Rabu, 14 Mei 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Syairmu Penabalmu, yang Menahbiskanmu Jadi Penyair






  Mau jadi penyair? Ya, berkaryalah. Memangnya siapa yang memberi
  status penyair kepada Raja Ali Haji? Kepada Amir Hamzah? Kepada
  Sutardji Calzoum Bachri? Atau kepada Hasan Aspahani? Karyalah yang
  menjadikan seseorang itu jadi penyair atau bukan. Memangnya Dolorosa
  Sinaga disebut pematung kalau dia tidak membuat sebuah karya patung
  pun? Memangnya, Amri Yahya itu disebut pelukis kalau dia tidak
  melukis sebidang kanvas pun? Memangnya GM Sudarta itu mau disebut
  kartunis kalau dia tidak menciptakan tokoh Oom Pasikom?

  Tentu berkarya saja tidak cukup, dan lantas kau disebut sebagai
  penyair. Kalau karyamu hanya kau simpan di map dan diselipkan di
  laci, siapa yang tahu bagus tidaknya karyamu? Sosialisasikan karyamu
  setelah kau yakin itu layak disebut sebagai karya bermutu, dan bisa
  pula mendukung niatmu untuk disebut sebagai penyair. Eit, jangan
  putus asa kalau redaktur menolak karyamu. Jangan memaki bahwa
  redaktur sastra itu penguasa yang otoriter.

  Sosialisasi kan tidak harus lewat satu majalah, satu surat kabar,
  atau jurnal saja. Kenapa tidak kau bukukan saja sendiri? Seperti Dee
  dengan Supernova-nya. Kenapa tidak mencari cara sosialisasi lain
  yang lebih kreatif, tidak cengeng, dan bahkan cara sosialisasi itu
  bersama karya hebatmu bisa dengan cepat mengangkat kau ke singgasana
  penyair, kalau memang itu yang benar-benar hendak kau duduki. Kau
  bisa ikut lomba cipta puisi, kau juga bisa kirim ke situs-situs
  sastra.

  Mau contoh? Buatlah brosur puisi, buatlah pembacaan puisi keliling
  dari sekolah ke sekolah, dari terminal ke terminal, atau buatlah
  majalah sastra sendiri. Kamu pikir Taufik Ikram Jamil itu siapa
  kalau tidak ketekunannya berkarya dan membina sejumlah majalah
  sastra seperti Berdaulat, Menyimak, dan Sagang.

  Kau pikir D. Zawawi Imron itu mengemis-ngemis ke redaktur sastra
  supaya karyanya dimuat? Kau pikir siapa yang menerbitkan buku puisi
  Subagio Sastrowardoyo pertama kali? Bukan penerbit tapi seorang
  pelukis bernama Jeihan. Lalu apakah Jeihan yang mengangkat almarhum
  sebagai penyair? Bukan, tapi karyanya itu.

  Kualitas karya. Itulah pemaknaan tunggal. Tapi, ingat kualitas tidak
  dilihat dari dimuat tidaknya sebuah karya di media. Karena belum
  tentu yang dimuat itu bagus, dan sebaliknya yang tak dimuat belum
  tentu jelek. Tak ada jalan pintas. Karena seorang redaktur itu orang
  yang makan gaji. Itu hanya sebuah jabatan struktural di sebuah
  media. Ia bisa dan kadang sangat subjektif.

  Eh, kira-kira di mana posisi seorang kritikus, ya? Apa pedulinya
  kita? Dulu memang ada HB Jassin yang tak bisa ditampik telah
  membesarkan dan menemukan seorang Chairil Anwar. Tapi, kembalilah
  tengok karyanya. Jassin mungkin tak akan pasang badan membela
  Chairil (apa untungnya?) kalau karyanya memang tak bermutu? Terbukti
  toh Jassin benar sampai sekarang, puisi-puisi Chairil tetap saja tak
  kehilangan kebaruannya.

  Jadi kembali lagi ke karyamu. Kalau memang mutiara, kritisi akan
  tahu meskipun ia menyelam dalam dan kau berada dalam cangkang yang
  keras tebal pejal.

  Selamat jadi penyair, eh, selamat membuat syair.

  



Diedit dari sumber:
  Website: http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/arsipesai.cgi?category=5&view=3.09.02-5.17.02
  Penulis: Hasan Aspahani




_____________________

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/0017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar