Senin, 12 Mei 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Plagiarisme sebagai Ancaman Kreativitas






4 Mai 2014 - 10.19 WIB

Di dalam dunia kepenulisan, barangkali yang menjadi salah satu kejahatan intelektual paling membahayakan adalah apa yang dinamakan dengan plagiarism atau plagiat. Wikipedia dan ASIAN Copy Right Handbook merumuskan bahwa yang dimaksud dengan plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri (pihak plagiator). Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain.

Plagiarisme dalam literatur terjadi ketika seseorang mengaku atau memberi kesan bahwa ia adalah penulis asli suatu naskah yang ditulis orang lain, atau mengambil mentah-mentah dari tulisan atau karya orang lain atau sebagian, tanpa menyebut sumber. Yang digolongkan sebagai plagiarisme adalah, pertama yakni apabila seseorang menggunakan tulisan orang lain secara mentah lalu diubah, tanpa memberikan penjelasan. Dan yang kedua yakni mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang cukup tentang sumbernya.

Beberapa waktu terakhir, kasus plagiat kembali mencuat. Yang terbaru misalnya pada kasus lomba Green Sastra Perhutani di mana cerpen “Elegi untuk Pong” karya Khoiriah Azzahroh yang sebelumnya dinyatakan sebagai peraih juara 3 kategori umum pada event ini dinyatakan terbukti memplagiat Novel berjudul Ping: The Message from Borneo karya Shabrina WS dan Riawani Elyta. Kasus ini menambah daftar buruk kasus-kasus plagiat kepenulisan di Indonesia. Juga kita akan selalu ingat kasus plagiat yang juga cukup menghebohkan dari Anggito. Tempo menyebutkan, Anggito Abimanyu menyatakan mundur sebagai dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada Senin, 17 Februari 2014. Langkah ini ia ambil di tengah tudingan plagiarisme yang menunjuk ke arahnya. Anggito mengaku keliru mencantumkan referensi dalam karya tulisnya, tapi ia menyangkal telah menjiplak tulisan Hotbonar Sinaga di harian Kompas. Sejarah mencatat bahwa ternyata plagiat tak hanya terjadi di kalangan penulis mula. Mereka yang sudah memiliki nama besar pun bisa terjebak dalam kasus kejahatan kepenulisan tersebut. Beberapa kasus plagiat paling menghebohkan dalam sejarah Indonesia yang dirilis Tempo diantaranya adalah:

1. Chairil Anwar (1949)
Penyair Chairil Anwar pernah dituduh menjiplak karya tulis. Tak tanggung-tanggung, yang menuduh Hans Bague Jassin melalui tulisannya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat membahas puisi Kerawang-Bekasi. Kritikus sastra yang juga bergelar Paus Sastra Indonesia itu membandingkan puisi Chairil dengan The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish, penyair Amerika Serikat.

Jassin tidak menyalahkan Chairil. Menurut dia, meskipun mirip, tetap ada rasa Chairil di dalamnya. Sedangkan sajak MacLeish, menurut Jassin, hanyalah katalisator penciptaan. Namun tanggapan Chairil bisa berbeda, apalagi Jassin menyebut tindakan Chairil meniru sajak MacLeish karena butuh uang untuk biaya berobat ke dokter. Ketegangan mereka sempat memuncak pada suatu acara di Gedung Kesenian Jakarta. Chairil dan Jassin sempat berkelahi.

2. Yahya Muhaimin (1992)
Ismet Fanany, ahli pendidikan asal Batusangkar, Sumatera Barat, yang bermukim di Amerika Serikat menerbitkan buku tentang plagiat. Buku terbitan CV Haji Masagung Jakarta itu berjudul Plagiat-Plagiat. Isinya tentang plagiat Yahya Muhaimin. Disertasi Yahya dituduh menjiplak tulisan beberapa ahli. The Politics of Client Businessmen, disertasi Yahya yang dipertahankan di MIT Cambridge, Amerika Serikat, 1982, dibandingkan dengan Capitalism and The Bureaucratic State in Indonesia: 1965-1975, judul asli tesis Robison di Universitas Sydney 1977.

Menurut Ismet, kemiripan itu baru satu sumber. Masih banyak lagi kemiripan dengan artikel lain. Yahya sendiri kepada Tempo menjelaskan, “Mungkin dia memakai standar plagiat yang berbeda dengan yang saya anut.” Dia mengakui disertasinya mengutip banyak fakta dan pendapat sejumlah ahli yang memang disebut Fanany. “Tapi saya mencantumkan sumbernya,” kata Yahya. Atas tudingan Fanany itu, Yahya tak berpikir menyerang balik.

3. Amir Santoso (1979)
Ia dituduh membajak karya tulis ilmiah dari berbagai kalangan, bahkan dari kalangan mahasiswanya sendiri. Amir juga mencaplok karya intelektual pakar lain. Apa yang dilakukan Amir Santoso itu dalam rangka mencapai gelar profesor (guru besar Universitas Indonesia).

4. I Made Kartawan (Desember 2008)
Dosen Institut Seni Indonesia Denpasar, I Made Kartawan, dituduh menjiplak. Tesis Kartawan pada 2003 yang berjudul Keragaman Laras Gong Kebyar di Bali sama persis dengan laporan penelitian berjudul Keragaman Laras (Tuning Systems) Gambelan Gong Kebyar hasil penelitian Prof Bandem, Prof Rai, Andrew Toth, dan Nengah Suarditha yang dilakukan pada 1999 dari Universitas Udayana.

Plagiat bisa dikatakan sebagai ancaman bagi kreativitas ide pengarang. Betapa banyak penulis yang memiliki ide-ide besar di dalam karyanya akhirnya dicuri orang, yang bukan tidak mustahil orang lain akan mendapatkan keberuntungan yang besar terhadap upaya plagiat tersebut. Begitu bahayakah itu? Inilah beberapa deskripsinya.

Plagiat sebagai simbol kemiskinan ide
Ide itu mahal. Itulah sebabnya tak semua penulis memiliki ide yang unik dan menarik dalam setiap karyanya. Ide itu sulit ditemukan. Ia pun sering dianggap wangsit di sebagian kalangan penulis. Lalu kenapa orang tertarik untuk melakukan plagiat? Bisa jadi salah satunya karena miskinnya ide dari seorang plagiator. Ia mungkin tak punya stok berpikir dengan caranya sendiri, menemukan sesuatu yang hebat dengan caranya sendiri, lantas ia pun menjadi latah untuk mencuri ide orang. Layaknya orang korupsi, seorang melakukan korupsi salah satunya disebabkan karena faktor kekurangan atau ambisi mencapai sesuatu yang berada di luar kemampuan.

Plagiat sebagai simbol kemalasan
Mengambil yang sudah ada itu memang enak, tak membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Memikirkan ide itu butuh waktu. Ada yang berbulan-bulan memikirkan ide untuk sebuah naskah cerpennya. Itulah orang yang mau berjuang untuk mendapatkan sesuatu dengan jerih payahnya sendiri. Namun sayangnya tak semua orang mau melakukan demikian. Orang selalu ingin yang simple dan pintas. Terkadang seseorang mengambil ide dari sebuah naskah yang ia pikir tak banyak orang tau tentang naskah itu. Namun akhirnya ketika telah dipublikasikan, barulah terbongkar upaya plagiat yang telah dilakukan. Sungguh kasihan, inilah nasib si pemalas.

Plagiat sebagai pelajaran bagi si malas baca
Ada banyak juga kasus plagiat yang terjadi dengan unsur ketaksengajaan. Misalnya mengolah ide yang sama dalam sebuah karya yang berbeda. Siapa yang lebih dulu menulis tentunya aman dari tuduhan plagiat. Sementara yang terakhir dialah yang akan dituduh sebagai plagiator. Padahal bisa jadi hal itu terjadi karena unsur ketidak sengajaan. Ya itulah resiko dari yang tak mau membaca. Bila kita hendak menulis sebuah karya, maka selayaknya kita melakukan survey apakah sudah ada karya dengan ide sejenis? Bila sudah ada maka berangkat lah dari persepsi yang berbeda untuk memperkayakan lagi referensi bacaan dari tema sejenis. Bila ini tak dilakukan, maka bersiap lah menyambut tuduhan sebagai seorang plagiat.

Dalam kasus plagiat tentu saja pihak yang paling dirugikan adalah yang terplagiat. Namun plagiator juga sebenarnya memiliki kerugian besar. Ini akan menjadi preseden buruk bagi perjalanan karirnya di mata publik. Penting bagi para penulis untuk berempati kepada pihak terplagiat. Ingat lah betapa mahalnya harga sebuah ide. Ketika kita memplagiat, sama artinya kita tak menghargai diri kita sebagai penulis. Sebab nilai penulis itu ditentukan dari kualitas apa yang ditulisnya. Jika ia menulis dengan cara yang tak berkualitas, maka bagaimana ia hendak menghargai dirinya?


Nafi’ah Al-Ma’rab
adalah Ketua Forum Lingkar Pena Riau.




____________________

Sumber : http://www.riaupos.co/1956-spesial-plagiarisme-sebagai-ancaman-kreativitas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar