Artikel Sastra
Sebaiknya Seorang Sastrawan Orang yang 'Bebas Merdeka'
"Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya, dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya."
Wikiquote Bahasa Indonesia
Lebih
enak menjadi seseorang yang bebas merdeka, merdeka dari hal apa ? Dari
segala hal belenggu 'politik'. Politik cenderung berkuasa dan menguasai
dengan jalan atau cara apa pun. Tentu Anda mengenal istilah
'Machiavellis'.
Firenze Niccolo Machiavelli adalah
seorang penulis buku Il Principe (Sang Penguasa) yang terkenal, bukunya
ini banyak dikagumi oleh para politikus dan penguasa dan menginspirasi
politikus-politikus tertentu untuk menggunakan berbagai cara dalam
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan serta pengaruhnya.
Begitu
besarnya pengaruh Machiavellis ini bagi kehidupan panggung dunia
'kekuasaan', cengkeramannya terasa sampai ke tulang-tulang yang paling
dalam. Tanpa terasa seluruh dunia mengikutinya, apa sebabnya demikian ?
Semua
ini telah kulihat, dan aku mengerahkan hati untuk segala pekerjaan yang
telah dilakukan di bawah matahari, pada waktu manusia menguasai manusia
sehingga ia celaka
New World Translation of The Holly Scriptures
Dalam
dunia yang tidak bersahabat dan terpecah-pecah dalam berbagai
kepentingan, tidak mudah menjalankan atau berdiri di semua kelompok,
perbedaan seringkali membuat hubungan manusia semakin menjauh,
persahabatan atau hubungan diplomatik hanya sekedar basa-basi.
Adalah
Machiavelli yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial politik
tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Inilah pendekatan
pertama yang bersifat murni scientific terhadap politik. Bagi
Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan
moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak
memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan
moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik.
Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan
adalah perhitungan. Seorang politikus mengetahui dengan benar apa yang
harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi.
Sumber : Wikipedia Indonesia
Si vis pacem, para bellum
(“Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang“)
adalah sebuah Peribahasa Latin. Istilah ini juga turut berperan dalam
pengaruhnya melalui kendaraan politik. Sebagai contoh, di seluruh dunia
anggran pertahanan sebuah negara yang tidak dalam keadaan berperang dari
tahun ke tahun terus meningkat.
Anggaran pertahanan lebih
diutamakan ketimbang anggaran untuk kesejahteraan rakyat, hal ini
disebabkan karena pengaruh ucapan di atas. Coba kita simak sebuah
informasi mengenai anggaran militer 15 negara di dunia yang menempati
urutan teratas pada tahun 2012, total semuanya sebesar USD. 1, 75
trilyun atau 2, 5 persen PDB global dunia
- Amerika Serikat (682)
- China (166)
- Federasi Rusia (90,7)
- Inggris (60,8)
- Jepang (59,3)
Lima
negara dengan pengeluaran terbesar ini sebagai penyumbang 60 persen
dari seluruh pengeluaran militer dunia yaitu sebesar 1,06 triliun
dolar. Dan dilanjutkan dengan 10 negara penutup untuk belanja militer
terbesar di dunia, yaitu :
- Perancis (58,9)
- Saudi Arabia (56,7)
- India (46,1)
- Jerman (45,8)
- Italia (34,0)
- Brasil (33,1)
- Korea Selatan (31,7)
- Australia (26.2)
- Kanada (22,5)
- Turki (18.2)
Sumber : http://www.artileri.org/2013/04/15-negara-dengan-belanja-militer-terbesar.html
Faktanya
sepanjang sejarah manusia itu tetap ada dua sikap yang saling berbeda
dan tidak sejalan, jalan politik dan jalan sastra, mereka tidak dapat
bersatu apabila jalan politik mengambil garis kebijakan Machiavellis ini
dan memang kecenderungan kekuasaan dan politik itu bertolak belakang
dengan jalan sastra yang idealis dan berprinsip serta bermartabat
Jika
kita renungkan dengan lebih dalam dan jujur mereka sepanjang abad
seperti air dan minyak, mereka memang cair tapi lain warna.
Tentu
Anda pernah mendengar lagunya The Beatles 'Imagine', suatu keperihan
yang tertulis dalam suatu syair lagu yang menggugah hati ini
Imagine
Imagine there's no HeavenIt's easy if you try
No hell below usAbove us only sky
Imagine all the people
Living for todayImagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peaceYou may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the worldYou may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one
Sumber : KapanLagi.com, Imagine, Beatles
Tokoh
Sok Hok Gie pernah mengatakan cita-citanya ini dan inilah pemikiran
yang murni dari seorang yang mencintai jalan damai dan memperjuangkan di
jalan yang lurus :
Saya mimpi
tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan
berkata - stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa
pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa
pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan
pembangunan dunia yang lebih baik.
Sumber : Wikiquote Soe Hok Gie
Adakah
pemerintahan politik yang mampu mewujudkannya ? Sebenarnya inilah
harapan kita semua, cita-cita luhur ini sulit diwujudkan oleh sistem
pemerintahan bergaya Machiavellis. Jika kita perhatikan dan bertanya
adakah yang bisa mewujudkannya ?Sebenarnya pertanyaan dan cita-cita Soe
Hok Gie mewakili pemikiran sastra atau jalan sastra yang damai. Dan ini
dijawab dengan skeptis tentang kekuasaan politik itu oleh dirinya
sendiri :
Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut/multak cenderung korupsi
Sumber : Wikiquotes Soe Hok Gie
Banyak
juga para sastrawan yang berjuang lewat politik dan serta aktif dalam
politik dan memiliki pandangan yang sama terhadap tokoh politik tertentu
dan sebagai pembelanya atau pro rezim tersebut, sah-sah saja seorang
sastrawan memilih saluran aspirasi politiknya, namun tidak jarang memang
seorang politkus di awal pergerakkan seringkali mereka memang tulus
dalam memperjuangkan idealismenya atau mereka sering mengatakan sebagai
pembela masyarakat banyak, pembela marhean, pembela wong cilik, pembela
sosialis, pembela pemodal dan pembela-pembela yang kelihatannya memang
haris dibela, pembela keadilan, pembela hukum, pembela minoritas.
Belakangan
setelah politikus dan partainya memiliki kekuasaan yang besar dan
berpengaruh, kembali lagi perkataan Soe Hok Gie ini seperti hantu bagi
politikus dan pengikutnya, jika sudah demikian di mana para pembela
sastrawan itu berdiri dan membelanya? Bukankah mereka harus menutup muka
mereka sendiri atau tetap konsisten menjaga harga dirinya ?
Janganlah percaya kepada para bangsawan,Ataupun kepada putra manusia, yang padanya tidak ada keselamatan
Sumber : New World Translation of The Holly Scriptures
Pentingnya Belajar Sastra Bagi Generasi Penerus
Jika
moral agama mengajarkan seseorang untuk memiliki kehidupan yang abadi
dan cara bagaimana kita beriman kepada Tuhan, maka sastra mengajarkan
kita hidup bersama secara toleran dan menerima perbedaan sebagai sebuah
kenyataan hidup dan bersahabat dengannya.
Inilah yang
sebenarnya diutamakan dalam pendidikan bagi generasi penerus, bukan
mengajarkan sastra yang berpolitik, sebab jika mereka mengajarkan sastra
berpolitik justru mereka mengajarkan banyaknya perbedaan sudut pandang
dan membuat toleransi itu sesuatu yang mustahil berdampingan berjalan
dengan serasi.
Manusia hidup dengan berbagai macam corak
beraneka ragam, dari lahir manusia sudah menghadapi seperti itu, seperti
warna kulit, daerah, suku, agama dan nasionalismenya, ya mereka dari
lahir sudah menghadapi hal yang berbeda dalam limhkungan sekitarnya.
Jika ditambah dengan hal-hal yang semakin membedakan semisal politik,
maka hal ini akan mempertajam lagi perbedaan itu.
Sebenarnya
politik membuat perbedaan menjadi jurang yang paling dalam dan menganga
lebar, apabila seorang sastrawan memilih jalan ini, sebenarnya dia
memiliki dua prinsip yang berbeda di hatinya, bagaimana menggabungkannya
menjadi sebuah idealisme sastra? Sesuatu yang mustahil namun nyata saat
ini.
Dunia juga dipengaruhi oleh pemikiran filsafat,
salah satunya yang terkenal adalah seorang filsuf Yunani kuno bernama
Aristoteles, salah satu yang ditawarkan adalah model politik
'demokrasi'. Seperti kita ketahui bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang
sangat diagung-agungkan dalam dunia politik.
Misalkan
kita ambil contoh nyata pergolakan di Mesir, Libya, Suriah, dan
negara-negara lain baik di Timur Tengah maupun di Afrika. Jika kita
selidiki dan fakta yang muncul dipermukaan adalah dengan alasan
menegakkan 'demokrasi'.
Sebuah tulisan Aristoteles yang saya kutip ini sangat menarik, dia mengatakan :
Demokrasi
adalah bentuk bentuk sistim pemerintahan negara yang paling baik
menurut Aristoteles ... yang dimaksud oleh Aristoteles bukan demokrasi
secara utuh tetapi demokrasi-moderat atau demokrasi dengan undang-undang
dasar. Hak warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan juga bukan
sembarangan, melainkan hak warga negara golongan tengah, yaitu yang
memiliki senjata dan yang telah biasa berperang
(Hadiwijono, 2005:53) - Hadiwijono, Harun, 2005, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sumber : http://aprillins.com/2010/1686/pemikiran-aristoteles-tentang-negara-dan-filsafat-politik/
Kenyataannya
apa yang dikatakan jauh berabad-abad yang lalu oleh ahli filsafat
Aristoteles ini masih dijalankan dengan konsisten oleh para politikus
yang memerintah bergaya machiavellis. Dan para sastrawan juga ada yang
memilih pro politik penguasa, walaupun dia hanya menjadi aktivis biasa
yang tidak mengangkat senjata, namun demikian dia sudah memlih jalannya,
seolah-olah dia mengingkari kekuataan kata-katanya sendiri.
Sungguh menarik apa yang dikatakan oleh Penyair Ajip Rosidi ini :
Jalan Penyair
Penyairlah ia yang masih percaya pada tenaga kata-kata
Mengangkat tangan pelan-pelan,
menabik pada bulan Yang tersenyum meski suram, sendirian
-Ajip Rosidi
[Indonesia Sastra]
Saya
hanya bisa menyarankan saja, sebaiknya para sastrawan, budayawan,
penyair, pesyair, pujangga berdiri dengan teguh dalam posisinya yang
netral dan terus mengamati dengan saksama pergerakkan politik penguasa
yang begitu dasyat dari hari ke hari, dan memang tidaklah mungkin
menyatukan mereka (sastrawan dan politikus) itu menjadi sejalan, kita
hanya mungkin memberitahu mereka tentang apa yang kita ketahui sebagai
suatu kebaikan, perbaikan dan jalan cinta, jalan yang bermrtabat,
sebagai pengingat saja, tidak lebih dari itu, walaupun kita hanya
sendirian saja di dengar.
Coba
kita perhatikan sebuah jargon politik dari masa silam, seorang pemimpin
besar Uni Soviet, Joseph Stalin mengatakan demikian :
"The death of one man is a tragedy, the death of millions is a statistic"
*allegedly* Joseph Stalin, Soviet Union leader.
Sumber : www.kopimaya.com
Hal
di atas adalah sebuah kata-kata yang sangat memedihkan hati, nyawa
manusia hanya dinilai sebagai sebuah hitungan statistik benda mati,
sungguh ironis sekali.
Oleh sebab itu jika penyair atau sastrawan itu (dia)
tidak membutuhkan apa pun, selain kertas, pena dan pembaca yangg haus
puisi, cinta dan pengetahuan yang paling dalam, dia tidak butuh jalan
kekuasaan, sebab dia menulis, menulis, menulis dan berpikir!
“Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.”
Sapardi Djoko Damono [Goodreads]
Jakarta, 26 Agustus 2013
Sonny H. Sayangbati
_______________
Daftar Pustaka
- New World Translation of The Holly Scriptures
- Watchtower Library
- Wikipedia Indonesia
- Wikiquotes
- KapanLagi.com
-
www.artileri.org
- Serta sumber-sumber lain