 dan meminta suaka politik. Isa kemudian menjadi warga negara Belanda dan tinggal di Amsterdam hingga kini.

Namun pria kelahiran Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta) pada 20 Agustus 1930 itu tidak pernah melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. Ia masih memantau berbagai kondisi di Indonesia lewat pemberitaan media, dari hal-hal umum hingga perkembangan politik di Indonesia. Isa menuangkan berbagai pemikirannya tentang Indonesia lewat tulisan. Isa menulis sebuah memoar Kabar dari Negeri Seberang dan Bui Tanpa Jerajak Besi. Lewat tulisan-tulisannya itulah Isa mencoba melawan lupa.

CHALIK HAMID

Chalik Hamid adalah sastrawan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) atau organisasi sayap kiri yang berkonsentrasi di bidang seni dan budaya. Pemerintahan Soekarno mengirim Chalik ke Albania pada awal tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Setelah pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto, paspor Chalik dicabut sehingga ia tidak bisa pulang atau kembali ke Indonesia. Karena tak punya identitas legal sebagai warga negara, Chalik pun tidak dapat melanjutkan studinya dan kemudian bekerja sebagai montir di sebuah pabrik mobil, jauh berbeda dari apa yang ia pelajari di universitas.

Saat Chalik menjadi eksil pada masa itu, istri yang ia tinggalkan di Indonesia kemudian ditangkap dan ditahan. Usaha surat menyurat ia lakukan untuk tetap berhubungan dengan keluarga di Indonesia. Ia kembali ke Indonesia pertama kali pada tahun 1995, saat itu ia sudah menikah dan mempunyai kehidupan baru dengan perempuan Albania, sementara istri pertamanya pun sudah mempunyai suami baru.

Pada tahun 80-an itu, Albania pun mengalami krisis ekonomi, kemudian Chalik pindah ke Belanda pada akhir tahun 1989. Ia pun kemudian menjadi warga negara Belanda. Pria asal Sumatra Utara tersebut menikah lagi dengan seorang perempuan dari Indonesia dan menjalani masa tuanya di kawasan Amsterdam Utara. Ia aktif menulis di milis, dan masih menulis sajak, serta menjadi redaktur di kalangan Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI).



(Teks dan foto oleh Rosa Panggabean/Antara)




____________________

Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/09/kehidupan-para-eksil/1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar