oleh Alwi Atma Ardhana
Pengantar
Apa itu kritik sastra? Sebuah pertanyaan yang berat
untuk dijawab bahkan oleh orang-orang yang telah menempuh pendidikan
formal sastra, khususnya di Indonesia. Kalaupun ada jawaban atas
pertanyaan itu, jawaban tersebut umumnya tidak memuaskan. Salah satu
contoh, yang paling kini, dari ‘jawaban-yang-tidak-memuaskan’ ini adalah
makalah Budi Dharma yang dipaparkan di Temu Sastrawan Indonesia III di
Tanjungpinang yang berlangsung dari tanggal 28 hingga 31 oktober 2010
lalu. Bagi Prof. Dr. Budi Dharma, yang seorang akademisi sastra (paling
tidak kita ketahui dari dari titel di di depan namanya), “[s]emua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra.”.
Sehingga, tulisan sekecil apapun tentang karya sastra adalah kritik
sastra; blurb-blurb di sampul-sampul novel juga adalah kritik sastra.
Sebaliknya, menurut Katrin Bandel, yang juga seorang akademisi sastra
yang ‘ditugasi’ untuk menanggapi/menyanggah makalah Budi Dharma, sebuah
kritik sastra “mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya
(kritikus-pen) sampai pada penilaian tertentu.” Dalam pendapat Katrin
Bandel, blurb-blurb tentu tidak dapat digolongkan sebagai kritik sastra.
Ketidakpuasan Katrin dari makalah Budi Dharma mengenai penggolongan
‘kritik sastra’, hal yang mendasar dalam dunia sastra, adalah sinyal
yang patut ditangkap. Makalah Budi Dharma, yang seharusnya merupakan
tulisan akademis (memberi penjelasan yang lebih masuk akal dan disertai
beberapa kutipan pendapat teoretikus sastra sebelumnya sebagai
pembanding) tapi tak jadi, merupakan simbol parahnya pendidikan sastra
di Indonesia, termasuk para akademisi yang menghidupinya. Secara lebih
luas, dalam makalahnya, Katrin Bandel melihat keparahan para akademisi
sastra ini dengan menyatakan bahwa “tulisan-tulisan di jurnal-jurnal
akademis sering justru bermutu lebih rendah daripada tulisan di koran,
di majalah sastra atau di website sastra.” Penyebabnya, bagi Katrin
Bandel, adalah kurangnya keinginan para dosen sastra mengembangkan diri
dan besarnya tekanan struktural (kampus) yang mengharuskan para dosen
hanya menulis di jurnal-jurnal dengan lisensi DIKTI.
Menurut saya, ada penyebab lain yang sebenarnya turut mengambil peran
terjadinya fenomena di atas yaitu tidak adanya pendidikan sastra yang
memadai sejak dini di Indonesia: di Indonesia tidak ada pelajaran sastra
di tingkatan SD, SMP/SLTP maupun SMA/SLTA, hanya mata pelajaran Bahasa
Indonesia yang ada dan tentu tidak akan mampu mencakup sastra Indonesia
secara menyeluruh. Yang kedua, penekanan pentingnya kritik sastra
sebagai bagian mendasar dari studi sastra tidak diberikan di fakultas
sastra. Berapa mahasiswa sastra yang mengetahui bahwa tujuan akhir dari
fakultas sastra, salah satunya, adalah mencetak kritikus sastra? Atau
berapa mahasiswa yang mengetahui bahwa kritikus sastra adalah sebuah
profesi? Dan itu bukanlah sebuah kebetulan semata, karena sangat jarang
brosur-brosur iklan fakultas-fakultas sastra yang menuliskan kritikus
sastra sebagai salah satu profesi, bahkan yang utama, yang hadir sebagai
hasil dari pendidikan di fakultas sastra; kebanyakan profesi yang
diiklankan adalah sastrawan, budayawan, bahkan wartawan. Dari segi
kurikulum, berapa SKS dalam setiap prodi bernama-depan ‘sastra’ yang
membahas kritik sastra secara khusus? Saya, sebagai orang yang pernah
belajar di fakultas sastra, tidak mendapatkan mata kuliah-mata kuliah
yang membahas kritik sastra secara khusus itu.Esai
ini berangkat dari lemahnya pendidikan sastra di Indonesia, yang mana
saya termasuk salah satu produknya, yang bahkan tidak mampu menjawab
pertanyaan sederhana di awal esai ini. Dengan mencoba menjawab
pertanyaan tersebut, dengan semaksimal mungkin, paling tidak esai ini
akan mengisi ruang lowong di ranah pendidikan sastra (di) Indonesia.
Krisis Kritik Sastra: Sebuah Deteksi
Seorang penyair yang tinggal di Jogja, Saut Situmorang, dalam esainya
yang berjudul ‘Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia’, membantah
pernyataan Korrie Layun Rampan yang (masih saja) percaya bahwa krisis
yang terjadi di dunia Sastra (di) Indonesia adalah krisis karya sastra.
Menurut Saut Situmorang, krisis justru terjadi di sisi kritik sastra.
Pernyataan Korrie Layun Rampan ini sebenarnya sudah harus gugur
sebelum dituliskan karena sekitar 50 tahun yang lalu, tepatnya tahun
1955, Sitor Situmorang telah mendeteksi adanya krisis kritik sastra (dan
bukan krisis karya sastra seperti yang Korrie Layun Rampan ungkapkan).
Dalam tulisannya yang berjudul ‘Krisis H.B. Jasin’ pada Mimbar Indonesia Th. IX No.2-3,
15 Januari 1955, Sitor Situmorang menuliskan bahwa sastra (di)
Indonesia sedang mengalami krisis ukuran. Yang dimaksudkan ukuran oleh
Sitor adalah pengukuran pencapaian estetika pada sastrawan-sastrawan
yang menentukan seberapa pentingnya (berpengaruhnya) seorang sastrawan.
Baginya, dalam tulisan tersebut, setiap sastrawan dan karyanya harus
dikaji dengan ide-ide yang melingkupinya. Di sinilah pentingnya tulisan
Sitor Situmorang: dengan melakukan apa yang ia anjurkan, akan tergali
ide-ide dari sastrawan-sastrawan terdahulu yang pada kenyataanya
mempengaruhi sastrawan-sastrawan setelahnya (jika memang ide seorang
sastrawan ini begitu dahsyatnya). Dengan dasar inilah sebuah tradisi
sastra (kanon) diciptakan.
Sehubungan dengan sastra kanon, sebelum Pramoedya Ananta Toer
mengumpulkan karya-karya penulis, yang kebanyakan Indo dan Tiong Hoa, di
buku Antologi Sastra Pra-Indonesia, berapa banyak orang yang
mengenal nama-nama seperti Kwee Tek Hoay, Kommer, G. Francis, atau F. D.
J. Pangemanann? Nyatanya, setelah membaca buku ini kita kemudian
mengerti betul besarnya pengaruh ide-ide penulis-penulis itu ke penulis
sepenting Pram! Namun sejarah sastra, versi penguasa, tidak pernah
mencantumkan nama-nama penulis tersebut padahal karya mereka menjadi
salah satu pendorong penulis sebesar Pram dalam menulis. Kalau begitu
kenapa mereka dilupakan? Apakah tulisannya tidak mencukupi standar
estetika kepenulisan saat itu? Jawaban atas pertanyaan itu lantas
mengacu pada sejarah sastra Indonesia melalui pembangunan Balai Pustaka
oleh penjajah Belanda. Sebagai badan sastra terkuat pada masa itu (atau
bahkan hingga sekarang?), secara politik mereka menetapkan karya-karya
mana saja yang dianggap sastra. Karena penulis-penulis yang diangkat
Pramoedya menulis menggunakan bahasa melayu-pasar, yang bukan bahasa
resmi pemerintahan saat itu, karya-karya mereka lantas dipinggirkan. Dan
politik semacam ini, diakui atau tidak, menemukan bentuk akutnya di
sastra Indonesia kontemporer.
‘Kebesaran’ satu sastrawan diukur melalui dikenal atau tidaknya ia,
atau seberapa sering karyanya muncul di koran minggu, atau seberapa
sering ia diundang membacakan puisinya, atau, lebih parah lagi, dari
komunitas sastra mana ia berasal. Dengan kondisi akut kekuasaan sastra
yang tidak memberikan ukuran estetika pada karya sastra-karya sastra
yang dianggap besar, hanya ada satu jalan keluar untuk kondisi sastra
yang lebih adil, yakni, menghidupkan kritik sastra (di)
Indonesia.Sekilas terkesan ada nada bahwa hidupnya kritik sastra akan
membawa keadilan bagi para penulis karena si kritikus akan menjadi
pembawa keadilan dimaksud. Namun, ada kutipan yang cukup mencengangkan,
paling tidak itu sensasi yang saya rasakan ketika pertama kali
membacanya, yakni: “his object indeed is not to do justice to his author”(terj.
Objeknya (kritikus-pen) sesungguhnya bukanlah untuk memberikan keadilan
pada pengarangnya). Kutipan ini saya ambil dari sebuah esai berjudul On Criticism yang maktub dalam buku kumpulan esai William Hazlitt Table Talk
(1902). Tanpa ide dalam esai Hazlitt ini, maka jawaban dari judul esai
ini adalah bahwa kritik sastra merupakan tulisan yang menilai karya
sastra untuk memberi keadilan bagi semua penulis. Akan tetapi,
pencantuman kutipan Hazlitt ini tampaknya, bagi saya sendiri, menjadi
sebuah tindakan yang mirip dengan melempar batu ke kolam berair jernih.
Definisi kritik sastra pun sekali lagi berada di ruang gelap. Maka, saya
akan memaparkan sejarah kritik sastra guna membuka pintu yang cukup
lebar untuk memahami, dan semoga mencerahkan pemahaman kita tentang,
konsep dasar kritik sastra.
Sejarah Kritik Sastra: Istilah dan Ide-ide di Dalamnya
Secara etimologis, usaha pencarian istilah dan ide-ide dalam kritik sastra dilakukan oleh Rene Wellek di bukunya ‘Concepts of Criticism’ (1963). Kata ‘kritik sastra’ (criticism) datang dari bahasa Yunani krinein, yang berarti ‘menilai’. Kata benda yang dimiliki krinein adalah kritein yang berarti hakim dan untuk istilah khusus yang berhubungan dengan sastra adalah kritikos. Sosok seorang kritikos inilah yang sekarang dimengerti sebagai kritikus sastra. Secara tersurat, arti dari kritikos
adalah penilai sastra. Kata ini mulai dikenal pada abad ke-4 Sebelum
Masehi. Dan orang yang pertama kali menyandang ‘gelar’ ini adalah
Philitas dari pulau Kos (Yunani). Pada masa itu, istilah kritik(us)
sastra memiliki pengertian yang sama sekali berbeda dengan masa
sekarang.
Kritik sastra telah sejak masa awalnya berarti sebuah usaha
penilaian, namun kesan dan lingkup penilaiannya berbeda dari apa yang
kita pahami sekarang. Seseorang yang menilai benar atau salahnya tata
bahasa sebuah aturan yang diletakkan di jalanan atau tepat tidaknya
pilihan kata yang digunakan seorang orator masuk dalam kategori kritikus
sastra. Dengan kata lain, seorang ahli tata bahasa, seperti Galen,
seorang filsuf seperti Aristoteles, dan seorang ahli retorika, seperti
Quintillian, pada masa itu masuk ke dalam satu golongan yang sekarang
dikenal dengan kritikus sastra karena mereka semua sama-sama mengkaji
teks dan kata-kata.
Penjelasan singkat di atas dapat dikatakan sebagai perkembangan
kritik sastra klasik. Tahap selanjutnya adalah masa ketika kristianitas
mulai berkembang. Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan kritik sastra
sangat dipengaruhi oleh perkembangan kristianitas. Usaha penilaian baik
dan buruk suatu teks dilanjutkan pada masa ini. Dimulai dari masa
Rennaissance, penggabungan keahlian seorang ahli tata bahasa, ahli
retorika dan filsuf dalam menilai suatu teks digunakan untuk menilai
keindahan penulisan, baik dari segi gaya bahasa maupun tata bahasa, dan
keaslian/keotentikan (authenticity) satu cetakan Injil serta
teks-teks di sekitarnya. Kritik sastra yang dilakukan oleh gereja
tersebut mendasarkan diri pada buku Jan Wower of Leiden, Tractatio de Polymathia (1602). Ia membagi tugas seorang kritikus menjadi dua, yaitu, iudicium (memastikan keaslian tulisan seorang penulis) dan emendatio (meluruskan pembacaan yang menyesatkan).
Di Masa kegelapan inilah, sebuah cabang kritik sastra hadir dengan
basis sebuah institusi, yakni gereja. Dengan kekuasaan gereja yang makin
mengakar-luas hingga ke teks-teks lain, bahkan yang di luar injil,
kebanyakan menimpa buku puisi dan narasi epik, bentuk klasik dari novel,
kemudian menjadi ‘korban’ keganasan dari tugas kedua yang diajukan Jan
Wower tadi. Karena usaha penilaian tersebut dan karena berhubungan
dengan agama, maka banyak penulis sastra yang sering dicap sebagai
seorang ateis. Artinya, kasus yang serupa dengan penyerangan rumah milik
Salman Rushdie setelah penerbitan Satanic Verses-nya ataupun pengeboman rumah Naguib Mahfouz setelah peredaran cerpennya Zaabalawi, sudah terjadi pada masa itu sebagai dampak dari perkembangan kritik sastra agamawi.
Jika para ahli tata bahasa, ahli retorika dan filsuf Yunani klasik
memberi sumbangsih pada kritik sastra modern sebuah pondasi awal pada
karya sastra berupa ruang lingkup atas kritik sastra, seperti gaya
bahasa dan ide, kritik sastra ala gereja yang terlihat agresif ini
memberi satu sumbangsih yang hingga kini masih dijalankan oleh para
kritikus, yaitu pembagian teks antara canon dan apocrypha. Dalam Penguin Dictionary of Literary terms and Literary Theories (1999), canon
diartikan sebagai tulisan yang asli dan benar. Dengan kata lain,
apabila teks ini adalah sebuah injil, maka ini adalah versi injil yang
disetujui oleh pihak gereja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Sedangkan apocrypha berarti segala tulisan di luar injil yang
diterima dengan baik oleh pihak gereja dan segala teks gerejawi yang
tidak jelas pengarangnya. Istilah canon dalam sastra berasal dari tradisi ini.
Permasalahan uji keaslian dan pembagian teks yang berkenaan dengan
agama ini, sebenarnya tidak hanya dimiliki tradisi kristen, namun juga
agama lain, walaupun dengan versi yang sedikit berbeda. Islam, misalnya.
Dalam Islam, teks tertinggi adalah Al-Qur’an, di bawahnya adalah
sunnah-sunnah, yakni perkataan dan pembacaan atas tingkah laku Nabi
Muhammad SAW dan yang terlemah sifatnya adalah hadis-hadis, yaitu
kesaksian-kesaksian para sahabat di sekitar Nabi mengenai perilaku Nabi.
Ketiga teks tersebut digunakan para ahli tafsir untuk membaca perintah
dan larangan Allah SWT yang nantinya dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. Mengingat hirarki ketiga teks ini, yang menjadi perdebatan
hingga kini adalah hadis-hadis ini. Perdebatan seputaran hadis ini
terjadi karena kesahihan/validitas hadis-hadis ini masih harus
dipertanyakan. Itulah kenapa hadis-hadis tidak dikumpulkan hingga masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abd Al Aziz. Di Islam, ilmu menilai hadis
ini disebut kritik sanad. Pada awalnya, hadis-hadis ini dikumpulkan
tanpa memperdulikan kesahihannya, baru kemudian diciptakan metode
menilainya (kritik sanad); ini untuk membedakan antara hadis yang soheh/sahih (‘asli’), yang dha’if (lemah) dan yang maudhu
(palsu) [Muhammad Syuhudi Ismail, 1996: 53-54]. Kritik sanad terdiri
dari dua dasar penilaian (sanad dan matan). Sanad adalah runutan
orang-orang yang menceritakan perilaku Nabi Muhammad SAW. Sanad ini juga
mencakup kualitas orang-orang yang menceritakannya(perawi); kejujuran
pencerita adalah salah satu syarat kesahihan hadis. Yang kedua adalah
matan, yaitu kata-kata sesungguhnya yang digunakan ketika Nabi
mengucapkan untuk pertama kalinya. Kejelasan runutan dan ketepatan
kata-kata inilah yang menjamin kesahihan satu hadis. Seperti dalam
pembagian canon dan apocrypha, hadis-hadis digolongkan untuk menunjukkan keasliannya (shoheh, dha’if dan maudhu’).
Walaupun berbeda cara pengukurannya, antara tradisi kristen dan
Islam, namun keduanya memberikan gambaran tentang cara kerja dan tujuan
kritik sastra agamawi.Kembali ke kritik sastra, lebih jauh lagi,
sumbangsih kritik sastra agamawi pada kritik sastra sekuler, yang
merupakan hasil dari pembedaan canon dan apocrypha, adalah terciptanya sebuah tradisi. Tradisi yang dimaksud adalah tradisi teks canon.
Sebelumnya, kritik sastra tidak berusaha untuk menciptakan sebuah
tradisi dalam kesusastraan, namun setelah dipengaruhi kritik sastra
agamawi ini, para kritikus mulai mengarah pada penciptaan tradisi.
Bahkan, mereka, para kritikus, kini memiliki sebuah standar yang juga
dipengaruhi oleh kritik sastra agamawi, yaitu keaslian (authenticity).
Tentu perjalanan kritik sastra setelah masa ini melahirkan beberapa
perubahan gagasan, namun pada titik kritik sastra agamawi inilah
pengaruh besar terhadap konsep dan fungsi kritik sastra terjadi. Dan
pemaparan sejarawi di atas memang saya maksudkan untuk digunakan sebagai
gerbang memasuki konsep dan fungsi kritik sastra lebih jauh lagi.
Konsep dan Fungsi Kritik Sastra
Dari sejarah singkat kemunculannya seperti dijabarkan di atas, kritik
sastra secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan menilai
teks, yakni karya sastra. Perkara tata cara dan standar-standar
penilaian, berikut sudut pandang yang digunakan, masih terus berkembang
hingga masa sekarang ini.Dalam
perkembangannya, yang dapat dipastikan adalah bahwa kritik sastra sudah
dianggap sebagai satu genre karya sastra di luar puisi, prosa dan drama.
Yang membedakan adalah kritik sastra bersifat non-fiksi. Namun kritik
sastra tetaplah sebuah karya seni, seni mengkritik. Ia sama personalnya
dengan puisi, bahkan mungkin sama lirisnya dalam taraf penghayatannya.
Penghayatan seorang kritikus terhadap keindahan suatu karya sastra
tidaklah kalah dengan penghayatan seorang penyair terhadap keindahan
alam. Kepekaan, keterlibatan emosi, seorang Matthew Arnold kala
mengkritik karya-karya Goethe, sama dahsyatnya dengan kepekaan Goethe
kala berimajinasi dan menulis karya-karyanya. Pendapat bahwa kritik
sastra adalah salah satu genre dalam karya sastra didukung juga dengan
pendapat Matthew Arnold, seorang kritikus sastra Inggris, bahwa dalam
proses penciptaannya, karya sastra fiksi (puisi, prosa dan novel) dan
non-fiksi (kritik sastra) memiliki kesamaan (keduanya sama-sama memiliki
dorongan kritis dan kreatif). Memang Arnold membedakan antara dorongan
kreatif dan dorongan kritis, akan tetapi pada akhirnya keduanya saling
bergesekan. Dorongan mencipta yang melatari seorang penyair menulis
puisi, pada prosesnya juga sekaligus merupakan usaha kritis atas
puisi-puisi pendahulunya. Ia berusaha merevisi pandangan-pandangan atau
teknik-teknik penulisan yang ada pada pendahulunya. Dan dari sisi
kritikus, walaupun ia berangkat dari dorongan untuk kritis, namun ia
memiliki motif yang sama dengan si penyair, yaitu untuk mencipta karya
dan menempati satu ruang di antara para kritikus dengan penciptaan
tradisinya. Ide-ide si kritikus, yang merupakan pembacaan atas karya
sastra, mampu memunculkan sebuah gerakan tertentu. Gerakan sastra ini,
walaupun dimulai oleh si penyair dengan karyanya, merupakan karya si
kritikus yang mampu mengangkatnya dan meletakkannya di jalur tradisi
kesusastraan.
Satu contoh, seorang kritikus dan teoritikus besar dalam tradisi pemikiran Marxis, Georg Lukacs, dalam bukunya Studies in European Realism
(1950), mengangkat nama Maxim Gorky yang baginya mewarisi tradisi
kepenulisan Eropa daratan. Bagi Lukacs, Gorky mewarisi penulisan bentuk
awal novel dari Honore de Balzac yang kemudian berkembang menjadi
naturalisme a la Emile Zola. Dan di Rusia, Leo Tolstoy membawa bentuk
realisme yang utuh karena ia benar-benar mewakili, untuk tidak
menyebutnya menemukan, Rusia saat itu. Selanjutnya, Gorky didaulat oleh
Lukacs sebagai penulis dengan bentuk yang paling mampu membaca Rusia di
kemudian harinya, yakni Realisme Sosialis. Lukacs mengangkat nama Gorky
yang sekaligus mengangkat nama Realisme Sosialis sebagai sebuah gerakan
sastra dan seni di Rusia pasca-revolusi. Setelah buku Lukacs, tradisi
kesusastraan bernama Realisme Sosialis pun muncul ke permukaan dan
menyebar pengaruhnya bahkan sampai ke Indonesia. Dari demonstrasi yang
dilakukan Lukacs tadi, terlihat bahwa tujuan dari kritik sastra tidak
untuk memberi keadilan pada pengarang, tetapi lebih memberi suatu tempat
pada pengarang di antara pengarang-pengarang lainnya. Atau dalam bahasa
Hazlitt, memberi penghormatan (homage). Penghormatan dilakukan
dengan menggali nilai dari karya sastra. Tidak dapat dibantah sedikit
pun itulah titik berat, atau tujuan utama, sebuah kritik sastra, yakni
mengukur nilai yang terdapat dalam satu karya sastra.
Kata kunci yang masih membingungkan di sini adalah nilai. Nilai
adalah sesuatu yang abstrak dan satu hal yang menurut orang bernilai,
bagi yang lainnya bisa tak ada nilainya sama sekali. Nilai selalu
menjadi inti perdebatan dalam kritik sastra karena keabstrakkan dan
kenisbiannya. Pertanyaan macam ‘Atas dasar apa seorang kritikus menilai
satu karya sastra?’atau ‘Bagaimana mungkin seorang kritikus menilai
puisi tertentu sebagai puisi yang monumental?’ atau, yang jarang kita
dengar di sastra Indonesia kecuali akhir-akhir ini, ‘Bagaimana mungkin
seorang sastrawan mendapatkan anugerah sastra tanpa melalui proses
kritik sastra?’ akan selalu muncul, apalagi di sastra Indonesia yang
sedang mengalami krisis ukuran, meminjam istilah Sitor Situmorang.
Mari kita ulik satu per satu pertanyaan-pertanyaan di atas. Yang
pertama adalah dasar seorang kritikus kala mengkritik sebuah karya
sastra. Bagi Hazlitt, di esainya On Criticism, yang digunakan seorang kritikus untuk menilai sastra tidak lebih dari selera (taste)
si kritikus. Dengan seleranya, ia harus mampu mengungkap warna
(kekhasan) penulis yang ia angkat. Kalau begitu, seorang kritikus bisa
menulis seenaknya karena hanya bergantung pada seleranya? Tentu tidak,
Hazlitt telah mengantisipasi pertanyaan macam ini, dengan menulis bahwa
penulisan kritik sastra harus dibarengi dengan sejumlah alasan dan data,
nukilan dari karya sastra yang sedang dikritik. Menurut pendapat
Hazlitt yang maktub dalam esai lainnya (On Taste), definisi
dari selera adalah “…kepekaan rasa terhadap berbagai macam tingkatan dan
jenis kejeniusan dalam karya-karya seni…” dan dengannya si kritikus
harus mampu mengungkap warna si pengarang. Untuk mampu mendapatkan warna
yang khas ini, seorang kritikus harus dekat bahkan mengenal dengan
mendalam karya si pengarang tadi, yang hasilnya berupa data yang saya
bicarakan di atas.
Namun, bukankah alasan juga dapat dicari-cari begitu juga
penyelarasannya dengan nukilan-nukilan tadi? Menjawab keraguan ini, kita
akan memasuki pertanyaan kedua di paragraf sebelumnya, yakni ‘Bagaimana
sebuah karya sastra bisa dianggap monumental?’. Jawabannya sederhana,
yaitu tradisi. Hazlitt menulis bahwa salah satu tugas kritikus adalah
meletakkan penulis-penulis dalam kelas-kelas, yang dilakukan dengan
membandingkan satu penulis dengan lainnya. Mereka, para kritikus,
meletakkan para penulis ke dalam tradisi-tradisi yang telah ada atau
bahkan membuat tradisi baru; ‘baru’ dalam arti penulis ini memiliki
semacam revisi atau kritik pada sebuah tradisi, jadi ‘baru’ tidaklah
berarti benar-benar lepas dari sebuah tradisi. Inilah proses pembentukan
tradisi sastra melalui kritik sastra menurut Hazlitt.
Walaupun Hazlitt tidak begitu mendalam membahas permasalahan tradisi,
ia menjadi pionir dalam sudut pandang ini. Nama-nama besar seperti T.S.
Eliot, Georg Lukacs, dan Harold Bloom mengangkat permasalahan tradisi
dan posisi satu pengarang melalui jalan yang dibuka oleh Hazlitt.
Bahkan, pada tahun 1994, Harold Bloom menerbitkan sebuah buku paling
komprehensif tentang tradisi kepengarangan di dunia Barat, serta Amerika
Latin, dengan judul mengerikan Western Canon; the Books and Schools of the Ages. Buku ini berisi susunan pengarang-pengarang dan meletakkan Shakespeare sebagai pusat dari tradisi ini (pusat canon) dengan teori temuannya, teori kecemasan akan pengaruh (anxiety of influence).
Teks-teks Shakespeare mempengaruhi teks-teks setelahnya melalui
ide-idenya. Konsep-konsep mengenai manusia dalam karakter-karakternya,
seperti keragu-raguan dalam Hamlet, membayangi, mempengaruhi,
penulis-penulis setelahnya kala menulis karya mereka. Konsep-konsepnya
tentang manusia terus diikuti dan hanya sebagian kecil pengarang yang
mampu terlepas darinya. Dengan kata lain, melalui buku ini Bloom, sesuai
dengan seleranya, membuat sebuah tradisi kanon.
Sekali lagi, kritik sastra adalah urusan menilai kemudian meletakkan,
atau membuat tradisi, untuk para pengarang dan karya-karya sastranya.
Maka, terkumpullah karya sastra yang disebut sastra kanon. Fungsi utama
kritik sastra tidak lain adalah menciptakan kanon. Kalau begitu, apakah
yang membuat satu pengarang masuk kanon?
Itulah permasalahannya sekarang. Tampaknya kita kembali ke
permasalahan nilai. Apabila di atas penjelasannya hanya berkisar
permasalahan selera dan kepekaan rasa yang sangat berhubungan dengan
ke-diri-an si kritikus, sekarang penjelasan lebih kepada karya sastra
yang memiliki sifat kanon (namun, perlu diingat dalam membicarakan
permasalahan sifat kanon ini pun ke-diri-an seorang kritikus tak bisa
begitu saja dilepaskan). Seperti dijelaskan di awal, kata kanon
datang dari tradisi pemikiran gerejawi dan sekarang diterapkan dalam
kritik sastra non-gerejawi (sekuler). Sehingga, mau tidak mau, kita
harus merunut konsep kanon sekarang dengan membandingkannya dengan
konsep kanon gerejawi.
Pada Masa Kegelapan, karya-karya pengarang seperti Shakespeare, Milton, Dante, Chaucer dll. masuk ke dalam golongan apocrypha.
Sekarang, pengarang-pengarang tersebut masuk ke dalam jajaran pengarang
elit (kanon). Di sini ada pergeseran nilai yang terjadi karena
karya-karya pengarang tadi tiba-tiba, setelah Rennaissance, menjadi
bernilai tinggi (kanon). Penulis-penulis tersebut masuk ke dalam jajaran
kanon karena kanon sekarang mempunyai arti yang berbeda. Bahkan,
pemaparan sejarah di atas menjelaskan bahwa ide tentang kanon dalam
kritik sastra tidak ditemukan (dalam kritik sastra sekuler Yunani).
Kritik sastra gerejawilah yang membawa konsep ini dan kini konsep ini
menyusup ke dalam badan kritik sastra sekuler bersamaan dengan datangnya
“cahaya terang” Rennaisance. Namun konsep (standar penilaian) kanon
pasca-Rennaisance, yang kita kenal sekarang, berbeda dengan konsepnya
sebelumnya (pra-Rennaissance). Perbedaan konsep ini yang membuat
nama-nama sastrawan di akhir paragraf di atas termaktub dalam tradisi
sastra kanon. Kata canon, seperti yang saya dapat di Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory edisi ke empat (1999) dan sudah saya singgung di atas, diartikan sebagai “[a]
body of writings established as authentic. The term usually refers to
biblical writings accepted as authorized – as opposed to apocrypha.”
(istilah ini biasanya digunakan untuk mengacu pada sekumpulan tulisan
injili yang diakui keasliannya – sebagai lawan kata dari apokrifa).
Definisi di kamus sastra ini adalah definisi konsep kanon pada ranah
gerejawi (pra-Rennaissance) dan bukan pada kritik sastra sekuler
(Yunani) yang merupakan cikal bakal kritik sastra yang dikenal luas
sekarang. Untuk konsep kanon (sastra) kontemporer, pada kamus tersebut
tertulis “[t]he term can also apply to an author’s works which are accepted as genuine.” ([i]stilah ini juga digunakan untuk mengacu pada karya-karya penulis yang dianggap asli).
Jadi, secara sederhana, ‘keaslian’-lah yang menjadi standar apakah
suatu teks masuk ke dalam tradisi kanon atau tidak. Akan tetapi, standar
keaslian yang dituntut oleh kritik sastra gerejawi, dengan konsep authentic-nya, dan kritik sastra sekuler (kontemporer), dengan konsep genuine-nya, berbeda. Untuk membuat nalar pembeda authentic dan genuine lebih terang, mari ambil contoh dari tradisi kritik sanad Islam. Sebuah hadis akan diakui keasliannya (authentic)
apabila datang dari pencerita-pencerita (perawi-perawi) yang diakui
(memenuhi syarat). Sedangkan apabila kita menggunakan konsep ‘asli’ (genuine), setiap cerita dari perawi-perawi itu adalah ‘asli’ (genuine)
sejauh itu merupakan cerita rekaan mereka sendiri dan bukan datang dari
orang lain. Secara singkat, keaslian yang dituntut oleh kritik sastra
gerejawi terletak pada pengarangnya, sedangkan kritik sastra kontemporer
lebih menuntut keaslian ide dari pengarang manapun. Jadi, Dante
Alighieri, misalnya, masuk kanon sastra saat ini karena keaslian ide-ide
dalam karya-karyanya, tapi ia tidak masuk kanon gerejawi karena ia
bukanlah pengarang yang diakui oleh gereja walaupun ia menulis tentang
perjalanan spiritual manusia, yang dekat dengan konsep-konsep
kristianitas, dalam The Divine Comedy. Kedekatan ini cukup mencolok, mulai dari pemilihan kata canto, daripada chapter, untuk mengacu pada ‘bab’ dan pemberian setiap volume bukunya; buku pertama berjudul Inferno, yang kedua Purgatorio, dan yang ketiga Paradiso. Andaikata Dante adalah penulis yang diakui gereja, saat ini The Divine Comedy pasti sudah menjadi injil.
Dengan perbandingan istilah yang telah dijabarkan di atas, kini jelas
bahwa inti kritik sastra kontemporer adalah mencari keaslian (genuineness)
ide para pengarang. Keaslian ide ini yang menjadi tolok ukur masuk
tidaknya seorang pengarang dalam tradisi kanon sastra. Dan pengukuran
keaslian ide ini, menurut Hazlitt, dilakukan dengan menyandingkan satu
pengarang dengan pengarang yang lain. Siapakah di antara mereka yang
memiliki ide asli dan siapakah yang hanya mengikuti ide tersebut? Itulah
pertanyaan yang paling mendasar dalam kritik sastra dan pertanyaan
tersebut hanya terjawab dengan kritik sastra perbandingan (komparatif).
Satu hal yang menurut saya perlu kembali ditekankan, mengingat
permasalahan nilai karya sastra dan selera kritikus, adalah bahwa kritik
sastra, bagaimanapun juga, adalah tindakan personal. Apabila ternyata
banyak kritikus mengangkat nama-nama yang sama, itu bukanlah hal yang
aneh juga mengingat karya-karya sastra tertentu memang memiliki ide-ide
yang sangat kuat dan tidak akan dapat ditolak oleh para kritikus sastra
dan selera para kritikus juga sangat mungkin dipengaruhi kritik-kritik
karya pendahulu mereka. Karena beragamnya sumber penciptaan kanon (baca:
individu kritikus), sastra kanon tidak boleh dijadikan kebenaran
tunggal dari sebuah institusi karena ia berangkat dari selera
masing-masing kritikus. Penciptaan kanon yang dijadikan kebenaran
tunggal hanya akan menghasilkan tiran di dalam tradisi (ber)sastra dan
sebagai dampaknya kanon sastra hanya akan mandeg dengan nama-nama yang
itu-itu saja seakan-akan tidak ada perkembangan ide seiring dengan
kemajuan zaman.
Penutup
Melalui pemaparan historis istilah dan perkembangan konsep kritik
sastra di atas, secara singkat, kritik sastra dapat disimpulkan sebagai
tindakan personal (para kritikus sastra) guna menilai (memberi
penghormatan) pada para pengarang dan karya-karyanya, dan sebagai
hasilnya terciptalah (beragam) tradisi sastra kanon. Bagaimana kondisi
tradisi sastra kanon di Indonesia? Apakah Pramoedya Ananta Toer,
misalnya, besar hanya karena dinominasikan berkali-kali untuk Nobel?
Atau karena ia selama belasan tahun dipenjara oleh Soeharto? Seharusnya
tidak! Pramoedya Ananta Toer seharusnya menjadi besar karena ada
penghormatan dalam bentuk kritik sastra yang meletakkannya dalam sebuah
tradisi sastra kanon oleh kritikus sastra. Itulah penghormatan tertinggi
yang patut diberikan pada setiap sastrawan (yang dirasa) besar. ***
- Bandel, Katrin. “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman”. Makalah untuk menyanggah makalah Budi Dharma, disampaikan di Temu Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010. (Judul makalah mengacu pada tema TSI III)
- Bate, J, Walter (Ed). Criticism: the Major Texts. New York: Hartcourt, Brace and Company Inc., 1952.
- Bloom, Harold. Western Canon; the Books and Schools of the Ages. New York: Hartcourt, Brace and Company Inc., 1994.
- Cuddon, J. A. Penguin dictionary of literary terms and literary theory (4th ed). Middlesex: Penguin Books Ltd., 1999.
- Dharma, Budi. “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman”. Makalah disampaikan di Temu Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010. (Judul makalah mengacu pada tema TSI III)
- Hazlitt, William. Sketches and Essays. London: Grant Richards, 1902.
- Hazlitt, William. Table Talk. London: Grant Richards, 1902.
- Ismail, S. Muhammad. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani, 1996.
- Lukacs, Georg. Studies in European Realism. London: Merlin Press, 1989.
- Situmorang, Saut, Politik Sastra, Yogyakarta: penerbit [sic], 2008.
- Situmorang, Sitor. Krisis H.B. Jasin. Mimbar Indonesia Th. IX No.2-3, 15 Januari 1955.
- Wellek, Rene, Concepts of Criticism, New Haven: Yale University Press, 1976.
Sumber: http://mediasastra.com/teori-sastra/apa_itu_kritik_sastra
____________________
Sumber Nukilqn : http://boemipoetra.wordpress.com/2013/05/13/apa-itu-kritik-sastra-2/
____________________
Sumber Nukilqn : http://boemipoetra.wordpress.com/2013/05/13/apa-itu-kritik-sastra-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar