Selasa, 15 Oktober 2013

(Seluk Beluk Sastra) - Apa Itu Puisi Esai

Seluk Beluk Sastra







Apa Itu Puisi Esai

Puisi esai adalah puisi yang ditulis berdasarkan fakta peristiwa tertentu dan dituangkan dalam bahasa komunikasi yang mudah dipahami.[i]) Puisi esai membedakan dirinya dengan puisi lirik yang memang lebih sering ditulis berdasarkan imajinasi, dan kerap menggunakan bahasa simbolik atau metafor-metafor yang sulit dipahami. Walaupun diangkat dari peristiwa faktual, puisi esai tetaplah fiksi. Fakta peristiwa hanya merupakan latar belakang dari cerita yang ingin dibangun oleh penulis puisi esai.

Jika dalam puisi lirik peristiwa seperti tenggelamnya matahari atau jatuhnya hujan digambarkan sebagai semata-mata peristiwa puitik, maka dalam puisi esai peristiwa yang diangkat adalah peristiwa yang memiliki dimensi sosial dalam ruang dan waktu tertentu. Untuk memahami dengan benar dimensi sosial dari suatu peristiwa seorang penulis puisi esai melakukan riset yang mendalam. Ia membutuhkan referensi untuk memperkuat fakta, menyajikan data, atau memperjelas duduk persoalan. Karena itu puisi esai dilengkapi catatan kaki untuk menegaskan bahwa cerita yang diangkatnya adalah cerita manusia kongkret yang terlibat dalam suatu realitas sosial atau peristiwa sejarah, bukan sesuatu yang tak ada, asing, dan abstrak—sebagaimana penggambaran yang sering muncul dalam puisi lirik.

Cara Baru Penulisan Puisi
Sejauh ini publik sastra mengenal puisi lirik sebagai puisi arus utama, bahkan menjadi paradigma dalam penulisan puisi.[ii]) Lirisisme dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia selalu mendominasi semua ruang kreativitas, bahkan menjadi sebuah hegemoni bagi para penyair. Namun demikian, banyak penyair yang mencoba keluar dari jalur utama itu dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.[iii])

Puisi esai merupakan salah satu jalan lain yang berada di luar jalur utama lirisisme. Puisi esai mengambil bentuk penulisan yang berbeda karena lebih menyerupai cerita pendek (cerpen) yang dituangkan dalam bentuk puisi. Pesan yang disampaikan sangat jelas dengan latar seting dan konteks yang juga tidak dirahasiakan. Bahasa yang dipilih ialah bahasa yang mudah dipahami. Inilah yang membedakannya dengan puisi lirik.

Para penyair puisi lirik melukiskan keindahan alam dengan bahasa yang indah, mengungkapkan perasaan melalui simbol dan metafor, yang untuk itu tak jarang mereka harus menciptakan idiom-idiom sendiri di luar bahasa konvensional. Membaca puisi hampir selalu berarti membaca pesan yang tersirat, karena penulis merahasiakannya melalui bahasa simbol dan pengungkapan yang sublim. Walhasil, hanya orang tertentu saja yang dapat memahami dan bisa menulisnya—yang bukan penyair tidak ambil bagian.

Hal sebaliknya terjadi pada puisi lama. Bentuk-bentuk puisi lama seperti pantun, syair, gurindam, dan sebagainya, merupakan puisi rakyat dimana semua orang bisa terlibat aktif baik dalam menikmati, memahami, maupun mencipta. Masyarakat awam sangat dekat dengan bentuk-bentuk puisi lama dan, pada masanya, ikut bertanggung jawab memelihara dan menghidupkannya. Sayangnya masa itu sudah lewat. Saat ini puisi nyaris tidak lagi memiliki “kaki” di tengah-tengah masyarakat.

Gejala elitisme dalam puisi liris telah menjauhkan masyarakat dari bentuk kesusastraan yang dulu sangat populer ini. Dan itu bukan hanya gejala Indonesia melainkan juga terjadi di mana-mana, sehingga melahirkan kerisauan tersendiri di kalangan penikmat sastra.  John Barr, misalnya,  pemimpin Foundation of Poetry, dalam tulisannya berjudul American Poetry in New Century yang dipublikasikan dalam Poetry, A Magazine of Verse tahun 2006, mengatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi.

Menurut John Barr, para penyair asik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan perkembangan masyarakat yang lebih luas. Saat itu puisi juga memotret aura dan persoalan zamannya.

Puisi esai berada di dalam aras itu. Ia hadir dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami publik pembaca sehingga keberadaannya tidak dipandang sebagai makhluk asing. Puisi esai menghindari paham “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Dalam paham ini, puisi punya logika bahasanya sendiri dalam beropini. Pesan tersirat dalam bahasa yang abstrak telah menjadi tradisi dalam berpuisi selama ini. Karena itu puisi esai dengan bahasanya  yang mudah dipahami hadir sebagai “movement” cara baru beropini dan cara baru penulisan puisi, sekaligus mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat sebagai pemilik bahasa.

Pelopor Kelahiran Puisi Esai 

Pada bulan Maret 2012, terbit sebuah buku puisi berjudul Atas Nama Cinta karya Denny JA, seorang ilmuwan sosial dan kolumnis yang telah menerbitkan puluhan buku, serta dikenal luas sebagai konsultan politik. Buku ini mencantumkan judul tambahan: Sebuah Puisi Esai, dan keterangan pada cover: Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati. Penerbitan buku puisi esai ini diiringi oleh dua orang penyair papan atas yaitu Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, serta seorang budayawan senior Ignas Kleden, yang semuanya memberi apresiasi pada epilog buku. Ketiganya dapat dikatakan menyambut baik corak baru penulisan puisi—atau eksperimen—yang dilakukan oleh Denny JA, yang keluar dari pakem penulisan puisi lirik.

Buku ini memuat lima buah puisi esai dan semuanya bertemakan cinta. Hanya saja, kisah cinta yang dituturkan dalam lima puisi esai ini bukan cinta yang berdiri sendiri melainkan bertali-temali dengan kompleksitas persoalan sosial yang kritis. Di sana ada isu perbedaan agama (Bunga Kering Perpisahan), isu rasial (Sapu Tangan Fang Yin), orientasi seksual (Cinta Terlarang Bantam dan Robin), kekerasan gender (Minah Tetap Dipancung), dan pertentangan sekte agama (Romi dan Yuli dari Cikeusik). Disajikan sedemikian rupa dengan pesan-pesan moral yang dikemas apik dengan bahasa puisi, kelima isu tersebut dibingkai dalam tema besar: masalah diskriminasi.

Buku Atas Nama Cinta buah tangan Denny JA menjadi karya pertama puisi esai yang mencoba keluar dari paradigma lirisisme dan sekaligus menandai tradisi baru dalam penulisan puisi di Tanah Air. Salah satu puisi dalam buku itu yang berjudul Sapu Tangan Fang Yin untuk pertamakalinya dibacakan dalam Kongres Sastra Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang berlangsung di kawasan Puncak, Jawa Barat, pada bulan Maret 2012. Dalam acara yang dihadiri sekitar 150-an sastrawan dari seluruh Tanah Air itu juga untuk pertamakalinya dilakukan sosialisasi puisi esai dalam bentuk undangan untuk membuat review, kritik, dan lomba penulisan puisi esai.

Transformasi Puisi Esai

Di samping versi cetak, buku karya Denny JA ini juga dibuatkan versi mobile web, sehingga dapat diakses dari telpon genggam dan akun twitter sekalipun. Oleh sebagian orang, buku itu dianggap sebagai tonggak yang membawa sastra ke era sosial media. Hanya dalam waktu sebulan, HITS di web buku puisi itu melampaui satu juta. Ini tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah buku puisi, buku sastra bahkan buku umum sekalipun. Tak hanya membaca, sebagian mereka juga menyampaikan kesan dan komentar, seperti yang bisa dilihat di www.puisi-esai.com.

Sampai tanggal 7 Januari 2013, belum genap 10 bulan sejak diluncurkannya, web www.puisi-esai.com telah diklik lebih dari 7 juta kali (persisnya 7.502.891). Ini menunjukkan betapa puisi kembali dekat dengan khalayak. Publik luas membaca dan merespon puisi dalam waktu cepat dan massif. Dapat diduga bahwa mereka pun sebenarnya akan memberikan respon yang sama kepada puisi lain, asalkan mereka dihidangkan puisi dengan bahasa yang mudah; asalkan mereka disajikan tema yang juga menjadi kegelisahan mereka sendiri; asalkan mereka diberikan pula kemudahan akses untuk membaca puisi itu melalui jaringan yang kini hot, media sosial: twitter, smartphone, internet.

Bukan hanya disajikan dalam web dan mobile web, puisi-puisi esai karya Denny JA ini juga ditransformasikan ke dalam film dimana penulisnya, Denny JA, menggaet sineas kenamaan Hanung Bramantyo sebagai co-produser. Beberapa nama terlibat sebagai sutradara dan artis dalam film-film tersebut:
  •  Sapu Tangan Fang Yin disutradarai oleh Karin Bintaro. Para aktor/aktris: Leoni Vitria, Hartanti Reza Nangin, dan Verdi Solaiman.
    • Romi dan Yuli dari Cikeusik disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Zascia Adya Mecca, Ben Kasyafani, dan Agus Kuncoro.
    •  Minah Tetap Dipancung disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Vitta Mariana, Saleh Ali, dan Peggy Melati Sukma.
    •  Cinta Terlarang Batman dan Robin difilmkan dengan judul Cinta Yang Dirahasiakan disutradarai oleh Rahabi MA. Para aktor: Rizal Syahdan, Zack Nasution, dan Tio Pakusadewo.
    •  Bunga Kering Perpisahan disutradarai oleh Emil Heradi. Para aktris/aktor: Rawa Nawangsih, Arthur Brotolaras, dan Teuku Rifku Wikana.
Selain dibuat dalam bentuk film, puisi-puisi esai karya Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta juga dibuatkan versi poetry reading-nya dalam bentuk video klip yang melibatkan para sastrawan dan budayawan Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sudjiwo Tedjo, dan Fatin Hamama.

Tema-tema puisi esai Denny JA yang sudah difilmkan dan dibuatkan video klipnya, dijadikan simulasi dalam pertemuan korban tragedi kekerasan bulan Mei 1998, peringatan hari lahir Pancasila di Taman Ismail Marzuki, dan momen hari buruh memperingati kematian Ruyati, TKW Indonedia yang dipancung di Arab Saudi. Lebih lengkapnya lihat di web resmi www.puisi-esai.com.

Sebagaimana diungkapkan oleh Denny JA dalam pengantar bukunya, sebagai penulis ia mencari bentuk lain agar kegelisahan dan komitmen sosialnya sampai ke publik dalam bentuk yang pas. Ia mencari medium baru, medium tulisan yang bisa menyentuh batin manusia, namun pada saat yang sama membuat pembaca mendapatkan pemahaman tentang sebuah isu sosial, walau secuplik. Esai atau makalah atau kolom jelas tidak mengeksplor sisi batin manusia. Sementara puisi yang ada sering tidak dipahami, apatah lagi menyentuh batin. Maka ia mengembangkan medium sendiri yang kemudian disebutnya puisi esai—puisi bercita rasa esai, atau esai yang dituliskan dalam bentuk puisi.

Dalam perkembangannya puisi esai karya Denny JA kemudian ditransformasikan ke dalam banyak bentuk. Selain film pendek dan video klip pembacaannya seperti disebutkan di atas, juga diekspresikan dalam medium teater, lukisan, foto, lagu, dan social movement.[iv]) Ini sekaligus menjadi kekuatan puisi esai yang sejak awal menegaskan diri untuk menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat. Karena karakternya yang sangat dekat dengan social movement itulah maka sejak diterbitkan buku karya Denny JA ini memperoleh perhatian yang luas dari publik dan media.[v])

Konsep Keindahan dalam Puisi Esai  

Kelahiran puisi esai disambut dengan pertanyaan apa konsep estetika yang ditawarkannya.[vi]) Sebab tanpa itu sebuah karya puisi dianggap batal. Setiap karya sastra—dan sebenarnya setiap karya seni—disajikan kepada khalayak dengan konsep keindahan atau estetika tertentu. Dikatakan demikian karena konsep keindahan muncul dalam beragam makna. Karya puisi pun selalu hadir dengan konsep keindahan yang tidak monolitik.

Konsep keindahan dalam puisi esai tidak terutama terletak pada rima atau persajakan sebagaimana dalam puisi lama, juga tidak melulu pada pilihan-pilihan kata (diksi) sebagaimana pada puisi baru, namun pada keseluruhan bangunan puisi esai itu sendiri, termasuk struktur cerita yang ditampilkan, dan pesan-pesan yang disampaikannya.

Dalam wacana filsafat, nilai keindahan dikaitkan dengan kemampuan seseorang melakukan “diskriminasi” sensorik pada objek yang dilihat atau dirasakan. Seseorang memperoleh nilai keindahan atas suatu objek melalui pengalaman pribadinya yang bersifat khusus. Namun konsep keindahan pada seseorang itu (yang bersifat partikular) bisa saja berubah menjadi konsep keindahan yang dianut oleh banyak orang apabila ia mampu memengaruhi persepsi keindahan orang lain.

Begitu juga dalam puisi. Konsep keindahan puisi pertama-tama terletak pada bahasa yang digunakannya, karena bagaimanapun puisi dikomunikasikan melalui media bahasa. Namun, karena bahasa terus berkembang, maka konsep keindahan yang melekat padanya seharusnya juga berkembang. Selama ini bahasa yang dalam dan sublim pada sebuah puisi dijadikan patokan untuk menilai keindahannya. Masalahnya, yang dalam dan sublim itu selalu berarti sulit dan abstrak. Sebuah puisi yang sulit dan abstrak dikatakan telah mencapai estetika tertinggi. Pembaca dipaksa untuk menyelami keindahan di lorong-lorong gelap bahasa yang tidak memberi jaminan akan kepastian maknanya. Membaca puisi bagaikan menebak sebuah teka-teki.

Puisi esai menganut paham yang berbeda. Sejak awal puisi esai justru ingin mengembalikan puisi agar mudah dipahami publik seluas-luasnya. Pencapaian estetika tidak harus dengan bahasa yang sulit dan abstrak. Jika bahasanya sulit dipahami itu bukan pencapaian estetika tapi ketidakmampuan penyair berkomunikasi dengan baik. Dengan pandangan seperti ini, bukan berarti puisi esai mengenyahkan sama sekali keindahan bahasa. Seluruh perangkat yang mendukung terciptanya bahasa yang indah tetap digunakan dalam puisi esai. Pemakaian metafora, simbol, rima, metrum, dan berbagai gaya bahasa lainnya justru dianjurkan, namun harus tetap komunikatif dan mudah dipahami. Puisi esai dianggap berhasil jika dapat dipahami publik seluas-luasnya.

Namun komitmen estetika puisi esai tidak terutama pada keadaan apa adanya (as it is) itu sendiri, melainkan pada nilai-nilai yang dimunculkan darinya. Dengan kata lain, keindahan bukan sesuatu yang diciptakan di dalam imajinasi melainkan diturunkan dari realitas. Di dalam realitas melekat nilai-nilai yang saling bertentangan dan kadang tidak disadari tetapi menghegemoni kesadaran. Misalnya nilai baik dan buruk, benar dan salah, cinta dan benci, adil dan lalim, tulus dan serakah, dan sebagainya.

Konsep keindahan dalam puisi esai Denny JA ialah keberpihakannya pada nilai-nilai universal dan pembebasan manusia dari belenggu diskriminasi. Sastrawan Leon Agusta menyebut konsep keindahan dalam puisi esai Denny JA ini sebagai estetika pembebasan.[vii])

Salahkah sebuah karya sastra semisal puisi memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan? Menurut penyair Sapardi Djoko Damono, tidak. Sebab, para penyair justru terdorong untuk menulis puisi karena ingin berbagi penghayatan hidup. Dan di dalam proses itu ia selalu berada dalam ketegangan untuk menjadi anak-anak yang bermain-main dengan bahasa dan untuk menjadi nabi yang diutus-Nya untuk membebaskan manusia dari malapetaka.[viii])

Karena keberpihakan dan perhatiannya pada isu-isu kemanusiaan itu maka puisi esai ialah karya yang nilai-nilainya bisa dikenali oleh pembaca. Puisi esai menganut pandangan bahwa keindahan terbit dari penggambaran yang menggugah atas realitas sosial, yang pesan-pesannya dapat ditemukan karena bahasanya mudah dipahami.

Lima Platform Puisi Esai  

Mana yang dapat dinamakan puisi esai dan mana yang bukan? Denny JA membuat lima platform puisi yang dipeloporinya itu sebagai berikut:[ix])

Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Jika Budi jatuh cinta kepada Ani, itu saja belum cukup untuk menjadi sebuah puisi esai. Kondisinya harus diubah menjadi:  Budi jatuh cinta kepada Ani, tapi mereka berbeda agama, kasta, atau kelas sosialnya sehingga menimbulkan satu problema dalam komunitas tertentu.

Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya justru bagus untuk dipilih. Namun diupayakan siapapun cepat memahami pesan yang hendak disampaikan puisi.

Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu memotret tokoh riel yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan oleh puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah. Karena ia fiksi, penulis sangat bebas membuat dramatisasi agar lebih menyentuh dan lebih membuat kita merenung.

Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair, tapi hasil riset minimal realitas sosial. Ia merespon isu sosial yang sedang bergetar di sebuah komunitas, apa pun itu. Dalam hal ini, catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai karena ia menunjukkan bahwa fiksi ini berangkat dari fakta sosial. Sejak awal puisi esai ini memang menggabungkan fiksi dan fakta. Unsur fakta dalam puisi esai itu diwakili oleh catatan kaki tersebut.

Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas sosial. Dinamika karakter dan perubahan sebuah realitas sosial itu dengan sendirinya membutuhkan kisah yang berbabak.

Denny JA menyebut kelima kriteria itu bukan sejenis hukum agama yang berdosa jika dilanggar. Kelima kriteria itu adalah tuntunan paling mudah dikenali jika seseorang membuat sebuah puisi esai. Ketika sebuah “movement” dan genre ingin dikemas, tak terhindari harus ada garis batas yang memisahkan “what is” dengan “what is not”. Kelima kriteria itu adalah “what is”.

Puisi esai menurut Denny JA hanya satu variasi saja dari aneka bentuk puisi yang sudah ada dan yang akan ada. Ia tidak diklaim lebih superior atau inferior. Ia juga tidak dimaksudkan untuk mendominasi apalagi menyeragamkannya. Ia hanyalah sebuah bunga mawar dari taman firdaus sastra yang dipenuhi bunga lain jenis. Ia hanyalah rusa yang berlari di sebuah marga satwa yang didiami aneka hewan lain. Ia hanyalah warna oranye dari sebuah pelangi yang diperkaya oleh aneka warna lain.

Karya-karya Puisi Esai yang Lain

Menyusul terbitnya buku antologi puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA, telah terbit pula sejumlah buku antologi puisi esai dari para pengarang lain, yaitu:
  •  Kutunggu Kamu Di Cisadane (Penerbit: Komodo Book, 2012) karya Ahmad Gaus. Kata Pengantar: Jamal D. Rahman.
  •  Manusia Gerobak (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013) karya Elza Peldi Taher. Kata Pengantar:  D. Zawawi Imron
  •  Mata Luka Sengkon-Karta (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Peri Sandi Huizchedengan, Beni Setia, dan Saifur Rohman. Penyair Agus R. Sarjono bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
  •  Dari Rangin ke Telpon (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara hiburan Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Katherine Ahmad, Kedung Darma Romansha, Rahmad Agus Supartono, Wendoko, dan Yustinus Sapto Hardjanto. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
  •  Dari Singkawang ke Sampit (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara hiburan Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Arief Setiawan, Arif Fitra Kurniawan, Catur Adi Wicaksono, Hanna Fransisca, dan Jenar Aribowo. Penyair Jamal D. Rahman bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
  •  Mawar Airmata (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai kategori puisi esai menarik Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Nur Faini, Onik Sam Nurmalaya, Sahasra Sahasika, Syifa Amori, Stefanus P Elu, Yudith Rosida. Antologi ini diberi kata pengantar oleh Sunu Wasono. Penyair Jamal D. Rahman bertindak selaku editor.
  •  Penari Cinta Anak Koruptor (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013. Antologi ini memuat puisi esai kategori puisi esai menarik Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Alex R. Nainggolan, Baiq Ratna Mulyaningsih, Carolina Betty Tobing, Chairunnisa, Damhuri Muhammad, dan Huzer Apriansyah.  Penyair  Nenden Lilis A. menulis kata pengantar untuk antologi yang disunting oleh penyair Jamal D. Rahman ini.
  •  Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Buku ini merupakan bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan seputar puisi esai. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk buku ini.
Selain karya-karya yang disebutkan di atas, Jurnal Sajak yang terbit setiap 3 (tiga) bulan dan diasuh oleh para penyair memuat puisi esai dan mendiskusikan isu puisi esai dalam setiap edisinya. Pada bulan Januari 2013, Dapoer Seni Djogjakarta mementaskan teater Sapu Tangan Fang Yin berdasarkan puisi esai Denny JA.









[i] Denny JA, Puisi Esai: Apa dan Mengapa, dalam Jurnal Sajak No.3 Tahun III/2012 hal. 68-75. Semua bahan menyangkut penjelasan apa itu puisi esai dikutip dari artikel tersebut, kecuali penjelasan dan analisa yang bahan-bahannya disebutkan dari sumber lain.

[ii] Hal ini terungkap dalam diskusi “Imperium Puisi Liris” di Bentara Budaya Jakarta (19/3/2008), yang menghadirkan penyair Afrizal Malna dan Sapardi Djoko Damono.

[iii] Misalnya pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an pernah lahir genre puisi mbeling yang dipelopori oleh Jeihan Sukmantoro, Remy Sylado, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sanento Yuliman dan Wing Karjo. Menurut Sapardi Djoko Damono, puisi mbeling lahir sebagai suatu usaha pembebasan. Istilah mbeling menurutnya kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak. (Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud). 

 [iv] Pada tanggal 10 Juni 2012 sedikitnya 50 lembaga swadaya masyarakat menjadi panitia Sepekan Tribute untuk Korban Kekerasan Agama di Indonesia yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Minggu (10/6). Para LSM itu antara lain YLBHI, ICRP, Maarif  Institute, Wahid Institute, Kontras, PGI, dan PP Ansor. Ribuan pengunjung yang hadir ikut larut dalam keprihatinan memburuknya toleransi agama di Indonesia. Di acara puncak yang juga hadiri oleh Hj.Sinta Nuriyah itu, diputar sebuah film yang diangkat dari puisi esai Denny JA dengan sutradara Hanung Bramantyo. (Indopos, 11 Juni 2012).

[v] Lihat, misalnya, Puisi Esai Denny JA Ajak Berempati (Media Indonesia, 12 Juni 2012); Pemutaran Video Puisi Esai Denny JA Menjadi Puncak Acara Lomba Sastra Antar SLTP dan SLTA se-Provinsi Banten (Media Indonesia, 5 Juni 2012); Puisi Esai Denny JA Menjelma Jadi Film Romantis Sarat Pesan (MediaIndonesia.com – 11 Juni 2012); Kisah Romi dan Yuli dari Cikeusik (kompas.com – Selasa, 12 Juni 2012)

[vi] Lihat, misalnya, Maman S. Mahayana (MSM), Posisi Puisi, Posisi Esai, dalam Kompas 30 Desember 2012, h. 20. Dalam artikel ini MSM juga mempertanyakan legitimasi puisi esai sebagai sebuah genre baru dalam kesusastraan Indonesia. Pertanyaan ini dijawab oleh sastrawan senior Leon Agusta dalam artikel sanggahannya yang dimuat di harian Kompas, 13 Januari 2013, yang berjudul Mempersoalkan Legitimasi Puisi Esai. Dalam artikel tersebut, Leon balik bertanya kepada MSM: “Legitimasi dari siapa? Siapa sesungguhnya yang berhak memberikan ”stempel legitimasi” terhadap konsep puisi esai atau konsep puisi penyair mana pun? Dari mana seseorang mendapatkan hak sedemikian? Apakah Denny JA memerlukan legitimasi seperti yang dipahamkan MSM? Sejauh pengenalan saya tentang cara berpikir dan sepak terjang Denny JA dalam dunia perpuisian yang dibangunnya, cara berpikir, pertanyaan, dan kesimpulan MSM sepertinya sudah jauh ketinggalan zaman.”

[vii] Lihat Leon Agusta, Tentang Puisi Esai Denny JA, dalam Majalah Horison No XLVII Nopember 2012,  hal. 31-36.

[viii] Sapardi Djoko Damono, Bilang Begini, Maksudnya Begitu, Jakarta, Editum, 2010, hal. 105

[ix] Denny JA, Puisi Esai: Apa dan Mengapa, Jurnal Sajak No.3 Tahun III/2012.





_______________

Sumber :  http://puisi-esai.com/2013/08/15/puisi-esai/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar