Katrin Bandel: ‘Yang Perlu Dibongkar Justru Ideologi Yang Menempatkan Sastra Sebagai Seni Tinggi.’
MENURUT filsuf asal Prancis Alan Badiou, seni adalah adalah salah
satu prosedur utama dalam mencapai kebenaran. Sastra, yang merupakan
bagian dari seni, tentu saja memiliki kapasitas untuk mengartikulasikan
kebenaran. Akan tetapi dalam pengalaman kesusastraan Indonesia, sastra
sebagai salah satu disiplin pengetahuan masih terbatas untuk
mengembangkan potensinya sebagai artikulator kebenaran. Salah satu
penyebab dari situasi ini adalah masih berkutatnya bias-bias ideologi
dalam presentasi kesuastraan itu sendiri. Dalam hal inilah kritik sastra
menjadi krusial. Kritik sastra yang bukan hanya sekedar untuk estetika
sastra itu sendiri, tapi lebih dari itu juga mengenai sastra sebagai
artikulasi mereka yang selama ini dikalahkan dalam realitas sosial itu
sendiri.
Dalam konteks kritik sastra inilah nama Katrin Bandel penting untuk
dimunculkan. Katrin yang berwarga Negara Jerman namun tinggal lama di
Indonesia, banyak memusatkan perhatian serta tenaga intelektualnya pada
kritik sastra, khususnya kritik sastra di Indonesia. Katrin telah
menulis beberapa buku antara lain, Sastra, Perempuan, Seks (2006) dan yang terbaru adalah Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas Bagi
Katrin, pengajar magister (S2) di program Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini, sastra terlalu penting untuk
tidak dikritik mengingat relasinya yang didaktis bagi perkembangan suatu
masyarakat secara luas. Berikut petikan wawancara Left Book Review (LBR) dengan Katrin Bandel:
Bisa diceritakan mengenai awal mula keterlibatan Anda dalam dunia kritik sastra?
Pendidikan saya adalah pendidikan indonesianis, yaitu saya kuliah di
Kajian Indonesia mulai tingkat S1 sampai S3. Sebelumnya saya sudah
menaruh minat khusus pada sastra. Kebetulan di Universitas Hamburg
(Jerman) tempat saya kuliah, Kajian Indonesia (tepatnya kajian budaya
dan bahasa Austronesia) memiliki perhatian khusus pada sastra sebab
itulah minat utama satu-satunya profesor di jurusan yang sangat kecil
tersebut. Dengan sendirinya saya tergiring untuk menulis tesis dan
disertasi tentang sastra. Namun harus saya akui bahwa pada waktu itu
saya sama sekali belum secara khusus memahami dunia sastra dan kondisi
kritik sastra di Indonesia. Saya mulai berkecimpung secara langsung di
dunia sastra di Indonesia sendiri baru sejak menetap di Yogyakarta
(tahun 2002), yaitu setelah secara langsung berkenalan dengan
teman-teman sastrawan dan peminat sastra lewat keterlibatan saya di
milis ‘penyair’ dan komunitas cybersastra, dan lewat suami saya yang sastrawan.
Anda cukup intens dalam dunia kritik sastra Indonesia. Pendapat
Anda mengenai posisi kritik sastra dalam dunia kesusasteraan seperti
apa?
Sastra adalah bagian dari dunia intelektual. Sebagai intelektual,
sastrawan bisa diharapkan menawarkan wacana kritis mengenai kondisi
masyarakatnya. Namun, tentu hal sebaliknya juga mungkin terjadi, yaitu
sastrawan justru menghamba pada kekuasaan. Kedua hal itu tidak selalu
mudah dibedakan satu sama lain, sebab karya sastra menyapa pembaca (atau
pendengar) lewat cerita, imaji, bunyi – pesan ideologis disampaikan
secara implisit. Kritik sastra antara lain memiliki fungsi untuk
mengeksplisitkan apa yang hadir secara implisit tersebut. Dengan
demikian, kritik sastra dapat menjadi semacam instansi pengontrol yang
melindungi kita dari tipuan karya yang terkesan kritis, tapi pada
hakekatnya justru menyesatkan. (Meskipun demikian, perlu diingat bahwa
kritik sastra pun tidak selalu mewujudkan hal itu – kritik sastra pun
dapat menghamba pada kekuasaan.)
Mengenai perkembangan dunia kritik sastra akhir-akhir ini, bagaimana Anda melihatnya?
Maksudnya kritik sastra di Indonesia? Pertanyaan yang agak kelewat
luas, sehingga sulit dijawab… Yang sempat agak intens saya amati tahun
lalu adalah penulisan esei kritik sastra dalam rangka sayembara yang
diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kebetulan saya salah satu
jurinya, sehingga tentu saja saya ‘terpaksa’ membaca semua esei
tersebut. Perkembangan menggembirakan yang saya amati di situ adalah
makin besarnya minat pada pendekatan pascakolonial, yang menurut saya
sangat sesuai untuk kritik sastra Indonesia. Namun juga ada
kecenderungan kurang menggembirakan yang tercermin dari esei-esei
sayembara tersebut, yaitu kecenderungan untuk berfokus pada karya yang
sebelumnya mendapat penghargaan atau yang nama penulisnya sudah ‘beken.’
Dengan demikian, tampak bahwa kritik sastra kurang independen. Menurut
penilaian pribadi saya, terdapat cukup banyak karya menarik yang hampir
tidak pernah dibahas oleh pengamat atau kritikus sastra.
Dalam proses Anda sebagai seorang kritikus sastra, karya sastra
seperti apakah yang Anda nilai sebagai karya sastra yang bermutu atau
tidak bermutu?
Saya relatif jarang tertarik untuk secara sangat umum melakukan
penilaian tentang ‘bermutu’ atau tidaknya sebuah karya. Bagi saya, jauh
lebih menarik untuk lebih dahulu mendefinisikan unsur mana dari sebuah
karya akan dinilai. Misalnya, saya beberapa kali menulis secara khusus
tentang seksualitas dalam karya Ayu Utami, dengan tujuan menentukan
apakah karya tersebut memang ‘feminis’ atau tidak. Hal itu saya lakukan
sebab ‘feminis’nya karya Ayu Utami kerapkali dipuji orang, dan pujian
itu berpengaruh terhadap persepsi orang mengenai feminisme (sehingga
tidak jarang orang berkesimpulan bahwa feminisme itu sama dengan
kebebesan seks). Hal lain yang dapat dijadikan fokus adalah, misalnya,
apakah sebuah karya punya semangat kritis atau semangat pascakolonial,
apakah ada pembaharuan estetis yang dilakukan, dan sebagainya. Dengan
demikian, ukuran mutu menjadi lebih konkrit.
Lalu seperti apa pendapat Anda mengenai trend/kecenderungan karya sastra akhir-akhir ini?
Sangat sulit memberi penilaian umum semacam itu, dan tentu saja
pengamatan saya pun sangat terbatas. Seperti yang sudah saya utarakan di
atas, saya melihat bahwa kerapkali ada karya sastra menarik yang justru
kurang mendapat perhatian, baik dari institusi yang memberi penghargaan
dsb, maupun dari kritikus sastra. Contohnya adalah, misalnya,
karya-karya Martin Aleida, karya para buruh migran di Hongkong (misal,
Maria Bo Niok, Mega Vristian), puisi Aslan Abidin, novel Mahfud Ikhwan.
Hal itu pantas disayangkan bukan hanya karena dengan demikian karya
tertentu tidak mendapat apresiasi yang sebetulnya layak diperolehnya,
tapi juga karena penghargaan lebih terhadap karya tertentu cenderung
menyebabkan karya tersebut memiliki pengaruh terhadap karya lainnya,
seperti yang misalnya terjadi dalam hal karya Ayu Utami dan Djenar Maesa
Ayu, khususnya berkaitan dengan topik seks. Jadi apabila ada karya
menarik yang kurang diapresiasi, otomatis pengaruhnya pun sangat
terbatas, sehingga pencapaian karya tersebut seakan-akan disia-siakan.
Bagaimana pendapat Anda mengenai buku kontroversial yang memuat 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia?
Bagi saya, buku semacam itu sebetulnya sangat tidak dibutuhkan.
Kritik sastra yang serius sedang sangat kurang (baik dari segi mutu
maupun kuantitas), sehingga seandainya ada proyek khusus untuk
mengembangkan kritik sastra, tentu saja itu sangat menggembirakan.
Misalnya, akan sangat menarik apabila ada penelitian-penelitian khusus
yang secara mendalam menganalisis kiprah dan karya sastrawan tententu,
menganalisis gerakan atau komunitas tertentu, dan sebagainya. Sayangnya,
buku ‘33 tokoh…’ sama sekali tidak menawarkan kontribusi semacam itu.
Makin lama makin tampak betapa buku itu lahir terutama atas inisiatif
satu orang, yaitu Denny JA, dan demi kepentingan pribadi dia. Ini sangat
memalukan.
Bisakah diceritakan, bagaimana proses menilai sebuah karya sastra?
Menilai secara pribadi tidak sama dengan sebuah penilaian dalam
rangka melakukan kritik sastra. Penilaian pribadi timbul secara spontan,
tanpa perlu selalu dielaborasi. Misalnya, tidak jarang kita senang
membaca karya tertentu karena kebetulan nyambung dengan pengalaman atau
kegelisahan pribadi kita. Namun apabila kita melakukan penilaian sebagai
sebuah kritik sastra, spontanitas respon emosional semacam itu tidak
cukup. Kita perlu secara teliti menelaah karya tersebut sehingga bisa
sampai pada sebuah penilaian yang bisa dipertanggungjawabkan. Penilaian
yang bisa dipertanggungjawabkan adalah penilaian yang bisa dijelaskan,
misalnya dengan mengangkat ciri khas tertentu atau dari sebuah karya dan
menjelaskan apa kelebihan atau kekurangannya, sehingga orang lain bisa
memahami argumentasi kita.
Salah satu hal yang jarang didiskusikan adalah bagaimana memahami
sastra Indonesia dalam kaitannya dengan sastra dunia/global. Menurut
pendapat Anda, bagaimana posisi sastra Indonesia dalam konfigurasi
sastra dunia/global?
Karena lahir dari masyarakat pascakolonial, sastra Indonesia adalah
bagian dari sastra pascakolonial dengan segala ciri khasnya. Dalam
masyarakat pascakolonial, yaitu masyarakat yang (pernah) dijajah dan
mengalami berbagai gejala khusus yang khas sebagai efek penjajahan
tersebut, sastra umumnya mengekspresikan kondisi pascakolonial tersebut.
Dalam konteks itu, sastra bisa digunakan untuk penyadaran dan
perlawanan. Dengan demikian, hubungan dan kerjasama yang seharusnya
paling wajar dijalin adalah dengan negara dunia pascakolonial yang lain,
sebab permasalahan yang dialami masing-masing masyarakat pascakolonial
kerapkali mirip satu sama lain, dan (seharusnya) ada kepentingan bersama
yang perlu diperjuangkan Namun sayangnya bukan itu yang terjadi.
Kerjasama kerapkali ditentukan oleh funding, dan yang dapat menawarkan funding besar tentu bukan negara pascakolonial yang sama-sama miskin.
Menarik pandangan Anda mengenai adanya kepentingan funding
dalam perkembangan sastra. Dalam hal ini kepentingan dalam berkesenian
memiliki semacam hubungan. Di Indonesia sempat berkembang gagasan
mengenai ‘seni untuk seni’ yang berupaya untuk menghilangkan relasi
kepentingan dan seni. Bagaimana pendapat Anda mengenai ‘seni sebagai
seni?’
Bagi saya, seni/sastra selalu punya unsur didaktis, tak ada gunanya
menolak kenyataan itu. Karya selalu politis, secara terbuka ataupun
terselubung. Maka yang penting dalam berkarya maupun dalam kritik sastra
adalah menyadari dan selalu mempertanyakan unsur didaktis dan politis
itu. Apa yang disampaikan atau diajarkan sebuah karya? Kalau slogan ‘l’art pour l’art’
(seni untuk seni, red) digunakan untuk mengelak dari pertanyaan itu,
saya rasa itu menjadi sikap yang sangat tidak bertanggungjawab.
Secara ideal, pengembangan berbagai gaya ekspresi di dunia sastra,
termasuk gaya-gaya eksperimental yang terkesan tidak lugas dalam
menyampaikan pesan politis tertentu, pasti dilakukan dengan alasan yang
jelas. Ada sesuatu yang ingin disampaikan lewat penciptaan gaya tulis
tersebut. Misalnya, ada unsur pengalaman manusia yang ternyata, menurut
persepsi pengarangnya, tidak terekspresikan lewat karya dengan gaya
lama, sehingga eksperimentasi dibutuhkan. Dengan demikian, karya sastra
dengan gaya ‘seaneh’ apa pun tetap bersifat politis. Sayangnya, di
Indonesia, terutama sejak Orde Baru, sifat politis tersebut jarang
sekali dihadirkan dan dibahas secara terbuka, baik oleh sastrawan
sendiri maupun kritikus. Gaya tulis yang ‘inovatif’ dirayakan sebagai
pencapaian hanya karena kebaruannya, namun tidak dipersoalkan untuk apa
gaya baru itu dibutuhkan. Apa yang ingin disampaikan, dan mengapa mesti
disampaikan dengan cara itu? Tanpa adanya rasa tanggungjawab untuk
mempersoalkan masalah tersebut, sastra terancam sekadar menjadi
permainan bahasa tanpa makna.
Bagaimana pandangan Anda mengenai posisi sastra Indonesia sekarang
dapat berperan sebagai artikulasi estetis perjuangan politik rakyat
pekerja Indonesia?
Rakyat pekerja yang memiliki minat di bidang sastra Indonesia sangat
terbatas, dan bagi saya itu merupakan hal yang wajar. Artikulasi estetis
rakyat sangat beragam, baik dalam bentuk seni tradisional maupun dalam
bentuk yang lebih kontemporer. Mengapa buruh mesti mengekspresikan diri
lewat karya sastra modern, atau membaca karya sastra modern? Saya rasa,
sastra modern tidak punya kelebihan dibandingkan jenis kesenian lain
dalam konteks ini. Tentu saja ada perkecualian, seperti misalnya para
buruh migran yang sudah saya sebut di atas, ataupun sastrawan buruh
seperti Wowok Hesti Prabowo. Tapi secara umum, saya rasa yang perlu
dibongkar justru ideologi yang menempatkan sastra sebagai seni tinggi
yang seakan-akan unggul dan ‘lebih berbudaya’ dibandingkan jenis
kesenian lain yang tidak jarang lebih dekat dengan rakyat.
Pada dasarnya, sastra modern adalah kesenian milik kelas menengah dan
kaum berpendidikan, sebab umumnya pengarang dan pembaca berasal dari
kalangan tersebut. Bahkan, tidak jarang keakraban dengan dunia sastra
memiliki nilai “gengsi” tertentu bagi kalangan itu, alias menjadi “modal
kultural” dalam bahasa Pierre Bourdieu. Maka bagi saya, salah satu
fungsi kritis yang bisa diharapkan dari sastra adalah usaha untuk
mempersoalkan kehidupan kelas menengah tersebut. Karya sastra dapat
menjadi lahan subur dimana kelas menengah dapat mempertanyakan dirinya
sendiri, ideologinya sendiri.
Sebagai pertanyaan penutup, bagaimana pandangan Anda mengenai masa depan sastra Indonesia?
Hahaha… saya bukan peramal.
____________________
Sumber : http://indoprogress.com/2014/04/katrin-bandel-yang-perlu-dibongkar-justru-ideologi-yang-menempatkan-sastra-sebagai-seni-tinggi/
____________________
Sumber : http://indoprogress.com/2014/04/katrin-bandel-yang-perlu-dibongkar-justru-ideologi-yang-menempatkan-sastra-sebagai-seni-tinggi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar