Hak cipta (lambang internasional: ©,
Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi
tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu
ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk
membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula,
hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya,film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer,siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi),
karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu,
melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang
mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa
perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum,
konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di
dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan
tokoh kartun Miki Tikus melarang
pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau
menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah
"hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
Sejarah hak cipta
Konsep
hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam
bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini
diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin
ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya
tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses
pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah,
bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum
terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya,
hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual
karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai
diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak
tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga
mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit
tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi
jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa
berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun,
yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne
Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi
Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern")
pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright
antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan
secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus
mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah
karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis
mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga
terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit
menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut
selesai.
Sejarah hak cipta di Indonesia
Pada
tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari
Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil
karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada
tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta
berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan
menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang
merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1].
Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan
undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam
pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi
pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization –
WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek
Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam
bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah
meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18
Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property
Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997[2].
Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang
dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya
pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut,
sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut
tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep
tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif
pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi,
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan,
mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan,
merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana
apapun"[2].
Selain
itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait",
yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang
dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan
sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk
mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan,
direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1
butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak
melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak
eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan,
misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3
dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan
hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu
(UU 19/2002 bab V).
Hak ekonomi dan hak moral
Banyak
negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan,
sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga
mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara
umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak
tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan
tersebut.
Hak
cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral".
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan,
sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau
pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan
alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan[2].
Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada
ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual
untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26
Undang-undang Hak Cipta.
Perolehan dan pelaksanaan hak cipta
Pada
umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar berhak
mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak berlaku lagi setelah
periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan untuk
diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
Perolehan hak cipta
Setiap
negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana
dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di Inggris
misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan
usaha". Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan Konvensi Bern, suatu
hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran
resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah terwujud dalam bentuk
tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti lukisan, partitur lagu,
foto, pita video, atau surat), pemegang hak cipta sudah berhak atas hak
cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu ciptaan tidak perlu
didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan
(sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi
bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang
sah.
Pemegang
hak cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan
pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya
dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum
Inggris (Copyright Designs and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU
19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia,
terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah
dan lembaga swasta.
Ciptaan yang dapat dilindungi
Ciptaan
yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku,
program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau
tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan,
pantomim, seni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar,
seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni
terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya tradisional lainnya
seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi, dan tidak
termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual
tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir,
saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis,
himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai
karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri
tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).
Penanda hak cipta
Dalam
yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film
mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus
memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (copyright notice). Pemberitahuan
atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran
(yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "copyright", yang diikuti dengan
tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan tersebut
telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak
ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk
pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak
cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan
bahwa ciptaan tersebut berhak cipta.
Pada
perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan
lagi, terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan
perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu, persyaratan tersebut
kini secara umum bersifat manasuka kecuali bagi ciptaan yang diciptakan
sebelum negara bersangkutan menjadi anggota Konvensi Bern.
Lambang
© merupakan lambang Unicode 00A9 dalam heksadesimal, dan dapat
diketikkan dalam (X)HTML sebagai ©, ©, atau
©
Jangka waktu perlindungan hak cipta
Hak
cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang
berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga
dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak
diterbitkan. Di Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua
buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah
kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak
cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau
sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta
tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan
bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di
Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah
sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah
pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun
setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas
waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk
hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
Penegakan hukum atas hak cipta
Penegakan
hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam
hukum perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara
umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini
semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi
pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam
hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun
yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit
satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan
atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta
alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas
oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
Perkecualian dan batasan hak cipta
Perkecualian
hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang
diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta
adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa
negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar
hak cipta.
Dalam
Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur
sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian
ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya
disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas
untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan
sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu
pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan
yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada
keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan".
Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk
pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk
pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang
dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan
sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama
penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak
cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer
yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan
sendiri[2].
Hak
cipta foto umumnya dipegang fotografer, namun foto potret seseorang
(atau beberapa orang) dilarang disebarluaskan bila bertentangan dengan
kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret. UU Hak Cipta Indonesia
secara khusus mengatur hak cipta atas potret dalam pasal 19–23.
Selain
itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia
untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan
berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16
dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan
dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah
kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap
pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum
yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)[2].
ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan
mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan
Menurut
UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat
terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato
kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau
penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan
badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang
memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat, semua dokumen
pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum, yaitu
tidak berhak cipta.
Pasal
14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan
lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah
melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita
aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga
penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan
sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pendaftaran hak cipta di Indonesia
Di
Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi
pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu
ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena
pendaftaran[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat
dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa
di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV
Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini
berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]]. Pencipta
atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun
melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya
(UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir
pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen
HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar
dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa
dikenai biaya.
Lisensi Hak Cipta
Lisensi
adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak
terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak
ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Kritik atas konsep hak cipta
Copyleft, lisensi untuk memastikan kebebasan ciptaan.
Kritikan-kritikan
terhadap hak cipta secara umum dapat dibedakan menjadi dua sisi, yaitu
sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan
masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan
kreativitas, dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang
harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya
masyarakat informasi baru.
Keberhasilan
proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server
HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa
adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta [3].
Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat
persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan
ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi
semacam itu disebut copyleft atau lisensi perangkat lunak bebas.
Android perangkat lunak bebas lisensi.
Copyleft adalah permainan kata dari copyright (hak cipta) dan seperti halnya makna berlawanan yang dikandung masing-masing (right vs left), begitu pula arti dari kedua istilah tersebut berlawanan. Copyleft merupakan praktik penggunaan undang-undang hak cipta untuk
meniadakan larangan dalam pendistribusian salinan dan versi yang telah
dimodifikasi dari suatu karya kepada orang lain dan mengharuskan
kebebasan yang sama diterapkan dalam versi-versi selanjutnya kemudian. Copyleft diterapkan pada hasil karya seperti perangkat lunak, dokumen, musik, dan seni. Jika hak cipta dianggap sebagai suatu cara untuk membatasi hak untuk membuat dan mendistribusikan kembali salinan suatu karya, maka lisensi copyleft digunakan
untuk memastikan bahwa semua orang yang menerima salinan atau versi
turunan dari suatu karya dapat menggunakan, memodifikasi, dan juga
mendistribusikan ulang baik karya, maupun versi turunannya. Dalam
pengertian awam, copyleft adalah lawan dari hak cipta.
Pengarang dan pengembang yang menggunakan copyleft untuk karya
mereka dapat melibatkan orang lain untuk mengembangkan karyanya sebagai
suatu bagian dari proses yang berkelanjutan. Salah satu contoh lisensi copyleft adalah GNU General Public License.
Asosiasi Hak Cipta di Indonesia
- Asosiasi Hak Cipta di Indonesia antara lain:[1]
- KCI : Karya Cipta Indonesia
- ASIRI : Asosiasi Indrustri Rekaman Indonesia
- ASPILUKI : Asosiasi Piranti Lunak Indonesia
- APMINDO : Asosiasi Pengusaha Musik Indonesia
- ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia
- PAPPRI : Persatuan Artis Penata Musik Rekaman Indonesia
- IKAPI : Ikatan Penerbit Indonesia
- MPA : Motion Picture Assosiation
- BSA : Bussiness Sofware Assosiation
Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 1 tahun 2003 tentang Hak Cipta
Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan bahwa : Dalam hukum Islam, Hak
Cipta dipandang sebagai salah satu huquq maliyyah (Hak Kekayaan) yang
mendapatkan perlindungan hukum (masnun) sebagaimana mal (kekayaan) Hak
Cipta yang mendapatkan perlindungan hukum Islam sebagaimana dimaksud
angka 1 tersebut adalah Hak Cipta atas ciptaan yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Sebagaimana mal, Hak Cipta dapat dijadikan obyek
akad (al-ma’qud alaih), baik akad mua’wadhah (pertukaran, komersil),
maupun akad tabarru’at (non komersial), serta diwaqafkan dan diwarisi.
Setiap bentuk pelanggaran terhadap Hak Cipta, terutama pembajakan,
merupakan kezaliman yang hukumnya adalah HARAM.
_____________________
http://tiksmandex2.blogspot.com/2011/11/hak-cipta-dan-sekitarnya.html
sumber : Wikipedia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar