Rabu, 14 Mei 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Ah Puisi






  Apakah yang ada di benak kita saat menyebut kata "puisi"? Apakah
  syair-syair cinta seperti yang ada di Kidung Agung? Ataukah untaian
  kalimat indah, sebagaimana di kartu-kartu ucapan, yang memakai gaya
  bertutur ala Shakespeare, Gibran, atau bahkan Rangga? Ataukah bait-
  bait kalimat yang diucapkan dengan suara lantang seperti orang
  berorasi? Mungkin kita malah menganggap setiap kalimat yang tidak
  umum dan disusun secara berirama sebagai puisi? Gambaran tiap orang
  tentang sebuah puisi memang bisa berbeda-beda. Semua tergantung
  pengalaman pribadinya dengan apa yang disebut puisi itu. Meski
  begitu, tentunya puisi bukanlah suatu bentuk tulisan yang asing bagi
  kita.

  Secara pribadi, saya menyetujui hakikat puisi sebagai suatu bentuk
  tulisan yang bersifat sangat pribadi/personal. Sebuah puisi biasanya
  dan mungkin juga hanya akan berisi cerminan pemahaman sang penulis
  puisi (penyair) akan sesuatu hal di dunianya. Ini tentu jauh lebih
  pribadi dari artikel yang bisa lebih banyak mengutip pendapat orang
  lain daripada pendapatnya sendiri; juga lebih personal dari karya
  seorang novelis yang tidak selalu mewakili dirinya sendiri.
  Sedemikian privasi dan subyektifnya sebuah puisi sehingga memiliki
  makna tersendiri. Hal ini menjadi salah satu alasan yang menyebabkan
  sebagian orang menganjurkan agar puisi tidak diterjemahkan.

  Puisi, untuk satu dan lain hal, bentuknya juga cenderung mudah
  dikenali, baik ketika masih berbentuk aksara maupun setelah
  dibacakan. Kata-kata yang tidak biasa, penggunaan metafor, hingga
  ketidaklengkapan kalimatnya memberi ciri tersendiri bagi puisi.
  Ribut Wijoto malah berpendapat bahwa salah satu ciri mendasar dari
  puisi menyerupai gaya bertutur pengidap skizofrenia.

  Apakah itu alasan yang menimbulkan pendapat bahwa menulis puisi
  adalah sulit? Bisa ya bisa tidak. Apakah itu yang membuat orang suka
  menulis puisi? Bisa ya bisa tidak.

  Namun, penggunaan berbagai metafor atau kata-kata yang tidak biasa
  dalam puisi sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses
  berkomunikasi dan berbahasa. Sama seperti jika ada orang Indonesia
  yang lebih suka mengungkapkan beberapa hal (rasa sakit, rasa
  terkejut, rasa senang, dsb) dalam bahasa Inggris karena ia merasa
  kata itu lebih tepat dan efektif dalam menggambarkan apa yang ada di
  pikirannya. Karenanya, seorang penyair tentu saja orang yang pandai
  mengolah bahasa. Inilah sifat puisi yang lain, yakni efektif dalam
  memakai kata-kata untuk menyampaikan pendapat dan pikiran. Oleh
  karenanya, tak heran jika kita mengenal genre puisi yang berasal
  dari Jepang bernama haiku, yang hanya terdiri dari 14 suku kata.
  Bahkan dalam dunia puisi modern, kita juga bisa menjumpai sebuah
  puisi yang hanya berisi satu atau dua kata saja.

  Dalam konteks sejarah, puisi juga termasuk salah satu bentuk tulisan
  yang usianya sangat tua. Mungkin bisa disebut sebagai nenek moyang
  dalam dunia penulisan. Keberadaan syar-syair tua seperti Kidung
  Agung, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, serta syair-syair mitologi
  Yunani sebagaimana terdapat dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus
  adalah buktinya. Demikian juga dengan kitab-kitab kebijaksanaan Tao
  dan Konfusius, atau tradisi sastra lokal seperti pantun, gurindam,
  seloka, dsb., semuanya disajikan dalam syair-syair yang indah.

  Seiring perkembangan sejarah peradaban manusia, puisi (sastra) juga
  terus-menerus mengambil semakin banyak peran dan pengaruh dalam
  kemajuan kehidupan manusia. Kemajuan peradaban Tiongkok (yang juga
  mempengaruhi Vietnam, Jepang, dll.) tentu tak bisa dilepaskan dari
  budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi sajak-sajak dan para
  penyair. Sementara dalam dunia sosial dan politik telah berkali-kali
  pula dicatat peran para penyair misalnya, Pablo Neruda, Wiji Thukul,
  Nikolai Vaptsarov, Fransisco Borja da Costa, juga Chairil Anwar yang
  lewat puisi mereka memimpin bangsanya ke arah perubahan. Pemimpin
  politik seperti Ho Chi Minh dan Mao Zedong pun merasa bahwa puisi
  adalah sarana yang cocok untuk mengekspresikan pikirannya. Karena
  puisi pulalah hati dan gairah dapat menyala dan berkobar, dan puisi
  pulalah yang sanggup memerahkan telinga wapres kita sampai akhirnya
  marah-marah di acara HUT PGRI ke-60 di Solo beberapa waktu lalu.

  Sejarah puisi terlihat indah dan penuh kemenangan. Namun, bagaimana
  dengan kenyataan yang ada sekarang? Puisi sukar dipahami. Bahasanya
  terlalu `ndakik-ndakik`, kata kritikus. Seperti telah disinggung di
  atas, bisa jadi itulah yang membuat orang malas menulis atau membaca
  puisi. Di dunia di mana budaya konsumerisme semakin menjadi pilihan
  untuk menjalani hidup, keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu
  secara instan adalah yang utama. Posisi puisi dengan bahasa yang
  sepertinya sengaja `dipersulit` untuk bisa dimengerti dan hanya
  berkutat pada masalah pribadi si penyair (apalagi yang belum
  terkenal) tentu akan semakin tersingkirkan atau menjadi terlalu
  eksklusif. Slogan seni untuk seni (l`art pour l`art) yang mungkin
  masih diyakini oleh beberapa penyair sampai saat ini hanya
  menempatkan puisi sebagai menara gading. Puisi hanya semata masalah
  keindahan. Bagi perkembangan masyarakat, ia tidak membawa dampak
  apa-apa. Akibatnya masyarakat sendiri menjadi apatis dengan puisi.
  Puisi hanya menjadi milik mereka yang `paham`. Penulisan puisi
  kemudian terbatas di kartu-kartu ucapan yang hanya dibaca sekali
  lalu lebih sering dibuang. Apresiasi masyarakat atas puisi atau
  sastra atau seni menjadi seperti apresiasi penduduk Yunani akan
  Allah yang Tak Dikenal (Kis 17:23); tahu bahwa Ia ada, namun terasa
  jauh, sukar dipahami, dan seringkali mengakibatkan `pengetahuan` itu
  menjadi milik segelintir orang saja (seniman, kritikus, kurator,
  dsb.).

  Paradigma dan keadaan seperti itu tentulah bukan sesuatu yang harus
  dipertahankan. Dalam lingkungannya sendiri, seni dan sastra realis,
  baik realisme sosialis, realisme magis, dan sejenisnya, yang menolak
  bentuk eksklusif dan tidak menyuarakan apa-apa selain nilai
  estetika, sempat dan masih sering dipakai untuk mengatasi masalah
  itu. Sementara dalam segi kemasan, sastra, khususnya puisi mulai
  mengalami metamorfosanya sendiri. Film seperti "Ada Apa dengan
  Cinta", milis-milis, juga komunitas-komunitas penggemar jenis
  tulisan puisi (anggotanya bahkan umumnya anak muda, yang beberapa di
  antaranya malah sudah menerbitkan buku antologi puisi karya mereka
  sendiri), menjadi media yang subur bagi pengembangan puisi. Gaya
  bahasa puisi kontemporer yang semakin sederhana, pembawaan puisi
  dengan gaya teatrikal, meledak-ledak seperti orasi, dsb. menjadi
  beberapa cara yang telah ditempuh guna mengubah puisi agar lebih
  komunikatif dan menjadi milik semua orang.

  Anggapan bahwa pembaca puisi hanyalah kalangan yang terbatas saat
  ini juga mulai menyurut. Setidaknya lihatlah betapa banyak buku
  Kahlil Gibran yang beredar di toko buku saat ini. Dalam literatur
  Kristen, tengok pula berapa banyak orang terinspirasi oleh puisi
  berjudul "Footprints". Begitu juga fakta bahwa banyak orang telah
  mendapat inspirasi dan hidupnya berubah setelah membaca ayat dalam
  Kitab Suci yang ditulis dengan gaya bersyair. Namun, sekali lagi
  harus diakui bahwa mengubah paradigma masyarakat yang menganggap
  berpuisi dan membaca puisi sebagai kegiatan tak berguna merupakan
  perjuangan tersendiri.

  Dunia penulisan Kristen tampaknya juga mengalami masalah yang kurang
  lebih serupa. Tanpa mengurangi penghargaan kepada penulis Kristen
  yang mungkin selama ini telah mendedikasikan dirinya dalam dunia
  puisi, kita tentu tak dapat membohongi diri bahwa saat ini tak
  banyak orang Kristen yang mau menulis puisi untuk menyuarakan
  pendapatnya dan pendapat-Nya untuk dunia ini. Mengingat kekhasannya,
  semestinya mereka juga dapat memanfaatkan puisi sebagai sarana
  penyampaian pendapat sebagaimana tulisan khotbah, kesaksian dan
  renungan. Lagi pula, sebagai bagian dari seni dan budaya, puisi juga
  dengan sendirinya dapat lebih mudah diserap oleh kalangan luas,
  sehingga menyebabkan para pemimpin negara atau juga para penjajah
  dulu begitu memperhatikan gerakan para penyair dan seniman. Mereka
  menyadari bahwa puisi juga menjadi salah satu sarana penyebaran
  ideologi yang efektif.

  Lalu pertanyaannya sekarang adalah mungkinkah kita bisa benar-benar
  serius memakai puisi sebagai media penyataan terang-Nya? Semua
  memang kembali kepada diri kita sendiri. Saya sendiri yakin bahwa
  militansi para penulis Kristen tentu tak kalah dengan seorang buruh
  pelitur mebel asal Solo bernama Wiji Thukul yang rela menanggung
  risiko dilenyapkan oleh militer sampai sekarang. Bahkan kerelaan
  hati kita tentu juga bisa lebih dari yang dimiliki penyair sekuler
  macam W.S. Rendra yang pada masa-masa awal karirnya rela hanya makan
  nasi dan garam demi tekad untuk hidup dari seni (puisi) dan tidak
  lagi memandang seni sebagai kegiatan pengisi waktu saja.

  Ketika Roland Barthes memproklamirkan "Kematian Pengarang",
  mengingat pada masa ini pembacalah yang lebih dominan menilai dan
  memahami satu karya daripada sang pengarang, penulis Kristen tak
  perlu jera dan gentar menghadapinya. Sejarah membuktikan, kenyataan
  di sekitar menunjukkan, dan Roh Kudus yang akan memampukan, bahwa
  puisi bukanlah sebuah kesia-siaan. Puisi dapat menjadi alat
  komunikasi yang efektif dalam menyatakan kebenaran-Nya. Bahkan jika
  ditulis dan dikemas dengan baik ia akan sanggup melewati sekat-sekat
  yang selama ini membatasi tulisan-tulisan Kristen untuk diterima
  masyarakat luas. Ah, puisi ternyata memang tidak melulu masalah
  puitis atau tidak.

  



  Beberapa Sumber Bacaan:

  1. JJ Kusni, Esai Ketika Dicemoohkan, Puisi Terus Ditulis
     http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1030351856

  2. Percy Bysshe Shelley, A Defence of Poetry (dalam bentuk ebook
     dari Project Gutenberg)

  3. Ribut Wijoto, Artikel Skizofrenia pada Gejala Estetik Puisi
     http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/014/bud3.html

  Penulis: Ary Cahya Utomo



______________________

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/0017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar