Pameran Kolonial, Paris, 1931.
Segala rupa keindahan negeri jajahan dipamerkan. Dikecam karena wujud unjuk keangkuhan.
OLEH: FAJAR RIADI
DI taman Bois de Vincennes, Paris, diselenggarakan Exposition Coloniale International
(Pameran Kolonial Internasional). Di atas taman seluas 110 hektar itu,
negara-negara penjajah mempertontonkan semua rupa bangunan yang menjadi
wajah masyarakat dan kebudayaan negeri-negeri jajahan. Sejak dibuka pada
6 Mei 1931, jutaan orang berkunjung. Pameran ini mendulang sanjungan,
namun juga banjir kecaman.
Belanda mempertontonkan wajah molek
Hindia Belanda. Di atas lahan seluas tiga hektar, sebuah anjungan megah
seluas 600 meter persegi dibangun. Arsitektur anjungan beratap gonjong
Minang berpadu dengan ukiran Jawa. Pintu masuknya berbentuk gapura
setinggi 50 meter yang konon meniru pura Camenggon di Sukawati, Bali
Selatan, lengkap dengan ukiran batu pualam. Dinding anjungan dibuat dari
keping-keping kayu Kalimantan.
Di dalam stan dipajang segala rupa
benda-benda peninggalan arca kuno, perhiasan dan pusaka emas perak,
kain-kain nan indah, serta lukisan-lukisan berharga. Makanan cuma-cuma
disajikan oleh Waroeng Djawa dari Den Haag. Manusia-manusia
bumiputera dipertontonkan. Gadis-gadis Bali menari legong menghibur
pengunjung. Tak ayal, setelah menghabiskan biaya satu setengah juta
gulden, stan milik Belanda mengundang sanjungan dan puja-puji.
“Ditata sedemikian apik dan elegan… sehingga menjadi salah satu bangunan terbaik,” tulis suratkabar Paris, Le Petit Journal. Suratkabar Amsterdam Algemene Hendelsblad
menyebutnya “primadona pameran”. Bahkan keindahannya dianggap melampaui
tiruan Angkor Wat yang disuguhkan tuan rumah Prancis sendiri.
Ada yang menyanjung, ada yang mengecam.
Kalangan progresif menganggap pameran itu tidak lebih dari pertunjukan
keangkuhan penjajah. Unjuk gigi di antara negeri-negeri kolonial, siapa
yang punya negeri jajahan paling rupawan. Bahkan di saat yang bersamaan,
orang-orang yang mengecam ini menggelar pameran tandingan: Pameran
Anti-Kolonial bertajuk Truth on the Colonies (Kebenaran di Koloni-koloni).
Kelompok seniman surealis di Prancis mengecam acara itu dan menyebar manifesto Ne visitez pas I’Exposition Coloniale (Jangan kunjungi Pameran Kolonial). L’Humanite,
suratkabar resmi Partai Komunis Prancis, menghimbau kepada kelas
pekerja dan anggota partainya dengan mengatakan “pendewaan kolonialisme
di Bois de Vincennes merupakan pendewaan terhadap kejahatan.”
Di Hindia Belanda, Timboel,
majalah terbitan The Indonesian Study Club dan pernah diasuh Sanusi Pane
di Solo, turut melontarkan kecaman. “… kampung tiruan yang bagus tetapi
menyedihkan,” tulis Timboel, 10 Juni 1931, tentang bangunan yang dipamerakan Belanda itu. “Siapa yang peduli? Kaum bourgeois Paris terkesan karena tidak tahu!”
Di Surabaya, seorang penulis anonim –hanya menyebut dirinya sebagai pengamat– menulis di suratkabar Het Soerabajasch Handelsblad:
“Orang hanya berharap dari sebagian besar publik yang pergi berpesta
ini bahwa mereka saling menertawai dan menepuk bahu bergembira dengan
sorak sorai yang lucu. Kerumunan orang-orang yang tertawa terkekeh itu
akan pulang dengan pikiran bahwa tontonan Belanda yang berbudaya tinggi
dari Jawa ini, yang tingkat peradabannya bagaimanapun juga lebih rendah
dari rata-rata pengunjung Pameran Kolonial ini, hendaknya dipandang
dengan cara yang sama seperti penduduk primitif dari Senegambia, atau
Somalia…”
Sebuah kejadian yang tak disangka-sangka
terjadi. Pada 28 Juni 1931, anjungan megah milik Belanda dilalap api
tanpa diketahui sebabnya. Dalam beberapa jam seluruh bangunan itu habis.
Kabarnya, belasan lukisan karya Raden Saleh ikut musnah. Total
kerugiannya jutaan gulden, dan koran-koran Belanda segera melaporkan
peristiwa itu sebagai sebuah “malapetaka nasional”.
Banyak spekulasi apakah kebakaran
tersebut murni sebuah kebakaran atau kesengajaan dari beberapa pihak.
Namun tak ada yang bisa memastikan. Toh karena kebakaran itu, segala
macam kecaman tak berhenti.
Henk Sneevliet, salah seorang tokoh pergerakan komunis, tak mau ketinggalan momentum. Dalam De Arbeid,
suratkabar Partai Buruh, dia berharap kebakaran pada anjungan milik
Belanda akan turut melumat penjajahan dan menampakkan kolonialisme dalam
sisinya yang paling gelap.
Pemerintah Belanda tak mau dipermalukan.
Dalam waktu tak berapa lama mereka segera membangun kembali stan
miliknya. Pada awal Agustus, sekira tujuh minggu setelah kebakaran,
anjungan milik Belanda dibuka sampai berakhirnya pameran.
Pameran Kolonial memang tak hanya
diselenggarakan pada 1931. Secara berkala, negeri-negeri jajahan sudah
menggelarnya. Kecaman juga bukan baru muncul pada 1931. Sebelumnya pada
1914, ketika Belanda hendak memperingati seabad lepasnya negeri itu dari
Prancis, diselenggarakan sebuah pameran kolonial –dikenal pula Koloniale Tentoonstelling– dalam skala yang lebih kecil di Semarang.
Sungguh aneh Belanda merayakan lepasnya
penjajahan negerinya di negara jajahannya. Ki Hadjar Dewantara pun
mengkritik dengan tulisannya yang termasyhur: Als Iks Nederlander Was (Andai Saya Orang Belanda).
Anjungan stan milik Belanda terus kokoh
berdiri sampai usainya pameran di Prancis pada November 1931. Kritik
memang tak digubris. Namun setidaknya, segala kecaman atas keangkuhan
yang mewujud dalam “pameran-pameran” itu turut menyumbang andil
perlawanan atas kolonialisme.
____________________
Sumber : http://historia.co.id/artikel/modern/1210/Majalah-Historia/Memamerkan_Negeri_Jajahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar