Sabtu, 12 April 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Teori Intertekstual Dalam Apresiasi Puisi






URAIAN TEORI INTERTEKSTUAL  

Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan bahwa kajian intertekstual merupakan terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Mengacu pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren, 1990 :49).  

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.   

Menurut Riffaterre (1978: 5)  pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata  berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami   dengan kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada dasarnya adalah membina atau membangun acuan. Adapun acauan itu didapat dari pengalaman membaca  teks-teks lain dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca: karya sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya disebut hipogram (hypogram). Dalam hubungan antar teks tersebut terdapat dua hal yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5), yaitu:7 (1) ekspansi (expansion), dan (2) konversi (conversion). Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram, sedangkan konversi adalah pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping itu, Partini Sardjono (l986: 63) menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh Riffaterre tersebut, yaitu: (3) modifikasi (modification) atau pengubahan, dan (4) ekserp (exerpt). Lebih lanjut Partini Sardjono menjelaskan bahwa modifikasi biasanya merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran kesastraan ialah manipulasi tokoh (protagonis) atau plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu unsur atau episode dari hipogram.  

Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.

Hubungan Intertekstual  

Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas. Hal ini ditunjukkan oleh Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Selanjutnya dkatakan Rifaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram (Pradopo 2005: 167).  

Julia Kristeva (dalam Culler, 1977:139) menegaskan bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan atau transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak itu merupakan penyerapan dan tranformasi hipogramnya. Dengan ungkapan lain, bagi Kristeva, masuknya teks ke dalam teks lain adalah hal yang biasa terjadi dalam karya sastra, sebab pada hakikatnya suatu teks merupakan bentuk absorsi dan transformasi dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat sebagai suatu mozaik (Ali Imron: 2005:80).  

Dalam realitasnya, karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat menentang gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau mendukung, namun ada juga yang memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram  

Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam meanggapiteks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pemikiran-pemikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang tak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya.  

Dalam kesusasteraan Indonesia, hubungan intertekstual antara satu karya dengan karya yang lain baik antara karya sezamanmaupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya kita lihat karya-karya pujangga baru, antara karya-karya pujangga baru dengan karya-karya angkatan 45, ataupun dengan karya lain. Maka untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah sajak perlu dilihat hubungan intertekstual ini. Misalnya beberapa sajak Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstual itu menunjukan adanya persamaan dan pertentangannya dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan. Misalnya ada intertekstualitas antara sajak “Berdiri Aku” (Amir Hamzah) dengan “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar), “Kusangka” (Amir Hamzah) dengan “Penerimaan” (Chairil Anwar), “Dalam Matamu” (Amir Hamzah) dengan “Sajak Putih” (Chairil Anwar).  

Analisis Intertekstual  

Berdasarkan realitasnya maka sifat hipogram dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni: (1) Negasi, artinya karya satra yang tercipta kemudian melawan hipogram; (2) Afirmasi, yakni sekedar mengukuhkan, hampir sama dengan hipogram; dan (3) Inovasi, artinya karya satra yang kemudian memperbarui apa yang ada dalam hipogram (Ali Imron: 2005:80).  

Seperti yang disampaikan oleh Abram (Pradopo) ada empat orientasi sastra berdasarkan sejarah dan dialetikanya. Empat orientasi itu adalah orientasi mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam ide dan kehidupan; kritik pragmatik yang menganggap karya sastra sebagi sarana atau alat untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca; kritik ekspresif mengganggap karya sastra sebagai luapan perasaan dan pikiran pengarang; kritik objektif berorientasi pada karya sastra itu sendiri.

Kalau kita lihat dari kritik kedua bahwa karya sastra sebagai sarana atau alat untuk menyampaika tujuan pertentu kepada pembaca. Menurut kritik pragmatik semakin mendidik semakin karya sastra itu bernilai tinggi.   

Kelemahan Intertekstual

Kelemahan teori intertekstual adalah sifatnya yang mem-fait accompli pengarang. Setiap pengarang yang melahirkan karya yang topiknya (dianggap) sudah pernah ditulis oleh pengarang sebelumnya (karya transformatif) dianggap telah membaca karya pendahulunya (karya hepigram). Padahal dugaan itu belum tentu benar. Pengarang yang membuat karya sastra yang dianggap karya transformastif belum tentu telah membaca karya hipogramnya. Dengan dugaan seperti itu, analisis yang dilakukan adalah mencari sejauh mana karya transformatif itu dipengaruhi oleh karya hepigramnya. Atau, sejauh mana penyimpangan yang dilakukan oleh pengarang karya transformartif dari karya hepigramnya.

Hal yang bersifat spekulatif itu harus menjadi pegangan dasar dari para peneliti yang menggunakan teori intertekstual. Sifat fait accompli seperti itu tentulah tidak adil. Kecuali apabila pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi dari karya sebelumnya yang sejenis.  

Dalam naskah lakon “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”, Saini K.M. sebagai pengarangnya secara eksplisit menyebutkan bahwa sumber penulisan naskah lakonnya adalah Babad Tanah Pengging. Sedangkan Babad Tanah Pengging adalah salah satu episode yang terdapat dalam Serat Syekh Siti Jenar. Dengan demikian diakui oleh Saini K.M. bahwa acuan utama dari karyanya adalah naskah Serat Syekh Siti Jenar. Saini K.M. pun menyatakan bahwa sastra drama “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging” merupakan salah satu versi saja dari kisah Syekh Siti Jenar.

Dari apa yang dikemukakan oleh Saini K.M. penulis berkeyakinan kuat bahwa naskah Serat Syekh Siti Jenar merupakan hipogram dari naskah “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”. Dengan kata lain, naskah lakon tersebut merupakan transformasi dari naskah yang disebut pertama. Itulah salah satu aspek yang mendasari pertimbangan penulis untuk memilih Intertekstual sebagai teori sastra yang akan digunakannya dalam proses penelitian.  



DAFTAR PUSTAKA


Ayu, Djenar Maesa. 2003. Nayla. Jakarta: Gramedia 

A.M. Ali Imron. 2005. “Intertekstualitas Puisi dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 17. No. 32. 2005  

Dwi Nugroho, Agus. 2008. Tugas metode penelitian pendidikan analisis skripsi kualitatif yang berjudul kajian intertekstual unsure peristiwa dan perwatakan cerita saijah dan adinda dalam novel max havelaar dan balada orang-orang rangkasbitung. Jurusan pendidikan bahasa jawa fakultas bahasa dan seni universitas negeri Yogyakarta 2008.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ratna,Nyoman Kutha. 2009. Teori Metode Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of  Poetry. Bloomington and London: Indiana Unversity Press.




___________________

Sumber : http://banggaberbahasa.blogspot.com/2012/02/teori-intertekstual-dalam-apresiasi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar