Kamis, 26 Juni 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Puisi Lahir, Pembaca Lahir, Pengarang Mati





 






DIBANDING Roland Barthes, agaknya kita lebih banyak bersepakat dengan Hegel. Dalam Phenomenology of Spirit (1988), Hegel, penganut (diskursus) modernisme itu, menandaskan bahwa karya (seni) adalah ekspresi diri si subyek, si pengarang (dalam konteks sastra). Otentisitas sebuah karya diidentikan dengan “kejeniusan” sang pengarang, sang pencipta, sang pengkarya.

Maka, legitimasi paham ini dengan misalnya: pembubuhan tanda tangan (dan nama) si pelukis pada karya lukisannya, atau nama lengkap si pengarang pada karya tulisnya atau diterakan pada bukunya. Dan sampai hari ini, rupanya, masih demikianlah kecederungannya, bahkan ditambah dengan penguatan hukum melalui HAKI.

Roland Barthes, melalui diskursus postmodernisme, menampiknya. Konsep “pengarang” semacam itu, yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian (melalui cogito ergo sum itu), bagi Barthes “sudah tak punya tempat lagi,” yang kemudian lebih ia pertegas dalam metafor lain; “pengarang telah mati” (The Death of The Author, 1977). Makna “kematian” di sini, menjelaskan bahwa bukan pengarang yang bicara, tapi bahasa, “...hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya (pengarang).”

Kita boleh jadi kemudian menampik pendapat Barthes ini dengan mengatakan bahwa bukankah “bahasa yang beraksi” itu datangnya dari pengarang? Dan Barthes akan menjawab begini, “...sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal teologis si pengarangnya (seperti wahyu Tuhan).” Sebab, kata Barthes, “teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya...”

Tentu, dengan semangat diskursus posmodernisme Barthes semacam itu, segera mengingatkan kita pada sebutan intertekstualitas yang dipopularkan Julia Kristeva, atau lebih lanjut sebutan dekonstruksi yang dikembangkan Jacques Derida. Keduanya, menolak model berpikir strukturalis. Bahwa, dalam teks (atau karya seni) itu, tidak sesederhana hanya soal relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified), antara bentuk dan makna, tapi juga soal ruang dan waktu. Mereka semua, bertiga, pada ujungnya, hendak memberi porsi lebih besar pada lahirnya para pembaca (reader). Sebab, begitu pengarang telah dilepaskan dari otoritasnya terhadap teks, maka pembaca dibebaskan dari tirani pengarang. Dan di saat itu, pembaca-pembaca ini, akan melahirkan berbagai makna, memproduksi teks-teks lain.

Jadi, kita sepakat dengan diskursus modern atau posmodern? Bagi saya, berbagai pertanyaan justru sedang berkelindan. Misalnya, bukankah hari ini, yang dianggap sebagian orang telah memasuki era posmodernisme, justru sebagian (bahkan mayoritas) orang yang lain sedang bertungkus-lumus (bahkan berperang fisik) untuk peneguhan sebuah identitas? Pembubuhan tanda tangan pada lukisan, peneraan nama pada karya tulis—bahkan yang dulu anonim, tak bernama dan tak berpunya—adalah satu kenyataan yang menunjukkan adanya hasrat klaim-klaim kepemilikan, klaim-klaim identitas. Maka sibuklah orang/lembaga/negara mendapuk dada, untuk mengklaim bahwa “ini milik saya!”

Dan, kenapa kiranya, banyak naskah-naskah kuno, teks-teks “karya sastra” lama yang datang pada kita hari ini, justru anonim? Di mana pengarangnya? Kenapa pengarangnya tidak “narsis” dan (dengan berani) menerakan namanya di situ? Sepertinya, jangan-jangan, mereka lebih dulu paham makna posmodernisme dibanding tiga pemikir di atas....***




____________________

Sumber : http://www.riaupos.co/1000-kolom-puisi-lahir,-pembaca-lahir,-pengarang-mati.html#.U6vW4rESDIU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar